M
A
K
A
L
A
H
DIPRESENTASIKAN PADA SEMINAR
MATA KULIAH EKONOMI ISLAM
DOSEN PEMBIMBING: Dr. MHD. SYAHNAN, MA
Oleh : Ismul Azhari
Nim: 08 EKNI 1348
PASCA SARJANA IAIN SUMUT
2009-2010
KEBIJAKAN MONETER (MONETARY POLICY)
Kebijakan Moneter (Monetary Policy)
Adalah kebijakan yang dilakukan oleh otoritas moneter (Bank Sentral) untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi melalui pengawasan jumlah uang beredar atau suku bunga atau kombinasi keduanya. Kebijakan moneter secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 :
1) Kebijakan moneter yang bersifat kuantitatif
2) Kebijakan moneter yang bersifat kualitatif
Kebijakan moneter yang bersifat kuantitatif adalah kebijakan moneter yang ditujukan untuk mempengaruhi jumlah uang beredar melalui tindakan-tindakan tertentu dalam rangka memperbaiki kinerja ekonomi.
Kebijakan moneter kuantitatif dapat dibedakan dalam 3 tindakan:
1) Operasi pasar terbuka
2) Mengubah ubah suku bunga dan tingkat diskonto
3) Mengubah cadangan minimal
1) Operasi Pasar Terbuka
Operasi pasar terbuka yang dilakukan oleh Bank sentral adalah tindakan untuk mempengaruhi jumlah uang beredar melalui jual beli surat-surat berharga. Jika Bank sentral menginginkan adanya penambahan jumlah uang beredar dimasyarakat maka Bank sentral akan membeli surat-surat berharga dari Bank-bank umum dan dari masyarakat. Jika bank sentral ingin mengurangi jumlah uang beredar yang ada dimasyarakat maka bank sentral akan menjual surat-surat berharga kepada bank umum dan masyarakat.
Sedangkan bentuk langkah yang hendak diambil oleh bank sentral tergantung pada kondisi perekonomian yang dihadapi oleh negara apakah perekonomian dalam kondisi resesi atau inflasi.
• Operasi Pasar terbuka jika perekonomian dalam kondisi resesi (Under employment)
Kondisi resesi / kelesuhan ekonomi / under-employment adalah keadaan perekonomian dimana banyak pengangguran faktor produksi dan menurunnya permintaan masyarakat tentang barang dan jasa sebagai pendapatan nasional yang sebenarnya terjadi (aktual) lebih kecil dari pendapatan nasional yang seharusnya terjadi yaitu pendapatan nasional full employment (YFE).
• Agar kegiatan perekonomian dapat meningkat, maka bank sentral perlu menaikan jumlah uang beredar melalui pembelian surat-surat berharga dari bank – bank umum dan masyarakat.
• Jika jumlah uang beredar bertambah banyak, maka permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa juga ikut naik dan selanjutnya akan mendorong kegiatan produksi dalam perekonomian terjadi kenaikan penyerapan tenaga kerja dan kenaikan produksi / pendapatan nasional.Yaktual akan naik mendekati / sama dengan YFE resesi berkurang / hilang
• Operasi pasar terbuka jika perekonomian dalam kondisi inflasi (over employment)
Kondisi inflasi/naiknya harga-harga umum dapat terjadi apabila kapasitas produksi perusahaan telah digunakan secara penuh tapi permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa terus meningkat, sehingga pendapatan nasional aktual lebih besar dari pendapatan nasional full employment. Untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan dengan menurunkan / mengurangi jumlah uang beredar yang ada dimasyarakat melalui penjualan surat-surat berharga oleh bank sentral kepada bank-bank umum.
Dengan adanya penjualan surat-surat berhargaini maka tabungan giral masyarakat dan cadangan yang dimiliki oleh bank umum akan berkurang yang berarti jumlah uang beredar didalam perekonomian juga berkurang, pada gilirannya permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa juga berkurang. Jika permintaan berkurang (ceteris paribus) maka hal ini akan menyebabkan terjadinya penurunan harga barang-barang dan jasa (inflasi berkurang).
Pengendalian Inflasi dalam Perspektif Kebijakan Moneter Islam
1. Definisi Kebijakan Moneter dan Inflasi
Untuk memudahkan analisa permasalahan pengendalian inflasi dalam perspektif kebijakan moneter Islam, maka penulis terlebih dahulu akan memabahas secara singkat berkaitan dengan dua variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yakni kebijakan moneter dan inflasi.
Aulia Pohan mengatakan kebijakan moneter (monetary policy) adalah suatu pengaturan di bidang moneter yang bertujuan untuk menjaga dan memelihara kestabilan nilai uang dan mendorong kelancaran produksi dan pembangunan dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat. Hampir senada dengan definisi yang diutarakan Pohan, dalam kamus istilah keuangan dan perbankan kebijakan moneter didefinisikan dengan rencana dan tindakan otoritas moneter yang terkoordinasi untuk menjaga keseimbangan moneter, dan kestabilan nilai uang, mendorong kelancaran produksi dan pembangunan, serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.
Wikipedia memberikan definisi kebijakan moneter dengan sebuah proses yang dilakukan oleh pemerintah, bank sentral, atau otoritas moneter dari sebuah negara untuk mengontrol, penawaran uang, ketersediaan uang, tingkat bunga, dalam rangka mencapai seperangkat tujuan orientasi kepada pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Dimana biasanya kebijakan moneter dikenal sebagai pilihan antara kebijakan ekspansi atau kebijakan kontraksi. Definisi ini hampir senada dengan definisi yang diberikan oleh Dictionary of Economics, dimana dikatakan kebijakan moneter adalah suatu instrument kebijakan ekonomi makro yang mengatur penawaran uang, kredit dan tingkat bunga dalam rangka mengendalikan tingkat pembelanjaan atau pengeluaran dalam perekonomian.
Definisi kebijakan moneter yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagaimana definisi yang disampaikan oleh Pohan. Definisi ini lebih bersifat netral (tidak memihak kepada salah satu aliran ekonomi yang ada, sebagaimana definisi yang ada pada wikipedia dan kamus Istilah Keuangan dan Perbankan yang lebih dominan kepada aliran moneteris).
Adapun definisi inflasi dalam Dictionary of Economics didefinisikan dengan suatu peningkatan tingkat harga umum dalam suatu perekonomian yang berlangsung secara terus menerus dari waktu ke waktu. Samuelson dan Nordhaus dalam buku mereka Macro Economics mendefinisikan inflasi dengan cukup pendek yaitu kenaikan tingkat harga umum. Adapun Bank Indonesia mendefinisikan inflasi dengan kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus.
Definisi di atas mendapat kritikan cukup tajam dari mazhab ekonomi Austria. Ekonom dari mazhab Austria mengatakan bahwa definisi inflasi di atas tidak mengambarkan fakta inflasi sesungguhnya, terlebih lagi adalah faktor pemicu inflasi itu sendiri. Definisi di atas hanya sebatas menjelaskan salah satu akibat inflasi.
Aliminsyah dan Padji memberikan definisi inflasi sebagai berikut “suatu keadaan yang menunjukkan jumlah peredaran uang yang lebih banyak dari pada jumlah barang yang beredar, sehingga menimbulkan penurunan daya beli uang dan selanjutnya terjadi kenaikan harga yang menyolok” . Definisi ini hampir senada dengan yang disampaikan oleh Murray N. Rothbard.
Terjadinya perbedaan delam mendefinisikan inflasi ini dikarenakan sebagian pakar ekonomi menjelaskan makna inflasi berdasarkan sebab yang menimbulkan inflasi dan sebagian yang lain berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh inflasi.
Secara umum, definisi inflasi yang jamak dipakai adalah definisi yang penulis tulis pada bagian pertama. Sebagaimana halnya definisi kebijakan moneter yang digunakan dalam penelitian ini, maka dalam definisi inflasi penulis menggunakan definisi inflasi yang disampaikan oleh Bank Indonesia.
Mengapa penulis menggunakan definisi inflasi yang pertama? Ada dua alasan yang penulis gunakan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, harus kita pahami bahwa sebuah definisi adakalanya berasal dari sebuah konsep tentang nilai yang dalam perumusannya diharuskan merujuk kepada dalil-dalil syar’i dan adakalanya terkait dengan konsep yang murni berasal dari sebuah fakta.
Definisi inflasi sepenuhnya didasarkan pada penelaahan yang cermat (dan tepat) terhadap fakta fenomena perkembangan harga barang dan jasa. Dengan kata lain, definisi inflasi adalah berbicara fakta apa adanya (das sein), bukan berbicara apa yang seharusnya (das sollen). Dalam hal ini, definisi inflasi kelompok yang ke dua tidaklah menggambarkan fakta apa adanya.
Ini sama halnya ketika kita mendefinisikan tentang akal. Akal atau berpikir adalah proses pemindahan fakta melalui indera ke dalam otak disertai dengan informasi sebelumnya yang digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut. Definisi ini diperoleh dari fakta kegiatan berpikir manusia. Metode telaah seperti inilah yang seharusnya juga diterapkan dalam mendefinisikan fakta tentang inflasi.
Kedua, sebagaimana halnya definisi kebijakan moneter, definisi inflasi kelompok yang ke dua memasukkan unsur besaran jumlah uang beredar sehingga definisi tersebut tidak bersifat netral (mengikuti aliran moneteris).
Dengan kata lain, ia hanya memuat salah satu dari penyebab terjadinya inflasi. Padahal secara faktual penyebab inflasi sangatlah beragam sebagaimana yang penulis tuliskan di bawah ini.
Secara umum, berdasarkan penyebabnya inflasi terbagi ke dalam 3 macam, yakni: Pertama, tarikan permintaan (demand-pull inflation). Inflasi ini timbul apabila permintaan agregat meningkat lebih cepat dibandingkan dengan potensi produktif perekonomian. Kedua, dorongan biaya (cosh-push inflation). Inflasi ini timbul karena adanya depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi. Ketiga, ekspektasi inflasi. Inflasi ini dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan dan penentuan upah minimum regional.
Dalam rangka menjaga inflasi agar tetap dalam tingkat moderat baik pemerintah (kebijakan fiskal) maupun otoritas moneter (kebijakan moneter) mengambil sejumlah langkah sebagaimana yang telah kami tuliskan pada bagian latar belakang.
Bagaimana inflasi dalam perekonomian Islam? Sesungguhnya, apabila inflasi didefinisikan dengan kecendrungan kenaikan harga-harga secara umum, maka akan kita dapati bahwa dalam setiap perekonomian (apakah itu menggunakan sistem ekonomi Kapitalis ataupun Islam) akan senantiasa ditemui permasalahan inflasi.
Hanya saja, terdapat perbedaan yang cukup signifikan (baik secara kuantitatif maupun kualitatif) antara permasalahan inflasi yang ada di dalam perekonomian Islam dengan yang ada di dalam perekonomian Kapitalis.
Salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan itu adalah dikarenakan mata uang yang digunakan dalam perekonomian Islam adalah bimetalik (dinar dan dirham). Dimana dalam diri dinar dan dirham tersebut mempunyai sejumlah keunggulan dibandingkan dengan mata uang kertas yang digunakan pada saat ini. Salah satu keunggulan itu adalah adanya nilai intrinsik (nilai ini tidak terdapat pada fiat money) yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, inflasi yang disebabkan faktor lemahnya mata uang (depresiasi nilai) sebagaimana yang terjadi dalam perekonomian Kapitalis tidak akan terjadi dalam perekonomian Islam.
2. Kebijakan Moneter
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, dalam tulisan ini penulis akan mencoba memberikan deskripsi kebijakan moneter Islam (Perspektif Hizbut Tahrir) dalam mengendalikan inflasi.
Setidaknya ada tujuh kebijakan moneter Islam yang menurut penulis dapat mengendalikan inflasi baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu: Dinar dan dirham sebagai mata uang, hukum jual beli mata uang asing, hukum pertukaran mata uang, hukum bunga, hukum pasar modal, hokum perbankan, hukum pertukaran internasional, dan otoritas kebijakan moneter.
Di bawah ini penulis akan menjelaskan (secara singkat) empat dari tujuh kebijakan moneter di atas dalam kaitannya mengendalikan inflasi.
2.1 Dinar dan Dirham
Di atas penulis sudah menjelaskan bagaimana eksistensi dari fiat money yang secara pasti menyebabkan terjadinya inflasi. Lebih dari itu, ia merupakan faktor utama terjadinya inflasi dalam sitem Kapitalisme.
Berbeda halnya dalam sistem ekonomi Islam, inflasi yang disebabkan kelemahan dari mata uang relatif cukup kecil kemungkinan terjadinya (kalau tidak bisa dikatakan tidak akan terjadi).
Mengapa demikian? Untuk mengetahui mengapa penggunaan dinar dan dirham dapat mengendalikan inflasi terlebih dahulu harus diketahui kelemahan dari fiat money. Setelah itu dikomparasikan dengan karakteristik mata uang dinar dan dirham.
Telah diketahui bahwa, Fiat money memiliki kelemahan yang teramat fatal. Sebaliknya, dinar dan dirham tidaklah memiliki kelemahan sebagaimana yang ditemukan dalam fiat money. Faktor fundamental dari kekuatan dinar dan dirham adalah setaranya antara nilai nominal dengan nilai intrinsik yang terdapat pada mata uang tersebut.
Eksistensi nilai intrinsik ini akan secara otomatis menjaga nilai tukarnya terhadap mata uang lain. Sehingga inflasi yang disebabkan lemahnya nilai tukar mata uang domestik dengan mata uang asing yang berdampak kepada naiknya komoditas impor, output gap, dan ekspektasi inflasi dapat dikatakan tidak akan terjadi.
2.2 Hukum Bunga
Pergerakan ekonomi dalam sistem ekonomi konvensional sangat bergantung pada sistem bunga. Begitu pentingnya sistem bunga bagi ekonomi Kapitalisme, maka dalam kebijakan moneter konvensional struktur suku bunga menjadi salah satu instrumen moneter untuk mencapai sasaran akhir (inflasi).
Hampir semua sektor ekonomi Kapitalisme terkait dengan system bunga, mulai dari sektor riil terlebih lagi adalah sektor non riil. Sistem bunga mengakibatkan sektor non riil berkembang lebih cepat dibandingkan dengan sektor riil. Hal ini dikarenakan sektor non riil dalam memberikan keuntungan relatif lebih cepat dan besar jumlahnya apabila dibandingkan dengan sector riil.
Akibatnya sektor riil mengalami kekurangan “darah” untuk menggerakkan roda ekonomi. Ketika roda ekonomi sudah berjalan lambat dan bahkan terhenti bisa dipastikan inflasi adalah sebuah keniscayaan yang akan terjadi.
Sebaliknya, Islam secara tegas berpendapat bahwa, bunga hukumnya adalah haram. Kalau bunga dalam Islam diharamkan, lalu bagaimana caranya menggerakkan roda ekonomi?
Islam menggariskan bahwa, harta yang dimiliki oleh seseorang individu apabila ingin dikembangkan haruslah melewati cara yang memang dihalalkan oleh Allah Swt. Dalam hal ini Islam memberikan tiga pilihan apakah dengan cara usaha mandiri, kerjasama pihak kedua (syarikah), dan kerjasama pihak ketiga (melalui lembaga mediasi Bank Syariah).
Dengan kata lain, Islam tidak mengijinkan pengembangan harta melalui perdagangan uang (uang beranak uang) dengan sistem bunga. Kebijakan Islam melarang perdagangan uang ini tentunya akan mencegah uang beredar pada tempat tertentu saja (sektor non riil), sehingga kebutuhan “darah” (dana) bagi sektor riil dapat terpenuhi. Ketika dana segar bagi sektor riil telah tercukupi maka bisa dipastikan gerak dari roda ekonomi akan berjalan dengan baik dan mencegah terjadinya inflasi.
2.3 Hukum Perbankan
Dalam sistem ekonomi Kapitalisme, lembaga keuangan (perbankan) menempati posisi yang sangat menentukan. Melalui lembaga inilah system bunga dapat berjalan dengan baik dan bergerak sangat cepat. Apabila dalam sistem ekonomi Kapitalisme perbankan merupakan suatu keniscayaan. Maka dalam sistem ekonomi Islam (SEI) adalah sebaliknya. Islam memandang pendirian suatu bank adalah mubah (boleh), hanya saja kegiatan dari perbankan tersebut tetap mengacu kepada ketentuan-ketentuan (dhawabit) syari’ah.
Dengan demikian, apabila eksistensi perbankan dalam sistem ekonomi Kapitalisme cenderung semakin memperdalam jurang antara sektor riil dengan sektor non riil yang berujung kepada inflasi. Sebaliknya dalam SEI lembaga keuangan yang ada akan membantu atau mendukung pergerakan sektor riil.
2.4 Otoritas Kebijakan Moneter Islam Dalam SEI, otoritas kebijakan moneter dan fiskal tidaklahlah terpisah dengan struktur pemerintahan (lembaga eksekutif) yang ada sebagaimana yang ada pada SEK (sistem ekonomi Kapitalis). Kebijakan moneter dan Fiskal dalam SEI sama-sama berada di bawah departemen Baitul Maal. Sehingga tidak diperlukan lagi koordinasi atau pembahasan apakah otoritas moneter dengan lembaga eksekutif perlu dipisahkan atau tidak untuk mengambil kebijakan moneter.
2) Mengubah tingkat bunga dan diskonto
Terdapat 2 cara yang dapat dilakukan oleh bank sentral didalam membantu bank-bank umum, yaitu dengan memberi pinjaman atau dengan membeli surat-surat berharga tertentu yang dimiliki oleh bank umum yang memerlukan bantuan.
Jika bank-bank umum menjual surat-surat berharga kepada bank sentral maka cara ini disebut mendiscontokan surat-surat berharga. Baik dalam memberikan pinjaman maupun dalam membeli surat-surat berharga dari bank-bank umum, maka bank sentral akan menetapkan tingkat disconto surat-surat berharga tersebut dan suku bunga pinjaman yang harus dibayar oleh bank-bank umum.
Peranan bank sentral sebagai sumber pinjaman atau tempat mendiscontokan surat-surat berharga dapat digunakan oleh bank sentral untuk mempengaruhi jumlah uang beredar dan tingkat kegiatan ekonomi.
Jika bank sentral menurunkan tingkat disconto dan suku bunga pinjaman yang diberikan kepada bank-bank umum, makabiaya / bunga yang harus dibayar oleh bank-bank umum menjadi lebih murah. Pada gilirannya bank-bank umum dapat memberikan pinjaman kepada nasabahnya dengan suku bunga yang rendah pula.Jika suku bunga kredit perbankan turun maka permintaan masyarakat terhadap kredit perbankan akan naik dan ini akan menyebabkan bertambahnya jumlah uang beredar yang ada dimasyarakat. Tindakan ini cocok diterapkan untuk perekonomian yang masih berada dalam kondisi resesi (under employment)
3) Mengubah tingkat cadangan minimal
Bank sentral dalam mempengaruhi jumlah uang beredar dapat juga dilakukan dengan mengubah-ubah ketetapan tingkat cadangan minimal (recerve requirement) yang harus dimiliki oleh bank-bank. Jika bank sentral ingin mengurani jumlah uang beredar maka bank sentral akan mewajibkan bank-bank umum untuk menaikan tingkat cadangan minimalnya, dan dengan meningkatnya cadangan minimal ini akan dapat mengurangi tabungan giral yang dapat diciptakan oleh bank-bank dengan sendirinya akan menurunkan jumlah uang beredar dan sebaliknya.
Kebijakan moneter kualitatif adalah kebijakan moneter melalui pengawasan pinjaman secara selektif dan pembujukan moral.
1) Pengawasan pinjaman secara selektif dilakukan dengan menentukan jenis-jenis pinjaman mana yang harus dikurangi dan mana yang harus dikembangkan.
2) Pembujukan moral yaitu bank sentral mengadakan pertemuan langsung dengan pimpinan bank-bank umum untuk meminta bank-bank umum melakukan langkah-langkah tertentu, yang dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Kebijakan Moneter
Kebijakan-kebijakan ekonomi secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu: kebijakan-kebijakan untuk mempengaruhi sisi penawaran agregat, seperti kebijakan ketenagakerjaan, kebijakan perdagangan, kebijakan perindustrian, dan kebijakan-kebijakan untuk mempengaruhi sisi permintaan agregat (atau lebih dikenal sebagai kebijakankebijakan ekonomi makro), seperti kebijakan moneter, fiskal, dan nilai tukar.
Seluruh kebijakan tersebut baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dapat mempengaruhi berbagai sasaran kebijakan ekonomi seperti laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan keseimbangan neraca pembayaran. Oleh karena itu, dalam mengevaluasi suatu kebijakan idealnya kita harus mampu mengisolasi dampak kebijakan tersebut dari pengaruh kebijakan-kebijakan lain terhadap sasaran yang dituju.
Mengingat analisis ini ditujukan untuk menilai efektivitas kebijakan moneter dalam jangka pendek/menengah dan dengan keyakinan bahwa kebijakan di sisi penawaran lebih banyak berdampak terhadap perkembangan sasaran akhir dalam jangka panjang maka upaya mengevaluasi efektivitas kebijakan moneter dilakukan tanpa memperhitungkan pengaruh kebijakan-kebijakan di sisi penawaran.
Ada tiga komponen yang terkandung di dalam setiap kebijakan ekonomi, yaitu instrumen, sasaran, dan hubungan kausalitas antara instrumen dan sasaran (yang umumnya dipresentasikan ke dalam suatu model ekonomi). Uraian berikut ini akan mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter dengan melihat kinerja ketiga komponen tersebut.
Dalam merancang kebijakan-kebijakan ekonomi untuk mencapai sasaran akhir berganda (multi-targeting), keharmonisan policy mix dan ketepatan policy assignment sangat penting. Landasan teoritis dari konsep keharmonisan policy mix dipelopori oleh pemenang hadiah Nobel di bidang Ilmu Ekonomi dari Belanda, Jan Tinbergen, sedangkan konsep ketepatan policy assignment diajukan oleh pakar ekonomi moneter internasional dari Amerika Serikat, Robert Mundell.
Kerangka kerja Tinbergen didasarkan pada asumsi adanya hubungan linear antara
instrumen-instrumen kebijakan dengan sasaran-sasaran akhir. Salah satu syarat agar instrumen-instrumen kebijakan tersebut dapat mencapai sasaran-sasaran akhir yang berbeda secara bersamaan adalah jumlah instrumen yang tersedia minimal harus sama dengan jumlah sasaran akhir. Selain itu, setiap instrumen harus independen terhadap instrumen lain. (Lihat Lampiran). Di dalam kerangka kerja Tinbergen, penyebab ketidakefektivan kebijakan moneter dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:
• Apakah jumlah instrumen kebijakan yang tersedia minimal sama dengan jumlah sasaran? Untuk kasus Indonesia, terdapat tiga sasaran utama kebijakan ekonomi makro yang ingin dicapai secara bersamaan, yaitu laju inflasi yang rendah, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan keseimbangan neraca pembayaran. Dari sisi permintaan, ketiga sasaran tersebut diupayakan untuk dicapai dengan menggunakan tiga instrumen utama, yaitu kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan kebijakan nilai tukar. Dengan demikian, jumlah instrumen yang tersedia sudah sama dengan jumlah sasaran.
• Apakah terdapat pembatasan ruang gerak kebijakan moneter? Di Indonesia tampaknya tidak ada pembatasan secara eksplisit terhadap besaran-besaran moneter yang dikaitkan dengan kinerja sisi fiskal. Namun, tampaknya ruang gerak kebijakan moneter sangat dibatasi oleh sasaran nilai tukar.
• Apakah terdapat hubungan sebab akibat antara berbagai sasaran akhir? Hal ini tampaknya terjadi di Indonesia. Pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi seringkali harus mengorbankan pencapaian sasaran laju inflasi.
• Apakah policy mix cocok dengan policy setting? Di dalam sistem ekonomi terbuka dengan sistem nilai tukar yang relatif tetap seperti yang diterapkan oleh Indonesia sampai dengan 14 Agustus 1997, efektivitas kebijakan moneter sangat berkurang. Dalam situasi ini, pembebanan tugas yang terlalu berlebihan kepada kebijakan moneter untuk mencapai berbagai sasaran ekonomi makro hanya akan mendorong timbulnya ekonomi biaya tinggi (khususnya yang bersumber dari tingginya biaya suku bunga), mendorong masuknya modal asing berjangka pendek yang bermotif spekulasi, dan mendorong industri keuangan domestik untuk melakukan/ membiayai kegiatan usaha yang mengandung resiko tinggi.
Berkaitan dengan pembagian tugas di antara berbagai kebijakan yang tersedia, Robert
Mundell mengajukan apa yang dikenal sebagai Mundell’s Assignment Rule. Berdasarkan
aturan tersebut, efektivitas setiap kebijakan tergantung pada kesesuaian pembagian tugas dengan keunggulan komparatif dari masing-masing kebijakan. Apabila kebijakan moneter diyakini lebih berpengaruh terhadap laju inflasi daripada kebijakan fiskal sedangkan kebijakan fiskal diyakini lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan produksi daripada kebijakan moneter maka seyogianya kebijakan moneter hanya diberi tugas untuk mengendalikan laju inflasi sedangkan pengendalian produksi diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan fiskal.
Efektivitas kebijakan moneter juga ditentukan oleh kemampuan otoritas moneter dalam mengendalikan instrumen-instrumen yang tersedia. Indikator yang paling sederhana adalah sejauh mana kemampuan otoritas moneter dalam mengendalikan uang primer. Terdapat beberapa faktor yang dapat mengurangi efektivitas pengendalian uang primer.
Pertama, derasnya arus keluar masuk modal jangka pendek. Satu hasil penelitian menemukan bahwa koefisien ofset, yaitu koefisien yang mengukur pengaruh bersih operasi pasar terbuka (OPT) terhadap jumlah uang beredar, di Indonesia mencapai lebih dari 75% (Bond, et al). Artinya, setiap Rp 1,00 jumlah uang yang disedot melalui OPT, hanya Rp 0,25 yang benar-benar berhasil disedot sedangkan sejumlah Rp 0,75 mengalir kembali ke masyarakat melalui peningkatan arus masuk modal dari luar negeri.
Kedua, masih rendahnya tingkat kedalaman pasar uang (atau dalam kerangka analisis pemintaan dan penawaran kondisi ini tercermin pada kurva permintaan yang sangat tidak elastis). Saat ini tingkat kedalaman pasar uang baik rupiah maupun valuta asing masih relatif tipis. Dalam kondisi ini tekanan-tekanan baik yang bersumber dari pesatnya arus keluar masuk modal maupun tekanan likuiditas lebih banyak ditransmisikan melalui perubahan suku bunga dan nilai tukar daripada diredam oleh perubahan volume transaksi. Sebagai konsekuensinya suku bunga dan nilai tukar menjadi sangat fluktuatif.
Ketiga, adanya segmentasi di sektor perbankan yang menimbulkan perbedaan perilaku di antara berbagai kelompok bank (contoh: antara kelompok bank-bank pemerintah dan kelompok bank-bank swasta) dalam menyikapi sinyal-sinyal kebijakan moneter.
Keempat, rapuhnya system perbankan akibat praktek-praktek perbankan yang tidak berhati-hati dan system pengawasan yang lemah. Dengan kondisi portofolio yang buruk, walaupun ada kemauan, bank-bank tidak akan mampu memberikan respons kepada sinyal-sinyal kebijakan moneter.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah tingkat kredibilitas yang dimiliki oleh otoritas pengambil kebijakan. Satu konsep yang berkaitan dengan kredibilitas pengambil kebijakan adalah konsep time consistency. Berdasarkan konsep ini, suatu kebijakan yang diambil berdasarkan prinsip discretionary akan mendorong para pengambil kebijakan untuk selalu mengambil kebijakan yang berbeda dengan ekspektasi pasar. Dari sisi pengambil kebijakan, tindakan ini adalah optimal karena mampu memaksimalkan manfaat dari kebijakan yang diambil. Namun, apabila tindakan tersebut dilakukan berkali-kali maka tingkat kredibilitas kebijakan akan turun di mata para pelaku pasar. Untuk Indonesia, masalah kredibilitas ini tampaknya perlu mendapat perhatian khusus. Seringkali kita amati bahwa berbagai sasaran ekonomi makro, khususnya sasaran-sasaran operasional kebijakan moneter, tidak mampu dicapai. Hal ini telah menurunkan kredibilitas kebijakan pemerintah dan mendorong masyarakat untuk membentuk ekspektasi yang berbeda dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter adalah adanya perubahan paradigma hubungan sebab akibat antara instrumen kebijakan dan sasaran akhir sebagai dampak dari deregulasi sektor keuangan dan meningkatnya keterkaitan antara pasar keuangan domestik dan internasional.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat banyak kemungkinan faktor penyebab berkurangnya efektivitas kebijakan moneter. Namun, sebagaimana halnya pengalaman negara-negara lain ketika mereka menjalani proses transformasi ekonomi dan keuangan, faktor perubahan paradigma pengendalian moneter sebagai dampak deregulasi dan globalisasi di sektor keuangan diduga menjadi penyebab utama melemahnya kinerja kebijakan moneter di Indonesia. Oleh karena itu, ruang lingkup penelitian ini akan dibatasi pada upaya untuk menemukan mekanisme transmisi moneter dan kerangka operasional kebijakan moneter yang tepat untuk Indonesia di dalam konteks paradigma pengendalian moneter yang telah berubah.
Dampak Deregulasi Keuangan terhadap Efektivitas Kebijakan Moneter
Deregulasi dan globalisasi sektor keuangan membawa pengaruh yang besar terhadap perekonomian di banyak negara. Reformasi sektor keuangan yang dilakukan Indonesia dan beberapa negara ASEAN lainnya seperti Malaysia dan Thailand sejak dekade 1980-an telah meningkatkan efisiensi sektor keuangan dan menjadi salah satu faktor penting yang mendorong kemajuan ekonomi negara-negara tersebut.
Di samping dampak positifnya terhadap perekonomian, perubahan yang cepat di pasar keuangan juga telah memberikan pengaruh negatif terhadap efektivitas kebijakan moneter. Friedman mengidentifikasi tiga kemungkinan dampak deregulasi keuangan terhadap kebijakan moneter. Pertama, deregulasi suku bunga dan nilai tukar serta integrasi pasar-pasar keuangan di dunia akan mengubah proses transmisi kebijakan moneter. Kedua, inovasi-inovasi keuangan akan menyebabkan tidak stabilnya hubungan antara harga (inflasi) dan uang (besaran moneter). Ketiga, semakin meningkatnya mobilitas modal akan mempersulit pencapaian dua sasaran akhir, yaitu stabilitas harga dan stabilitas nilai tukar, dalam waktu bersamaan. Pengalaman di beberapa negara maju seperti Kanada, Australia, Selandia Baru, dan beberapa negara Eropa, serta hasil penelitian IMF menunjukkan bahwa setelah era reformasi sistem keuangan hubungan antara pertumbuhan uang beredar dan kegiatan ekonomi serta inflasi cenderung menjadi tidak stabil. Akibatnya, perkembangan jumlah uang beredar menjadi tidak mampu lagi memberikan indikasi arah perkembangan inflasi maupun produksi secara akurat. Kondisi tersebut menyebabkan banyak negara tidak lagi menggunakan besaran-besaran moneter sebagai variabel sasaran kebijakan moneter. Kini banyak negara menggunakan suku bunga dan nilai tukar sebagai sasaran operasionalnya.
Di Indonesia, kinerja pencapaian sasaran-sasaran moneter seperti M1 dan M2 cenderung menurun (lihat Grafik 1 dan 2). Kinerja pencapaian sasaran M0 juga memiliki kecenderungan yang sama (lihat Grafik 3). Seiring dengan menurunnya kinerja pencapaian sasaran-sasaran moneter, kinerja pencapaian sasaran-sasaran akhir terutama laju inflasi dan neraca pembayaran tampak semakin sulit. Sasaran inflasi yang dalam Repelita V dan VI ditetapkan sebesar rata-rata 5% per tahun tidak pernah berhasil dicapai. Defisit transaksi berjalan dalam tiga tahun terakhir semakin membengkak sementara struktur neraca modal semakin didominasi oleh modal jangka pendek yang mengandung resiko tinggi.
Gejala penurunan efektivitas kebijakan moneter tersebut tidak terlepas dari dampak deregulasi di sektor finansial yang telah dimulai sejak tahun 1983. Deregulasi tersebut telah mengakibatkan beberapa perubahan struktural. Pertama, pembebasan penentuan suku bunga kepada pasar menyebabkan terjadinya perubahan portofolio keuangan masyarakat yang tercermin dari perubahan komposisi uang kartal dan uang giral maupun komposisi simpanan berjangka dan uang giral. Kedua, batas antara M1 dan M2 menjadi tipis karena semakin dekatnya substitusi antara uang kuasi khususnya tabungan (komponen M2) dengan M1.
Ketiga, perubahan portofolio aset-aset keuangan mengakibatkan perubahan tingkat sensitivitas permintaan akan uang terhadap perubahan pendapatan dan suku bunga.
Keempat, semakin berkembangnya pasar keuangan yang menawarkan beragam asset mempunyai pengaruh yang besar terhadap permintaan uang. Adanya banyak perubahan tersebut melahirkan sebuah keyakinan bahwa transmisi kebijakan moneter melalui harga uang (suku bunga) menjadi semakin penting dibandingkan dengan transmisi melalui jumlah uang beredar (kuantitas). Hal ini juga didukung oleh hasil beberapa penelitian yang mempertanyakan kembali keyakinan yang melandasi kebijakan moneter Indonesia bahwa terdapat kestabilan angka pengganda uang dan permintaan akan uang serta keterkaitan yang erat antara besaran-besaran moneter dan sektor riil terutama PDB dan inflasi.
Kebijakan Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel
Pertanyaan pertama yang perlu kita jawab dalam memahami kebijakan moneter dalam sistim nilai tukar fleksibel adalah bagaimana sistim nilai tukar tersebut akan dilaksanakan di Indonesia. Kesepakatan umum dewasa ini mengarah pada suatu pendapat
bahwa gerakan nilai tukar akan dibiarkan sesuai kekuatan pasar, namun intervensi Bank Indonesia tetap dimungkinkan apabila kondisi memang memerlukan. Pernyataan inilah yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut. Bahwa intervensi memang diperlukan dapat dimengerti karena di negara manapun yang menganut sistim nilai tukar fleksibel pernah dan perlu melakukan intervensi. Namun intervensi tersebut biasanya tidak diarahkan untuk mencapai suatu “level” tertentu, apalagi “level” yang dianggap sebagai tingkat nilai tukar ekuilibrium, kecuali apabila memang diyakini telah terjadi exchange rate misalignment (Edwards, 1994). Anggapan dasar ditempuhnya sistim nilai tukar fleksibel adalah keyakinan bahwa pasar telah berkembang secara efisien sehingga mampu menentukan sendiri tingkat ekuilibrium nilai tukar tersebut. Bahkan apabila terjadi suatu kejutanpun, efisiensi pasar dapat secara cepat menyesuaikan tingkat ekuilibrium tersebut ke tingkat yang baru. Dengan demikian, intervensi Bank Indonesia hanya diperlukan apabila terdapat gejala ketidakrasionalan perilaku pasar sehingga menghalangi bekerjanya pasar tersebut secara efisien. Menurunnya secara drastis kepercayaan pelaku pasar dan masyarakat luas terhadap gerakan nilai tukar yang mengarah pada terjadinya kepanikan yang meluas merupakan kondisi pokok diperlukannya intervensi Bank Indonesia di pasar.
Implikasi dari ditempuhnya sistim nilai tukar fleksibel tersebut cukup mendasar bagi perekonomian Makro. Fluktuasi dan karenanya ketidakpastian mengenai gerakan nilai tukar Rupiah jelas akan menjadi tinggi. Peranan ekspektasi pelaku pasar dan masyarakat akan menjadi lebih penting dalam mempengaruhi gerakan nilai tukar (Dornbusch, 1976). Secara langsung fluktuasi nilai tukar tersebut akan mempengaruhi tingkat harga di dalam negeri karena banyaknya barang-barang impor (imported inflation). Harga relatif (real effective exchange rates) juga akan semakin berfluktuasi dan berpengaruh terhadap kinerja ekspor dan impor, dan karenanya mempunyai dampak yang semakin perlu diperhitungkan terhadap permintaan aggregat. Laju pertumbuhan ekonomi juga dapat terpengaruh. Pendeknya fluktuasi nilai tukar yang lebih tinggi akan mempengaruhi sasaran-sasaaran laju inflasi, laju pertumbuhan dan keseimbangan neraca pembayaran yang hendak dicapai oleh kebijakan ekonomi makro.
Bagaimana kebijakan moneter dapat mempengaruhi perkembangan berbagai variable ekonomi? Yang jelas, dalam sistim nilai tukar fleksibel Bank Indonesia dapat lebih bebas dalam melaksanakan kebijakan moneter dalam negeri karena tidak dituntut untuk melakukan sterilisasi atas dampak aliran dana masuk terhadap perkembangan uang beredar untuk mempertahankan suatu tingkat atau kisaran nilai tukar tertentu. Dengan demikian, pengendalian moneter dapat lebih difokuskan pada pencapaian sasaran-sasaran di dalam negeri. Dalam hal melakukan suatu kontraksi, misalnya, ketatnya likuiditas akan mendorong meningkatnya suku bunga di dalam negeri. Aliran dana masuk dari luar negeri akan meningkat dan menyebabkan nilai tukar Rupiah cenderung apresiasi. Permintaan domestic baik konsumsi maupun investasi akan menurun karena tingginya suku bunga dan menurunnya harga relatif. Laju pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih rendah. Laju inflasi juga akan menurun baik karena apresiasi nilai tukar maupun karena menurunnya permintaan domestik. Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam sistim nilai tukar fleksibel kebijakan moneter dapat lebih efektif dalam mempengaruhi gerakan ekonomi dalam jangka pendek (Guitan, 1994a; Flood dan Musa, 1994).
Akan tetapi independensi tersebut menuntut disiplin yang lebih tinggi dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Hal ini mengingat kejutan-kejutan yang terjadi pada pasar uang dapat mempunyai dampak yang merugikan bagi perekonomian. Ekspansi moneter yang berlebihan, misalnya, akan mendorong suku bunga lebih rendah, menurunnya aliran dana masuk atau bahkan terjadinya aliran dana ke luar negeri, depresiasi nilai tukar, serta meningkatnya permintaan domestik, laju pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi (Guitan, 1994b). Yang perlu dikhawatirkan adalah ketidakdisiplinan kebijakan moneter tersebut dalam jangka pendek dapat mendorong fluktuasi nilai tukar Rupiah yang lebih besar karena kecenderungan overshooting yang disebabkan oleh rigiditas harga-harga di dalam negeri (Dornbusch, 1976).
Kerangka Dasar Manajemen Moneter
Kerangka dasar manajemen moneter yang diterapkan di berbagai bank sentral pada umumnya tidak banyak berbeda. Di satu sisi, bank sentral ingin mencapai sasaran-sasaran akhir yang menjadi tugas pokoknya seperti laju inflasi, laju pertumbuhan ekonomi, dan keseimbangan neraca pembayaran. Namun di sisi yang lain, bank sentral hanya mampu mempengaruhi beberapa instrumen kebijakan yang secara langsung di bawah pengendaliannya. Karena itu diperlukan sasaran operasional sebagai sasaran segera yang hendak dicapai dari penggunaan instrumen tersebut dan, dengan suatu mekanisme tertentu yang diasumsikan, dapat mempengaruhi sasaran antara. Pada dasarnya pencapaian sasaran antara ini diharapkan dapat mempengaruhi pencapaian sasaran akhir yang diinginkan. Alur mekanisme manajemen moneter demikian dapat digambarkan sebagai: instrument kebijakan moneter; sasaran operasional, sasaran antara, sasaran akhir (Friedman, 1975).
Perbedaan pokoknya terdapat pada sedikitnya dua hal. Pertama, pemilihan variable ekonomi yang dipergunakan sebagai sasaran operasional dan sasaran antara perlu disesuaikan dengan keyakinan perumus kebijakan atas mekanisme transmisi kebijakan moneter dan kondisi perekonomian yang diantisipasikan. Dengan demikian, apabila transmisi melalui suku bunga dan nilai tukar diyakini lebih mendekati kenyataan dalam perekonomian Indonesia, maka manajemen moneter akan menggunakan suku bunga dan nilai tukar sebagai sasaran operasional dan sasaran antara.
Kedua, semakin maju dan kompleksnya perekonomian dan sektor keuangan kita menyebabkan hubungan antara berbagai variabel dalam perekonomian menjadi semakin kompleks dan sulit diprediksi. Kecenderungan ini mendorong perumus kebijakan tidak boleh secara kaku dan dogmatis hanya meyakini suatu mekanisme kebijakan moneter tertentu. Perumus kebijakan harus mampu menggali dan mengintepretasikan berbagai data dan informasi untuk semakin mendalami perkembangan perekonomian pada waktu sekarang dan arahnya ke depan. Meskipun suatu kerangka dasar manajemen moneter telah diletakkan, peran dari variabel-variabel indikator menjadi semakin penting. Dengan kata lain, pendekatan pragmatis dan eklektik dalam manajemen moneter nampaknya merupakan alternatif yang banyak ditempuh di berbagai negara (Madigan, 1994; Sawamoto dan Ichikawa, 1994). Pendekatan demikian kiranya dapat pula dilakukan di Indonesia seperti pernah dinyatakan oleh Gubernur Bank Indonesia (Djiwandono, 1994).
Dengan pemikiran di atas, maka manajemen moneter di Indonesia dapat dilakukan dengan mekanisme sebagaimana digambarkan pada lampiran. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan yang akan dikemukakan secara rinci pada bagian-bagian di bab ini, dalam skema tersebut digambarkan bahwa sasaran akhir manajemen moneter adalah laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi. Untuk mencapai sasaran akhir ini, Bank Indonesia akan memonitor secara seksama Indikator Kebijakan Moneter (IKM) yang mencerminkan pengaruh suku bunga deposito atau kredit dan real effective exchange rate (REER) terhadap tekanan permintaan aggregat. Bank Indonesia juga perlu memonitor berbagai variable indikator lainnya, khususnya prompt indicators dan leading indicators, untuk lebih memahami perkembangan perekonomian terkini dan arahnya di masa mendatang. Selanjutnya gerakan IKM tersebut akan dipengaruhi dengan perkembangan suku bunga jangka pendek seperti suku bunga PUAB, suku bunga SBI atau tingkat diskonto SBPU sebagai sasaran operasional. Dalam pelaksanaannya, manajemen moneter dengan mekanisme di atas akan ditempuh dengan instrumen sebagaimana yang telah dipergunakan selama ini yaitu Operasi Pasar Terbuka (OPT), reserve requirement, fasilitas diskonto, dan moral suasion.
Sasaran Akhir
Selama ini manajemen moneter di Indonesia diarahkan untuk mencapai sasaran akhir kestabilan ekonomi makro, yaitu laju inflasi yang cukup rendah, laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan kemantapan neraca pembayaran. Berbagai perubahan mendasar yang dikemukan pada bab pendahuluan, khususnya sistim nilai tukar fleksibel, mengharuskan kita untuk memikirkan kembali tentang bagaimana kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut. Yang jelas, dalam sistim yang baru kebijakan nilai tukar tidak lagi dapat diharapkan untuk mencapai sasaran peningkatan ekspor dan karenanya kemantapan neraca pembayaran. Seperti telah dijelaskan, dalam sistim nilai tukar fleksibel gerakan nilai tukar akan berfluktuasi sesuai dengan kekuatan pasar sehingga tidak lagi dapat diarahkan untuk mencapai suatu sasaran tingkat depresiasi tertentu untuk mendorong ekspor.
Dengan demikian dalam sistim yang baru kebijakan moneter lebih difokuskan pada pengendalian permintaan aggregat. Lebih jelasnya bahwa kebijakan moneter diarahkan untuk mengendalikan tekanan-tekanan permintaan (aggregate demand pressures) yang disebabkan oleh tingginya kesenjangan antara permintaan aggregat dengan output potensial (output gap). Hal ini mengingat besarnya output gap tersebut menentukan tingkat laju inflasi dan laju pertumbuhan dalam ekonomi. Semakin tinggi output gap, laju pertumbuhan ekonomi dapat lebih tinggi akan tetapi akan dibarengi dengan laju inflasi yang lebih tinggi pula. Bank Indonesia harus menentukan seberapa jauh output gap tersebut akan diperkecil untuk menentukan imbangan antara sasaran laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi yang dianggap paling “optimal”.
Beberapa pendapat mengemukan perlunya Bank Indonesia lebih memfokuskan pada pencapaian satu sasaran yang diprioritaskan yaitu laju inflasi. Bank-bank sentral di berbagai negara seperti Kanada, Selandia Baru dan Australia juga telah mengarah pada pencapaian sasaran tunggal seperti ini. Bahkan Stanley Fischer (1994), Deputy Managing Director IMF, juga menyatakan bahwa pengendalian inflasi perlu menjadi target utama kebijakan moneter bank sentral manapun di dunia. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya dapat berpengaruh terhadap laju inflasi, meskipun dalam jangka pendek mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Guitan, 1994a). Selain itu, pencapaian sasaran tunggal tersebut tidak saja dapat menghilangkan trade-off antara sasaran-sasaran yang hendak dicapai akan tetapi juga dapat meningkatkan accountability dan credibility dari bank sentral yang bersangkutan. Pendapat demikian dapat saja diterapkan untuk Indonesia. Dalam konteks pemodelan ekonomi, pencapaian sasaran tunggal laju inflasi dapat direfleksikan sebagai pengendalian permintaan aggregat untuk mengurangi output gap sekecil mungkin sesuai dengan sasaran laju inflasi yang ditetapkan. Dengan kata lain, Bank Indonesia tidak perlu lagi mempertanyakan imbangan antara laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi yang dianggap “optimal” dalam melaksanakan kebijakan moneternya.
Bagaimana dengan sasaran kemantapan neraca pembayaran? Kebijakan moneter memang dapat mempengaruhi perkembangan neraca pembayaran melalui pengendalian permintaan aggregat. Akan tetapi nampaknya kebijakan moneter tidak lagi dapat difokuskan pada sasaran ini. Seperti telah dikemukakan, dalam sistim nilai tukar fleksibel kebijakan nilai tukar tidak lagi dapat diharapkan untuk meningkatkan kinerja ekspor. Selain itu, meskipun dapat mempengaruhi permintaan aggregat, kebijakan moneter akan menjadi sulit apabila diarahkan pula untuk mempengaruhi komposisi yang “optimal” antara permintaan domestik dan sektor eksternal dari permintaan aggregat tersebut.
Sasaran Antara
Tercapainya sasaran akhir laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi tersebut akan sangat tergantung pada kemampuan Bank Indonesia dalam mempengaruhi permintaan aggregat baik konsumsi, investasi maupun transaksi berjalan. Untuk maksud ini Bank Indonesia dapat menggunakan model ekonomi makro yang telah ada (seperti MODBI) untuk memprakirakan seberapa besar permintaan aggregat yang dianggap aman sesuai dengan sasaran laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Sasaran tersebut diperlukan untuk dipergunakan sebagai acuan dalam memprakirakan besarnya demand pressures atau output gap yang dapat ditolerir dan perlu dikendalikan melalui kebijakan moneter yang dilakukan.
Langkah selanjutnya adalah merumuskan suatu indikator yang dapat dipergunakan sebagai sasaran antara dalam pengendalian permintaan aggregat tersebut. Dalam hubungan ini, Indikator Kondisi Moneter (IKM) yang ditempuh oleh Kanada, Selandia Baru dan Australia kiranya dapat digunakan sebagai acuan dalam penerapannya di Indonesia. IKM pada dasarnya mengukur pengaruh suku bunga dan nilai tukar terhadap aggregate demand pressures yang dicerminkan pada besarnya output gap sebagai berikut:
IKM (v) = [ ( suku bunga (t) - suku bunga (base) ) + ( REER (t) - REER (base) ) ] * 100
dimana IKM (v) mencerminkan aggregate demand pressures, t menunjukkan periode sekarang, base adalah periode dasar, dan angka 100 untuk menunjukkan indeks. Suku bunga yang berpengaruh pada permintaan aggregat pada umumnya adalah suku bunga menengah-panjang. Untuk Indonesia, suku bunga deposito atau suku bunga kredit dapat dipergunakan sebagai proksi mengingat tidak adanya suku bunga menengah-panjang. REER adalah real effective exchange rate.
Parameter a dan b diperoleh melalui penaksiran fungsi permintaan aggregat dengan variabel suku bunga dan REER sebagai variabel bebas. Dengan demikian suatu rasio IKM yang dicerminkan dengan a/b menunjukkan seberapa kuatnya pengaruh suku bunga terhadap permintaan aggregat relatif terhadap pengaruh REER. Di Selandia Baru rasio IKM adalah ½ sehingga menunjukkan bahwa 1% pengaruh kenaikan suku bunga sama dengan 2% apresiasi nilai tukar dalam mempengaruhi permintaan aggregat (Huxford dan Reddell, 1996). Dengan kata lain, agar permintaan aggregat tidak mengalami perubahan maka kenaikan suku bunga sebesar 1% harus diimbangi dengan depresiasi nilai tukar sebesar 2%. Semakin rendah rasio IKM berarti bahwa untuk mempengaruhi permintaan aggregate diperlukan fluktuasi nilai tukar yang lebih besar. Kanada, misalnya, mempunyai rasio IKM sebesar 1/3 sehingga kenaikan suku bunga 1% yang diimbangi dengan depresiasi nilai tukar sebesar 3% akan tidak banyak mempengaruhi permintaan aggregat (Freedman, 1994). Karena IKM dinyatakan dalam perubahan relatif terhadap periode dasar maka perkembangan IKM dari waktu ke waktu menunjukkan semakin besar tidaknya aggregate demand pressures. Kenaikan IKM menggambarkan semakin besarnya pengaruh suku bunga dan nilai tukar dalam mengurangi tekanan permintaan aggregat tersebut. Dengan kata lain, gerakan IKM menunjukkan ketat tidaknya stance dari kebijakan moneter yang ditem puh. Apabila Bank Indonesia ingin mengetatkan pengendalian moneter untuk mengantisipasi tekanan permintaan aggregat yang semakin besar maka IKM diupayakan untuk dapat ditingkatkan dari waktu ke waktu.
Dalam kondisi perekonomian dan sektor keuangan kita yang semakin kompleks, Bank Indonesia hendaknya tidak mengandalkan satu indikator seperti IKM saja untuk mengarahkan manajemen moneter dalam mencapai sasaran akhir yang diinginkan. Berbagai variabel lain perlu dipergunakan sebagai variabel indikator ataupun variabel informasi dalam rangka lebih memahami perkembangan perekonomian dan arahnya ke depan. Dalam hubungan ini, pertumbuhan uang beredar (M1 dan M2) dan kredit dapat dipergunakan untuk menunjukkan tekanan permintaan aggregat di masa mendatang. Perkembangan harga saham dan harga properti juga dapat digunakan sebagai indikator mengenai besarnya tekanan inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga asset (asset price inflation). Informasi lain seperti hasil survei kegiatan usaha, survei konsumsi dan survei-survei yang lain dapat pula digunakan Bank Indonesia dalam rangka semakin memahami gerakan ekonomi dimaksud. Berbagai variabel indikator tersebut dapat dikelompokkan sebagai prompt indicators, yaitu indikator yang dapat dipergunakan sebagai deteksi dini perkembangan ekonomi terkini, dan leading indicators, yaitu indikator yang dapat menunjukkan arah perkembangan ekonomi di masa mendatang. Kesemua ini pada dasarnya merupakan cerminan dari pendekatan eklektik dalam manajemen moneter di Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas.
Sasaran Operasional
Pemilihan variabel yang dijadikan sebagai sasaran operasional dalam rangka mengarahkan gerakan IKM sebagai sasaran antara tersebut merupakan keputusan selanjutnya yang perlu dilakukan. Dalam hal ini, suku bunga PUAB, suku bunga SBI, atau tingkat diskonto SBPU merupakan tiga pilihan suku bunga jangka pendek yang dapat digunakan sebagai sasaran operasional. Pemilihannya didasarkan pada setidaknya dua pertimbangan. Pertama, seberapa cepat perubahan masing-masing suku bunga jangka pendek tersebut ditransmisikan ke perubahan suku bunga deposito atau kredit dan perubahan nilai tukar. Kedua, seberapa jauh suku bunga jangka pendek tersebut dapat dipengaruhi oleh instrumen kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia.
Ketiga jenis suku bunga jangka pendek tersebut mempunyai kelebihan sekaligus kekurangan masing-masing. Suku bunga SBI dan tingkat diskonto SBPU mempunyai kelebihan karena dapat dikendalikan oleh Bank Indonesia. Bahkan kedua suku bunga ini dapat sekaligus menjadi instrumen dan sasaran operasional kebijakan moneter. Perbedaannya terletak pada pandangan perbankan bahwa SBI sebagai alternatif investasi, sementara SBPU sebagai alternatif pendanaan. Karena itu tingkat diskonto SBPU sering diyakini lebih dekat hubungannya dengan suku bunga deposito dan kredit. Bagaimanapun juga penelitian yang lebih mendalam diperlukan untuk mengetahui kecepatan perubahan kedua suku bunga jangka pendek tersebut ditransmisikan ke suku bunga deposito atau kredit dan nilai tukar Rupiah.
Sementara itu, suku bunga PUAB mempunyai kelebihan karena lebih menggambarkan kondisi pasar uang sebagai salah satu alternatif pendanaan dan penanaman jangka pendek perbankan. Karena langsung mempengaruhi return dan risk perbankan maka perubahan suku bunga ini diperkirakan lebih cepat ditransmisikan ke suku bunga deposito atau kredit. Selain itu, PUAB sering pula dipergunakan sebagai alternatif sumber pendanaan bagi transaksi di pasar valuta asing karena eratnya keterkaitan antara kedua pasar uang ini. Dengan demikian diperkirakan perubahan suku bunga PUAB lebih cepat pula ditransmisikan ke pergerakan nilai tukar Rupiah.
Penelitian yang pernah dilakukan di Bank Indonesia menunjukkan bahwa penentuan suku bunga di Indonesia melalui jalur yaitu: suku bunga SBI ® suku bunga PUAB ® suku bunga deposito ® suku bunga kredit (Bond dan Kurniati, 1994). Apabila hasil penelitian ini dapat diterima, maka suku bunga PUAB dapat dipergunakan sebagai sasaran operasional sementara suku bunga SBI dan tingkat diskonto SBPU sebagai acuan dalam penggunaan instrumen kebijakan moneter. Tentunya penelitian dan pengkajian yang lebih seksama perlu dilakukan untuk menentukan suku bunga jangka pendek mana yang akan dipilih sebagai sasaran operasional.
Instrumen Kebijakan
Instrumen yang dipergunakan dalam manajemen moneter pada dasarnya sama dengan yang ada selama ini, yaitu: Operasi Pasar Terbuka (OPT), reserve requirement, fasilitas diskonto, dan moral suasion. Demikian pula titik berat pengelolaan moneter tetap pada penggunaan OPT sebagai instrumen utama. Perbedaannya adalah pada arah dari penggunaan instrumen manajemen moneter dimaksud. Kalau selama ini instrumen tersebut lebih diarahkan untuk mencapai sasaran uang primer (M0) pada tingkat tertentu, dalam sistim yang baru instrumen tersebut perlu lebih difokuskan pada pencapaian sasaran suku bunga jangka pendek yang diinginkan.
Perbedaan arah dari penggunaan instrumen tersebut tentu saja mempunyai implikasi pada implementasi manajemen moneter. Lelang SBI tidak lagi menitikberatkan pada kuantitas SBI yang diperlukan untuk mencapai sasaran uang primer yang ditetapkan dengan suku bunga SBI sebagai pertimbangan kedua. Dalam sistim yang baru lelang SBI lebih diarahkan untuk mencapai sasaran suku bunga SBI yang diinginkan dengan kuantitas SBI sebagai pertimbangan kedua. Suku bunga SBI yang ingin dicapai tersebut tentunya disesuaikan dengan tingkat atau kisaran suku bunga PUAB sebagai sasaran operasional atau, dalam hal suku bunga SBI sekaligus sebagai sasaran operasional, dengan tingkat IKM yang diinginkan sebagai sasaran antara.
* Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)
Adalah kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi perekonomian melalui pengeluaran (spending) dan perpajakan (taxation) atau kombinasi keduanya.
Fungsi Kebijakan Fskal :
1) Fungsi Alokasi
Yaitu untuk mengalokasikan faktor-faktor produksi yang tersedia dalam perekonomian sedemikian rupa sehingga kebutuhan masyarakat terhadap public goods dapat terpenuhi.
2) Fungsi Distribusi
Yaitu untuk terselenggaranya pembagian pendapatan nasional yang adil.
3) Fungsi Stabilisasi
Yaitu bertujuan untuk terpeliharanya tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat harga-harga yang relatif stabil dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup memadai.
Pengeluaran pemerintah (spending) dapat dibedakan menjadi :
1) Pengeluaran Belanja Pemerintah
Yaitu semua pengeluaran pemerintah dimana pemerintah secara langsung menerima balas jasa atas pengeluaran tersebut
Contoh : pembayaran gaji pegawai negeri, pembelian barang-barang dan jasa, dll.
2) Transfer Pemerintah
Yaitu pengeluaran pemerintah dimana pemerintah tidak menerima balas jasa secara langsung atas pengeluaran tersebut.
Contoh : sumbangan bencana alam, pembayaran pensiun, pemberian beasiswa, dll.
Dalam kebijakan fiskal ini penerimaan pemerintah diasumsikan berasal dari pajak yang dipungutnya. Pajak adalah uang atau daya beli yang diserahkan oleh masyarakat kepada pemerintah dan dengan penyerahan tersebut masyarakat tidak menerima balas jasa langsung dari pemerintah.
Kebijakan fiskal secara garis besar dapat dibedakan menjadi :
1) Kebijakan Fiskal Defisit
Adalah kebijakan fiskal dimana pengeluaran pemerintah melebihi penerimaannya.
2) Kebijakan Fiskal Surplus
Adalah kebijakan fiskal dimana pengeluaran pemerintah lebih kecil dari penerimaannya.
3) Kebijakan Fiskal Berimbang
Adalah kebijakan fiskal dimana pengeluaran pemerintah sama dengan penerimaannya.
• Tingkat Kegiatan Ekonomi dan Kebijakan Fiskal
1. Perekonomian dalam kondisi under employment (resesi)
Jika perekonomian dalam kondisi under employment (resesi) yang berarti dalam perekonomian banyak faktor produksi yang menganggur, permintaan masyarakat terhadap barang-barang dan jasa mengalami kelesuan sehingga pendapatan nasional yang sebenarnya terjadi (Yaktual) lebih kecil dari pendapatan nasional yang seharusnya terjadi (pengerjaan tenaga kerja penuh / YFE)
Adanya deflationary gap (celah deflasi) menunjukan bahwa kegiatan ekonomi belum mencapai potensinya yang maksimal dan masih banyak terjadi pengangguran. Untuk menghilangkan/mengatasi deflationary gap dan pengangguran tersebut. Pemerintah dapat mengambil kebijakan fiskal defisit melalui kenaikan anggaran belanja pemerintah atau pengangguran pajak atau kombinasi keduanya.
Jika anggaran belanja pemerintah (G) dinaikan maka pendapatan nasional (Y) yang ada juga akan ikut mengalami kenaikan, sebab Y = C + l + G + (X – M). Penambahan pengeluaran belanja pemerintah ini harus dilanjutkan hingga Yaktual menjadi/mendekati YFE deflationary akan hilang / berkurang ekonomi mengalami penyehatan (recovery).
Bila yang dilakukan pemerintah adalah pengurangan pajak maka dengan adanya pengurangan pajak ini pendapatan disposable masyarakat akan naik. Kenaikan pendapatan tersebut akan mendorong naiknya pengeluaran konsumsi yang selanjutnya akan menaikan tingkat pendapatan nasional. Sehingga Yaktual akan meningkat menjadi/mendekati YFE dan selanjutnya akan terjadi penyehatan ekonomi.
2. Perekonomian dalam kondisi over-employment (inflasi)
Kondisi perekonomian yang overemployment menunjukan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa terus meningkat meskipun perusahaan sudah beroperasi pada kapasitas penuh dan para pekerja / buruh telah bekerja lembur. Adanya kelebihan permintaan yang melampaui kapasitas perekonomian untuk melayaninya akan mengakibatkan terjadinya inflasi dalam perekonomian. Untuk mengatasi masalah tersebut kebijakan fiskal yang dapat digunakan oleh pemerintah adalah kebijakan fiskal surplus sbb:
AD akan turun di ADaktual menjadi ADFE dan Yaktual menjadi YFE celah inflasi akan hilang inflasi berkurang harga-harga stabil kembali.
FISKAL VS MONETER KEBIJAKAN MANA YANG LEBIH EFFEKTIF ?
Pemerintah baru saja mengumumkan rencana perubahan defisit APBN 2009 dari 1,0% terhadap PDB menjadi 2,5% terhadap PDB. Pada kesempatan yang sama Pemerintah juga menjelaskan perubahan defisit tersebut dikarenakan perubahan sejumlah asumsi makro dalam perhitungan APBN 2009 terkait dengan dampak krisis keuangan global. Perubahan sejumlah asumsi makro yang dimaksud antara lain penurunan target pertumbuhan ekonomi dari 6% menjadi 5%, penurunan harga minyak mentah Indoensia (ICP) dari 80 dollar AS per barrel menjadi 45 dollar AS per barrel. Sementara asumsi lifting minyak 960.000 barrel per hari, inflasi sebesar 6,2% dan suku bunga SBI 3 bulan sebesar 7,5%. Rencananya perubahan APBN 2009 tersebut akan kembali dibahas dengan DPR pada akhir bulan Januari 2009.
Akibat perubahan beberapa asumsi makro tersebut, penerimaan negara diperkirakan akan mengalami penurunan sebanyak Rp 128 triliun, sementara belanja negara tetap sebesar Rp Rp322,3 triliun sehingga defisit anggaran naik menjadi Rp80,8 triliun atau 2,5% terhadap PDB. Dalam kesempatan yang sama Pemerintah juga menjelaskan bahwa penurunan penerimaan itu disebabkan karena penerimaan pajak turun Rp54 triliun, PNBP turun menjadi Rp184,9 triliun. Lebih lanjut Pemerintah juga mengumandangkan rencana penguatan pada sektor usaha dan masyarakat yang terimbas dampak krisis melalui pemberian stimulus fiskal sebesar Rp15 triliun dan akan dialokasikan untuk memberikan subsidi dalam bentuk bea masuk maupun PPN DTP.
Dari sisi moneter, Bank Indonesia juga seirama dengan Pemerintah di dalam pemberian beberapa bantalan-bantalan penangkal dampak krisis keuangan global melalui beberapa paket kebijakan secara sepihak(moneter saja) ataupun kebijakan yang bersama-sama dengan Pemerintah. Kebijakan yang paling dinantikan oleh sektor riil tentu saja kebijakan yang mampu menurunkan tingkat suku bunga kredit sebagai stimulus utama penggerak lajunya dunia usaha.
Dari penjelasan diatas, kemudian muncul pertanyaan sebetulnya kebijakan apakah yang paling menentukan bagi suatu negara? Apakah kebijakan moneternya ataupun fiskalnya? Apakah kebijakan moneter harus lebih mendominasi atau justru kebijakan fiskalnya yang lebih berperan? Atau justru kedua-duanya harus berjalan seiring?
Kemudian faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar bahwa kebijakan moneter akan lebih efektif dibandingkan kebijakan fiskal ataupun sebaliknya ?
Semua pelajar ekonomi pasti mengetahui masalah keseimbangan ekonomi. Hal yang sama juga dipahami mengenai luas kecilnya skala perekonomian sebagai dasar analisis utama. Ketika perekonomian masih dalam kondisi awal, kegiatan ekonomi hanya terdiri dari kegiatan konsumsi, investasi dan pemerintah (C,I,G). Ketika muncul peran hubungan luar negeri, perekonomian kemudian berkembang menjadi kegiatan konsumsi, inevstasi, pemerintah dan luar negeri( C,I,G,(X-I) ). Perekonomian negara yang sudah memasukkan unsur hubungan luar negeri tentu membawa konsekuensi munculnya sistem aliran devisa negara serta sistem nilai tukar mata uang antar negara.
Berbicara mengenai perekonomian secara luas, kita semua pasti mengetahui sebuah nama Mundell Flemming. Ekonom inilah yang kemudian memodifikasi bentuk analisa IS-LM yang sederhana dengan memasukkan unsur Balance of Payment (BOP) sehingga analisanya menjadi lebih kompleks. Dari hasil analisa IS-LM-BOP inilah nantinya dapat dijadikan dasar penentuan apakah kebijakan fiskal atau moneter yang lebih berperan bagi perekonomian suatau negara, berdasarkan sistem nilai tukar negara maupun sistem aliran devisa negara.
o Kebijakan Fiskal Pada Fixed Exchange Rate
Sebagai contoh ilustrasi ekonomi berada pada kondisi awal di titik A dengan tingkat suku bunga domestik (r) sama dengan tingkat suku bunga luar negeri (rf). Karena kondisinya sedang krisis, sektor swasta tidak tumbuh sebagaimana mestinya dan sektor pemerintah lah yang memegang peranan dalam bentuk peningkatan spending government
nya(G). Kenaikan government spending (G) akan mengakibatkan kurva IS bergerak ke kanan menuju IS1 sehingga ada dorongan bagi perekonomian untuk bergeser menuju titik
B sebagai titik keseimbangan baru. Pergeseran dari titik A menuju B tersebut akan menyebabkan kenaikan pada tingkat suku bunga domestik menjadi r1. Kenaikan tingkat suku bunga ke r1 menyebabkan terjadinya aliran modal masuk bertambah (capital inflow)
yang mengindikasikan adanya kenaikan permintaan terhadap Rupiah. Hal tersebut juga dapat diartikan tingkat suku bunga domestik lebih tinggi daripada tingkat suku bunga internasional sehingga orang tertarik untuk menabung di domestik. Naiknya demand terhadap Rupiah menyebabkan pemerintah harus menambah supply dari Rupiah (karena kurs tetap maka kurs tidak akan disesuaikan). Adanya kenaikan penawaran terhadap Rupiah inilah yang menyebabkan ekspor mengalami penurunan dan impor justru meningkat pesat.
Peningkatan dari supply Rupiah menyebabkan kurva LM bergerak menuju LM1 yang artinya kurva LM mengalami penurunan. Keseimbangan ekonomi kembali berpindah menuju titik C dengan tingkat pendatan naik dari Y menuju Y2. Kenaikan tingkat pendapatan inilah yang menjadi barometer kesuksesan kebijakan fiskal pada kondisi fixed exchange rate.
o Kebijakan Moneter Pada Fixed Exchange Rate
Dengan ilustrasi yang sama kita dapat menjelaskan jalannya perekonomian pada kondisi krisis dengan kebijakan moneter di dalamnya. Perekonomian diumpamakan berada pada kondisi keseimbangan awal di titik A dengan IS0-LM0. Perubahan yang terjadi pada fixed exchange rate juga sama di sini hingga terjadinya kenaikan penawaran Rupiah. Adanya peningkatan penawaran Rupiah akan menyebabkan bergeraknya LM ke LM1 sehingga perekonomian berpindah dari titik A menuju B.
Perpindahan kondisi perekonomian dari A menuju B menyebabkan penurunan pada tingkat bunga dari r ke r1 sehingga terjadi aliran modal keluar (capital outflow) akibat rendahnya tingkat suku bunga domestik dibandingkan suku bunga internasional. Meningkatnya capital outflow ini akan menyebabkan terjadinya kenaikan permintaah valuta asing. Peningkatan permintaan valuta asing di satu sisi menyebabkan terjadinya penurunan penawaran Rupiah sebagai substitusi valuta sing. Pengurangan penawaran Rupiah sama saja artinya dengan penurunan kurva LM sehingga kurva LM kembali bergerak dari LM1 ke LM0 dan keseimbangan kembali berpindah dari B menuju A. Keseimbangan ini biasanya tidak permanen dan hanya terjadi pada periode jangka pendek sehingga dapat disimpulkan pada negara dengan kebijakan fixed exchange rate, kebijakan moneter tidak efektif dibandingkan kebijakan fiskal.
o Kebijakan Fiskal Pada Flexible Exchange Rate
Adanya kebijakan fiskal dalam arti terjadinya kenaikan government spending (fiskal ekspansif) akan menggerakkan kurva IS ke kanan atau berpindah dari IS0 menuju IS1. Akibatnya suku bunga domestik mengalami kenaikan dan terjadi capital inflow dari dunia internasional. Dengan kebijakan kurs yang flexible maka kenaikan permintaan terhadap Rupiah akan memungkinkan perubahan kurs yang menyebabkan harga tukar Rupiah meningkat (apresiasi Rupiah).
Efek dari apresiasi Rupiah terhadap perdagangan Indonesia cukup merugikan, sebab secara relatif harga komoditi Indonesia lebih mahal dalam valuta asing sehingga mengurangi permintaan ekspor kita serta meningkatkan permintaan impor. Akibatnya apresiasi Rupiah akan kembali menurunkan kurva IS ke kiri dan menurunkan keseimbangan ekonomi dari titik B kembali ke titik A dalam jangka panjang. Jadi dapat disimpulkan pada negara dengan kebijakan flexible exchange rate, kebijakan fiskal tidak efektif dibandingkan kebijakan moneter.
o Kebijakan Moneter Pada Flexible Exchange Rate
Kebijakan moneter yang ekspansif akan menyebabkan kenaikan kurva LM sehingga bergeser dari LM0 menuju LM1. Akibatnya tingkat suku bunga domestik turun dan terjadinya capital outflow ke luar negeri. Dalam kondisi flexible exchange rate maka capital outflow akan menaikkan permintaan valuta asing sehingga harga valuta asing naik atau dengan kata lain terjadi depresiasi Rupiah. Depresiasi Rupiah akan menaikkan neraca perdagangan Indonesia dan kurva IS bergeser ke kanan (IS0-IS1). Keseimbangan akhir berada pada titik C dengan tingkat pendapatan sebesar Y1. Karenanya dapat disimpulkan kebijakan moneter justru sangat efektif untuk diterapkan di suatu negara yang menganut sistem nilai tukar yang flexible.
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan mengenai efektivitas kebijakan fiskal dan moneter di suatu negara ditentukan oleh sistem nilai tukar negaranya serta sistem aliran devisa luar negeri. Pada suatu negara yang menganut sistem fixed exchange rate dan sistem aliran devisa terkendali, kebijakan fiskal efektif meningkatkan pendapatan nasional dibandingkan kebijakan moneter. Sementara di negara lain yang menganut sistem nilai tukar yang flexibel serta aliran valuta asing yang bebas, kebijakan moneter akan lebih efektif mengendalikan perekonomian dibandingksn kebijakan fiskal.
Konsep Islam antara satu dengan yang lainnya saling terkait erat. Oleh karena itu, segala konsep yang diajarkan dalam Islam tidaklah dapat diterapkan secara parsial.
Konsep Islam perlu dan harus diterapkan secara kaffah (totalitas). Mana mungkin syariah Islam diterapkan dimana kepemimpinan politiknya berada dalam kungkungan demokrasi Kapitalisme, padahal syariah Islam mengutuk demokrasi??? Dalam konteks ini, mana mungkin kebijakan moneter berbasis syariah dijalankan oleh orang-orang yang menghamba kepada hukum thagut dan antek-antek barat???
Oleh karena itu, kebijakan moneter berbasis syariah yang telah penulis paparkan di atas hanya bisa diterapkan dan dijalankan oleh kepemimpinan yang juga sesuai dengan syariah, yakni Daulah Khilafah Rasyidah.
DAFTAR PUSTAKA
Sarwono, Hartadi A., Mencari Paradigma Baru Mekanisme Transmisi Sistem Pengendalian Moneter: Suatu Studi Kemungkinan Penerapannya, Makalah SESPIBI XXI, 1996.
Aliminsyah dan Padji, Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan, cet. II, Bandung: Yrama Widya, 2006.
N. Rothbard, Murray, What has Government Done to Our Money? (Apa yang Dilakukan Pemerintah Terhadap Uang Kita?), cet I, Jakarta: Granit, 2007
Hasan, Ahmad, Al Auraq Al Naqdiyah Fi Al- Iqtishad Al Islamy (Qimatuha wa Ahkamuha) (Mata Uang Islami: Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami), Jakarta: Rajawali Pers, 2005
Yusanto, Ismail, Analisis Keuangan Bank Muamalat Indonesia Pada Periode Krisis Ekonomi Tahun 1998 – 1999, Jakarta: Program Pascasarjan Sekolah Tinggi Ekonomi IPWI, 2000.
Pohan, Aulia, Potret Kebijakan Moneter Indonesia, cet. I , Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Abdullah, Muhammad Husain, Dirasat Fi al Fikri al Islami (Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam), cet. I, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002.
Al Haritsi, Jaribah bin Ahmad, Al Fiqh Al Iqtishadi Li Amiril Mukminin Umar Ibn Al Khathab (Fikih Ekonomi Umar bin Al Khathab), Cet. I, Jakarta: KHALIFA, 2006.
Agung, Juda, Financial Deregulation and Substitutability of Monetary Assets in Indonesia, Department of Economics, University of Birmingham, 1995.
Bernanke, B., and Blinder, A., “The Federal Funds Rate and the Channels of Monetary Transmission”, NBER Working Paper No.3487., 1992.
Blinder, A., “On the Conceptual Basis of Monetary Policy”, Remarks for the Senior Excecutives Conference of the Mortgage Bankers Association, New York, 1996.
Boediono, “Melihat Kembali Target Moneter Kita : M0, M1, atau M2?”, Catatan Direktur Bidang Moneter, Bank Indonesia, Oktober 1994.
Bond, Timothy J., et al., “Money, Interest Rates, and Inflation”, URES Discussion Paper, Bank Indonesia, Juni 1994.
Djiwandono, Soedradjad J., “Ekonomi Makro dalam Dinamisme Perekonomian Dunia: Tantangan bagi Pendekatan dan Kebijaksanaan Makro”, Pidato Upacara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar