Dunia telah mengalami polarisasi dari dua kekuatan sistem ekonomi, ditandai dengan adanya dua negara adidaya sebagai representasi dari kedua sistem ekonomi tersebut. Amerika dan sekutu Eropa Baratnya merupakan bagian kekuatan dari sistem ekonomi kapitalis, sedangkan sistem ekonomi sosialis diwakili oleh Rusia dan Eropa Timur, Cina, serta Indocina seperti Vietnam dan Kamboja. Dalam perjalanannya, kedua sistem ekonomi tersebut gagal dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat dunia akibat dampak sistem yang dikembangkannya.
Karena kegagalan tersebut, maka para pendukung kedua sistem ekonomi tersebut melakukan modifikasi terhadap kedua sistem ekonomi tersebut. Sistem ekonomi kapitalis dimodifikasi menjadi sistem ekonomi yang selain menampilkan bentuk aslinya yaitu mengutamakan kebebasan individu dalam kepemilikan faktor-faktor produksi, juga telah memasukkan variabel asas distribusi keadilan ke dalam sistem ekonominya. Sedangkan sistem ekonomi sosialis dimodifikasi menjadi Neososialis dengan kecenderungan kearah mekanisme pasar.
Meskipun modifikasi dari kedua sistem telah dilakukan, kedua sistem ekonomi yang lebih baru tersebut belum mampu untuk mencari solusi dari krisis dan problematika dunia seperti inflasi, krisis moneter internasional, problematika utang negara berkembang, dan lain-lain. Sehingga muncullah pemikiran-pemikiran kritis dari berbagai kalangan untuk menemukan sistem ekonomi dunia yang dapat menyejahterakan masyarakat atas dasar keadilan dan persamaan hak. Dan diantara pemikiran-pemikiran tersebut yang mendapat banyak perhatian oleh berbagai kalangan adalah sistem ekonomi Islam.
Ilmu ekonomi moneter Islam sebagai salah satu cabang dari ilmu ekonomi Islam memandang bahwa keberlangsungan persoalan dan dalamnya krisis moneter internasional pada dasarnya karena ada sesuatu yang salah. Menurut Umer Chapra, kesalahan yang umumnya dilakukan yaitu bahwa akar permasalahannya hanya dicari pada symptom (gejala), seperti ketidakseimbangan anggaran, ekspansi moneter yang berlebihan, neraca pembayaran yang begitu besar, naiknya kecenderungan proteksionis, tidak memadainya bantuan asing, dan kerjasama internasional yang tidak mencukupi. Akibatnya, penyembuhan hanya bersifat sementara dan beberapa saat kemudian, krisis muncul kembali, bahkan lebih mendalam dan serius.
Diduga permasalahan mendasar dari krisis moneter internasional adalah karena penerapan tingkat bunga yang ternyata gagal berfungsi sebagai alat indirect screening mechanism. Berbagai literatur yang ditulis oleh para ekonom seperti Muslehuddin (1974), Qureshi (1979), Kahf (dalam Khurshid, 1981), Siddiqi (1981), Chapra (1985 dan 1986), Maurice Allais (1993), Mills dan Presley (1997), dan Choudry dan Mirakhor (1997) tidak menyetujui perekonomian yang bertumpu pada interest rate karena akan terjadi misalokasi sumber daya yang pada gilirannya cenderung akan mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi. Enzler Conrad dan Johnson (dalam Chapra, 1996) menemukan bukti kuat bahwa di AS telah terjadi misalokasi dana modal di antara sektor-sektor ekonomi dan jenis modal. Dengan terjadinya misalokasi dana yang disebabkan oleh suku bunga berpengaruh terhadap pencapaian tujuan-tujuan ekonomi dari suatu negara, yaitu pemenuhan kebutuhan pokok, pertumbuhan ekonomi yang optimum, pemerataan distribusi pendapatan, dan stabilitas ekonomi.
Manajemen moneter yang berdasarkan bunga berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan pokok dan pemerataan distribusi pendapatan karena penyaluran pinjaman dengan bunga tertentu ditetapkan berdasarkan kemampuan peminjam memberikan jaminan kredit guna meng-cover pinjaman yang diberikan dan kecukupan cash flow untuk memenuhi kewajiban tersebut. Dikarenakan hal tersebut, maka dana akan mengalir cenderung pada golongan kaya yang umumnya mampu memenuhi syarat jaminan tersebut. Namun, golongan kaya umumnya memanfaatkan dana tersebut tidak hanya untuk investasi yang produktif, tetapi juga untuk conspicuous consumption (konsumsi barang lux, barang yang hanya untuk simbol status dan pengeluaran yang tidak bermanfaat) dan spekulasi. Hal ini mengakibatkan cepatnya ekspansi money demand untuk keperluan yang non-produktif dan pengeluaran-pengeluaran yang tidak bermanfaat, yang pada gilirannya memperkecil ketersediaan dana untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan pembangunan. Keadaan ini akan membuat golongan miskin semakin sulit memenuhi kebutuhan pokok karena sulitnya golongan ini memenuhi syarat tersebut di atas dan terlebih lagi dengan semakin berkurangnya dana untuk kebutuhan pokok tersebut. Penyaluran pinjaman yang sedemikian rupa mengakibatkan semakin tidak meratanya distribusi pendapatan dan kekayaan.1 Selanjutnya, dari sisi pertumbuhan ekonomi, meningkatnya pola conspicuous consumption ini akan menyebabkan masyarakat mengurangi tingkat tabungannya, sehingga akan meningkatkan suku bunga, menurunkan kwalitas maupun kuantitas investasi, yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja.
Selain itu, manajemen moneter berbasis bunga juga akan mengakibatkan tingginya ketidakpastian pada pasar keuangan dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap pencapain stabilitas dalam perekonomian. Sebagaimana dinyatakan oleh Milton Friedman dan L.A. Iacocoa. Milton Friedman mengatakan bahwa faktor penyebab perekonomian AS begitu sukar diperkirakan adalah karena perilaku suku bunga yang sama-sama tidak bisa diperkirakan. Mr. Iacocoa, pemimpin perusahaan Chrysler Corporation, mengamati bahwa suku bunga telah menjadi sedemikian mudah berubah sehingga tak seorang pun dapat melakukan perencanaan untuk masa depan.
Tingginya tingkat perubahan pada suku bunga menginjeksikan ketidakpastian yang besar dalam pasar investasi sehingga mendorong borrower dan lender mengalihkan tujuan pasar mereka, dari tujuan pasar utang jangka panjang kepada pasar utang jangka pendek yang berbau spekulasi, sehingga secara fundamental mengubah keputusan-keputusan investasi para pelaku bisnis. Di mana pelaku bisnis lebih senang mengambil keuntungan pada pasar-pasar komoditi, saham, valuta asing, dan keuangan. Kondisi seperti ini akan membuat pasar-pasar tersebut semakin aktif dan memanas yang merupakan salah satu penyebab ketidakstabilan ekonomi dunia saat ini.
Berdasarkan survey yang dilaksanakan oleh Bank for International Settlement (BIS), total turnover perdagangan valuta asing mencapai $1, 230 miliar per hari kerja pada bulan April 1995, yang berbeda jauh dibandingkan pada bulan April 1989 yang masih $620 miliar per hari kerja. Allais (1993) juga menemukan bahwa speculative cash flow dari negara-negara G-7 adalah 34 kali dibandingkan flows untuk transaksi perdagangan barang maupun jasa. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa manajemen moneter berbasis bunga mengakibatkan ketidakstabilan bagi perekonomian secara keseluruhan karena efeknya yang positif terhadap peningkatan kegiatan-kegiatan yang non-produktif dan spekulatif.2 Sebagaimana dinyatakan oleh Maurice Allais (1993) yang merupakan pemenang nobel pada tahun 1988 berpendapat sebagai berikut:
Be it speculation on currencies or speculation on stocks and shares, the world has become one big casino with gaming labels distributed along every latitude and longitude. The game and the bids, in which millions of players take part, never cease. The American quotations are followed by those from Tokyo and Hongkong, from London, Frankfurt and Paris. Everywhere speculation is supported by credit since one can buy without paying and selling without owning.
Suku bunga, baik yang tinggi maupun yang rendah, implikasinya buruk terhadap kesehatan perekonomian. Suku bunga yang tinggi akan merugikan pengusaha dan dalam perekonomian kapitalis suku bunga merupakan penghambat utama investasi dan formasi modal. Akibat dari tingkat bunga yang tinggi tersebut antara lain menurunkan tingkat produktivitas, kesempatan kerja, dan laju pertumbuhan ekonomi. Tingkat suku bunga yang rendah juga sama jeleknya. Kalau tingkat suku bunga yang tinggi akan merugikan pengusaha, maka tingkat suku bunga yang rendah akan merugikan penabung terutama penabung kecil yang menginvestasikan dana pada instrumen berbasis bunga. Tingkat bunga yang rendah akan merangsang pinjaman untuk tujuan-tujuan konsumsi, baik sektor publik maupun swasta. Karena itu, akan meningkatkan tekanan inflasioner. Selain itu, tingkat bunga yang rendah akan mendorong investasi-investasi yang tidak produktif dan meningkatkan spekulasi pada bursa dan pasar komoditas. Suku bunga yang rendah juga akan mendorong kegiatan investasi yang terlalu menghemat tenaga kerja sehingga akan menimbulkan pengangguran. Karena itu, dengan menimbulkan distorsi pada harga modal, tingkat bunga yang rendah telah merangsang konsumsi yang bersifat inflasioner, mengurangi rasio tabungan kotor, menurunkan kualitas investasi, dan menciptakan kelangkaan modal. Ekuilibrium yang diidam-idamkan di mana suku bunga tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah, hanyalah impian para teoretikus. Karena itu, menurut Umer Chapra, obat terbaik bukanlah sekadar mereduksi suku bunga saja karena hal ini tidak akan menghilangkan ketidakpastian masa depan, mengingat adanya defisit anggaran yang tinggi di beberapa negara industri utama
Dalam sebuah perekonomian Islam yang bebas bunga, kegiatan-kegiatan ekonomi yang bersifat non-produktif seperti spekulasi kurang begitu berarti karena diharamkannya penggunaan instrumen bunga dalam aktivitas perekonomian. Sehingga dalam ekonomi Islam, permintaan akan dana untuk investasi merupakan bagian dari permintaan transaksi total dan akan bergantung pada kondisi perekonomian dan laju keuntungan yang diharapkan yang tidak ditentukan di depan. Mengingat harapan terhadap keuntungan tidak mengalami fluktuasi harian atau mingguan seperti suku bunga, maka permintaan agregat kebutuhan transaksi cenderung relatif lebih stabil. Sehingga kecepatan peredaran uang dapat diperkirakan perilakunya secara lebih baik.
Karena itu, variabel yang dipakai dalam suatu kebijakan moneter dalam sebuah perekonomian Islam adalah cadangan uang (stock of money) daripada suku bunga. Tujuan dari kebijakan moneter Islam adalah menjamin bahwa ekspansi moneter ridak bersifat “kurang atau berlebihan”, tetapi cukup untuk sepenuhnya mengeksploitasi kapasitas perekonomian agar dapat mensuplai barang dan jasa bagi kesejahteraan yang berbasis luas. Laju pertumbuhan yang dituju harus bersifat berkesinambungan, realistis, serta mencakup jangka menengah dan panjang, dan tidak kurang realistis dan sukar diperkirakan.3
Dengan tidak adanya suku bunga, uang beredar dapat diatur oleh bank sentral menurut kebutuhan sektor riil perekonomian dan sasaran-sasaran masyarakat muslim. Pertumbuhan dalam M dapat diatur untuk merealisasikan sasaran kesejahteraan berbasis luas dengan suatu laju pertumbuhan yang optimal, tetapi realistis dalam konteks stabilitas harga. Target dalam M ini akan dapat dicapai dengan menghasilkan pertumbuhan yang diinginkan dalam high-powered money melalui suatu kombinasi defisit fiskal dan pinjaman mudharabah oleh bank sentral kepada lembaga-lembaga finansial.
Jadi, dengan dihapuskannya instrumen bunga dalam manajemen moneter akan mengurangi salah satu sumber utama ketidakpastian dalam perekonomian. Karena bunga adalah akar dari ketidakpastian dan ketidakpastian adalah sumber utama inefisiensi ekonomi dan terutama akan menyulitkan dalam melakukan forecasting.
Secara sederhana, keuntungan dari manajemen moneter bebas bunga antara lain:
a. Manajemen moneter bebas bunga akan membantu pertumbuhan yang lebih sehat dalam uang beredar.
b. Manajemen moneter bebas bunga akan meminimalkan permintaan uang untuk keperluan yang tidak esensial dan mubazir serta pembiayaan bagi proyek-proyek yang meragukan dan sia-sia.
c. Manajemen moneter bebas bunga akan menimbulkan peningkatan dalam aliran pembiayaan bagi tujuan-tujuan produktif disamping distribusinya yang luas di kalangan sejumlah pelaku binis dan memperbaiki alokasi di antara berbagai sektor ekonomi.
d. Instabilitas yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan dalam suku bunga dan fluktuasi dalam pengeluaran agregat, akan dapat dikurangi secara substansial.
Dengan demikian, manajemen moneter bebas bunga akan menciptakan suatu tingkat pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang akan menimbulkan suatu dimensi yang sehat dalam perekonomian dengan keterkaitan yang kuat antara sektor moneter dan riil.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian superioritas sistem moneter bebas bunga layak untuk diteliti. Untuk itu penulis akan melakukan penelitian secara empiris di Indonesia dan Malaysia. Indonesia dan Malaysia menurut penulis mampu mewakili aktivitas perekonomian dari kedua sistem moneter, yaitu sistem moneter konvensional dan sistem moneter bebas bunga. Periode yang dipilih adalah tahun 1980-2000 dengan alasan ketersediaan data dan rentang waktu yang cukup panjang untuk meneliti efisiensi dalam sistem moneter bebas bunga. Sehingga judul yang diambil penulis dalam penelitian ini adalah:
“Analisis Efisiensi Sistem Moneter Bebas Bunga:
Studi Kasus di Indonesia dan Malaysia Periode 1980-2000 dengan Menggunakan Pendekatan Kointegrasi dan Error - Correction Model”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar