Heri Sunandar
Hukum Islam. Vol. VIII No. 6. Desember 2007
Heri Sunandar
Abstract :
Arbitration is nature method of setting disputes in relation to the contract out side of judicial procedure that based on arbitration agreement written by the parties. So the syariah arbitration is one of the solution to settle of civil syariah disputes accordance with the rules subject to agreement of the parties in writing. The syariah financial institution in Indonesia need the syariah arbitration to solve any problems among them and their partners. The arbitration and alternative solution act number 30/1999 in Indonesia has given the same right of syariah arbitration in Indonesia to settle disputes of syariah contract in Indonesia without judicial procedure. Based on this act the syariah arbitration offices have been developed in several provinces in Indonesia. However, the parties should take the arbitration rules. So the disputes shall be settled in accordance with the rules subject to agreement of the parties in writing. The syariah arbitral tribunal may conduct the arbitration in such manner as it appropriate, provided that the parties are treated with equality and that any stage of the proceeding each party is given a full opportunity of presenting his case. Then, syariah arbitral tribunal shall hold hearings for the presentation of evidence by witnesses, including expert witnesses, or for oral argument, and see the basis of documents. All documents or information supplies to the syariah arbitral tribunal by one party shall at the same time be communicates by that party to the other party. The decision of syariah arbitration if final and binding. However, the syariah arbitration hole the principle of ‘adl (justice and fair) and sulh (peace).
Heri Sunandar
Hukum Islam. Vol. VIII No. 6. Desember 2007
634
A. PENGERTIAN ARBITRASE
Istilah arbitrase berasal dari Bahasa Belanda: “arbitrate” dan Bahasa Inggris: arbitration, dalam Bahasa Latin: arbitrare, yang berarti penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk dan mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut. Dengan demikian arbitrase merupakan suatu peradilan perdamain, dimana para pihak yang bersengketa atau berselisih menghendaki perselisihan mereka tentang hak-hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang adil yaitu tidak memihak kepada salah satu pihak yang berselisih tersebut. Keputusan yang telah diambil mengikat bagi kedua belah pihak. Dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak1 yang bersengketa. Ada beberapa alasan para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan tidak menggunakan peradilan umum, antara lain:
1. Kepercayaan dan keamanan bagi pihak yang berselisih.
Arbitrase memberikan kebebasan dan otonomi yang sangat luas bagi pihak yang akan menyelesaikan persengketaan yang terjadi diantara mereka. Mereka dapat menentukan arbiter yang mereka inginkan atau menyerahkan sepenuhnya kepada lembaga arbitrase yang akan memilih arbiter bagi mereka. Disamping itu melalui arbitrase relatif lebih aman terhadap keadaan yang tidak menentu dan ketidakpastian sehubungan dengan sistem hukum yang berbeda.
2. Keahlian (expertise) dari para arbiter.
Para pihak mempunyai kepercayaan yang besar kepada para arbiter mengenai perkara yang akan diselesaikan. Mereka juga
Heri Sunandar
Hukum Islam. Vol. VIII No. 6. Desember 2007
635
dapat menunjuk arbiter yang memiliki keahlian tertentu untuk membantu menyelesaikan persengketaan mereka, sedangkan dalam pengadilan umum, hal ini tidak bisa dilakukan mereka.
3. Arbitrase bersifat rahasia.
Arbitrase bersifat tertutup dan rahasia, karena ia hanya menyangkut pribadi dan tidak bersifat umum. Tujuannya adalah untuk melindungi para pihak dari hal-hal yang tidak diinginkan misalnya dengan penyebarnya rahasia bisnis para pihak yang bersengketa kepada masyarakat umum.
4. Non-preseden.
Keputusan arbitrase tidak memiliki nilai yang berpengaruh penting dalam pengambilan keputusan arbitrase lainnya atau bersifat Non-preseden. Dengan demikian keputusan arbitrase bisa saja berbeda antara satu dengan lainnya walaupun perkara yang diselesaikan serupa atau memiliki kesamaan.
5. Kearifan dan kepekaan arbiter.
Kearifan dan kepekaan arbiter terhadap aturan yang akan diterapkan inilah yang menjadi motivasi para pihak yang bersengketa meminta penyelesaian sengketanya melalui arbitrase.
6. Keputusan arbitrase lebih mudah dilaksanakan daripada peradilan.
7. Cepat dan hemat biaya penyelesaian.
Arbitrase lebih cepat dan lebih ringan biayanya dibandingkan pengadilan umum yang akan menyelesaian persengketaan yang terjadi antara para pihak. Melalui arbitrase tidak ada kemungkinan kasasi terhadap keputusan arbitrase, karena keputusannya final dan binding.
B. PERANAN BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL
Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan secara tidak langsung telah membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Pada dasarnya hukum Islam di Indonesia hanya meliputi hukum keluarga, hukum waris, zakat dan waqaf serta beberapa aturan tentang perbankan dan asuransi syariah di Indonesia. Dengan keluarnya Undang-Undang No. 7 tahun 1992
Heri Sunandar
Hukum Islam. Vol. VIII No. 6. Desember 2007
636
tentang perbankan, maka telah memberi kesempatan dan peranan hukum Islam dalam dunia ekonomi (bisnis). Dari sinilah melahirkan kesempatan untuk mendirikan BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia). Badan ini kemudian diubah menjadi Basyarnas (Badan Arbitrasi Syariah Nasional). BAMUI didirikan di Indonesia pada tanggal 21 Oktober 1993 yang diprakarsai oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Badan ini didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia. BAMUI bertujuan untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang berhubungan dengan muamalat misalnya hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain antara lembaga-lembaga keuangan syariah dan masyarakat yang berhubungan dengan lembaga tersebut.2 Penyelesaian sengketa ini senantiasa merujuk kepada aturan syariat Islam. Berdirinya BAMUI di Indonesia diharapkan sebagai dukungan dan partisipasi konkrit umat Islam terhadap upaya pemerintah Republik Indonesia dalam mewujudkan keadilan, ketentraman dan kedamaian di kalangan umat Islam. Skop wewenang dari lembaga ini adalah meliputi semua lembaga keuangan syariah yang bersifat profit misalnya bank syariah, asuransi syariah, dan lain-lain. Dasar hukum berdirinya BAMUI di Indonesia adalah pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yaitu:
1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Disamping itu, pasal II aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 memberikan peluang kepada BAMUI juga mesti mengikuti aturan hukum dan perUndang-Undangan tentang arbitrase di Indonesia. Berdasarkan inilah maka pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBG masih boleh dijalankan di Indonesia. Dalam pasal tersebut disebutkan kemungkinan penyelesaian sengketa melalui arbitrase asal dikehendaki atau disepakati oleh para pihak yang bersengketa. Dalam
Heri Sunandar
Hukum Islam. Vol. VIII No. 6. Desember 2007
637
hal ini lembaga arbitrase berwenang menetapkan suatu keputusan hukum atas masalah yang dipersengketakan dengan cara tahkim. Selanjutnya pasal 3 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang peradilan di Indonesia telah memberi kemungkinan prosedur penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan rule atau prosedur acara dalam arbitrase di Indonesia mengikuti aturan hukum yang dilaksanakan di Indonesia. Secara garis besar ada dua aturan yang boleh diikuti yaitu 1) aturan yang terdapat pada buku ketiga Rv berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 jo. Pasal 377 HIR. 2) Aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5/1968 Pemerintah Republik Indonesia yang merafikasi ICID dan dengan Keputusan Presiden No. 34/1981 merafikasi New York Convention 1958. Oleh sebab itu status hukum lembaga BAMUI menjadi lebih jelas apabila merujuk kepada Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan di Indonesia. Karena dalam Undang-Undang perbankan sebelumnya yaitu Undang-Undang No. 14 tahun 1967 belum menjelaskan tentang sistem bagi hasil atau sistem syariah secara lebih luas. Selanjutnya pada tahun 2004, berdasarkan hasil pertemuan Majelis Ulama Indonesia dan pengurus BAMUI, maka ditetapkan bahwa BAMUI diganti namanya menjadi BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional/Basyarnas). Hal ini berdasarkan pertimbangan agar Lembaga arbitrase syariah tidak secara spesifik menyebutkan kata “muamalat” karena ada salah satu lembaga keuangan syariah yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI). Dengan demikian lembaga tersebut akan lebih bersifat umum dan netral serta tidak terkesan merupakan lembaga yang memihak kepada suatu bank.
Kedudukan BAMUI ditinjau dari segi hukum Indonesia menjadi lebih kuat berdasarkan keberadaan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang mendapat pengakuan dari Menteri Kehakiman, Menteri Negara Ekuin, Bappenas, dan Presiden Republik Indonesia. Dengan demikian masyarakat diberi kesempatan untuk menerapkan prosedur acara dalam arbitrase dengan mempergunakan aturan Rv atau rule lainnya. Oleh sebab itu kehadiran BAMUI sah secara hukum di Indonesia karena ia dapat dijadikan sebagai pilihan
Heri Sunandar
Hukum Islam. Vol. VIII No. 6. Desember 2007
638
arbitrase tribunal dalam menyelesaikan sengketa oleh siapa saja di Indonesia. Dengan berdirinya BASYARNAS di Indonesia terdapat 2 lembaga arbitrase yaitu BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang berwenang menyelesaikan semua masalah civil di Indonesia, dan BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) yang berwenang menyelesaikan semua permasalahan muamalat Islam secara tahkim menurut syariat Islam. Walaupun sampai sekarang masih sangat sedikit kasus civil yang berhubungan dengan masalah muamalah Islam yang diselesaikan oleh BASYARNAS, bukan berarti ia belum melaksanakan fungsinya dengan sebaik-baiknya, tetapi karena permasalahan yang terjadi di lembaga-lembaga keuangan Islam sampai saat ini masih boleh diselesaikan secara kekeluargaan, sehingga tidak perlu sampai mengadukan perkaranya ke BASYARNAS. Disamping itu lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia mulai bermuculan banyak setelah dikeluarkan Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Dengan demikian lembaga-lembaga perbankan syariah yang wujud akhir-akhir ini di Indonesia masih relatif baru berkembang. Kedudukan hukum Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) semakin kuat setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa. Undang-Undang menjelaskan tentang prosedur berperkara melalui arbitrase. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang diprakarsai oleh Kamar Dagang Indonesia (KADIN)3 dan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempunyai kedudukan yang sama dalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Perbedaannya dari segi object penyelesaian sengketa, bila menyangkut dengan perkarata civil syariah, maka ini boleh diselesaikan oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
Heri Sunandar
Hukum Islam. Vol. VIII No. 6. Desember 2007
639
C. PENGEMBANGAN BASYARNAS DI INDONESIA
Penyelesaian sengketan melalui arbitrase (tahkim) yaitu dengan menyerahkan perkara yang diperselisihkan kepada hakam atau arbiter merupakan hal yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia maupun dunia Internasional. Sejak dahulu masyarakat biasa menyerahkan perkara mereka kepada kiyai/ulama/cerdik pandai/tokoh adat dan lain-lain untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara anggota masyarakat. Dengan demikian penyelesaian secara arbitrase merupakan budaya yang telah lama tumbuh di nusantara ini.
BAMUI (Badan Arbitrase Mu’amalah Indonesia) didirikan dalam rangka menyelesaikan perkara-perkara perdata yang timbul antara lembaga-lembaga keuangan syariah baik bank maupun lembaga keuangan syariah lainnya yaitu persengketaan yang timbul antara lembaga keuangan syariah dan atau antara nasabah atau anggota dengan lembaga keuangan.
BAMUI semula didirikan dalam bentuk Yayasan yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selanjutnya dalam rekomendasi Rapat Kerja Nasional MUI tanggal 23-26 Desember 2002 ditegaskan bahwa BAMUI adalah lembaga hakam (arbitrase syariah) satu-satunya di Indonesia dan merupakan perangkat organisasi MUI. Kemudian berdasarkan hasil pertemuan antara Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia dan Pengurus BAMUI tanggal 26 Agustus 2003, serta memperhatikan surat Pengurus Badan Arbitrase Muamalat Indonesia No. 82/BAMUI/07/X/2003, tanggal. 07 Oktober 2003, maka MUI dengan SK nya No. Kep-09/MUI/XII/2003, tanggal 30 Syawwal 1424 / 24 Desember 2003, menetapkan bahwa:
1. Mengubah nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
2. Mengubah bentuk badan hukum BAMUI dari Yayasan menjadi badan yang berada di bawah MUI, dan merupakan perangkat organisasi MUI.
3. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai lembaga hakam, BASYARNAS bersifat otonom dan independen.
Heri Sunandar
Hukum Islam. Vol. VIII No. 6. Desember 2007
640
4. Mengangkat Pengurus BASYARNAS dengan susunan pengurus yang baru.
Adapun domisili BASYARNAS seperti yang disebutkan diatas adalah berkedudukan di Jakarta-Ibu kota negara Republik Indonesia. BASYARNAS merupakan badan arbitrase syariah satu-satunya di Indonesia. Untuk pengembangan BASYARNAS pada masa yang akan datang, maka apabila dipandang perlu dapat dibentuk cabang atau perwakilan BASYARNAS ditingkat propinsi. Pembentukan BASYARNAS ditingkat propinsi dilakukan atas usuan dari MUI setempat.
D. PROSEDUR BERPERKARA MELALUI BASYARNAS
Mengenai prosedur berperkara di BASYARNAS telah diatur dengan sistematis sejak masih didirikan BAMUI. Secara garis besar aturan tersebut dituangkan dalam peraturan prosedur Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang diberlakukan sejak 21 Oktober 1993. Beberapa tambahan yang terjadi setelah hanya bersifat tehnis untuk menyempurnakan aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sepanjang aturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Adapun prosedur penyelesaian sengketa melalui BASYARNAS dimulai dengan penyerahan secara tertulis oleh para pihak yang sepakat untuk menyesaikan persengketaan melalui BASYARNAS sesuai dengan peraturan prosedur yang berlaku. Pihak yang bersengketa sepakat akan menyelesaikan persengketaan mereka dengan ishlah (perdamaian) tanpa ada suatu persengketaan berkenaan dengan perjanjian atas pemintaan para pihak tersebut. Kesepakatan ini dicantumkan dalam klausula arbitrase.
Prosedur Administrasi
Prosedur arbitrase dimulai dengan didaftarkannya surat permohonan para pihak yang bersengketa oleh sekretaris
Heri Sunandar
Hukum Islam. Vol. VIII No. 6. Desember 2007
641
BASYARNAS. Berkas permohonan tersebut mesti mencantumkan alamat kantor atau tempat tinggal terakhir atau kantor dagang yang dinyatakan dengan tegas dalam klausula arbitrase. Berkas permohonan itu berisikan nama lengkap, tempat tinggal atau tempat kedudukan kedua belah pihak atau para pihak. Berkas juga memuat uraian singkat tentang duduknya sengketa dan juga apa yang dituntut. Pada dasarnya pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.4 Dengan adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis, maka perjanjian itu meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Dalam hal ini, pengadilan negeri menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang.5 Surat perjanjian tertulis bahwa para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui BASYARNAS, hendaklah ditandatangani oleh para pihak, dimana di dalam perjanjian tersebut disebutkan bahwa para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah. Perjanjian itu harus dibuat dalam bentuk akta notaris. Para pihak boleh mengajukan tuntutan ingkar jika terdapat cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter yang ditunjuk akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil keputusan. Usaha penyelesaian sengketa melalu mediator (arbiter) hendaklah memegang teguh kerahasiaan, dan dalam waktu paling lama 30 hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.6 Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
Heri Sunandar
Hukum Islam. Vol. VIII No. 6. Desember 2007
642
Terhadap keputusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. surat dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang diakui oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.7
Permohonan pembatalan tersebut harus diajukan secara tertulis ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Jika permohonan pembatalan tersebut dikabulkan, maka Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak permohonan pembatalan diajukan, menjatuhkan putusan pembatalan. Dalam hal ini, para pihak dapat mengajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung juga hanya diberi waktu maksimal 30 hari untuk memutuskan permohonan banding tersebut. Mengenai biaya arbitrase ditentukan sendiri oleh arbiter, yang meliputi honorarium arbiter, biaya perjalanan dan biaya lain-lain yang dikeluarkan arbiter, biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan, dan biaya administrasi. Bahasa yang digunakan dalam proses arbitrase adalah bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang digunakan. Selanjutnya pada pihak atau kuasanya mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapat masing-masing. Penentuan Arbiter (hakam) dan Keputusannya Persyaratan untuk menjadi arbiter, termasuk dalam hal ini arbiter syariah di BASYARNAS adalah
a. cakap melakukan tindakan hukum;
Heri Sunandar
Hukum Islam. Vol. VIII No. 6. Desember 2007
643
b. berumur paling rendah 35 tahun;
c. tidak punya hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;
d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase;
e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.8
f. bukan jaksa, hakim panitera dan pejabat peradilan lainnya.
Dalam hal para pihak tidak dapat memilih arbiter, maka Ketua Pengadilan Negeri atau Majelis arbitrase dapat menunjuk arbiter. Selanjutnya, arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai dengan terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tempat tertentu di luar tempat arbitrase diadakan. Pemeriksaan saksi-saksi dan para saksi ahli di hadapan arbiter atau majelis arbitrase, diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara perdata. Para pihak menghadap arbiter pada hari yang telah ditentukan, dalam hal ini arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa. Jika terwujud perdamaian, maka arbiter atau majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut. Pemeriksaan terhadap pokok sengketa dilanjutkan apabila usaha perdamaian tidak berhasil. Selanjutnya para pihak diberi kesempatan terakhir kali untuk menjelaskan secara tertulis pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Jika diperlukan dapat dimintakan penjelasan tambahan dari para pihak secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Heri Sunandar
Hukum Islam. Vol. VIII No. 6. Desember 2007
644
Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. Jika diperlukan, maka jangka waktu ini dapat diperpanjang. Mengenai biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang meminta. Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan segera ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase. Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 hari setelah pemeriksaan ditutup. Selanjutnya dalam waktu 14 hari9 setelah putusan diterima, para pihak dapat mengajukan kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan. E. KESIMPULAN Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) merupakan badan yang dapat menyelesaikan sengketa perdata / muamalat Islam dengan memutuskan suatu keputusan hukum atas masalah yang dipersengketakan dengan cara tahkim. Namun demikian BASYARNAS tidak menutup diri untuk menyelesaikan perkara perdata lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Keputusan yang telah ditetapkan oleh BASYARNAS terhadap perkara yang diajukan kepadanya bersifat binding (mengitat) dan final (tidak ada banding atau kasasi). Namun demikian pembatalan keputusan arbitrase dapat dilakukan sesuai dengan Undang-Undang No, 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Penetapan syarat-syarat arbiter dan penyelesaian sengketa perdata / muamalah Islam melalui BASYARNAS dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja lembaga tersebut pada masa yang akan datang. Disamping itu untuk meningkatkan profesionalasme, kerahasiaan para pihak yang bersengketa, kearifan dan kepekaan aribter, dan kecepatan serta efesiensi biaya bagi penyelesaian sengketa.
Heri Sunandar
Hukum Islam. Vol. VIII No. 6. Desember 2007
645
Diharapkan BASYARNAS dapat dirasakan peranannya bagi masyarakat Indonesia dalam menyelesaikan berbagai sengketa muamalah Islam, maupun perkara perdata lainnya dengan jalan damai (ishlah) dan tetap terjalinnya ukhuwah antara para pihak yang bersengketa.
Heri Sunandar
Hukum Islam. Vol. VIII No. 6. Desember 2007
646
Endnotes : 1 Para pihak adalah subjek hukum, baik menurut hukum perdata maupun hukum publik. 2 Mariam Darus Badrulzaman (1994), Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional, dalam Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, h. 57 – 69. 3 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani (2000), Seri Hukum Bisnis; Hukum Arbitrase, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, h. 98-106. 4 Pasal 3 UU. No. 30 tahun 1999. 5 Pasal 11 UU. No. 30 tahun 1999. 6 Pasal 6 UU. No. 30 tahun 1999. 7 Pasal 70 UU. No. 30 tahun 1999. 8 Pasal 12 UU. No. 30 tahun 1999. 9 Pasal 58 UU. No. 30 tahun 1999.
Heri Sunandar, Dosen Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UIN Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru. Alumni Program S2 IIUM Malaysia (1998).
Heri Sunandar
Hukum Islam. Vol. VIII No. 6. Desember 2007
647
Rabu, 13 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar