Oleh: Mulya E. Siregar
Reformasi keuangan di Asia pada awal 1980an ternyata hanya memberikan
peningkatan kwantitas bagi lembaga-lembaga keuangan dan kwantitas aliran modal
yang masuk, sedangkan kwalitas lembaga-lembaga keuangan Asia tidak meningkat.
sehingga efisiensi dan stabilitas dari perbankan tidak pernah terealisir. Kelemahan
kwalitas perbankan di Asia dipengaruhi oleh penerapan suku bunga yang gagal
sebagai alat indirect screening mechanism. Selain dari pada itu, penerapan suku bunga
berdampak negatif dalam manajemen moneter. yang pada gilirannya mengakibatkan
kegagalan pencapaian tujuan-tujuan pembangunan ekonomi suatu negara. Oleh karena
itu, manajemen moneter alternatif yang tidak bertumpu pada suku bunga perlu
dipersiapkan, karena hal tersebut dapat me-minimisasi pemanfaatan aggregate money
demand untuk kegiatan-kegiatan yang non -produktif dan spekulatif.
I. Pendahuluan
Krisis keuangan di Asia berawal dari di-devaluasinya baht pada bulan Juli 1997
yang merupakan tantangan yang berat bagi perekonomian dunia di akhir abad ke 20.
Krisis ini membawa kehancuran perekonomian negara-negara Malaysia, Thailand,
Indonesia, Filipina dan Korea Selatan dan menurunnya nilai tukar negara-negara
Singapura, Taiwan, China dan negara lainnya di kawasan ini. Dampak devaluasi baht
dirasakan juga oleh pasar saham di Hongkong dan juga dirasakan oleh stock exchange
centers di Eropah, USA serta Jepang. Suatu perubahan yang demikian cepat dari
fenomena Asian Miracle berubah menjadi Asian Financial Crisis atau Krisis Keuangan
Asia. Bagaimana hal ini dapat terjadi?
Diduga permasalahan mendasar dari krisis keuangan Asia adalah krisis kwalitas
lembaga-lembaga keuangan yang dipengaruhi oleh penerapan suku bunga yang ternyata
gagal berfungsi sebagai alat indirect screeening mechanism. Berbagai literatur yang
ditulis oleh para ekonom seperti Muslehuddin (1974), Qureshi (1979), Kahf (dalam
Khurshid, 1981), Siddiqui (1981), Chapra (1985 dan 1996), Allais (1993), Mills dan
Presley (1997) dan Choudry dan Mirakhor (1997) tidak menyetujui perekonomian yang
bertumpu pada suku bunga karena akan terjadi mis-alokasi resources yang pada
gilirannya cenderung akan mengakibatkan ketidak stabilan ekonomi. Sedangkan Enzler,
Conrad, dan Johnson (dalam Chapra, 1996) menemukan bukti bahwa mis-alokasi capital
stock telah terjadi di Amerika Serikat, negara yang sangat mengagungkan suku bunga
sebagai alat untuk melakukan indirect screening mechanism. Dengan terjadinya misalokasi
dana yang disebabkan oleh suku bunga berpengaruh terhadap pencapaian tujuantujuan
ekonomi suatu negara, yaitu pemenuhan kebutuhan pokok, pertumbuhan ekonomi
yang optimum, pemerataan distribusi pendapatan, dan stabilitas ekonomi. Menurut
Penulis adalah Peneliti Bank Senior, Tim Penelitian & Pengembangan Bank Syariah, DPNP, Bank
Indonesia, namun pendapat penulis dalam makalah ini bukan mencerminkan pendapat lembaga tempat
beliau bekerja.
Email: mulya7@yahoo.com atau msiregar@bi.go.id
1
Chapra (1996) manajemen moneter yang berdasarkan suku bunga tidak akan efektif
dalam mencapai tujuan-tujuan ekonomi tersebut.
Oleh karena itu, pada bagian kedua dari makalah ini akan terfokus pada krisis
keuangan Asia beserta faktor-faktor penyebabnya yang merupakan ilustrasi bagaimana
gagalnya suku bunga sebagai alat indirect screening mechanism. Selanjutnya pada bagian
ketiga akan membahas manajemen moneter alternatif yang diawali dengan pembahasan
dampak negatif suku bunga dalam manajemen moneter. Pada bagian keempat, makalah
ini mencoba membahas kemungkinan penerapan manajemen moneter alternatif di
Indonesia. Akhirnya bagian kelima merupakan penutup dari makalah ini akan
menguraikan kesimpulan dan saran .
II. Krisis Keuangan Asia
Sebelum tahun 1980 financial repression dengan ciri-ciri interest rate ceiling,
credit ceiling, tingginya rasio likuiditas, credit rationing dan dan adanya batasan untuk
masuk dalam pasar keuangan berlangsung di berbagai negara khususnya Asia dan
Amerika Latin. Reformasi keuangan diawal tahun 1980an meningkatkan peran pasar
dalam penentuan suku bunga, alokasi kredit dan skala operasi lembaga-lembaga
keuangan. Selain dari pada itu reformasi keuangan diharapkan meningkatkan efisiensi
dan stabilitas sistem keuangan. Dampak reformasi keuangan tersebut adalah
meningkatnya peluang investasi dan lebih menariknya suku bunga di negara-negara Asia
Timur/Tenggara, yang mengundang masuknya dana kedalam negara-negara tersebut.
Pada saat yang bersamaan di Jepang dan Eropah, pertumbuhan ekonominya melambat
sehingga suku bunga menurun pada awal 1990 dan munculnya lembaga-lembaga
investasi yang mengalokasikan dana pensiun dan reksa dana ke dalam negara-negara
tersebut, sehingga aliran dana masuk semakin deras. Masuknya aliran dana tersebut
sayangnya tidak begitu mempertimbangkan kondisi lembaga keuangan khususnya
perbankan di negara-negara tersebut yang masih berdasarkan sistem manajemen
kekeluargaan dan beroperasi secara tradisionil. Tanpa pertimbangan tersebut, para
international lenders dan investors memiliki persepsi bahwa resiko investasi di Asia
Timur/Tenggara adalah kecil sehingga memberikan rasa aman bagi mereka.
Meningkatnya aliran dana masuk yang salah satunya disebabkan oleh reformasi
keuangan menghasilkan pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Timur/Tenggara yang
memukau diawal tahun 90an, yaitu rata-rata mencapai 7.3% pada 1991-95 dan 7% pada
tahun 1996 (IDB, 1998) bagi negara Indonesia, Malaysia, Thailand, Korea Selatan dan
Filipina. Reformasi juga menghasilkan tabungan yang tinggi bagi kelima negara tersebut
yang tercermin dari tingginya rasio Gross Domestic Saving terhadap PDB yang mencapai
33.9% pada 1991-95 dan 33.3% pada tahun 1996. Selain dari itu, indikator
makroekonomi lainnya menggambarkan betapa kuatnya perekonomian negara-negara
tersebut yang tercermin dari pertumbuhan ekspor yang mencapai lebih dari 10%, tingkat
inflasi yang moderat sekitar 6% dan current account deficit yang berkisar 3% dari PDB
tahun 1991-95.
Selanjutnya pada tahun 1996, ekspor beberapa negara Asia Timur/Tenggara
melambat terutama terjadi pada Malaysia dan Thailand sehingga current account deficitnya
meningkat. Namun keadaan ini dianggap tidak membahayakan karena indikatorindikator
makroekonomi yang cukup baik diperkirakan akan mampu mengatasi
kemungkinan terjadinya krisis yang lebih mendalam. Keyakinan bahwa negara-negara
2
tersebut akan melampaui kesulitan tersebut dengan mulus ternyata menjadi buyar, yaitu
ketika Thailand harus men-devaluasi baht +/- 25% pada tanggal 2 Juli 1997. Thailand
terpaksa melakukan devaluasi karena disaat Thailand sedang berjuang menghadapi
tekanan pada baht, bank-bank Jepang (yang juga mempunyai masalah sendiri) tidak mau
memperpanjang pinjaman-pinjaman jangka pendek yang disalurkan ke Thailand maupun
Korea Selatan. Keadaan inilah yang memperparah kondisi keuangan Thailand yang
memang sudah lemah (karena reformasi yang diharapkan meningkatkan efisiensi dan
stabilitas perbankan tidak terjadi karena manajemen perbankan masih berdasarkan
manajemen kekeluargaan dan beroperasi secara tradisional), yang pada gilirannya
menggiring Thailand men-devaluasi baht. Akibat dari devaluasi tersebut, para lenders
maupun investors memiliki persepsi bahwa apa yang terjadi di Thailand, dapat juga
terjadi di Malaysia atau Indonesia atau negara-negara lain diwilayah Asia
Tenggara/Timur. Persepsi ini lah yang mengakibatkan para international lenders maupun
investors yang diikuti oleh pelaku-pelaku pasar domestik menjadi panik sehingga mereka
melepas mata uang dan saham-saham diwilayah tersebut, yang pada gilirannya
menghancurkan nilai mata uang dan saham-saham tersebut. Kehancuran nilai mata uang
dan saham tersebut dikenal sebagai currency/monetary crisis dan stock market crisis.
Hancurnya nilai mata uang dan saham-saham kelima negara tersebut
mengakibatkan kesulitan bagi sistem keuangan untuk memenuhi kewajibannya. Keadaan
ini mengakibatkan deposan perbankan kehilangan kepercayaan terhadap perbankan
sehingga mereka menarik dana-dana yang ada diperbankan atau dikenal dengan bank run.
Sejarah memperlihatkan bahwa bila financial panic telah terjadi sekuat apapun sistem
perbankan/keuangan yang dilengkapi dengan pencadangan, permodalan yang kuat dan
likuiditas yang cukup tidak akan pernah mampu bertahan. Financial panic tersebut
melahirkan credit crunch, yang pada gilirannya krisis di sektor perbankan atau banking
crisis. Dengan demikian kita mengenal tiga macam krisis, yaitu krisis moneter, krisis
pasar saham dan krisis perbankan. Apakah krisis ini merupakan sumber dari krisis yang
terjadi di Asia atau apakah ini yang dimaksud dengan krisis keuangan Asia atau Asian
financial crisis? Bila dilihat dari kronologis terjadinya ketiga krisis tersebut, dapat
diketahui bahwa ketiga krisis tersebut merupakan akibat dari kepanikan para international
lenders, investors, pelaku-pelaku pasar domestik dan deposan domestik. Perbaikan dan
pembenahan pada bidang moneter, pasar saham dan perbankan harus segera dilakukan,
namun perbaikan tersebut tidak akan cukup untuk memperbaiki perekonomian secara
keseluruhan. Perbaikan ekonomi negara-negara Asia Timur/Tenggara harus dilakukan
pada sumber utama krisis terjadi. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah sumber utama
Asian financial crisis ?
Krisis yang terjadi pada dasarnya adalah bersumber dari kelemahan kwalitas dari
sistem keuangan di Asia. Adanya reformasi keuangan ternyata hanya memberikan
peningkatan kwantitas dari lembaga-lembaga keuangan dan peningkatan kwantitas aliran
modal yang masuk. Reformasi sama sekali tidak meningkatkan kwalitas lembagalembaga
keuangan di Asia sehingga efisiensi dan stabilitas dari perbankan tidak pernah
terealisir, karena lembaga-lembaga tersebut masih beroperasi secara tradisional. Menurut
Delhaise (1998), lembaga-lembaga keuangan Asia tidak pernah dewasa, karena
pertumbuhan ekonomi kelima negara tidak diikuti dengan pertumbuhan sistem keuangan,
sehingga menurutnya Asian financial crisis adalah a crisis of growth. Sedangkan menurut
makalah ini, Asian financial crisis adalah merupakan a quality crisis of Asian financial
institutions. Ada empat kelemahan perbankan Asia yang menyebabkan krisis kwalitas
tersebut, yaitu:
3
1. Perilaku investasi yang bersifat spekulatif yang menjauhkan lembaga-lembaga
keuangan dari perkembangan sektor riil.
2. Perbankan beroperasi seperti lembaga pegadaian yang hanya mementingkan
jaminan/agunan.
3. Sistem manajemen tradisional dan kekeluargaan/kroni dalam mengelola bank
sehingga penyaluran kredit tidak berdasarkan kelayakan proyek.
4. Walaupun telah disadari bahwa perbankan sebaiknya menghindar dari borrowing
short and lending long, namun kegiatan ini terus berlangsung.
Dengan adanya empat kelemahan yang dimiliki oleh perbankan Asia tersebut,
maka dapat dimaklumi pengelolaan aliran dana yang masuk jadi ber-resiko tinggi.
Keempat hal tersebut diatas yang mengakibatkan kesalahan alokasi dana, sehingga dana
tidak disalurkan kepada yang memiliki peluang investasi terbaik, yang pada gilirannya
mengakibatkan meningkatnya kredit macet. Perilaku perbankan yang sedemikian rupa
dapat terjadi di alam perekonomian yang menggunakan suku bunga sebagai alat indirect
screening mechanism.
Dengan suku bunga, diharapkan hanya pengusaha-pengusaha/debitur yang
memiliki peluang investasi terbaik yang akan memperoleh dana. Peluang investasi mana
tidak diperhatikan, apakah di sektor riil atau keuangan dengan segala derivative
instrument-nya. Hal ini lah yang menyuburkan praktek-praktek spekulasi yang
berdampak buruk terhadap perkembangan sektor riil. Maurice Alais (1993) yang
merupakan pemenang nobel pada tahun 1988 berpendapat mengenai sistem pinjaman
yang pada dasarnya membiayai kegiatan spekulasi, yaitu sebagai berikut:
Be it speculation on currencies or speculation on stocks and shares,
the world has become one big casino with gaming tables distributed
along every latitude and longitude. The game and the bids, in which
millions of players take part, never cease. The American quotations
are followed by those from Tokyo and Hongkong, from London,
Frankfurt and Paris. Everywhere speculation is supported by credit
since one can buy without paying and selling without owning.
Selanjutnya dengan suku bunga, perbankan akhirnya hanya mempertimbangkan debitur
yang diperkirakan mampu mengembalikan kredit, namun sayangnya yang diperhatikan
hanyalah yang memiliki jaminan/agunan yang cukup, pertimbangan pada akhirnya bukan
berdasarkan kelayakan proyek. Suku bunga juga dapat mengakibatkan adverse selection,
yaitu pada tingkat tertentu hanya debitur-debitur yang berani mengambil resiko tinggilah
yang tetap dalam pasar kredit dan biasanya debitur-debitur ini adalah debitur bandit yang
memiliki hubungan dengan pengurus/pemilik bank. Akhirnya, selama keadaan
perekonomian stabil, khususnya tidak ada gejolak suku bunga, sejarah telah
memperlihatkan bahwa borrowing short and lending long -- yang menurut Edwards dan
Mishkin (1995) merupakan kegiatan perbankan tradisional -- dapat survive, namun
kehancuran sistem keuangan akan segera berlangsung begitu gejolak terjadi.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa permasalahan mendasar dari krisis
keuangan Asia adalah krisis kwalitas lembaga-lembaga keuangan yang dipengaruhi oleh
penerapan suku bunga yang ternyata gagal berfungsi sebagai alat indirect screeening
mechanism. Selanjutnya perlu juga dikaji dampak negatif suku bunga secara makro,
khususnya dalam manajemen moneter sehingga manajemen moneter alternatif yang tidak
bertumpu pada suku bunga perlu dipersiapkan.
4
III. Manajemen Moneter Alternatif 1
1. Dampak Negatif Suku Bunga Dalam Manajemen Moneter
Dengan di-demonetisasinya emas oleh Amerika Serikat merupakan masa
berakhirnya Bretton Woods system dan merupakan awal mula dari fully-fledged managed
money standard yang sama sekali tidak terkait dengan nilai emas. Dengan sistem
managed money yang berlaku sekarang tidak mengharuskan disiplin moneter yang ketat,
sehingga memungkinkan bagi negara untuk memiliki defisit anggaran. Konsekwensi dari
hal tersebut, sejak berlakunya managed money standard terlihat dua fenomena utama
yang terjadi, yaitu tingginya tingkat inflasi dan tidak stabilnya nilai tukar. Sebagaimana
diketahui uang merupakan alat ukur nilai yang penting dalam kehidupan karena
penurunan nilai riil dari pada uang akan memiliki efek buruk bagi kehidupan sosial
ekonomi dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Stabilitas nilai dari pada mata uang
merupakan prioritas utama dalam kegiatan manajemen moneter, karena stabilitas tersebut
yang tercermin dari stabilitas tingkat harga sangat berpengaruh terhadap realisasi
pencapaian tujuan pembangunan ekonomi suatu negara, seperti pemenuhan kebutuhan
dasar, pemerataan distribusi pendapatan dan kekayaan, tingkat pertumbuhan ekonomi riil
yang optimum, perluasan kesempatan kerja dan stabilitas ekonomi. Sehingga kegiatan
manajemen moneter harus memiliki kontribusi yang positif terhadap pencapaian dari
tujuan-tujuan tersebut diatas.
Manajemen moneter yang berdasarkan suku bunga berpengaruh terhadap
pemenuhan kebutuhan pokok dan pemerataan distribusi pendapatan karena penyaluran
pinjaman dengan suku bunga tertentu ditetapkan berdasarkan kemampuan peminjam
memberikan jaminan kredit guna meng-cover pinjaman yang diberikan dan kecukupan
cash flow untuk memenuhi kewajiban tersebut. Dikarenakan hal tersebut, maka dana akan
mengalir cenderung pada golongan kaya yang umumnya mampu memenuhi syarat j
aminan tersebut. Namun, golongan kaya umumnya memanfaatkan dana tersebut tidak
hanya untuk investasi yang produktif, tetapi juga untuk conspicuous consumption
(konsumsi barang lux, barang yang hanya untuk simbol status dan pengeluaranpengeluaran
yang tidak bermanfaat) dan spekulasi. Hal ini mengakibatkan cepatnya
ekspansi money demand untuk keperluan yang non-produktif dan pengeluaranpengeluaran
yang tidak bermanfaat, yang pada gilirannya memperkecil ketersediaan dana
untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan pembangunan. Keadaan ini akan membuat
golongan miskin semakin sulit memenuhi kebutuhan pokok karena sulitnya golongan ini
memenuhi syarat tersebut di atas dan terlebih lagi dengan semakin berkurangnya dana
untuk kebutuhan pokok tersebut. Penyaluran pinjaman yang sedemikian rupa
mengakibatkan semakin tidak meratanya distribusi pendapatan dan kekayaan.
Pertumbuhan ekonomi juga terpengaruh oleh manajemen moneter yang
berdasarkan suku bunga. Hal ini terjadi karena memungkinkan bagi masyarakat untuk
mengkonsumsi lebih dari pendapatan yang diperolehnya karena meningkatnya konsumsi
masyarakat yang dibiayai oleh pinjaman. Akibat dari pola konsumsi yang sedemikian
rupa menyebabkan turunnya tingkat tabungan masyarakat yang mengakibatkan
meningkatnya suku bunga dan rendahnya tingkat investasi, yang pada gilirannya
menurunkan pertumbuhan ekonomi dan perluasan kerja.
1 Disarikan dari berbagai sumber, khususnya Chapra, M. Umer (1996).
5
Suku bunga juga berpengaruh terhadap ketidak stabilan ekonomi dunia saat ini.
Menurut Friedman (dalam Chapra, 1996): attributed the unprecedentedly erratic behavior
of the US economy to the erratic behavior of interest rates. Tingginya volatilitas dari suku
bunga mengakibatkan tingginya tingkat ketidak pastian (uncertainty) dalam financial
market sehingga investor tidak berani untuk melakukan investasi-investasi jangka
panjang. Akibat dari ketidakpastian ini menggiring borrower maupun lender lebih
mempertimbangkan pinjaman maupun investasi jangka pendek, yang pada gilirannya
membuat investasi-investasi jangka pendek yang berbau spekulasi lebih menarik,
sehingga masyarakat lebih senang mengambil keuntungan pada pasar-pasar komoditi,
saham, valuta asing dan keuangan. Keadaan tersebut membuat pasar-pasar tersebut
semakin aktif dan memanas yang merupakan salah satu penyebab ketidak stabilan
ekonomi dunia saat ini. Berdasarkan survey yang dilaksanakan oleh Bank for
International Settlement (BIS), total turnover perdagangan valuta asing mencapai $1,230
milliar per hari kerj a pada bulan April 1995, yang berbeda j auh dibandingkan turnover
pada bulan April 1989 yang masih $620 milliar per hari kerja. Meningkatnya turnover
terutama disebabkan meningkatnya derivatives contract (futures and options).
Diperkirakan sampai dengan akhir Maret 1995, volume harian sebesar $839 milliar yang
jauh lebih besar dibandingkan volume harian ekspor dan impor yang hanya mencapai
$26.3 milliar. Allais (1993) juga menemukan bahwa speculative cash flow dari negaranegara
G-7 adalah 34 kali dibandingkan flows untuk transaksi perdagangan barang
maupun j asa.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa usaha-usaha mengatur komponen-komponen
money demand atau manajemen moneter melalui suku bunga cenderung memperkecil
money demand untuk kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan pokok dan investasi yang
produktif dan cenderung memperbesar money demand untuk kegiatan-kegiatan yang nonproduktif
dan spekulatif, yang pada gilirannya mengakibatkan kegagalan pencapaian
tujuan-tujuan pembangunan ekonomi suatu negara. Oleh karena money demand untuk
conspicuous consumption dan spekulasi cenderung lebih tidak stabil, keadaan ini dapat
mengakibatkan ketidak stabilan bagi perkonomian secara keseluruhan.
Pada kesempatan ini akan dibahas apakah manajemen moneter alternatif yang
berdasarkan nilai-nilai Islam akan menciptakan stabilitas harga dan perekonomian yang
lebih stabil dan apakah alternatif manajemen moneter akan lebih kondusif sehingga dapat
berkontribusi terhadap pencapaian tujuan-tujuan ekonomi suatu negara. Pembahasan
manajemen moneter alternatif ini meliputi money demand, money supply dan instrumeninstrumen
kebijakan moneter yang berdasarkan nilai-nilai Islam.
2. Money Demand
Sesuai dengan ajaran Islam manajemen moneter yang efisien dan adil tidak
berdasarkan mekanisme suku bunga, melainkan dengan menggunakan strategi yang
berdasarkan tiga instrumen utama. Instrumen yang pertama adalah value judgments yang
dapat menciptakan suasana yang memungkinkan alokasi dan distribusi resources yang
sesuai dengan ajaran Islam. Pada dasarnya resources merupakan amanah dari Allah yang
pemanfaatannya harus efisien dan adil. Berdasarkan nilai-nilai Islam, money demand
harus dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan investasi yang produktif, sama
sekali bukan untuk conspicuous consumption, pengeluaran-pengeluaran non-produktif
dan spekulatif.
6
Instrumen yang kedua adalah kelembagaan yang berkaitan dengan kegiatan
sosial, ekonomi dan politik, yang salah satunya adalah mekanisme harga yang dapat
meningkatkan efisiensi dalam pemanfaatan resources. Walaupun mekanisme harga tidak
menjamin pencapaian tujuan-tujuan ekonomi suatu negara, namun disadari sepenuhnya
bahwa mekanisme harga yang disertai dengan nilai-nilai sistem yang ada dapat
memudahkan pencapaian tujuan.
Selanjutnya instrument yang ketiga adalah financial intermediation yang
berdasarkan sistem profit-and-loss sharing. Dalam sistem ini money demand dialokasikan
dengan syarat hanya untuk proyek-proyek yang bermanfaat dan hanya kepada debitur
yang mampu mengelola proyek secara efisien. Dengan persyaratan seperti itu, diharapkan
dapat meminimisasi money demand untuk pemanfaatan yang tidak berguna, nonproduktif
dan spekulatif. Selain daripada itu, persyaratan tersebut dapat menciptakan
masyarakat yang memiliki entrepreneurship sekalipun diantara golongan miskin,
sedangkan golongan kaya dapat berkontribusi sehingga para entrepreneur tersebut dapat
menghasilkan output, perluasan kesempatan kerja dan pemenuhan kebutuhan dasar.
Persyaratan pemanfaatan money demand yang sedemikian rupa juga berlaku bagi
sektor pemerintah, sehingga kreditor akan mempertimbangkan kelayakan proyek dan
kemampuan pemerintah mengelola proyek tersebut. Dengan persyaratan tersebut,
pemerintah tidak akan dapat memperoleh pembiayaan yang berlebihan yang digunakan
untuk proyek-proyek publik yang tidak menguntungkan. Aplikasi dari persyaratan
tersebut, cenderung dapat menciptakan kesulitan-kesulitan jangka pendek, namun untuk
jangka panjang dapat mengurangi ketidak seimbangan anggaran maupun makro-ekonomi,
serta dapat menciptakan kondisi perekonomian yang lebih baik.
Oleh karena konsumsi untuk kebutuhan pokok dan investasi yang produktif
cenderung lebih stabil dibandingkan konsumsi yang tidak bermanfaat dan investasi yang
spekulatif, maka pemanfaatan money demand untuk hal-hal yang disebutkan terdahulu
akan lebih stabil dalam perekonomian Islam. Selain dari pada itu profit-sharing ratio
antara pemakai dana dan penyedia dana tidak akan berfluktuasi seperti suku bunga,
karena hal tersebut ditentukan berdasarkan prinsip keadilan dan sekali ratio tersebut
ditetapkan tidak akan berubah selama periode pembiayaan. Dengan demikian bisnis akan
berjalan berdasarkan faktor-faktor yang tidak banyak mengalami perubahan sehingga
ekspektasi profit juga tidak akan berfluktuasi secara tajam. Maka financial intermediation
yang berdasarkan equity sharing cenderung akan lebih kondusif dalam menciptakan
stabilitas perekonomian dibandingkan dengan financial intermediation yang berdasarkan
pinj aman.
Dengan berbagai elemen sistem ekonomi Islam tidak hanya dapat meminimisasi
ketidak stabilan permintaan uang agregat, tetapi juga mempengaruhi berbagai komponen
money demand yang pada gilirannya akan meningkatkan efisiensi dan pemerataan
penggunaan dana. Dengan lebih stabilnya money demand di dalam perekonomian Islam
akan menciptakan tingkat stabilitas yang lebih baik bagi velocity of circulation of money.
Money demand dalam perekonomian Islam tercermin dalam equation sebagai berikut:
Md = f(Ys, S, )
dimana Ys merupakan barang dan jasa yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
dasar dan investasi produktif yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, S merupakan nilai-nilai
moral dan sosial dan kelembagaan (termasuk zakat) yang mempengaruhi alokasi dan
distribusi resources yang tidak digunakan untuk konsumsi yang tidak bermanfaat,
7
investasi yang tidak produktif dan juga tidak untuk motif-motif spekulasi dan adalah
profit-and-loss sharing.
Umumnya termasuk di beberapa negara-negara Islam, Y merupakan output yang
termasuk untuk pemenuhan konsumsi yang tidak bermanfaat dan investasi yang nonproduktif.
Sedangkan karakteristik Ys, merupakan sesuatu yang normatif yang belum
mencerminkan sesuatu kenyataan yang berlaku saat ini, namun bukan sesuatu hal yang
tidak mungkin untuk dicapai. Selanjutnya S merupakan nilai-nilai dan kelembagaan yang
kompleks yang tidak harus dapat dikuantifikasi. Hal penting yang harus diperhatikan
adalah aktualisasi pencapaian tujuan-tujuan dimana Y harus dibersihkan dari hal-hal yang
bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan unsur-unsur yang dapat mengagalkan
pencapaian tujuan ekonomi. Selain dari pada itu, penting pula diperhatikan bahwa dengan
adanya nilai-nilai dan kelembagaan tersebut maka tidak ada alasan untuk menggunakan
suku bunga yang pada dasarnya telah terbukti tidak efektif dalam mempengaruhi money
demand.
3. Money Supply
Ketika money demand selalu dikaitkan dengan kesejahteraan masyarakat dan
pembangunan, diharapkan money demand akan stabil. Selanjutnya, perlu diperhatikan
bagaimana menggiring aggregate money supply bertemu dengan money demand sehingga
terjadi equilibrium. Hal ini penting untuk diperhatikan karena dua instrument utama
dalam manajemen moneter sistem kapitalis, yaitu discount rate dan operasi pasar terbuka
yang mengandung suku bunga tidak dapat dipakai dalam ekonomi Islam. Selanjutnya,
yang perlu juga diperhatikan adalah bagaimana mengalokasikan money supply sehingga
pencapaian tujuan-tujuan ekonomi dapat berlangsung dengan baik.
Didalam mencapai pertumbuhan money supply yang sesuai target, diperlukan
instrument-instrument yang digunakan oleh bank sentral untuk menciptakan keselarasan
antara pertumbuhan money supply yang ditargetkan dan yang aktual terjadi. Oleh karena
dekatnya hubungan antara pertumbuhan kredit dengan pertumbuhan M0 atau highpowered
money, maka bank sentral berkewajiban untuk mengatur dengan ketat
pertumbuhan M0.
Terdapat tiga sumber utama dari high-powered money, yaitu pinjaman pemerintah
kepada bank sentral, kredit bank sentral kepada bank komersial dan surplus neraca
pembayaran. Setelah perang dunia kedua, sumber pertama merupakan yang terbesar bagi
high-powered money karena besarnya defisit anggaran pemerintah. Berlebihnya defisit
pada anggaran pemerintah mengakibatkan beban yang sangat berat bagi sektor moneter
untuk menj aga stabilitas serta kebij akan moneter yang sehat sangat sulit diciptakan.
Ekspansi moneter hanya dapat dikontrol bila sumber utama dari high-powered money
dapat diatur dengan baik. Merupakan suatu hal yang tidak realistik bagi negara Islam
membicarakan meng-Islamkan perekonomiannya tanpa ada usaha serius untuk mengatur
defisit anggaran pemerintah yang sesuai dengan azas manfaat.
Selanjutnya, dimungkinkan bagi bank sentral untuk mengendalikan penyaluran
kredit kepada bank-bank komersial. Penerapan profit-and-loss sharing yang
menggantikan suku bunga akan lebih dapat meningkatkan kemampuan bank sentral untuk
mengendalikan penyaluran pinjaman tersebut. Penyaluran pinjaman oleh bank sentral
kepada bank komersial bisa dalam bentuk mudarabah (ber-bagi hasil), yang berarti bank
8
sentral harus lebih berhati-hati dalam menyalurkan pinjaman kepada bank komersial.
Dilain pihak, bank komersial juga harus lebih ber-hati-hati dalam menyalurkan kredit
kepada debiturnya baik sektor pemerintah maupun swasta, guna menghindari
pemanfaatan kredit pada kegiatan-kegiatan spekulasi dan non-produktif. Oleh karena itu,
manajemen perbankan yang konservatif sangat diperlukan, namun tetap menjaga
momentum pertumbuhan ekonomi (Prasetiantono, 1998).
Untuk pengendalian surplus neraca pembayaran, dapat dilakukan dengan
melakukan sterilisasi. Sterilisasi dapat dilaksanakan dengan menggunakan instrument
moneter yang tersedia pada suatu negara.
4. Instrument-instrument kebijakan moneter
Instrument moneter yang dikenal menurut ekonomi Islam adalah dalam bentuk
kontrol kuantitatif pada penyaluran kredit dan instrument yang dapat menjamin alokasi
kredit dapat berlangsung dengan baik pada sektor-sektor yang bermanfaat dan produktif
(Chapra, 1996). Menurut Chapra (1996), instrument kontrol kuantitatif yang umum
berlaku dapat berupa statutory reserve requirements, credit ceilings, government deposits,
common pool, dan moral suasion. Sedangkan instrument untuk alokasi kredit adalah
men-treat uang sebagai fay (kekayaan yang diserahkan oleh musuh tanpa ada
peperangan) dan menerapkan alokasi kredit yang berdasarkan tujuan pemanfaatannya.
Statutory reserve requirement pada sistem ekonomi Islam adalah instrumen yang
sangat penting karena discount rate dan operasi pasar terbuka tidak dapat diterapkan pada
sistem ini. Bank komersial diwajibkan menempatkan sebagian dananya yang berasal dari
demand deposits pada bank sentral sebagai statutory reserve. Reserve requirement ini
hanya berlaku pada demand deposits, sedangkan bagi mudarabah deposit tidak diperlukan
reserve requirement karena mudarabah merupakan penyertaan (equity) dari penabung
pada bank tersebut yang memiliki kemungkinan laba maupun resiko rugi. Dalam sistem
ekonomi yang berlaku saat ini yang diterapkan adalah reserve requirement terhadap total
deposits dikarenakan sulitnya membedakan antara demand dan saving deposits. Dalam
perekonomian Islam akan lebih mudah membedakannya, karena mudarabah deposits
merupakan penyertaan sedangkan demand deposits tidak termasuk dalam penyertaan.
Selain dari pada itu, penerapan reserve requirement terhadap total deposits, tidak hanya
untuk mengatur jumlah penyaluran kredit, tetapi juga untuk menjamin keutuhan deposit
tersebut dan menjamin kecukupan likuiditas sistem perbankan. Padahal sebaiknya kedua
hal tersebut diatur melalui lebih tingginya capital requirement dan penerapan ketentuanketentuan
yang berlaku, seperti tingkat liquidity ratio yang sewajarnya. Hal ini akan
berlangsung dengan baik bila ditunjang dengan sistem pengawasan bank yang baik. Oleh
karena itu, berdasarkan ekonomi Islam lebih baik menerapkan hal-hal tersebut diatas dari
pada membatasi pemanfaatan mudarabah deposits melalui statutory reserve requirement.
Dengan hanya mengandalkan reserve requirement yang dapat memudahkan bank
sentral melakukan penyesuaian pada high-powered money, belum menjamin keberhasilan
manaj emen moneter, karena dapat terj adi ekspansi kredit melampaui dari j umlah yang
ditargetkan. Hal ini terjadi, karena aliran dana yang dapat diperkirakan dengan tepat
masuk dalam sistem perbankan hanya yang berasal dari ber-mudarabahnya bank sentral
dengan bank komersial, sedangkan aliran dana dari sumber lain yang masuk dalam sistem
perbankan sangat sulit ditentukan secara akurat. Hal lain yang juga turut mempengaruhi
adalah hubungan antara reserves yang ada pada bank komersial dengan ekspansi kredit
9
belum memperlihatkan hubungan yang jelas. Oleh karena perilaku money supply
mencerminkan interaksi berbagai faktor-faktor internal maupun eksternal yang kompleks,
maka perlu juga dipertimbangkan ceilings atau pagu kredit untuk menjamin total kredit
yang disalurkan konsisten dengan target moneter.
Instrument yang juga cukup berarti dalam mempengaruhi reserves dari pada bank
komersial adalah kewenangan bank sentral untuk dapat memindahkan demand deposits
pemerintah yang ada pada bank sentral ke dan dari bank komersial. Instrumen ini telah
terbukti sangat efektif sebagai instrumen moneter di Saudi Arabia dalam mempengaruhi
reserves bank komersial secara langsung, yang fungsinya sama seperti operasi pasar
terbuka yang mempengaruhi reserves bank komersial secara tidak langsung .
Common pool merupakan instrument yang mensyaratkan bank-bank komersial
untuk menyisihkan sebagian dari deposits yang dikuasainya dalam proporsi tertentu yang
berdasarkan kesepakatan bersama guna menanggulangi masalah likuiditas. Instrument ini
sama efektifnya dengan fasilitas rediskonto yang biasa digunakan oleh bank sentral dalam
membantu bank komersial mengatasi masalah likuiditas.
Moral suasion merupakan instrument yang lebih penting pada bank sentral yang
menerapkan prinsip-prinsip syariah. Melalui kontak-kontak personal, konsultasi dan
pertemuan-pertemuan dengan bank komersial, bank sentral akan dapat lebih cepat dan
mampu memonitor kekuatan dan masalah yang dihadapi bank-bank komersial. Dengan
demikian bank sentral dapat dengan jelas dan tepat memberikan saran-saran guna
mengatasi masalah-masalah yang dihadapi perbankan dan hal ini akan memudahkan
pencapaian tujuan perbankan.
Selanjutnya, uang yang diciptakan oleh bank sentral berasal dari pelaksanaan hak
prerogatifnya dan hal ini membawa keuntungan bagi bank sentral karena biaya
dikeluarkan untuk menciptakan uang lebih kecil dari nilai nominalnya atau dikenal
dengan money seigniorage. Oleh karena adanya seigniorage tersebut, maka sewajarnya
bank sentral menyisihkan sebagian dananya sebagai fay atau pajak yang nantinya
terutama digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang dapat memperbaiki kondisi
sosial ekonomi masyarakat miskin dan dapat mengurangi ketimpangan distribusi
pendapatan dan kekayaan. Dana ini tidak boleh digunakan oleh pemerintah untuk
membiayai proyek-proyek yang hanya menguntungkan golongan kaya. Dengan
instrument ini, alokasi dana dapat dipertanggung jawabkan akan mengalir pada kegiatankegiatan
yang bermanfaat dan produktif.
Alokasi pembiayaan perbankan yang berdasarkan tujuan pemanfaatannya akan
memberikan manfaat yang optimum bagi semua pelaku bisnis dan akan menghasilkan
barang dan jasa yang dapat terdistribusi kesemua lapisan masyarakat. Pada kenyataanya
hal ini sulit terjadi, karena dana yang dapat dihimpun oleh perbankan umumnya berasal
sebagian besar dari para penabung kecil, namun pemanfaatannya dalam bentuk kredit
lebih tertuju pada pengusaha-pengusaha besar. Keenganan perbankan menyalurkan kredit
pada usaha kecil karena adanya resiko yang lebih tinggi dan pengeluaran yang lebih besar
dalam pembiayaan usaha kecil. Konsekwensi dari hal ini maka usaha kecil sangat sulit
memperoleh pembiayaan dari bank, kalaupun bank mau menyediakan dana untuk
pembiayaan usaha kecil, namun disertai dengan berbagai persyaratan yang sulit dapat
dipenuhi oleh mereka, khususnya jaminan. Dengan kondisi yang demikian, maka dapat
diperkirakan pertumbuhan dan kelangsungan usaha kecil menjadi terancam walaupun
10
sebenarnya usaha kecil berpotensi dapat memperluas kesempatan kerja, menghasilkan
produksi dan dapat memperbaiki distribusi pendapatan.
Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya skim penjaminan bagi bank untuk
berpartisipasi dalam pembiayaan usaha-usaha produktif yang tidak menyalahi nilai-nilai
Islam. Dalam skim penjaminan, perusahaan diteliti kemampuan berusahanya dan
manajemennya. Bila dirasakan kurang namun memiliki prospek yang baik, maka dibantu
dengan program-program pelatihan sehingga perusahaaan dapat memanfaatkan dan
mengelola dananya dengan baik. Kemudian perusahaan-perusahaan ini didaftar oleh
pengelola skim penjaminan. Melalui skim penjaminan ini, bank tidak diharuskan meminta
jaminan kepada perusahaan yang mengajukan permohonan pembiayaan. Seandainya
dalam pemanfaatan pinjaman tersebut perusahaan mengalami kegagalan, maka pengelola
skim penjaminan harus meneliti sebab-sebab kegagalan. Bila kegagalan dikarenakan oleh
penyimpangan moral dalam berbisnis atau moral hazard dari perusahaan, maka bank
yang membiayai perusahaan itu akan memperoleh kembali dananya. Selanjutnya bila
kegagalan tersebut karena keadaan ekonomi yang memburuk yang tidak diduga
sebelumnya atau dikarenakan normal business loss, maka bank harus ikut menanggung
resiko bisnis tersebut berdasarkan profit-and-loss sharing yang disepakati.
IV. Penerapan Manajemen Moneter Alternatif di Indonesia
Manajemen moneter alternatif dimungkinkan untuk diterapkan di Indonesia,
karena berdasarkan Undang-undang (UU) No. 10 tahun 1998 perbankan dapat berusaha
berdasarkan prinsip-prinsip syariah dan berdasarkan UU No. 23 tahun 1999 Bank
Indonesia dapat melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah.
Sehubungan dengan UU No. 10 tahun 1998, sudah saatnya bagi negara Indonesia untuk
segera menerapkan sistem perbankan yang bebas dari suku bunga dan berdasarkan profitand-
loss sharing. Berdasarkan UU tersebut, perbankan di Indonesia mulai beralih dari
sistem konvensional menjadi dual banking system yang mengakomodir baik sistem
perbankan konvensional maupun sistem perbankan syariah yang tidak menggunakan suku
bunga dalam bertransaksi. Namun dalam UU No. 10 tahun 1998 belum secara jelas
memperlihatkan bagaimana operasi perbankan syariah yang seharusnya, padahal sistem
perbankan syariah dan konvensional sangat berbeda. Maka untuk menunjang
berlangsungnya dual banking system dengan dasar hukum yang lebih kuat, perlu
dipikirkan adanya undang-undang perbankan syariah tersendiri.
Selanjutnya oleh karena sumber utama dari high-powered money umumnya
berasal dari pinjaman pemerintah kepada bank sentral, maka akan sulit bagi bank sentral
memiliki kebijakan moneter yang efektif. Oleh karena itu, bank sentral harus mampu
untuk menolak pinjaman pemerintah bila hal tersebut tidak konsisten dengan pencapaian
target-target moneter. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh sebuah bank sentral yang
mandiri atau independent dari campur tangan pemerintah. Patut disyukuri bahwa dengan
adanya UU No. 23 tahun 1999 Bank Indonesia telah menjadi bank sentral yang
independen. Dengan demikian diharapkan pada masa mendatang Bank Indonesia akan
lebih mampu melaksanakan tugas pokoknya dalam menjaga stabilitas harga. Dalam UU
No. 23 tahun 1999 tidak memungkinkan bagi Bank Indonesia memberikan pinjaman
11
kepada pemerintah, sehingga high-powered money lebih dapat dikontrol, yang pada
gilirannya lebih dapat menciptakan kebijakan moneter yang efektif.
Bank Indonesia dapat mengimplementasikan manajemen moneter tanpa
menggunakan suku bunga. Sesuai dengan amanah UU No. 23 tahun 1999, Bank
Indonesia telah mengeluarkan kebijakan mengenai Pasar Uang Antarbank Berdasarkan
Prinsip Syariah (PUAS) dan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). Kebijakan PUAS
mengatur bank umum syariah maupun konvensional dapat berinvestasi jangka pendek
pada bank umum syariah yang membutuhkan likuiditas dengan menggunakan prinsip
mudharabah atau bagi hasil. Sedangkan dengan SWBI memungkinkan bagi Bank
Indonesia mempengaruhi likuiditas perekonomian melalui bank umum syariah maupun
konvensional dengan menggunakan prinsip wadiah atau penitipan.
Berdasarkan UU No. 23 tahun 1999 memungkinkan bagi Bank Indonesia untuk
menerapkan statutory reserves terhadap perbankan syariah dan hal ini telah berlangsung
dengan adanya kebijakan Giro Wajib Minimum bagi bank umum syariah. Walaupun
disadari penentuan Giro Wajib Minimum yang harus dipelihara perbankan syariah masih
berdasarkan seluruh dana pihak ketiga termasuk deposito mudharabah. Penyesuaian Giro
Wajib Minimum akan dipertimbangkan setelah selesainya penyusunan Pernyataan
Standard Akuntansi Keuangan Syariah (PSAK) dan Pedoman Akuntansi Perbankan
Syariah Indonesia (PAPSI) yang saat ini masih dalam pembahasan.
Selanjutnya sesuai dengan UU tersebut memungkinkan bagi Bank Indonesia
menerapkan pagu kredit kepada bank umum syariah sehingga pertumbuhan penyaluran
pembiayaan oleh perbankan syariah dapat sejalan dengan target moneter. Namun
mengingat peran perbankan syariah dalam mempengaruhi likuiditas perekonomian saat
ini masih kecil dan perbankan syariah masih mengalami kelebihan likuiditas karena
masih kesulitan dalam menyalurkan pembiayaan, maka kebijakan tersebut belum
diperlukan.
Sebagai pemegang kas pemerintah tidak memungkinkan bagi Bank Indonesia
memindahkan demand deposits pemerintah yang ada pada bank sentral ke dan dari bank
umum. Hal ini hanya dapat terlaksana bila pemerintah mendelegasikan wewenang
tersebut kepada Bank Indonesia sehingga operasi pasar terbuka yang secara tidak
langsung mempengaruhi reserves perbankan dapat digantikan dengan wewenang Bank
Indonesia memindahkan deposit pemerintah yang ada pada bank sentral ke dan dari bank
umum sehingga dapat secara langsung mempengaruhi reserves perbankan syariah
maupun konvensional.
Berdasarkan UU No. 10 tahun 1998, perbankan syariah dapat saja bekerja sama
untuk membentuk pooling funds yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah, guna
mengatasi kesulitan likuiditas yang terjadi. Kebijakan pooling funds memiliki kelemahan,
yaitu umumnya yang memanfaatkan hanya bank-bank yang tidak baik performance-nya.
Oleh karena itu penyelenggaraan pooling funds perlu diatur dengan ketat guna
menghindari moral hazard dari peserta. Selanjutnya pooling funds belum diperlukan
karena perbankan syariah yang mengalami kesulitan likuiditas saat ini dapat
memanfaatkan keberadaan PUAS.
Selanjutnya, Bank Indonesia telah melakukan moral suasion kepada perbankan
syariah melalui berbagai kegiatan sosialisasi dan training/seminar mengenai perbankan
syariah. Sosialisasi perbankan syariah kepada masyarakat dilaksanakan Bank Indonesia
12
bekerja sama dengan perbankan syariah, melalui kegiatan sosialisasi ini tercipta
komunikasi yang baik antara Bank Indonesia dengan perbankan syariah. Selanjutnya
dengan kegiatan training/seminar yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia akan
memberikan pemahaman praktek-praktek perbankan syariah yang lebih baik. Maka
dengan adanya kegiatan sosialisasi dan training/seminar memudahkan bagi Bank
Indonesia untuk melaksanakan moral suasion kepada perbankan syariah.
Menurut UU No. 23 tahun 1999 tidak memungkinkan bagi Bank Indonesia
menyisihkan dana untuk secara langsung maupun tidak langsung membiayai proyekproyek
yang berlangsung di sektor riil. Namun skim dan lembaga penjaminan yang
menghubungkan sektor riil dan sektor keuangan perlu dipertimbangkan keberadaannya
guna melengkapi sistem perbankan tanpa suku bunga. Adanya lembaga ini dapat
menghindari kesalahan dalam mengalokasikan dana sehingga hanya yang memiliki
peluang investasi terbaiklah yang akan dapat memanfaatkan dana. Dengan adanya
perbankan yang menyediakan pembiayaan yang berdasarkan profit-and-loss sharing yang
dilengkapi dengan skim dan lembaga penjaminan tersebut, usaha kecil akan memiliki
kontribusi yang maksimal dalam kegiatan sektor riil.
V. Penutup
Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya krisis
keuangan Asia adalah lemahnya kwalitas lembaga-lembaga keuangan yang dipengaruhi
oleh penerapan suku bunga yang ternyata gagal berfungsi sebagai alat indirect screening
mechanism. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa manajemen moneter yang bertumpu
pada suku bunga akan menghasilkan kegagalan pemenuhan kebutuhan pokok (khususnya
rakyat kecil), kelompok kaya/miskin akan semakin kaya/miskin, pertumbuhan ekonomi
yang melambat dan ketidak stabilan perekonomian. Setelah diterapkannya manajemen
moneter melalui suku bunga, dua fenomena utama terj adi, yaitu tingginya tingkat inflasi
dan tidak stabilnya nilai tukar.
Selanjutnya, dapat disimpulkan bahwa dengan menghindari penggunaan suku
bunga dalam manajemen moneter dan penerapan profit-and-loss sharing pada financial
intermediation dapat menciptakan perekonomian yang lebih stabil karena dengan
manajemen moneter alternatif tersebut dapat me-minimisasi pemanfaatan aggregate
money demand untuk kegiatan-kegiatan yang non-produktif dan spekulatif. Dengan diminimisasinya
kegiatan-kegiatan tersebut maka efisiensi dan pemerataan pemanfaatan
resources dapat ditingkatkan serta dapat mengurangi tekanan inflasi, ketidak stabilan
ekonomi dan memudahkan pencapaian tujuan-tujuan ekonomi yang telah dicanangkan.
Dengan adanya UU No. 10 tahun 1998 dan UU No. 23 tahun 1999
memungkinkan bagi Bank Indonesia untuk menerapkan manajemen moneter alternatif.
Walaupun berdasarkan situasi dan kondisi saat ini belum semua instrumen cocok dan
dapat diterapkan di Indonesia. Untuk berlangsungnya manajemen moneter alternatif
melalui beralihnya perbankan Indonesia kedalam dual banking system, dukungan seluruh
masyarakat dari segenap lapisan sangat diperlukan. Masyarakat khususnya pengusaha
yang bekerja di sektor riil harus menyadari sepenuhnya money demand yang dibutuhkan
harus di screen dengan value judgments yang berdasarkan nilai-nilai Islam. Masyarakat
harus sadar sepenuhnya dalam kegiatan konsumsi agar menghindari kegiatan
conspiciuous consumption dan dalam kegiatan produksi mengutamakan kegiatan
produktif yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan menghindari kegiatan
spekulatif.
13
Selain dari pada itu masyarakat harus menyadari sepenuhnya bahwa adanya UU No.
23 tahun 1999 yang telah memberikan independensi bank sentral dan hal-hal lain yang
dapat menciptakan kebijakan moneter yang efektif harus dapat dipertahankan sehingga
dual banking system dapat berlangsung dengan baik. Selain dari pada itu, dual banking
system akan terlaksana dengan baik bila adanya kesediaan seluruh lapisan masyarakat
untuk mencoba memahami kegiatan perbankan syariah sebagai sebuah sistem. Bila
masyarakat bersedia melihat perbankan syariah sebagai sebuah sistem dan bukan sematamata
sebagai sebuah ajaran agama, maka paradigm shift akan berlangsung dengan
mulus seperti yang mulai terjadi di negara-negara barat yang mayoritas penduduknya
non-Muslim. Bangsa ini terlalu naif, bila masyarakat Islam terbesar di dunia ini harus
tertinggal dengan negara-negara lain dalam mengadopsi sebuah sistem yang bermanfaat bagi
kemaslahatan umat, padahal sistem tersebut berasal dari aj aran agamanya.
Daftar Pustaka
Arifin, Zainul (1998). Strategi Pengembangan Perbankan Bagi Hasil di Indonesia.
Sespibi: Bank Indonesia.
Ahmad, Khurshid (1981). Studies in Islamic Economics. Leicester, UK: The Islamic
Foundation.
Allais, Maurice (1993). The Monetary Conditions of an Economy of Markets: From the
Teachings of the Past to the Reforms of Tomorrow. Jeddah, SA: Islamic Research and
Training Institute, IDB.
Anwar, Muhammad (1987). Modelling Interest-Free Economy: A Study in Macroecconomics
and Development. Herndon, VA: The International Institute of
Islamic Thought.
Bank for International Settlements (1995), Press Release as reported in BIS Review, 24, pp.
1-4.
Chapra, M. Umer (1986). Towards a Just Monetary System. Leicester, UK: The Islamic
Foundation.
(1996). Monetary Management in an Islamic Economy. Islamic Economic
Studies, Vol. 4, No. 1.
Choudry, Nurun N. dan Abas Mirakhor (1997). Indirect Instruments of Monetary Control
in an Islamic Financial System. Islamic Economic Studies, Vol. 4 No. 2.
Dar, Humayon A. dan John R. Presley (1999). Bahan Seminar Sehari Toward A Greater
Contribution of the Shariah Bank for Indonesian Economy: Bank Indonesia.
Delhaise, Philippe F. (1998). Asia in Crisis: The Implosion of the Banking and Finance
Systems. Singapore: John Willey & Sons (Asia) Pte Ltd.
Edwards, Franklin R. dan Frederic S. Mishkin (1995). The Decline of Traditional Banking:
Implications for Financial Stability and Regulatory Policy. Economic Policy Review,
July.
14
15
Hoff, Karla, Avishay Braverman dan Joseph E. Stiglitz (1993). The Economics of Rural
Organization. New York, NY: Oxford University Press, Inc..
Indrawati, S. Mulyani dan Ali Winoto Subandoro (1998). Manajemen Makroekonomi
Pasca Krisis. Seminar Sehari Sumbangan Pemikiran Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia pada Reformasi dan Pemulihan Ekonomi: LPEM FE UI.
International Monetary Fund (1995). International Financial Statistics, Washington,
D . C . .
Islamic Development Bank (1998). Occasional Paper (1), Jeddah, Kingdom of saudi
Arabia.
Mc Kinnon, Ronald dan Donald J. Mathieson (1981). How to Manage a Repressed
Economy. Essays in International Finance, No. 145.
__________(1984). Financial Repression and Economic Development. Chung Hua
Series Lectures, November.
Mills, Paul S. dan John R. Presley (1997). The Prohibition of Interest in Western
Literature. Workshop on Islamic Economics: Islamic Foundation.
OECD, Economic Outlook, December 1991 dan June, 1995.
Muslehuddin, Mohammad (1974). Sistem Perbankan Dalam Islam. Terjemahan oleh
Aswin Simamora (1990), Jakarta: Rineka Cipta.
Prasetiantono, A. Tony (1998). Dilema Manajemen Moneter. Diskusi Panel Efektifitas dan
Tantangan Manajemen Moneter di Indonesia: Bank Indonesia.
Qureshi, Anwar Iqbal (1979). The economic and Social System of Islam. Lahore: Islamic Book
Service.
Sarwono, A, Hartadi dan Perry Warjiyo (1998). Mencari Paradigma Baru Manajemen
Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel : Suatu Pemikiran Untuk Penerapannya
Di Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1, No. 1.
Siddiqui, Nejatullah (1981). Banking without Interest. Lahore, PK: Islamic Publications Ltd..
Thurow, Lester (1980). Zero-Sum Society. New York, NY: Basic Books.
____________ (1997). The Future of Capitalism. London: Nicholas Brealey Publishing.
World Bank (1995), World Tables.
16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar