Oleh: Hj. Norvadewi
Abstract:
The improvement of Islamic financial institutions
in Indonesia has been grown rapidly. The alternative form
such as Baitul Mal wat Tamwil (BMT) is needed to serve this
group. The interesting point of BMT is that institution has
any relationship with the Cooperative Departement of
Indonesia, because the majority of BMTs are based on
cooperative form. There were relevant basic concept
relationships between cooperatie and BMT management but
there was a fundamental different between ooperative and
BMTs that is the practice of “Riba”.
Kata Kunci: Badan Hukum, Koperasi, BMT
Pendahuluan
Keinginan dilaksanakannya ekonomi Islam timbul dari
kesadaran bahwa Islam adalah ajaran yang komprehensif dan
universal yang di dalamnya memuat ajaran segenap aspek kehidupan
manusia termasuk bidang ekonomi. Selain itu kegagalan system
ekonomi sosialis dan kapitalis dengan terjadinya krisis moneter sejak
tahun 1997 berdampak pada perekonomian hampir semua negara di
dunia. Krisis yang menyebabkan ketidakstabilan ekonomi menjadikan
setiap negara mencari solusi dalam mengatasi krisis akan mampu
bertahan. Di Indonesia sendiri, dampak krisis global menimpa hampir
semua sektor kehidupan, terutama bidang ekonomi, hal ini dapat
dilihat dari ketidak stabilan nilai tukar rupiah, gelombang PHK yang
semakin kencang bahkan banyaknya usaha-usaha ekonomi mikro
yang mengalami kebangkrutan. Dalam kondisi seperti ini, sistem
ekonomi Islam dijadikan sebagai salah satu solusi dalam mengatasi
krisis.
Di Indonesia, pelaksanaan sistem ekonomi Islam yang sudah
dimulai sejak tahun 1992 semakin marak dengan bertambahnya
jumlah lembaga keuangan Islam baik bank maupun non bank. Salah
satu lembaga keuangan Islam non bank adalah Baitul Mal wat Tamwil
(BMT) yang berorientasi pada masyarakat Islam lapisan bawah.
Kelahiran BMT merupakan solusi bagi kelompok ekonomi
masyarakat bawah yang membutuhkan dana bagi pengembangan
usaha kecil. BMT merupakan lembaga ekonomi rakyat kecil yang
berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam
Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Syariah Muamalah STAIN Samarinda
194 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 rangka meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil dengan
berdasarkan prinsip syariah dan prinsip koperasi.1
BMT yang berkembang didirikan dengan suatu proses legalitas
hukum yang bertahap; pertama dapat dimulai sebagai KSM
(Kelompok Swadaya Masyarakat), dan jika telah mencapai nilai aset
tertentu kemudian menyiapkan diri ke dalam badan hukum koperasi.
Jika mencapai keadaan di mana para anggota dan pengurus siap
dengan baik untuk mengelola koperasi, maka BMT dapat
dikembangkan menjadi badan hukum koperasi.
Kebijakan ini dilakukan karena legalitas usaha yang diakui di
Indonesia hanya tiga : Perseroan Terbatas (PT), Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dan Koperasi. Dengan demikian, pilihan legalitas
paling logis bagi BMT adalah koperasi. Maka badan hukum dan
model BMT adalah koperasi bukan lembaga keuangan, yayasan bukan
pula KSM atau yang lainnya. Dengan demikian pedoman kerja,
penilaian kesehatan, AD/ART BMT merujuk pada ketentuan
Departemen Koperasi, bukan yang lainnya.
Makalah ini akan mengupas mengenai badan hukum koperasi
untuk BMT melalui tinjauan syariah yang akan dilihat melalui
kesesuaian konsep koperasi dengan nilai-nilai syariah Islam dan
bagaimana hukum berkoperasi dalam Islam kemudian telaah kritis
terhadap badan hukum koperasi untuk BMT.
Hukum Koperasi Dalam Islam
Pembahasan mengenai spektrum hukum Islam sangat luas dan di
dalam penetapan hukumnya dapat melalui prosedur dan metode yang
beragam. Jika hukum suatu masalah tidak secara eksplisit disebutkan
dalam Al Qur’an dan Sunnah, maka penetapan hukumnya dapat
dilakukan melalui ijtihad, sehingga terdapat metode-metode
penerapan hukum secara qiyas, ijma, istislah, istihsan dan lainnya
yang biasa disebut hukum dzanni. Hal ini terjadi pula di dalam
penetapan hukum berkoperasi.
Menurut Mahmud Syaltut, koperasi (syirkah ta’awuniyah)
adalah suatu bentuk syirkah baru yang belum dikenal oleh fuqaha
terdahulu2 yang membagi syirkah menjadi 4 macam, yaitu : Syirkah
Abdan, Mufawadah, Wujuh, dan Inan.3
1 Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), Pedoman Cara Pembentukan
BMT, (Jakarta : PINBUK, tt), h. 1
2 Syirkah Abdan; kerjasama pekerjaan, syirkah Mufawadah, kerjasama
dengan modal uang atau jasa dengan syarat sama modalnya, Syirkah Wujuh,
kerjasama berdasarkan kepercayaan perjanjian profit sharing, Syirkah ’Inan;
kerjasama berdasar profit dan loss sharing sesuai dengan jumlah modalnya masingmasing.
Mahmud Syaltut, Al-Fatwa, (Mesir : Darul Qalam, tt), h. 349
3 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Volume III, (Libanon : Dar al Fikr, 1981), h.
294-298.
Hj. Norvadewi, Tinjauan Syariah terhadap Badan Hukum Koperasi.. 195 Sebagian ulama menganggap koperasi (syirkah ta’awuniyah)
sebagai akad mudharabah, yaitu suatu perjanjian kerjasama antara dua
orang atau lebih, yang mana satu pihak menyediakan modal sedang
pihak lain melakukan usaha atas dasar profit sharing (membagi
keuntungan) menurut perjanjian.4
Mahmud Syaltut tidak setuju dengan pendapat tersebut, sebab
syirkah ta’awuniyah tidak mengandung unsur mudharabah yang
dirumuskan oleh para fuqaha (satu pihak menyediakan modal dan
pihak lain melakukan usaha) karena syirkah ta’awuniyah (yang ada di
Mesir), modal usahanya berasal dari anggota pemegang saham dan
usaha itu dikelola oleh pengurus dan karyawan yang dibayar oleh
koperasi menurut kedudukan dan fungsinya masing-masing. Dan jika
pemegang saham turut mengelola maka ia berhak digaji sesuai dengan
sistem yang berlaku.5 Menurut Syaltut, koperasi merupakan syirkah
baru yang diciptakan oleh para ahli ekonomi yang mempunyai banyak
manfaat, yaitu memberi keuntungan kepada para anggota pemegang
saham, memberi lapangan kerja kepada para karyawannya, memberi
bantuan keuangan dari sebagian hasil usaha koperasi untuk
mendirikan tempat ibadah, sekolah dan sebagainya yang di dalamnya
tidak ada unsur kezaliman dan pemerasan, dikelola secara demokratis
dan terbuka serta membagi keuntungan dan kerugian kepada semua
anggota dengan ketentuan yang berlaku, sehingga syirkah ini
dibenarkan dalam Islam.6
Sedangkan Abdurrahman Isa menyatakan bahwa syirkah
ta’awuniyah (koperasi) adalah syirkah musahamah, artinya syirkah
yang dibentuk melalui pembelian saham-saham oleh para anggotanya.
Karena itu syirkah ini adalah syirkah amwal (badan kumpulan modal)
bukan syirkah asykhas (badan kumpulan orang), karena di dalam
koperasi yang tampak bukan kepribadian para anggota pemilik saham.
Menurut Isa, koperasi boleh di dalam Islam dan halal deviden yang
diterima para anggota dari hasil usaha koperasi selama koperasi itu
tidak mempraktekkan usaha yang mengandung riba dan menjalankan
usaha-usaha yang haram.7
Asnawi Hasan menemukan adanya kesesuaian dengan etika
Islam dan menyatakan wajib bagi umat Islam untuk berpartisipasi
dalam membina dan mengembangkan kehidupan berkoperasi dan
merupakan dosa bagi mereka yang menghalang-halangi
perkembangan koperasi itu.8
4 IIbid, h. 212
5 Mahmud Syaltut, Ibid, h. 348
6 Ibid, h. 349-350
7 Abdurrahman Isa, Al-Mu’amalat al-Haditsah wa Ahkamuha, (Mesir :
Mathba’ah Mukhaimin, tt), h. 65-68
8 Asnawi Hasan, Op.cit, h. 173
196 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 Khalid Abdurrahman Ahmad, penulis Timur Tengah
berpendapat haram bagi umat Islam berkoperasi dan beliau
mengharamkan pula harta yang diperoleh dari koperasi.9 Alasan
pengharaman koperasi yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah
al-Jam’iyah al-Ta’awuniyah, pertama disebabkan karena prinsipprinsip
keorganisasian yang tidak memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan oleh syariah di antaranya persyaratan anggota yang hanya
membatasi satu golongan saja sehingga dianggap akan melahirkan
kelompok yang eksklusif. Kedua, pembagian keuntungan koperasi
yang dilihat dari segi pembelian atau penjualan anggota di
koperasinya. Cara ini dianggap menyimpang dari ajaran Islam, karena
menurut bentuk kerjasama dalam Islam (secara klasik) hanya
mengenal pembagian keuntungan atas dasar modal, jerih payah atau
keduanya. Alasan selanjutnya adalah didasarkan penilaiannya
mengenai tujuan utama pembentukan koperasi dengan persyaratan
anggota dari golongan ekonomi lemah yang dianggap hanya
bermaksud untuk menentramkan mereka dan membatasi keinginannya
serta untuk mempermainkan mereka dengan ucapan dan teori-teori
utopis.
Pendapat ini didukung oleh Taqyudin An-Nabhani dengan
alasan; kesepakatan dalam koperasi sebenarnya tidak pernah terjadi
karena hanya modal yang melakukan perseroan, koperasi dari segi
asasnya tidak pernah dianggap terbentuk dan tidak mempunyai badan,
pembagian laba menurut hasil pembelian atau produksi, bukan
menurut modal atau kerja.10
Alasan pengharaman ini merupakan hasil ijithad yang bersifat
dzan dan hal itu juga tidak seluruhnya tepat karena di Indonesia,
anggota koperasi tidak hanya diperuntukkan bagi golongan ekonomi
lemah karena seluruh rakyat Indonesia dianjurkan untuk berkoperasi.
Selain itu penarikan kesimpulan bahwa dalam usaha koperasi secara
klasik atau dalam tradisi Islam tidak mengenal pembagian keuntungan
atas dasar pembelian dan penjualan (anggota di koperasinya) yang
kemudian dijadikan dasar penolakan terhadap koperasi, namun
kesimpulan ini tidak ditandai oleh adanya ijma’ (konsensus) ulama
terhadapnya.11
Namun penetapan hukum wajib berkoperasi bagi umat Islam di
Indonesia juga belum diterima. Karena, pertama konstitusi meyakini
bahwa ada tiga bangun usaha di Indonesia yaitu koperasi, swasta dan
BUMN walaupun terdapat arah koperasi dijadikan soko guru
9 Khalid Abdurrahman Ahmad, Al Tafqir al Iqtisad fi al-Islamiyah, cet.
Kedua, (Riyadh : Mahtabah al Madinah, 1976), h. 140-142
10 Taqyudin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif
Islam, Cet. Kedua Terj. Moh. Maghfur Wachid, (Surabaya : Risalah Gusti, 1996), h.
189-190
11 Ahmad Dimyati, dkk, Ibid, h. 80-81
Hj. Norvadewi, Tinjauan Syariah terhadap Badan Hukum Koperasi.. 197 perekonomian nasional. Kedua, sumber-sumber ekonomi bagi umat
Islam sangat luas sehingga bisa berkiprah di mana saja, tidak hanya di
koperasi dan ketiga sejak semula koperasi memerlukan kesukarelaan
sedangkan keempat koperasi masih terbatas jangkauannya sehingga
masih sulit bagi rakyat untuk berkoperasi.12
Selain melihat nilai-nilai etis koperasi, penetapan hukum
koperasi dapat dipertimbangkan melalui kaidah Ushul al Fiqh,
dimana hukum Islam mengijinkan kepentingan masyarakat atau
kesejahteraan bersama melalui prinsip istislah atau al mashlaha. Ini
berarti ekonomi Islam harus memberi prioritas pada kesejahteraan
bersama yang merupakan kepentingan masyarakat dan jika menyoroti
fungsi koperasi sebagai alat perjuangan ekonomi untuk mempertinggi
kesejahteraan rakyat dan alat pendemokrasian ekonomi, maka prinsip
istislah dipenuhi oleh koperasi.13
Demikian juga dilihat dari prinsip istihsan (metode preferensi),
koperasi dapat dilihat dar isegi makro maupun mikro. Pada tingkat
makro berarti mempertimbangkan koperasi sebagai sistem ekonomi
yang paling dekat dengan Islam dibanding kapitalisme dan sosialisme,
sedangkan pada tingkat mikro berarti melihat terpenuhinya prinsip
hubungan sosial secara saling menyukai, yang dicerminkan pada
prinsip keanggotaan terbuka dan sukarela, prinsip mementingkan
pelayanan anggota dan prinsip solidaritas.14
Kesemuanya ini memberikan jalan ke arah istimbath (penetapan
hukum syariah) terhadap koperasi yang tidak lagi mewajibkan atau
mengharamkan bolehnya berkoperasi. Berdasarkan hasil istimbath
dengan menggunakan ijtihad, maka kembali kepada sifat koperasi
sebagai praktek muamalah, maka ditetapkan hukum koperasi adalah
mubah yang berarti diperbolehkan. Sebagaimana diketahui bahwa asal
usul hukum muamalah dibolehkan selain hal-hal yang secara tegas
dilarang oleh syariat.
Kesesuaian Prinsip Koperasi dengan Prinsip Islam
Pembahasan tentang ekonomi dalam Islam dimasukkan pada
aspek ajaran muamalah yang mempunyai dua macam, yaitu yang
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan materi (muamalah madiyah)
dan yang menyangkut pergaulan hidup sosial (muamalah al
adabiyah).15
Menggabungkan kedua hal di atas dipandang sama dengan
menggaris bawahi koperasi sebagai salah satu dari sejumlah bentuk
kegiatan ekonomi yang tengah dikembangkan saat ini yang
12 Loc.cit.
13 Loc.cit.
14 Op.cit, h. 82
15 Ahmad Dimyati dkk, Islam dan Koperasi, Telaah Peran Serta Umat Islam
dalam Pengembangan Koperasi, (Jakarta : Koperasi Jasa Indonesia, 1989), h. 69-70
198 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 merupakan bangun ekonomi yang berwatak sosial dengan berpadunya
nilai ekonomi dan sosial di dalamnya. Untuk selanjutnya
mendudukkan koperasi dalam pandangan atau kerangka ajaran Islam.
Koperasi adalah organisasi ekonomi yang memiliki ciri-ciri
yang berbeda dengan organisasi ekonomi lain. Perbedaan ini terletak
pada sistem nilai etis yang melandasi kehidupannya dan terjabar
dalam prinsip-prinsipnya yang kemudian berfungsi sebagai normanorma
etis yang mempolakan tata laku koperasi sebagai ekonomi.16
Ciri utama koperasi adalah kerjasama anggota dengan tujuan untuk
mencapai kesejahteraan hidup bersama.
Dari pengertian dan ciri koperasi dapat disimpulkan bahwa
falsafah atau etik yang mendasari gagasan koperasi sesungguhnya
adalah kerjasama, gotong royong dan demokrasi ekonomi, menuju
kesejahteraan umum. Melihat dari segi falsafah atau etik yang
mendasari gerakan koperasi, kita temukan banyak segi yang
mendukung persamaan dan diberi rujukan dari segi ajaran Islam,
antara lain penekanan akan pentingnya kerjasama dan tolong
menolong (ta’awun), persaudaraan (ukhuwah) dan pandangan hidup
demokrasi (musyawarah). Di dalam Islam kerjasama dan tolong
menolong sangat dianjurkan sebagaimana disebutkan dalam QS. Al
Maidah ayat 2 : ”Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran”.
Selain kerjasama dan tolong menolong dalam koperasi juga
ditekankan unsur musyawarah. Ajaran Islam sangat menganjurkan
pentingnya musyawarah untuk mencapai kesatuan pendapat, sikap
maupun langkah-langkah dalam mengusahakan sesuatu. Anjuran
bermusyawarah ditegaskan dalam QS. Ali Imran ayat 59.17 Ayat ini
dijadikan pedoman bagi setiap muslim khususnya bagi setiap
pemimpin agar bermusyawarah dalam setiap persoalan. Dengan
musyawarah, setiap orang mempunyai hak yang sama, tidak ada
diskriminasi. Persamaan hak juga ditemukan di dalam koperasi
melalui asas satu anggota satu suara yang dijamin melalui Rapat
Anggota Tahunan (RAT) sebagai forum musyawarah tertinggi yang
minimal dilaksanakan setahun sekali. RAT memberi ikatan
keorganisasian dalam hal kesamaan kedudukan, mengundang
partisipasi, menentukan hak dan kewajiban anggota serta mengikat
16 Asnawi Hasan, Koperasi dalam Pandangan Islam, Suatu Tinjauan dari
Segi Falsafah Etik, dalam Membangun Sistem Ekonomi Nasional, Sistem Ekonomi
dan Demokrasi Ekonomi, Sri Edi Swasono (ed), (Jakarta : UI Press, 1987), h. 158
17“Maka disebabkan oleh rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu”...
Hj. Norvadewi, Tinjauan Syariah terhadap Badan Hukum Koperasi.. 199 tanggung jawab dalam hal keuntungan dan kerugian.18 RAT
merupakan manifestasi dari kerjasama yang dilakukan secara sukarela
dan terbuka. Prinsip suka rela dan terbuka merupakan prinsip koperasi
yang sesuai dengan prinsip Islami. Kerjasama dan musyawarah
mencerminkan adanya persaudaraan (ukhuwah) yang dicita-citakan
sebagai ciri ideal umat Islam. Hal ini menunjukkan kesesuaian nilainilai
ta’awun, musyawarah dan ukhuwah dengan nilai kerjasama,
demokrasi, sukarela, terbuka dan kekeluargaan dalam koperasi.
Selain itu kesesuaian koperasi dengan Islam dapat dilihat dari
mekanisme operasional atau pola tata laku operasional adalah melalui
sistem imbalan (keuntungan atau fasilitas)yang diterima anggota yang
sesuai dengan peran serta kontribusinya bagi koperasi. Hal ini sesuai
dengan prinsip balas jasa di dalam Islam. Islam mengajarkan
seseorang hanya menerima apa yang ia usahakan sebagaimana yang
ditegaskan dalam QS. Al Zalzalah ayat 7-8 :”Barangsiapa yang
mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat
dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”
Hal lain dapat dilihat mengenai Sisa Hasil Usaha (SHU) dalam
koperasi, bahwa maksimisasi SHU bukan tujuan dan pemanfaatan
sebagian SHU diperuntukkan bagi kemaslahatan umum. Hal ini
menghindari usaha-usaha eksploitatif, menekankan pelayanan anggota
dan memperhatikan kepentingan umum. Hal ini sesuai dengan nilai
kebersamaan dan cita-cita keadilan sosial dalam Islam.19 Dalam
mewujudkan keadilan sosial ini, Islam menentang penimbunan
kekayaan pada segelintir orang tanpa membelanjakannya ke jalan
Allah melalui lembaga-lembaga zakat, infak dan shodaqah dan yang
lainnya yang mempunyai multiplier effect ke arah terwujudnya
keadilan sosial tersebut. Hal ini ditegaskan dalam frirman Allah QS.
At Taubah ayat 34 :”Dan orang yang menyimpan emas dan perak dan
tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada
mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”
Ajaran Islam menghendaki adanya redistribusi kekayaan secara
merata, misalnya bagi fakir miskin, anak yatim, orang yang memintaminta
atau yang haknya dirampas, juga dengan tegas dinyatakan
bahwa kekayaan atau komoditi tidak boleh berputar di antara orangorang
kaya saja. Hal ini disebutkan dalam QS. Al Hasyr ayat 7:”Apa
saja harta rampasan (fa-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya
yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk
Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya
beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”.
18 Ahmad Dimyati, dkk, Ibid, h. 72-73
19 Ibid, h. 75
200 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 Perwujudan keadilan sosial dengan pendekatan ini
mencerminkan out put demokratisasi sistem ekonomi Islam, yang
selaras dengan tujuan koperasi sebagai alat pendemokrasian ekonomi.
Hal ini menandakan bahwa Islam dan koperasi mempunyai tujuan
yang sama yaitu mencapai demokratisasi ekonomi. Dengan praktek
demokratis koperasi, maka terlihat bahwa cara kerja dalam
pengelolaan koperasi merupakan cara yang Islami. Hal ini
menunjukkan kesesuaian pola operasional koperasi dengan Islam.
Telaah Badan Hukum Koperasi Untuk BMT
Dilihat dari kesesuian prinsip koperasi dalam Islam dan hukum
kebolehan koperasi dalam Islam, maka koperasi adalah sebuah
lembaga yang dapat diterapkan untuk BMT. Kebolehan ini juga
didasarkan pada relevansi konsep antara koperasi dan BMT yang
dapat dilihat dari pertama, latar belakang dan sejarah kelahiran kedua
lembaga ini adalah sama-sama dalam rangka memperjuangkan
kepentingan rakyat golongan bawah sebagai reaksi terhadap sistem
ekonomi yang berlaku pada waktu itu. Koperasi lahir sebagai sarana
dan protes atas sistem ekonomi kapitalis yang menindas dan
mengakibatkan penderitaan pada rakyat dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan mereka. Begitu juga BMT yang lahir karena keberadaan
BMI dan BPR (S) yang belum dapat menjangkau masyarakat
golongan ekonomi bawah. Hal ini disebabkan karena berbagai
kendala, diantaranya peraturan perundang-undangan, perizinan yang
rumit dan lama serta mobilisasi dana yang sulit. BMT lahir sebagai
alternatif untuk mengatasi keadaan ini.20
Kedua, dengan mengacu pada pengertian yang dikandung
keduanya dapat disimpulkan bahwa kedua lembaga ini sama-sama
mengandung dua unsur. Unsur tersebut adalah unsur ekonomi dan
unsur sosial yang saling berkaitan. Ini merupakan bukti bahwa kedua
lembaga ini tidak hanya bergerak di bidang bisnis namun aspek
sosialnya juga tidak dilupakan.
Ketiga, relevansi ini juga dilihat melalui prinsip-prinsip dasar
yang dikandung oleh kedua konsep ini. Dalam prinsip-prinsip dasar
keduanya ditemukan bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
tidak bertentangan. Pada intinya kedua lembaga ini berusaha untuk
mensejahterakan anggota pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya melalui pengelolaan yang sarat dengan nilai-nilai etik dan
20 M. Akhyar Adnan, Beberapa Issue Di Sekitar Pengembangan Lembaga
Keuangan Berdasarkan Syariah, Makalah disajikan dalam Seminar dan Talk Show
Peran Ulama Dalam Sosialisasi dan Pengembangan Lembaga Keuangan Syariah,
(diselenggarakan oleh ASBISINDO Wilayah Jateng-DIY), 1999. Sejarah Koperasi
dapat dilihat pada Nindyo Pramono, Beberapa Aspek Koperasi pada umumnya dan
Koperasi Indonesia di dalam Perkembangan, (Yogyakarta : Taman Pustaka Kristen,
1986), h. 43
Hj. Norvadewi, Tinjauan Syariah terhadap Badan Hukum Koperasi.. 201 moral yang tinggi. Yang ini juga akan membedakan kedua lembaga
ini dengan bentuk-bentuk usaha ekonomi lainnya.
Keempat, adanya kesamaan tujuan pada kedua lembaga tersebut.
Tujuan yang terkandung adalah sama-sama berusaha untuk
mensejahterakan anggota pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya terutama bagi golongan masyarakat kecil dalam rangka
mengentaskan kemiskinan bagi perbaikan ekonomi rakyat.
Kelima, berdasarkan pada fungsi dan peranan dari koperasi dan
BMT terlihat bahwa keduanya mempunyai dua fungsi. Fungsi tersebut
adalah fungsi sosial dan fungsi ekonomi yang saling berkaitan.
Sedangkan peranan kedua lembaga tersebut adalah sebagai motor
penggerak perekonomian dengan mengembangkan dan membangun
potensi serta kemampuan masyarakat lapisan bawah untuk mencapai
perekonomian yang lebih baik. Bahkan koperasi dijadikan soko guru
bagi perekonomian nasional.
Keenam, jika mengacu pada konsep mekanisme kerja antara
koperasi dan BMT, akan ditemukan bahwa kedua lembaga ini
diusahakan untuk bergerak pada tiga sektor, yaitu sektor jasa
keuangan melalui simpan pinjam, sektor sosial dan sektor riil.21 Selain
itu dalam alat kelengkapan organisasi koperasi dan BMT ditemukan
adanya Dewan Pengawas. Dewan pengawas itu bertugas untuk
mengendalikan dan mengawasi kedua lembaga itu. Tujuan
pengendalian dan dan pengawasan ini adalah agar dalam kegiatannya
sesuai dengan tujuan yang diharapkan serta dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya penyimpangan dan penyelewengan oleh
pengurus di dalam pengelolaannya.
Berdasarkan analisis ini, maka terdapat kesamaan konsep antara
koperasi dan BMT sehingga hal ini mendukung dijadikannya koperasi
sebagai badan hukum untuk BMT. Namun perlu dilakukan evaluasi
terhadap badan hukum koperasi untuk BMT, yaitu :
1. Perlu adanya mekanisme yang mampu menjamin
dilaksanakannya koperasi sesuai dengan prinsip dasarnya karena
dalam prakteknya telah banyak terjadi penyimpangan dalam
pelaksanaan prinsip dasar tersebut seperti koperasi yang telah
banyak kehilangan jati dirinya karena meninggalkan fungsi
sosialnya dan lebih berorientasi pada fungsi ekonomi, prinsip
kemandirian yang ada pada koperasi juga tidak terlaksana, hal
ini dapat dilihat dari besarnya intervensi pemerintah terhadap
koperasi.22 Dalam hal ini peran dari semua pihak, khususnya
21 Hertanto Widodo dkk, PAS (Pedoman Akuntansi Syariah), Panduan
Praktis Operasional Baitul Mal Wat Tamwil, (Jakarta : Mizan, 1999), h. 84. lihat
juga Revrisond Baswir, Koperasi Indonesia, (Yogyakarta : BPFE, 1997), h. 79-81
22 Kemas H. Ahmad dan Berbudi Tjokrowinoto dalam Sarjono Amsan,
Mempertegas Prinsip dan Jatidiri Koperasi dalam Wartakop No. 94 – Th. XX –
April 2000
202 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 yang berkaitan dengan lembaga ini (Pemerintah, Departemen
Koperasi dan semua yang terlibat) sangat dibutuhkan dalam
rangka meluruskan kesalahan memahami konsep dasar koperasi
yang berakibat terjadinya penyimpangan. Kemudian perlu
adanya pengawasan yang lebih ketat terutama oleh Dewan
Pengawas dalam pelaksanaan koperasi dalam hal ini peran
DEKOPIN selaku lembaga tertinggi koperasi sangat penting.
Begitu juga pada BMT, peran Dewan Pengawas Syariah perlu
lebih ditingkatkan agar dalam mekanisme kerja BMT tetap
mengacu pada prinsip-prinsip yang tidak bertentangan dengan
syariah Islam.
2. BMT yang berbadan hukum koperasi harus mengganti sistem
bunga yang biasa diterapkan dalam sistem perkoperasian di
Indonesia 23dengan sistem yang sesuai dengan prinsip Islam
yaitu bagi hasil, sehingga merancang sebuah konsep lembaga
koperasi syariah adalah suatu kebutuhan yang harus dilakukan.
Kesimpulan
Hukum koperasi dalam perspektif Islam berdasarkan hasil
istimbath dengan menggunakan ijtihad pada dasarkan dapat
dikembalikan kepada sifat koperasi sebagai praktek muamalah, maka
ditetapkan hukum koperasi adalah mubah yang berarti diperbolehkan.
Sebagaimana diketahui bahwa asal usul hukum muamalah dibolehkan
selain hal-hal yang secara tegas dilarang oleh syariat.
Selain terdapat kesesuaian antara konsep koperasi dengan BMT,
namun ada perbedaan yang mendasar, yaitu adanya mekanisme riba
dalam koperasi. Untuk itu agar koperasi dapat tetap dijadikan sebagai
badan hukum BMT maka harus dilakukan perbaikan-perbaikan yang
mengacu kepada syariah yang tidak memperbolehkan riba. Disamping
juga koperasi harus membenahi diri agar tidak terjadi penyimpanganpenyimpangan
dari konsep dasar dan tujuannya.
23 Mekanisme bunga pada koperasi disebutkan dalam prinsip-prinsip dasar
koperasi, lihat Revrisond Baswir, ibid, h. 56
Hj. Norvadewi, Tinjauan Syariah terhadap Badan Hukum Koperasi.. 203 DAFTAR PUSTAKA
Adnan, M. Akhyar, Beberapa Issue Di Sekitar Pengembangan
Lembaga Keuangan Berdasarkan Syariah, Makalah
disajikan dalam Seminar dan Talk Show Peran Ulama Dalam
Sosialisasi dan Pengembangan Lembaga Keuangan Syariah,
(diselenggarakan oleh ASBISINDO Wilayah Jateng-DIY),
1999.
Ahmad, Kemas H. dan Berbudi Tjokrowinoto dalam Sarjono Amsan,
Mempertegas Prinsip dan Jatidiri Koperasi dalam Wartakop
No. 94 – Th. XX – April 2000
Ahmad, Khalid Abdurrahman, Al Tafqir al Iqtisad fi al-Islamiyah, cet.
Kedua, Riyadh : Mahtabah al Madinah, 1976.
Baswir, Revrisond, Koperasi Indonesia, Yogyakarta : BPFE, 1997.
Dimyati, Ahmad dkk, Islam dan Koperasi, Telaah Peran Serta Umat
Islam dalam Pengembangan Koperasi, Jakarta : Koperasi
Jasa Indonesia, 1989.
Hasan, Asnawi, Koperasi dalam Pandangan Islam, Suatu Tinjauan
dari Segi Falsafah Etik, dalam Membangun Sistem Ekonomi
Nasional, Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, Sri Edi
Swasono (ed), Jakarta : UI Press, 1987.
Isa, Abdurrahman, Al-Mu’amalat al-Haditsah wa Ahkamuha, Mesir :
Mathba’ah Mukhaimin, tt.
Nabhani, Taqyudin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif
Islam, Cet. Kedua Terj. Moh. Maghfur Wachid, Surabaya :
Risalah Gusti, 1996.
Pramono, Nindyo, Beberapa Aspek Koperasi pada umumnya dan
Koperasi Indonesia di dalam Perkembangan, Yogyakarta :
Taman Pustaka Kristen, 1986.
Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), Pedoman Cara
Pembentukan BMT, Jakarta : PINBUK, tt
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Volume III, Libanon : Dar al Fikr, 1981.
Syaltut, Mahmud, Al-Fatwa, Mesir : Darul Qalam, tt.
Widodo, Hertanto dkk, PAS (Pedoman Akuntansi Syariah), Panduan
Praktis Operasional Baitul Mal Wat Tamwil, Jakarta :
Mizan, 1999.
204 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.
Rabu, 13 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar