A R T I K E L
www.badilag.net
Prof. Dr. Jaih Mubarak, M.Ag
(Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN SGD
Bandung)
A. Pengantar
Dalam mazhab Hanafi, fikih (=hukum) disederhanakan menjadi
tiga: pertama, hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah
(disebut fikih ibadah); kedua, hukum yang mengatur hubungan
manusia dengan sesama makhluk (disebut fikih muamalah); dan
ketiga, hukum yang mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan
oleh manusia dan subyek hukum lainnya terhadap fikih ibadah dan
muamalah (disebut fikih jinayah).2 Pelanggaran terhadap fikih
muamalah yang menyangkut masalah-masalah perorangan diatur
dalam hukum privat (perdata); dan pelanggaran terhadap fikih
muamalah yang menyangkut masalah-masalah umum diatur dalam
hukum publik (pidana).
Kategorisasi fikih yang simpel dan mudah dipahami tersebut
kurang dianut di Indonesia. Akan tetapi, untuk kepentingan
pembahasan mengenai penyelesaian sengketa ekonomi syariah,
pembagian fikih tersebut relevan untuk dipertimbangkan. Di Indonesia
terdapat persaingan tiga sistem hukum: hukum Islam, hukum adat,
dan hukum kolonial.3 pada fase awal kemerdekaan, hukum Barat
”diakomodir” sesuai dengan kepentingan nasional yang didukung oleh
nasionalis. Hukum nasional Indonesia bersumber pada tiga hukum
yang bersaing; sementara hukum Islam dijalankan secara ”kultural”
melalui lembaga-lembaga swasta (bukan lembaga negara).4
B. Kekuasaan “Baru” Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Agama
Secara umum, kekuasaan (competency) peradilan dapat
dibedakan menjadi dua: kekuasaan relatif (relative competency) dan
kekuasaan absolut (absolute competency). Kekuasaan relatif berkaitan
dengan wilayah, sementara kekuasaan absolut berkaitan dengan orang
(kewarganegaraan dan keagamaan seseorang) dan perkara.
1 Makalah ini pernah disampaikan dalam Diskusi Panel tentang “Model Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di
Indonesia,” di STAIN Purwokerto tanggal 6 Desember 2007.
2 Pembidangan tersebut antara lain dilakukan oleh Ibn Abidin al-Hanafi. Lihat Umar Sulaiman al-Asyqar, Tarikh al-
Fiqh al-Islami (Amman: Dar al-Nafa’is. 1991), hlm. 21.
3 Antara lain lihat Ismail Sunny, ”Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,” dalam Tjun
Sumardjan (ed.), Hukum Islam di Inadonesia: Perkembangan dan Pembentukan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1994),
cet. ke-2, hlm. 73-81.
4 Lihat antara lain Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta: Bulan
Bintang. 1984), cet. ke-1, hlm. 211-233.
A R T I K E L
www.badilag.net
2
Setelah pemberlakuan UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan
atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
perluasan kompetensi absolut peradilan agama dilakukan. Dari segi
susunan undang-undang, ketentuan mengenai kekuasaan absolut
peradilan agama dijelaskan dalam dua tempat; (1) ketentuan yang
bersifat ”umum” yang ditetapkan pada bagian dua tentang kedudukan
peradilan agama; dan (2) ketentuan rincian yang ditetapkan pada
bagian “kekuasaan pengadilan.”
Dalam ketentuan mengenai kekuasaan absolut peradilan agama
yang bersifat umum ditetapkan bahwa peradilan agama adalah salah
satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai “perkara perdata tertentu.”5 Sementara
dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 ditetapkan bahwa peradilan agama
adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai “perkara tertentu.”6
Perubahan klausul (dari “perkara perdata tertentu” menjadi “perkara
tertentu”) menunjukkan bahwa peradilan agama memiliki potensi
untuk memeriksa dan memutus perkara perdata yang lebih luas.
Kewenangan memeriksa dan memutus sengketa hak milik benda-
-secara umum--adalah kekuasaan absolut pengadilan dalam
lingkungan peradilam umum. Akan tetapi, apabila obyek yang
disengketakan berkaitan dengan sengketa (seperti perkara wakaf dan
waris) yang diajukan ke peradilan agama seperti diatur dalam pasal 9,
UU Nomor 3 Tahun 2006, peradilan agama berwenang untuk
menetapkan status kepemilikan benda yang disengketakan.7
Dalam penjelasan UU tersebut ditetapkan bahwa: pertama,
peradilan agama berhak mengadili dan memutus sengketa kepemilikan
suatu benda sekaligus sengketa perdata lain, apabila obyek yang
disengketakan berkaitan dengan sengketa ekonomi syariah yang
diajukan ke peradilan agama, dan jika pihak-pihak yang bersengketa
memeluk agama Islam; dan kedua, pemberian kewenangan tersebut
berkaitan dengan prinsip penyelenbggaraan peradilan;8 yaitu agar
dapat menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu
penyelesaian sengketa karena alasan sengketa milik atau sengketa
keperdataan lainnya.9
Sedangkan kekuasaan peradilan agama yang rinci yang terdapat
dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 adalah bahwa peradilan agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a)
5 UU Nomor 7 Tahun 1989, pasal 2.
6 UU Nomor 3 Tahun 2006, pasal 2.
7 UU Nomor 3 Tahun 2006, pasal 50, ayat (2).
8 Prinsip penyelenggaraan peradilan adalah: sederhana, cepat, dan biaya ringan. Lihat UU Nomor 7 Tahun 1989, pasal
57, ayat (3).
9 Penjelasan UU Nomor 3 Tahun 2006, pasal 50, ayat (2).
A R T I K E L
www.badilag.net
3
perkawinan, (b) waris, (c) wasiat, (d) hibah, (e) wakaf, (f) zakat, (g)
infaq, (h) shadaqah, dan (i) ekonomi syariah.” 10
Selanjutnya ditetapkan bahwa: pertama, penyelesaian sengketa
yang dilakukan oleh peradilan agama tidak hanya dibatasi pada bidang
perbankan syariah, melainkan termasuk juga kegiatan ekonomi
syariah yang bersifat bukan bank;11 dan kedua, “yang dimaksud
dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain: (a) bank syari‘ah,
(b) lembaga keuangan mikro syariah, (c) asuransi syariah, (d)
reasuransi syariah, (e) reksa dana syariah, (f) obligasi syariah dan
surat berharga berjangka menengah syariah, (g) sekuritas syariah,
(h) pembiayaan syariah, (i) pegadaian syariah, (j) dana pensiun
lembaga keuangan syariah, dan (k) bisnis syariah.”12
C. Kerangka Konseptual tentang Penyelesaian Sengketa
Sengketa antara lain terjadi karena penipuan dan ingkar janji. H.
Taufiq, mantan hakim agung (juga sebagai anggota Pokja Agama MARI),
menegaskan bahwa yang dimaksud ingkar janji adalah: a) pihakpihak
atau salah satu pihak tidak melakukan apa yang
dijanjikan/disepakati untuk dilakukan; b) pihak-pihak atau salah satu
pihak telah melaksanakan apa yang telah disepakati, tetapi tidak
”sama persis” sebagaimana yang dijanjikan; c) pihak-pihak atau salah
satu pihak melakukan apa yang telah dijanjikan, tetapi terlambat; dan
d) pihak-pihak atau salah satu pihak melakukan sesuatu yang menurut
perjanjian tidak boleh dilakukan.13
Dalam ajaran Islam terdapat tiga institusi (=sistem penyelesaian
sengketa atau perselisihan) yang disediakan dalam rangka
penyelesaian sengketa/perselisihan: damai (al-shulh), arbitrase (altahkim),
dan peradilan (al-qadha).
Dengan merujuk pada QS al-Nisa (4): 128 dan QS al-Hujarat
(49): 9, Islam mengajarkan agar pihak-pihak yang bersengketa
(berselisih) melakukan perdamaian. Perdamaian dilakukan dengan
cara musyawarah dan negosiasi oleh pihak-pihak yang bersengketa
(langsung atau tidak langsung) untuk menyelesaikan perselisihan di
antara mereka. Dari segi sosial (keterjagaan nama baik) dan efesiensiekonomi,
penyelesaian perselisihan melalui institusi ini dianggap paling
baik. Oleh karena itu, dalam QS al-Nisa: 128 secara implisit ditetapkan
bahwa damai adalah cara terbaik dalam menyelesaikan masalah (wa
al-shulh khair); di samping itu, dalam fikih juga terdapat kaidah yang
menyatakan bahwa shluh adalah instrumen penyelesaian hukum yang
utama (al-shulh sayyid al-ahkam).
10 UU Nomor 3 Tahun 2006, pasal 49.
11 UU Nomor 3 Tahun 2006, pasal 49.
12 Penjelasan UU Nomor 3 Tahun 2006, pasal 49, huruf i.
13 Lihat Draft KHES yang disosialisasikan terakhir di PTA Jakarta tanggal 26 Nopember 2007, pasal 34.
A R T I K E L
www.badilag.net
4
Kedua, arbitrase (=al-tahkim). Dengan merujuk pada QS al-Nisa
(4): 128, al-tahkim ditetapkan sebagai salah satu institusi untuk
menyelesaikan sengketa/perselisihan. Secara teknis, tahkim dapat
dilakukan dalam dua bentuk: hakam tunggal dan hakam ”majlis.”
Arbitrase dengan hakam tunggal adalah para pihak sepakat menunjuk
(meminta) seseorang atau badan tertentu untuk menyelesaikan
sengketa/perselisihan yang mereka hadapi; sementara hakam ”majlis”
adalah masing-masing pihak menunjuk orang atau badan tertentu
untuk menyelesaikan sengketa/perselisihan yang mereka hadapi.
Dalam sejarah Islam, hakam tunggal pernah terbentuk dalam
rangka menyelesaikan sengketa antara Umar ra dengan pedagang
kuda; Sebelum membayar kuda yang hendak dibeli, Umar ra
melakuan percobaan dengan menaiki kuda tersebut untuk melihat
kemampuannya dalam melakukan perjalanan; ketika sedang diujicoba,
kaki kuda tersebut patah. Umar ra bermaksud mengembalikan kuda
tersebut kepada pedagangnya, akan tetapi pedagangnya menolak.
Lalu Umar ra meminta agar pedagang tersebut menunjuk hakam.
Kemudian mereka bersepakat untuk menjadikan Syureh al-Iraqi
sebagai hakam. Dalam menyelesaikan kasus tersebut, Syureh
mewajibkan Umar ra diwajibkan membeli kuda tersebut dengan harga
semula (sebelum kakinya patah).14
Sementara hakam ”majlis” dalam sejarah Islam sangat dikenal
karena melibatkan dua sahabat besar: Ali Ibn Abi Talib dan Muawiyah
Ibn Abi Sufyan. Dalam menyelesaikan ”pertikaian kekuasaan” di antara
mereka, masing-masing pihak bersepakat untuk menunjuk wakil
(hakam). Pihak Ali menunjuk Abu Musya al-Asyari sebagai hakam;
sementara dari pihak Muawiyah menunjuk Amr Ibn Ash sebagai
hakam. Dua hakam tersebut bermusyawarah untuk mencari solusi
terbaik bagi umat Islam.
Ketiga, peradilan (al-qadha). Masing-masing pihak yang
bersengketa menyelesaikan sengketa mereka di pengadilan. Sejumlah
pihak berkedudukan sebagai penggugat/pemohon, sementara pihak
atau pihak-pihak lainnya berkedudukan sebagai tergugat/termohon.
Para penegak hukum di pengadilan (terutama hakim) menerima,
memerika, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya.
Zaini Ahmad Noeh, dalam pengantar buku terjemahan Islamic
Courts in Indonesia karya Daniel S. Lev (peneliti dari Amerika
Serikat), mencoba menjelaskan mengenai cara pembentukan
peradilan. Pertama, peradilan dilakukan atas dasar pelimpahan
wewenang (tauliyah) dari pemimpin ”politik” (kadang-kadang disebut
waliy al-amr yang memiki kekuasaan, dzu syaukah). Noeh
menjelaskan bahwa umat Islam wajib mentaati keputusan hakim
meskipun ia diangkat oleh pemimpin yang kafir. Kedua, peradilan
dilakukan atas dasar pelimpahan wewenang (tauliyah) dari para tetua
14 Lihat Ensiklopedi Islam, Vol. 5, hlm. 159.
A R T I K E L
www.badilag.net
5
(tokoh, termasuk tokoh adat) dan sesepuh masyarakat (bagi Noeh,
tetua dan sesepuh masyarakat dianggap sama dengan ahl al-halli wa
al-aqdi). Ketiga, pihak-pihak yang bersengketa bersepakat untuk
mengangkat seseorang untuk menjadi hakam (disebut al-tahkim).15
D. Peran MUI dalam Pengembangan Ekonomi Syariah dan
Penyelesaian Sengketa
Perlu ditegaskan bahwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) bukan
lembaga negara; keberadaan MUI tidak dibentuk berdasarkan undangundang.
Akan tetapi, peran kultural MUI secara kualitatif dan kuantitaif
dalam mengembangkan dan menjalankan ekonomi syariah di
Indonesia sangatlah besar.
”Mesin” hukum (fatwa) MUI adalah Komisi Fatwa. Peran kualitatif
komisi fatwa yang berkaitan langsung dengan ”nyawa”
ekonomi/perbankan syariah adalah dikeluarkannya ijtima ulama komisi
fatwa se-Indonesia pada tanggal 16 Desember 2003 tentang
keharaman bunga bank. Dapat dipastikan bahwa keterkaitan antara
pelaku usaha perorangan dan atau badan usaha syariah (baik yang
berbadan hukum maupun tidak) dengan MUI sangatlah tinggi. Oleh
karena itu, sejumlah lembaga dibentuk oleh MUI dalam rangka
menjalankan ekonomi syariah.
Dalam menjalankan ekonomi, yang pertama-tama diperlukan
adalah tuntunan berbuat/bertindak ekonomi (baik yang komersial
maupun tidak). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, MUI membentuk
wadah yang dikenal dengan Dewan Syariah Nasional (DSN). DSN
hingga akhir tahun 2007 ini telah menetapkan sekitar enam puluh
fatwa yang berkaitan dengan perannya dalam mengkoordinasikan
ulama dalam menanggapi isu-isu yang berkaitan dengan masalaha
ekonomi dan keuangan.
Secara lebih rinci, tugas-tugas DSN adalah: (a)
menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan
perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya; (b)
mengeluarkan fatwa mengenai jenis-jenis kegiatan keuangan syariah;
(c) mengeluarkan fatwa mengenai produk dan jasa keuangan syariah;
dan (d) mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan. 16
Kewenangan-kewenangan DSN adalah: (a) mengeluarkan fatwa
yang mengikat Dewan Pengawas Syariah (DPS) di masing-masing
Lembaga Keuangan Syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihakpihak
terkait; (b) mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi
ketentuan atau peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang
15 Zaini Ahmad Noeh, ”Kata Pengantar Penterjemah,” dalam Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam di Indonesia, terj.
Zaini Ahmad Noeh (Jakarta: PT Intermasa. 1986), cet. kedua, hlm. 1-3.
16 Lampiran Keputusan MUI No. Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI masa bakti Tahun 2000-
2005, tentang Pedoman DSN-MUI (bagin IV, 1).
A R T I K E L
www.badilag.net
6
berwenang; (c) memberikan dan mencabut rekomendasi nama-nama
yang akan duduk sebagai DPS pada suatu Lembaga Keuangan
Syariah; (d) mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah
yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk
otoritas meneter (lembaga keuangan dalam dan luar anegeri); (e)
memberikan peringatan kepada Lembaga Keuangan Syariah untuk
memberhentikan penyimpangan dari fatwa yang dikeluarkan oleh
DSN; dan (f) mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk
mengambil tindakan apabila peringatan DSN diabaikan. 17
Di samping pedoman, usaha-usaha di bidang ekonomi yang
dilakukan oleh perorangan atau badan usaha perlu dikontrol agar
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, MUI
membentuk institusi Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang
ditempatkan pada setiap Lembaga Keuangan Syariah. Para anggota
DPS terikat dengan fatwa-fatwa DSN.
Tugas-tugas DPS antara lain adalah: (a) melakukan pengawasan
secara periodik pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah
pengawasannya; (b) mengajukan usul-usul pengembangan Lembaga
Keuangan Syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan
kepada DSN; (c) melaporkan perkembangan produk dan operasional
Lembaga Keuangan Syariah yang diawasinya kepada DSN sekurangkurangnya
dua kali dalam satu tahun anggaran; dan (d) merumuskan
permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan DSN.18
Perorangan atau badan usaha syariah yang melakukan kegiatan
ekonomi (termasuk bisnis) dimungkinkan melakukan pelanggaran
terhadap akad (kontrak atau perjanjian). Oleh karena itu,
perselisihan/sengketa mungkin saja terjadi baik antar bank syariah
maupun antara pengguna modal dengan pemilik modal. Dalam rangka
menganitisipasi perselisihan/perasengketaan dalam bidang ekonomi
syariah, MUI membentuk bandan arbitrase (tahkim, penyelesaian
sengketa non-litigasi).
Pada tanggal 21 Oktober 1993 MUI membentuk Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI); sementara gagasan pendiriannya mulai
berkembang sejak tanggal 22 April 1992. Dalam perjalanannya, BAMUI
berubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) pada
tanggal 24 Desember 2003. Badan arbitrase ini didirikan dengan
bentuk ”yayasan” dengan Akte Nomor 175 Notaris Yudo Paripurno.
Kewenangan Basyarnas adalah menyelesaikan sengketa perdata
secara Islam, baik antara bank syariah dengan nasabahnya, maupun
antara bank-bank syariah.
17 Lampiran Keputusan MUI No. Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI masa bakti Tahun 2000-
2005, tentang Pedoman DSN-MUI (bagin IV, 2). Lihat Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syari`ah, hlm. 22-
23.
18 Lampiran Keputusan MUI No. Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI masa bakti Tahun 2000-
2005, tentang Pedoman DSN-MUI (bagin V, C).
A R T I K E L
www.badilag.net
7
Tugas Basyarnas (seperti ditetapkan pada tanggal 21 Oktober
1993) yang ditandatangani oleh ketua Dewan Pembina BAMUI
(Basyarnas) adalah: pertama, menyelesaikan sengketa yang timbul
dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, dan jasa yang
disepakati oleh para pihak secara tertulis untuk menyelesaikan
masalahnya kepada Basyarnas; dan kedua, memberikan pendapat
yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu
persoalan yang berkenaan dengan perjanjian atas permintaan para
pihak.19
Dengan memperhatikan tiga institusi tersebut, kiranya dapat
dipastikan bahwa kegiatan muamalah di bidang ekonomi (komersial
dan nonkomersial) dikendalikan oleh lembaga swasta (bukan lembaga
negara) yang bernama MUI. Pedoman kegiatan ekonomi syariah
didasarkan pada fatwa DSN; praktek ekonomi Lembaga Keuangan
Syariah diawasi oleh DPS; dan sengketa ekonomi syariah diselesaikan
di Basyarnas. Tiga lembaga terasebut (DSN, DPS, dan Basyarnas)
dibentuk oleh MUI.20
E. Peradilan Agama dan Pengadilan Niaga Syariah
Seperti telah disiinggung bahwa dengan diberlakukannya UU
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, Peradilan Agama berwenang untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ekonomi syariah.
Sekarang tengah terjadi perdebatan mengenai bentuk peradilan
(perdata biasa atau khusus) dalam lingkungan peradilan agama dalam
memutus perkara ekonomi syariah.
Antara pengadilan dalam lingkungan peradilan agama dengan
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum memiliki peluang yang
sama dalam pembentukan peradilan khusus. Dalam UU Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum ditetapkan bahwa ”di lingkungan
peradilan umum dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan
undang-undang.”21 Oleh karena itu, sejumlah pengadilan khusus telah
dibentuk di lingkungan peradilan ini seperti Pengadilan HAM.22 Klausul
yang sama juga terdapat dalam UU tentang Peradilan Agama.23 Oleh
karena itu, dalam lingkungan peradilan agama juga telah ada
peradilan khusus, yaitu peradilan syariah Islam di Provinsi Nangroe
Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan
19 Lihat Asro, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah dengan Nasabah melalui Putusan-putusan Badan Arbitrase
Syariah Nasional (Basyarnas) Dikaitkan dengan Lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama (Jakarta:
PPs-Fakultas Hukum UI. 2006), tesis, t.d., hlm. 103-104.
20 Pernyataan ini direkam dari penjelasan Rifyal Ka’bah (hakim agung RI) yang disampaikan di PTA Jakarta pada
tanggal 26 Nopember 2007.
21 UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, pasal 8.
22 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
23 UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pasal 3A.
A R T I K E L
www.badilag.net
8
peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan
peradilan agama.24
Meski dalam sejumlah peraturan perundang-undangan
dinyatakan bahwa prinsip penyelenggaraan peradilan adalah bahwa
”peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan,” 25
akan tetapi, proses peradilan yang ”sederhana, cepat dan biaya
ringan” dalam penyelesaian sengketa ekonomi mempunyai batasan
tersendiri.
Sepanjang data yang didapatkan, peraturan perundang-undangan
yang secara khusus mengenai pembentukan pengadilan niaga (sebagai
pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum) tidak ditemukan.
Akan tetapi, ketentuan mengenai pengadilan niaga terdapat dalam
sejumlah peraturan perundang-undangan. Di antaranya adalah:
1. UU Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (pasal 38-
48).
2. UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (pasal 117-129).
3. UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (pasal 80-89).
4. UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (pasal 55-71).
5. UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (pasal 6-20).
Pengadilan niaga memiliki sejumlah kekhususan: pertama,
peradilan ini dilakukan hanya dalam dua jenjang: pengadilan tingkat
pertama dan tingkat kasasi;26 dan kedua, para penegak hukum:
panitera, pemeriksaan dan pemutusan/penetapan perkara oleh majlis
hakim, juru sita, dan waktu kasasi ditentukan dalam satuan waktu
yang jelas (jumlah hari). Oleh karena itu, proses peradilan dalam
lingkungan pengadilan niaga lebih cepat dibanding dengan peradilan
biasa.
Perdebatan di kalangan sejumlah pakar hukum adalah apakah
kekuasaan peradilan agama dalam memeriksa dan mengadili perkara
ekonomi syariah akan ditetapkan dalam lingkungan peradilan agama
(biasa) atau dalam lingkungan peradilan khusus (pengadilan niaga
syariah misalnya). Dalam beberapa pertemuan dan sosialisasi
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, sejumlah pakar meminta agar
perkara ekonomi syariah diadili dalam lingkungan peradilan khusus
(yakni pengadilan niaga syariah yang berada di bawah lingkungan
peradilan agama). Akan tetapi, gagasan tersebut perlu mendapat
sejumlah catatan dari segi peraturan perundang-undangan.
Pertama, meskipun dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
24 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal 15, ayat (2).
25 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal 4, ayat (2).
26 UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pasal 11, ayat (1).
A R T I K E L
www.badilag.net
9
(pasal 3A) diteapkan bahwa ” di lingkungan Peradilan Agama dapat
diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan undangundang,”
tapi peraturan perundang-undangan yang mengatur
pengadilan niaga syariah belum ada. Dalam pasal 1 UU tersebut
ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan peradilan adalah pengadilan
dalam lingkungan peradilan agama (PA untuk tingkat pertama; PTA
untuk tingkat banding; dan MA untuk tingkat kasasi).
Kedua, Pada pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 secara eksplisit
ditetapkan bahwa ”Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah”
(huruf i); di samping itu, pada pasal 51 UU tersebut juga ditetapkan
bahwa ”Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili
perkara yang menjadi kewenangan pengadilan agama dalam tingkat
banding;” dan pada pasal 54 UU tersebut juga ditetapkan bahwa
”hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang diatur
secara khusus.”
Dengan dua catatan tersebut, kiranya cukup kuat dugaan bahwa
para penyusun UU Nomor 3 Tahun 2006 tidak bermaksud membentuk
pengadilan niaga syariah (sebagai peradilan khusus di lingkungan
peradilan agama) untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Oleh karena itu, penyelesaian sengketa melalui pengadilan niaga
syariah perlu diperjuangkan aspek regulasinya terlebih dahulu.
F. Peran Basyarnas dalam Penyelesaian Sengketa Syariah
dalam Kaitannya dengan UU 30/2004
Dalam beberapa fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) ditetapkan
bahwa perselisihan atau sengketa antara para pihak dalam kegiatan
ekonomi syariah diselesaikan melalui Basyarnas. dalam fatwa tersebut
ditetapkan bahwa jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya, penyelesaian dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.27
27Lihat fatwa DSN Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah; fatwa DSN Nomor 05/DSN-MUI/IV/2000
tentang Jual Beli Saham; fatwa DSN Nomor 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’; fatwa DSN Nomor
07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh); fatwa DSN Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Pembiayaan Musyarakah; fatwa DSN Nomor 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah; fatwa DSN Nomor
10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah; fatwa DSN Nomor 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah; fatwa DSN Nomor
12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah; fatwa DSN Nomor 13/DSN-MUI/IV/2000 tentang Uang Muka dalam
Murabahah; fatwa DSN Nomor 14/DSN-MUI/IV/2000 tentang Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan
Syariah; fatwa DSN Nomor 15/DSN-MUI/IV/2000 tentang Prinsip Distribusi Bagi Hasil dalam Lembaga Keuangan
Syariah; fatwa DSN Nomor 16/DSN-MUI/IV/2000 tentang Diskon dalam Murabahah; fatwa DSN Nomor 17/DSNMUI/
IV/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran; fatwa DSN Nomor 18/DSNMUI/
IV/2000 tentang Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam Lembaga Keuangan Syariah; fatwa DSN Nomor
19/DSN-MUI/IV/2000 tentang al-Qardh; fatwa DSN Nomor 20/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan
Investasi untuk Reksa Dana Syariah; fatwa DSN Nomor 21/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah;
fatwa DSN Nomor 22/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’ Pararel; fatwa DSN Nomor 25/DSN-MUI/IV/2000
tentang Rahn; fatwa DSN Nomor 27/DSN-MUI/IV/2000 tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik; fatwa DSN Nomor
A R T I K E L
www.badilag.net
10
Dengan kata lain, musyawarah (al-shulh) adalah tahap awal
penyelesaian perselisihan/sengketa; dan perdamaian (al-tahkim)
adalah alternatif penyelesaian perselisihan/sengketa yang kedua;
alternatif yang kedua tidak perlu dijalankan bila alternatif yang
pertama berhasil dilakukan.
Penyelesaian perselisihan/sengketa ekonomi melalui Badan
Arbitrase (Badan Arbitrase Nasional Indonesia [untuk ekonomi
konvensional] dan Badan Arbitrase Syariah Nasional [Basyarnas untuk
ekonomi syariah]) berkaitan dengan UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dalam UU tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
ditetapkan bahwa ”perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan
berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian
tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu
perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah
timbul sengketa.”28
Keterkaitan antara lembaga arbitrase dengan pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum adalah: pertama, paling lambat 30 (tiga
puluh) hari setelah tanggal putusan arbitrase diucapkan, lembar asli
(otentik) putusan arbitrase wajib diserahkan dan didaftarkan oleh
arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri.29 Kedua,
putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan (eksekusi) jika arbiter atau
kuasanya tidak melaporkannya kepada panitera pengadilan negeri.30
Ketiga, jika para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara
sukarela, putusan arbitrase dilaksanakan berdasarkan perintah ketua
pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang
bersengketa.31 Keempat, putusan arbitrase yang telah dibubuhi
perintah ketua pengadilan negeri, dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang
putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.32 Kelima, pihak
yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.33 Keenam, pihak-pihak dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung jika Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak untuk mengakui
dan melaksanakan suatu putusan arbitrase internasional.34 Ketujuh,
para pihak dapat mengajukan pembatalan putusan arbitrase paling
29/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah; fatwa DSN Nomor 30/DSNMUI/
IV/2000 tentang Pembiayaan Rekening Koran Syariah; fatwa DSN Nomor 31/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pengalihan
Hutang; fatwa DSN Nomor 32/DSN-MUI/IV/2000 tentang Obligasi Syariah; fatwa DSN Nomor 33/DSN-MUI/IV/2000
tentang Obligasi Syariah Mudharabah; fatwa DSN Nomor 37/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pasar Uang Antarbank
Berdasarkan Prinsip Syariah; fatwa DSN Nomor 38/DSN-MUI/IV/2000 tentang Sertifikat Investasi Mudharabah antar
Bank (Sertifikat IMA); dan fatwa DSN Nomor 39/DSN-MUI/IV/2000 tentang Asuransi Haji.
28UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pasal 1, nomor 3.
29UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pasal 6 ayat (7) dan pasal 59,
ayat (1).
30UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pasal 59, ayat (4).
31UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pasal 61.
32UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pasal 64.
33UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pasal 65.
34UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pasal 68, ayat (2), (3), dan (4).
A R T I K E L
www.badilag.net
11
lambat 30 hari setelah putusan didaftarkan di panitera pengadilan
negeri yang diajukan kepada ketua pengadilan negeri.35 Kedelapan,
terhadap putusan pengadilan negeri mengenai (pembatalan putusan
arbitrase) dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung
yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.36
Dalam UU tersebut juga ditegaskan bahwa ”lembaga arbitrase
adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang berselisih/bersengketa
untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga
tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai
suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.”37
Oleh karena itu, putusan Basyarnas--secara implisit--juga termasuk
yang harus diperlakukan sama dengan putusan BANI, yakni
didaftarkan ke pengadilan negeri untuk diekseskusi jika para pihak
tidak dapat melaksanakan putusan arbitrase secara suka rela. Akan
tetapi, ironi jika putusan arbitrase Basyarnas dieksekusi oleh
pengadilan negeri, sebab secara absolut, penyelesaian
perselisihan/sengketa ekonomi syariah adalah kewenangan pengadilan
dalam lingkungan peradilan agama. Oleh karena itu, bisakah
ditetapkan bahwa ketentuan pelaksanaan keputusan arbitrase yang
terdapat dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 yang menyangkut
keputusan Basyarnas dalam penyelesaian perelisihan/sengketa
ekonomi syariah dialihkan: dari kekuasaan pengadilan negeri menjadi
kekuasaan pengadilan agama; dari kekuasaan pengadilan negeri
Jakarta Pusat (untuk melaksanakan arbitrase internasional) menjadi
kekuasaan Pengadilan Agama Jakarta Pusat (untuk melaksanakan
arbitrase syariah internasional).
G. Penutup
Kelahiran UU Nomor 3 Tahun 2006 menyisakan sejumlah agenda
yang perlu dipikirkan dan disikapi secara bersama, upaya Pokja Agama
MA-RI dalam menyusun Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah untuk
mengisi ”kekosongan” hukum materil di bidang ekonomi syariah. Oleh
karena itu, KHES akan digunakan sebagai pegangan bagi para hakim
di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama selama belum
terbentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di samping
itu, KHES juga perlu disandingkan dengan UU Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(UU nomor 10 telah mengakomodir perbankan dengan sistem syariah),
keputusan-keputusan Direktur Bank Indonesia yang meregulasi
perbankan syariah, dan fatwa-fatwa DSN-MUI.
Agenda lain yang perlu dipikirkan ke depan adalah: (1)
pembentukan peraturan perundang-undangan yang memastikan
35UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pasal 70-72.
36UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pasal 72, ayat (4).
37UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pasal 1, nomor 8.
A R T I K E L
www.badilag.net
12
apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan agama akan
memeriksa dan mengadili sengketa ekonomi syariah dalam bentuk
pengadilan khusus (pengadilan niaga syariah) atau dalam bentuk
peradilan biasa; dan (2) pembentukan peraturan perundang-undangan
yang memastikan hubungan antara Basyarnas dengan Pengadilan
Agama dalam kaitannya dengan UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Wa Allah a’lam
A R T I K E L
www.badilag.net
13
RIWAYAT HIDUP
A. Data Pribadi
Nama : Prof. Dr. Jaih, M.Ag
Lahir : Bogor, 17-09-1967
Alamat Kantor : Fakultas Syariah dan Hukum UIN SGD Jl. A.H.
Nasution No. 105 Kota Bandung 40614. Telp.
022-7802278 Faks. 022-7800249
Alamat Rumah : Jl. Ciburial No. 79 Rt. 03/21 Cileunyi Kulon
Kab. Bandung. Telp. 022-70808728; e-mail:
jaih_mubarok@yahoo.com
B. Pendidikan Formal
1. S3 PPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lulus Tahun 1998).
2. S2 PPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lulus Tahun 1995).
3. S1 Fakultas Syari‘ah UIN Sunan Gunung Djati Bandung (lulus
Tahun 1991).
4. S 1 Jurusan Manajemen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE)
Gema Widya Bangsa, Bandung (belum tamat).
5. MAN Darussalam Ciamis (lulus Tahun 1987).
6. SMP PGRI Gunung Putri Bogor (lulus Tahun 1984).
7. SDN I Bojong Kulur Bogor (lulus Tahun 1981).
C. Pengalaman Kerja
1. Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum
UIN SGD Bandung (sejak Agustus 2007-sekarang).
2. Dosen luar biasa IAID Ciamis (1998-sekarang).
2. Asisten Direktur bidang Administrasi Keuangan dan Umum
Program Pascasarjana UIN SGD Bandung (2005-sekarang).
3. Wakil Direktur Program Pascasarjana IAID Ciamis (2003-
sekarang).
4. Pemimpin Redaksi Khazanah: Jurnal Ilmu Agama Islam (2005-
sekarang).
5. Konsultan Syariah pada Adz-Dzikr Eduatimnent, Jl. Geger
Kalong Komplek MIDC No. 55-A Bandung 40154 (2005-
sekarang).
6. Penyunting Pelaksana asy-Syari‘ah: Jurnal Studi Hukum Islam
dan Pranata Sosial (2004-sekarang).
7. Anggota Konsorsium Keilmuan bidang Fiqh pada UIN SGD
(2004-sekarang).
8. Redaksi Pelaksana Khazanah: Jurnal Ilmu Agama Islam (1999-
A R T I K E L
www.badilag.net
14
2005).
9. Asisten Direktur bidang Kemahasiswaan dan Pengembangan
Program Pascasarjana UIN SGD Bandung (1999-2005).
10
.
Anggota Majelis Pertimbangan Akademik (MPA) PPs UIN SGD
(2004-sekarang).
11
.
Sekretaris Pusat Pengkajian Islam dan Pranata UIN SGD
Bandung (1998-1999).
12
.
Sekretaris Redaksi Jurnal al-Tadbir PPIP UIN SGD (1998-1999).
D. Karya Ilmiah (Buku dan Penelitian yang Dipublikasikan)
1. Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia (Bandung:
Pustaka Bani Quraisy. 2006).
2. Dinamika Ijtihad di Indonesia (Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
2006).
3. Hukum Islam: Konsep dan Teori Pembaharuan serta
penegakannya dalam Islam (Bandung: Benang Merah. 2006).
4. Hukum Perwakafan di Indonesia setelah UU Nomor 41 Tahun
2004 (Bandung: Gunung Djati Press. 2006).
5. Fikih Siyasah: Studi tentang Pemikiran dan Praktek Politik di
Indonesia (Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2005).
6. Islam dan Demokrasi: Mengungkap Fenomena Golput sebagai
Alternatif Partisipasi Politik Umat (Jakarta: Nimas Multima.
2004), bersama Badri Khaeruman dkk.
7. Peradilan Agama di Indonesia (Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
2004) sebagai editor.
8. Perkembangan Fatwa Ekonomi Syari‘ah di Indonesia (Bandung:
Pustaka Bani Quraisy. 2004).
9. Kaidah Fiqh Jinayah: Asas-asas Hukum Pidana Islam
(Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2004), bersama Enceng Arif
Faizal.
10
.
Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
2004).
11
.
Fiqh Kontemporer dalam Bidang Peternakan (Bandung:
Pustaka Setia. 2002).
12
.
Metodologi Ijtihad Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press.
2002).
13
.
Modofikasi Hukum Islam: Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl
Jadid (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002).
14
.
Kaidah Fikih Islam: Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada. 2002).
15 Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: PT
A R T I K E L
www.badilag.net
15
. Remaja Rosdakarya. 2001).
16
.
Metodologi Studi Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
2001), bersama Atang Abd. Hakim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar