ABSTRACT
Now defrayal of Moslem law have been old stuff in the world of banking of
us. One of them named by of Mudharabah, that is a sharing holder cooperation
among shahibul maal with mudharib. Concerning deal with project or exchange,
where shahibul maal give a capital and mudharib give membership. Pevious to
performed a defrayal better be performed akad (agreement), so that one event of
defrayal, hence earning deliberation between both that is shahibul maal and
mudharib.
A research in BRI Moslem law branch this Yogyakarta, studying about
akad defrayal of mudharabah in BRI Moslem law Branch Yogyakarta with
religious advices of DSN-MUI.
Technique data collecting are library I res, interview, and analysis of akad
defrayal of mudharabah in BRI Moslem law branch Yogyakarta. While data
analysis that they use is descriptive analysis, that is analysing about akad
defrayal of mudharabah in BRI Moslem law branch Yogyakarta, consideration
with religious advices of DSN-MUI coresponding within defrayal of mudharabah.
The result of this research indicate that BRI Moslem law branch
Yogyakarta in executing it is activity always orientated on Council Moslem law
National religious advices beside always consulted previous hand to Council
Supervisor of Moslem law. Even though, now in akad defrayal of mudharabah in
BRI Moslem law Branch Yogyakarta have 9 new items matching with Council
Moslem law National religious advices, while the rest 5 items have not join to,
and 2 items in akad defrayal of mudharabah in BRI Moslem law branch
Yogyakarta disagree with Council Moslem Law National religious advices.
Keyword: Aqad, Mudharabah.
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ii
HALAMAN PENGESAHAN MUNAQASYAH iii
HALAMAN PERSEMBAHAN iv
HALAMAN MOTTO v
ABSTRAKSI vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Identifikasi Masalah 4
C. Batasan Masalah 4
D. Rumusan Masalah 5
E. Tujuan Penelitian 5
F. Manfaat Hasil Penelitian 5
H. Sistematika Pembahasan 6
BAB II LANDASAN TEORI 8
A. Tinjauan Teori Mengenai Akad 8
B. Fatwa Dewan Syariah nasional 14
C. Tinjauan Teori Mengenai Pembiayaan 20
D. Tinjauan Teori mengenai Pembiayaan Mudharabah 24
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 33
A. Waktu dan Tempat Penelitian 33
B. Metode Penelitian 33
C. Data dan Sumber Data 34
D. Metode Pengumpulan Data 34
E Subyek dan Obyek Penelitian 35
F Metode Analisis Data 36
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 37
A. Gambaran Umum BRI Syariah Cabang Yogyakarta 37
B. Data Yang Dianalisis 39
C. Pembahasan Hasil Analisis 39
BAB V PENUTUP 57
A. Kesimpulan 57
B. Keterbatasan Penelitian 57
C. Saran 58
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Hal
Tabulasi Analisis Kesesuaian Akad Pembiayaan Mudharabah
Pada BRI Syariah Cabang Yogyakarta Dengan Fatwa Dewan
Syariah Nasional 49
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 1. Skema Mudharabah 32
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Akad Pembiayaan Mudharabah
Lampiran 2. Fatwa DSN
Lampiran 3. Brosur Pembiayaan
Lampiran 4. Produk-produk pembiayaan BRI Syariah
Lampiran 5. Persyaratan Pengajuan Pembiayaan
Lampiran 6. Surat Permohonan Pembiayaan
Lampiran 7. Keterangan prmohonan pembiayaan
Lampiran 8. Surat Pernyataan Kesanggupan
Lampiran 9. Surat Pernyataan Bendaharawan Pemotongan Gaji Dalam Pelayanan
Murabahah
Lampiran10. Surat Pernyataan
Lampiran 11. Surat Kuasa Untuk Memotong Gaji
Lampiran 12. Memorandum Analisis Pembiayaan
Lampiran 13. jadwal Penelitian
Lampiran 14. Surat izin Penelitian
Lampiran 15. Daftar Riwayat Hidup
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum BRI Syariah Cabang Yogyakarta
1. Sejarah berdirinya Bank Rakyat Indonesia Syariah Cabang Yogyakarta
a. Kronologis pembentukan Unit Usaha Syariah Bank Rakyat Indonesia
1) Desember 2000, dibentuk tim pengembangan Bank Syariah
2) Juni 2001, RUPS luar biasa berhasil merubah anggaran dasar
3) 7 Desember 2001, keluar surat Direksi mengenai struktur organisasi
syariah kantor cabang atau kantor cabang pembantu
4) 17 April 2002, dibuka Kantor Cabang Jakarta dan Serang
b. Landasan Hukum
1.) UU No. 7 Th. 1992, yang telah dirubah dengan UU Nomor 10 Th.
1998
2.) UU No. 23 Th. 1999 tentang Bank Indonesia
3.) PBI No.4/1/PBI/2002, tgl 27 maret 2002 tentang perubahan kegiatan
usaha bank umum konvensional menjadi bank umum berdasarkan
prinsip syariah dan pembukaan kantor bank berdasarkan prinsip
syariah oleh bank umum konvensional
4.) RUPS luar biasa PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), tgl. 27 Juni
2001
5.) SK.DIR. BRI Nokep: S.74.DIR/PPP/12/2001, tgl. 7 Desember 2001
6.) SK.DIR.BRI Nokep: S.75.DIR/PPP/12/2001, tgl. 7 Desember 2001
2. Visi, Misi dan Tujuan Bank Rakyat Indonesia
a. Visi
Menjadi bank komersial yang terkemuka yang selalu
mengutamakan kepuasan nasabah.
b. Misi
1) Melakukan kegiatan perbankanyang terbaik dengan mengutamakan
pelayanan kepada usaha mikro, kecil dan menengah untuk
menunjang peningkatan ekonomi masyarakat.
2) Memberikan pelayanan prima kepada nasabah melalui jaringan kerja
yang tersebar luas dan didukung oleh sumber daya manusia yang
professional dengan melaksanakan praktek good corporate
governance.
3) Memberikan keuntungan dan manfaat yang optimal kepada pihakpihak
yang berkepentingan.
c. Tujuan
1) Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak
dapat menerima konsep bunga.
2) Terciptanya dual banking system di Indonesia yang
mengakomodasikan baik perbankan konvensional dan perbankan
syariah yang melahirkan kompetisi yang sehat dan perilaku bisnis
berdasarkan nilai-nilai moral meningkatkan market disciplines dan
pelayanan bagi masyarakat.
3) Mengurangi risiko sistemik dari kegagalan sistem keuangan.
B. Data Yang Dianalisis
Pihak Pertama dan Pihak Kedua selanjutnya disebut Para Pihak
bertindak sebagaimana tersebut diatas telah bersepakat untuk mengadakan
Akad Pembiayaan Al Mudharabah dengan ketentuan dan syarat-syarat
sebagai berikut: (Lihat lampiran I)
C. Pembahasan Hasil Analisis
Akad pembiayaan mudharabah pada BRI Syariah Cabang
Yogyakarta memuat beberapa hal, di antaranya yaitu: judul akad, identitas
pihak I, identitas pihak II, dan pasal-pasal yang berjumlah 114 pasal, serta
tanda tangan dari kedua belah pihak, penulis akan menyajikan pembahasan
tentang beberapa hal dalam akad pembiayaan mudharabah pada BRI
Syariah Cabang Yogyakarta, yaitu mengenai judul akad, identitas
pembiayaan para pihak yang melakukan akad, pasal 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,
10, 11, 12, 13, dan pasal 14 yang akan digunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk menilai apakah akad pembiayaan pada BRI Syariah
Cabang Yogyakarta telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah/belum.
Sebelum melakukan akad terlebih dahulu membaca Basmalah, yang
telah sesuai dengan pinsip syariah, yang mana sebelum melakukan aktivitas
hendaknya terlebih dahulu dimulai dengan menyebut asma Allah.
Dalam akad pembiayaan mudharabah pada BRI Syariah Cabang
Yogyakarta ini identitas pihak I yang tertulis dalam akad disebutkan sebagai
pemberi pembiayaan (Shohibul maal) yang selanjutnya disebut bank
sedangkan pihak ke II yang tertulis didalam akad tersebut sebagai mudharib
yang selanjutnya disebut sebagai nasabah.
Pasal 1
Pasal 1 berisi tentang definisi istilah-istilah yang terdapat dalam
akad. Pada pasal 1 butir ke 1 tertulis bahwa akad pembiayaan mudharabah
adalah akad kerjasama antara para pihak di mana pihak I menyediakan
seluruh modal untuk membiayai proyek/usaha yang dikelola pihak ke II
dengan keuntungan maupun resiko kerugian atas proyek/usaha tersebut
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan. Dari segi
keuntungan sudah sesuai sedangkan dari segi kerugian belum sesuai
dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional, No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang
pembiayaan mudharabah pada ketentuan ke 2 butir ke 4 no. 3 dijelaskan
bahwa penyedia dana menaggung semua kerugian akibat dari mudharabah,
dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan
dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran.
Pasal 3
Pasal 3 berisi tentang penarikan pembiayaan, bank melakukan
syarat-syarat penarikan pembiayaan langsung ke nasabah/mudharib. Hal ini
telah sesuai dengan prinsip syariah, karena bank langsung memberikan
syarat-syarat penarikan pembiayaan ke nasabah tidak melalui orang
lain/perantara. Dengan demikian, bank memberikan syarat-syarat penarikan
pembiayaan langsung ke nasabah/pihak kedua, sehingga pembiayaan
benar-benar terjadi antara bank dengan nasabah.
Pasal 3 butir 2 berisi tentang syarat-syarat penarikan pembiayaan
(lihat lampiran 1 hal 2) disebutkan bahwa akad pembiayaan dan pengikatan
barang-barang jaminan telah dibuat, ditandatangani dan atau dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh pihak pertama serta
perundang-undangan yang berlaku yang dilaksanakan sepenuhnya dengan
benar. Seperti yang kita ketahui jaminan menjadi penting ketika shahibul
maal khawatir akan munculnya penyelewengan dari mudharib, di antaranya:
1. Side streaming; nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang
disebut dalam kontrak (kesalahan disengaja)
2. Lalai dan kesalahan disengaja
3. Penyembuyikan keuntungan oleh nasabah, bila nasabahnya tidak jujur
Pasal 3 butir 2 ini sudah sesuai dengan Fatwa DSN No. 07/DSNMUI/
IV/2000 pada alinea 1 butir 6 berisi tentang Lembaga Keuangan
Syariah sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari
mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang
disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian. Barang jaminan disini digunakan
apabila terjadi kerugian yang disebabkan karena kesalahan mudharib.
Karena dalam suatu usaha tidak akan selalu mendapatkan keuntungan
tetapi bisa juga rugi. Oleh karena itu barang jaminan disini sangat diperlukan
apabila terjadi kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan mudharib.
Pasal 3 butir 4 berisi tentang dalam hal pihak pertama mengalami
kesulitan dalam menyediakan dana pembiayaan atau biaya yang akan
dikeluarkan pihak I atas pembiayaan yang akan diberikan kepada pihak II
lebih besar dari keuntungan yang diperoleh, maka para pihak sepakat dan
setuju untuk menyesuaikan penyediaan pembiayaan yang akan dituangkan
dalam akad tersendiri dan berlaku mengikat bagi kedua belah pihak. Hal ini
sesuai dengan fatwa DSN No. 07/DSN-MUI/IV/2000 pada alinea 1 butir 3
berisi tentang jangka waktu usaha, tata cara pengembalian dana, dan
pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah
pihak (LKS dengan pengusaha). Seperti yang kita ketahui bahwa apabila
terjadi perubahan akad dalam pembiayaan ini maka perubahan tersebut
harus disepakati kedua belah pihak antara pihak I dengan pihak II dengan
jalan musyawarah tergantung kesepakatan diawal akad.
Pasal 4
Pasal 4 butir 4 berisi tentang para pihak sepakat dan setuju untuk
menyesuaikan nisbah bagi hasil yang dituangkan dalam akad tersendiri dan
berlaku mengikat bagi para pihak. Hal ini sesuai dengan Fatwa DSN no.
15/DSN-MUI/IX/2000 pada alinea 1 butir 3 berisi tentang penetapan prinsip
bagi hasil usaha yang dipilih harus disepakati dalam akad. Seperti yang kita
ketahui bersama bahwa apabila terjadi sesuatu dalam menyelesaikan nisbah
bagi hasil antara kedua belah pihak, maka harus diselesaikan dengan jalan
musyawarah terlebih dahulu agar tidak terjadi perselisihan antara keduanya,
tergantung pada kesepakatan diawal.
Pada pasal 4 butir 5 berisi tentang apabila akad ini telah berakhir dan
pihak kedua belum melunasi pembayaran kepada pihak pertama, maka
ketentuan tentang pembayaran nisbah bagi hasil yang telah diperjanjikan
tetap berlaku. Hal ini tidak sesuai dengan fatwa DSN no. 15/DSNMUI/
IX/2000 dijelaskan tentang prinsip distribusi hasil usaha yang dipilih
harus disepakati dalam akad. Jadi kalau kita ingin melihat apakah akad
tersebut masih tetap berlaku atau tidak, dilihat dulu kerugian tersebut
disebabkan dari kesalahan mudharib atau karena resiko usaha. Kalau
karena resiko usaha maka akad tersebut sudah tidak berlaku tetapi kalau
kerugian tersebut disebabkan karena kesalahan mudharib maka akad
tersebut masih berlaku.
Pasal 5
Pasal 5 berisi tentang pengakuan hutang. Hal ini belum sesuai
dengan fatwa DSN no. 07/DSN-MUI/IV/2000 alinea 2 butir 2 dijelaskan
bahwa dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana)
mempunyai 100% kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha
(nasabah) bertindak sebagai mudharib/pengelola usaha. Jadi jelas dalam
fatwa DSN no. 07/DSN-MUI/IV/2000 diterangkan adanya pengakuan modal
bukan pengakuan hutang oleh shahibul maal (pemilik dana).
Pasal 6
Pasal 6 berisi tentang jaminan yaitu guna menjamin pembayaran
kembali pembiayaan ini dan segala biaya lainnya yang dibebankan oleh
pihak I kepada pihak II dan sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
akad ini, maka dengan ini pihak kedua memberikan/menyerahkan jaminan
kepada pihak I sebagaimana tersebut dibawah ini.
(Diisi sesuai dengan jenis jaminan, pengikatan jaminan dan form yang
digunakan).
Hal ini belum sesuai dengan fatwa DSN no. 07/DSN-MUI/IV/2000 alinea 1
butir 7 tentang pembiayaan mudharabah, disitu dijelaskan bahwa jaminan ini
hanya dapat digunakan apabila dalam usaha tersebut terjadi resiko usaha
yang disebabkan karena kesalahan dari mudharib/pengelola seperti
diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian atau pelanggaran
kesepakatan, bukan menjamin pembayaran kembali pembiayaan ini dan
segala biaya lainnya yang dibebanknn oleh pihak pertama kepada pihak
kedua.
Pasal 7
Pasal 7 berisi tentang asuransi terhadap barang-barang
jaminan/barang yang dibiayai. Pihak kedua wajib mempertanggungkan atau
mengasuransikan atas beban sendiri dengan banker’s clause untuk dan atas
nama pihak pertama kepada perusahaan asuransi syariah yang disepakati
dan disetujui para pihak, atas seluruh maupun sebagian barang yang
dipergunakan sebagai jaminan dalam pembiayaan minimal selama jangka
waktu pembiayaan dengan kemungkinan sewaktu-waktu dapat diperpanjang
oleh pihak kedua sebagaimana yang disebutkan dalam polis dan disimpan
oleh pihak pertama. Hal ini sesuai dengan fatwa DSN no. 07/DSNMUI/
IV/2000 alinea 1 butir 7 disitu disebutkan bahwa pada prinsipnya, dalam
pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak
melakukan penyimpangan, shohibul maal dapat meminta jaminan dari
mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila
terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati
bersama dalam akad. Seperti yang kita ketahui bahwa jaminan ada dua
yaitu jaminan pokok dan jaminan tambahan, jaminan pokok yaitu jaminan
yang dibeli dari dana fasilitas perusahaan sedangkan jaminan tambahan
yaitu jaminan yang tidak dari dana fasilitas perusahaan tetapi dari dana milik
pribadi. Jadi disini jelas bahwa asuransi terhadap barang-barang
jaminan/barang yang dibiayai merupakan hak pihak kedua karena jaminan
tersebut berasal dari pihak kedua dan jaminan tersebut hanya dapat
digunakan atas kesalahan mudharib bukan karena kesalahan resiko usaha
atau musibah.
Pasal 8
Pasal 8 berisi tentang asuransi terhadap pembiayaan dan jiwa pihak
kedua. Untuk kepentingan pihak pertama, pihak pertama dapat
mempertanggungkan atau mengasuransikan pembiayaan ini dan atau jiwa
pihak kedua kepada perusahaan asuransi syariah yang disepakati dan
disetujui para pihak atas beban pihak kedua/pihak pertama dengan syaratsyarat
asuransi yang berlaku. Hal ini sesuai dengan fatwa DSN no. 07/DSNMUI/
IV/2000 alinea 1 butir 7 disitu disebutkan bahwa pada prinsipnya, dalam
pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak
melakukan penyimpangan, shohibul maal dapat meminta jaminan dari
mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila
terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati
bersama dalam akad.
Pasal 9
Pasal 9 berisi tentang syarat-syarat yang harus diperhatikan pihak ke
II. Seperti yang kita ketahui bahwa syarat-syarat yang terpenting yang harus
diperhatikan pihak kedua adalah mencari dokumen-dokumen/legalitas
sendiri untuk mudharib. Karena hal ini sangat penting untuk menentukan
apakah mudharib tersebut layak untuk dibiayai/tidak.
Pasal 10
Pasal 10 berisi tentang pihak pertama berhak baik dilakukan sendiri
atau dilakukan oleh pihak lain yang ditunjuk oleh para pihak untuk setiap
waktu meminta keterangan dan melakukan pemeriksaan yang diperlukan
pihak pertama baik kepada pihak kedua dan/atau perusahaannya maupun
atas barang-barang yang dibiayai dari akad pembiayaan ini dan barang
jaminan lainnya. Hal ini ssesuai dengan fatwa DSN No. 07/DSNMUI/
IV/2000 pada alinea 1 butir 4 dijelaskan bahwa mudharib boleh
melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan
sesuai dengan syariah; dan LKS tidak ikut serta dalam manajemen
perusahaan/proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan.
Pasal 11
Pasal 11 berisi tentang pernyataan seperti dalam lampiran 1 hal 6.
Pada pasal 11 butir 3 berisi tentang bilamana pembiayaan tidak dibayar
lunas pada waktu yang ditetapkan, maka pihak pertama berhak untuk
menjual seluruh jaminan sehubungan dengan pembiayaan ini, baik secara di
bawah tangan maupun di muka umum, untuk dan atas nama pertama dan
atas keikhlasan sendiri tampa paksaan pihak kedua dengan ini menyatakan
dengan sesungguhnya akan menyerahkan/mengosongkan rumah/bangunan
sebagaimana yang tersebut dalam pasal 6 akad ini. Hal ini belum sesuai
dengan fatwah DSN No 07/DSN-MUI/VI/2000 alinea 1 butir 7 dikatakan
bahwa jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti
melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama
dalam akad.
Pasal 11 butir ke 4 berisi tentang apabila pernyataan pada ayat (3)
tersebut di atas tidak dilaksanakan dengan semestinya, maka atas biaya
pihak kedua sendiri, pihak pertama dengan bantuan yang berwajib dapat
melaksanakannya. Seperti yang kita ketahui dalam fatwah DSN No 07/DSNMUI/
IV/2000 alinea 1 no 7 seperti yang tersebut di atas, dengan kata lain
sebelum kita menggunakan jaminan tersebut berarti kita harus melihat dulu
penyebabnya, kalau disebabkan karena kerugian, apakah kerugian tersebut
disebabkan atas kesalahan mudharib atau tidak. Jika kerugian tersebut
karena kesalahan mudharib, maka jaminan tersebut dapat dijual/dieksekusi
tetapi jika kerugian tersebut karena resiko bisnis berarti pihak pertama tidak
berhak mengeksekusi jaminan tersebut.
Pasal 12
Pasal 12 berisi tentang bea materai, biaya percetakan pada ayat (3)
tersebut diatas tidak dilaksanakan dengan semestinya, maka atas biaya
pihak kedua sendiri, pihak pertama dengan bantuan yang berwajib dapat
melaksanakannya. Hal ini sesuai dengan fatwa DSN No. 07/DSNMUI/
IV/2000 pada alinea 1 butir 9 dikatakan bahwa biaya operasional
dibebankan kepada mudharib.
Pasal 13
Pasal 13 berisi tentang akad ini dan segala akibatnya serta
pelaksanaannya para pihak memilih tempat kedudukan hokum (domisili)
yang tetap dan umum dikantor kepaniteraan pengadilan negeri di…atau
Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) di…dan/atau Panitia Urusan
Piutang Negara (PUPN) /Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang Negara
(KP3N) di…Hal ini sesuai dengan fatwa DSN No. 07/DSN/IV/2000 alinea 3
butir 4 disebutkan bahwa jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya/jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Hanya saja dalam fatwa DSN
No. 07/DSN/IV/2000 ini tidak melalui Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang
Negara (KP3N)/ Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), karena badan
Arbitrasi Muamalah Indonesia (BAMUI) ini berdasarkan Al Qur’an dan Hadits
dan berasal dari Tuhan yang Maha Tinggi (Allah) dibandingkan dengan
Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)/ Kantor Pelayanan Pengurusan
Piutang Negara (KP3N) yang dibuat berdasarkan kesapakatan DPR dan
Parlemen dan dibuat oleh manusia, jadi kedudukannya Badan Arbitrase
Muamalah Indonesia (BAMUI) lebih tinggi dibanging dengan Panitia Urusan
Piutang Negara (PUPN)/Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang Negara
(KP3N).
Seperti yang kita lihat dari tabel tabulasi analisis kesesuaian akad
pembiayaan Mudharabah Pada BRI Syariah Cabang Yogyakarta Dengan
Fatwa DSN-MUI dibawah ini, dapat kita lihat bahwa mekanisme akad
pembiayaan mudharabah pada BRI Syariah Cabang Yogyakarta belum
sepenuhnya sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Kesesuaian
akad pembiyaan mudharabah pada BRI Syariah Cabang Yogyakarta yang
sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional baru sekitar 10 butir
diantaranya yaitu pasal 3 butir 1, pasal 3 butir 2, pasal 3 butir 4, pasal 4 butir
4, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 2, pasal 13, sedangkan sisanya
4 butir belum sesuai diantaranya yaitu pasal 1 butir 1, pasal 5, pasal 6, pasal
11 butir 3, dan 2 butir dalam akad pembiayaan mudharabah pada BRI
Syariah Cabang Yogyakarta tidak sesuai dengan fatwa Dewan Syariah
Nasional diantaranya yaitu pasal 4 butir 5 dan pasal 11 butir 4.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan analisis terhadap akad pembiayaan mudharabah
pada BRI Syariah Cabang Yogyakarta, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
dalam akad pembiayaan mudharabah pada BRI Syariah Cabang Yogyakarta
tidak sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional. Kesesuaian akad
pembiayaan mudharabah pada BRI Syariah Cabang Yogyakarta yang sesuai
dengan fatwa Dewan Syariah Nasional baru sekitar 10 butir diantaranya yaitu
pasal 3 butir 1, pasal 3 butir 2, pasal 3 butir 4, pasal 4 butir 4, pasal 7, pasal 8,
pasal 9, pasal 10, pasal 12, pasal 13, sedangkan sisanya 4 butir belum sesuai
diantaranya yaitu pasal 1 butir 1, pasal 5, pasal 6, pasal 11 butir 3, dan 2 butir
dalam akad pembiayaan mudharabah pada BRI Syariah Cabang Yogyakarta
tidak sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional diantaranya yaitu pasal 4
butir 5 dan pasal 11 butir 4.
Keterbatasan Penelitian
Ada beberapa keterbatasan peneliti dalam penelitian ini, antara lain:
1. Adanya keterbatasan dana dalam penelitian.
2. Sulitnya menemui dosen pembimbing yang dikarenakan dosen tersebut
sibuk.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, analisis dan pembahasan, maka penulis
memberi saran, yaitu:
Bank dalam menetapkan kebijakan hendaknya selalu
berpedoman pada fatwa Dewan Syariah Nasional agar
dalam pelaksanaan operasional bank tidak menyimpang dari
prinsip-prinsip syariah.
Agar tidak ada pihak yang merasa dizholimi, sebaiknya akad
tersebut dibuat dengan sebenar-benarnya dan dengan penuh
keikhlasan antara kedua belah pihak yaitu pihak shohibul
maal dan mudharib.
Dalam penetapan bagi hasil, bank sebaiknya menetapkan
berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak, bukan
berdasarkan besarnya pembiayaan yang diberikan oleh
bank.
Yang ingin bermudharabah, mencari bank lain yang sesuai
Syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, 1999.
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001.
Arifin, Zainul, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Alva bet, 2002.
Dasar-dasar Manajemen bank Syariah, Jakarta: Alva bet, 2002.
Badrulzaman, Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti,
2001.
BI, Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah, Jakarta, 1999.
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000, “Pembiayaan
Mudharabah”.
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 15/DSN-MUI/IX/2000, Prinsip Distribusi Hasil
Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah”.
Hendi Yogi Prabowo, Heri Sudarsono, Istilah-istilah Bank Dan Lembaga
Keuangan Syariah, Yogyakarta: Anggota IKAPI, 2004.
Husain Usman, Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta:
Bumi Aksara, 1998.
Istiyana, Skripsi, “Sistem Pengawasan Terhadap Mudharib Pembiayaan
Mudharabah Pada BMI Cabang Yogyakarta”, Yogyakarta: UMY, 2003.
Karim, Helmi, Fiqih Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda Karya, 1995.
Lubis, Suhrawardi K, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
Muhammad, Manajemen BMT, Yogyakarta: STIS, 1998.
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, Yogyakarta: (UPP) AMP
YKPN.
Nazir, Mohammad, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.
Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Sutopo, HB, Metodologi Penelitian Kualitatif II, Surakarta: UNS Press, 1990.
Siddiqi, M. Nejatullah, Kemitraan Usaha & Bagi Hasil Dalam Hukum Islam,
Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996.
Syafe’i, Rachmat, Fiqih Muamalah, Jabar: CV. Pustaka Setia, 2001.
Tazkia Institute, Prinsip-Prinsip Perbankkan syariah,
Widjajakusuma, Muhammad Karebet, Pengantar manajemen Syariah,
Yogyakarta: Perisai pustaka Utama, 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar