Oleh: M. Hatta
A. Pendahuluan
Sebelas tahun sudah Asia Tenggara khususnya Indonesia1 melewati
sebuah peristiwa ekonomi yang telah membuka mata dan pikiran semua
pihak betapa rapuhnya bangunan ekonomi yang dibangun. Setelah
sebelumnya mendapat julukan sebagai The East Asian Miracle dan macannya
Asia (Asian tiger), tidak lama berselang terjadilah guncangan (shock) ekonomi
yang berawal dari sisi moneter. Dari sisi nilai tukar (exchange rate), pada
tanggal 18 januari 1998 rupiah mencapai puncak kejatuhannya dengan
menembus angka Rp. 16.000 per 1 dolar AS.2 Dari sisi inflasi, angka inflasi
mencapai 77,60 % dan PDB -13,20 %.3
Bagaimana dengan kondisi ekonomi saat ini? Kondisi ekonomi
Indonesia pada tahun 2007 secara umum berada dalam tekanan krisis pada
sektor properti (kredit macet subprime mortgage)4 yang terjadi di Amerika
Serikat serta melambungnya harga minyak dunia yang mencapai US $100 per
barrel5 dan adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia.6
Sebagaimana halnya di tahun 2007, kondisi makroekonomi
Indonesia pada tahun 2008 masih tetap dalam tekanan krisis subprime
mortgage yang masih terus berlanjut di AS bahkan ada kecendungan untuk
semakin gawat,7 berpotensinya harga minyak dunia mengalami kenaikan
yang tajam,8 masih berlanjutnya perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia.9
Serta dikeluarkannya keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM
sekitar 28,5 % yang sudah dapat dipastikan berimplikasi kepada kenaikan
harga-harga barang.10 Walaupun kondisi ekonomi Indonesia masih
menunjukkan stabilitas yang terjaga,11 faktor-faktor eksternal di atas akan
sangat mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar dan pencapaian target
1 Indonesia sudah mengalami krisis ekonomi sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun
1940an (ketika penjajahan jepang), tahun 1965 (disaat ambruknya pemerintahan Bung Karno),
ketiga pada tahun 1997 yang lalu. Lihat Wawancara Prof. Sumitro Djojohadikusumo, dalam
http://www.tempo.co.id/har/ti/juni10-1.htm. Lihat juga Sejarah BI; Moneter, http://www.bi.go.id
2 Ismail Yusanto. Mencari Solusi Krisis Ekonomi. Dalam buku Dinar Emas Solusi Krisis
Moneter, cet. I (Jakarta: PIRAC, SEM Institute, Infid, 2001), hal. 3
3 Staf Ahli Menneg PPN Bidang Ekonomi Perusahaan. Pengkajian dan Monitoring
Pelaksanaan Penyehatan Perbankan, hal. 4
4 Subprime mortgage adalah sebuah fasilitas kredit rumah yang diperuntukkan bagi
kalangan masyarakat yang kemampuan ekonominya lemah. Oleh karenanya kredit ini
mempunyai potensi gagal (default) bayar yang sangat tinggi. Lihat Kajian Stabilitas Keuangan
No. 9, September 2007, hal. 16, http://www.bi.go.id
5 Analisis faktor penyebab naiknya harga minyak dunia bisa dilihat di http://www.hizbuttahrir.
or.id, Soal Jawab Kenaikan Harga Minyak Dunia.
6 Faktor lain yang membayangi kondisi makroekonomi Indonesia adalah tingginya arus
capital inflow yang berjangka pendek (hot money). Lihat Ibid., Kajian Stabilitas Keuangan No. 9,
September 2007, hal. 3
7 A Tony Prasetiantono. Menuju Jurang Kebangkrutan. http://www.jurnal-ekonomi.org
8 Kurtubi, Gejolak harga minyak dan APBN 2008. http://www.UNISOSDEM.org. Hal ini
diperparah tren tingkat produksi (lifting) minyak cenderung terus menurun akibat lapanganlapangan
minyak yang ada sudah berusia tua sementara penemuan lapangan minyak baru
(eksplorasi) semakin minim. Lihat Jurnal al Wa’ie No.92 Tahun VIII, 2008.
9 SEACEN: Krisis Finansial AS Diyakini Tak Mampir ke Asia. http://www.detik.com
10 Akibat Spekulan Harga Minyak Capai Rekor Baru US $ 135. http://www.jurnalekonomi.
org
11 Pernyataan Gubernur Bank Indonesia : Bi Rate Tetap 8,0%, No.10/ 8 /Pshm/Humas.
http://www.bi.go.id
3
inflasi di tahun 2008 ini.12 Hal ini tentu saja akan mengakibatkan
terhambatnya pertumbuhan sektor riil.
Keberadaan permasalahan inflasi dan tidak stabilnya sektor riil dari
waktu ke waktu senantiasa menjadi perhatian sebuah rezim pemerintahan
yang berkuasa serta otoritas moneter.13 Lebih dari itu, ada kecendrungan
Inflasi dipandang sebagai permasalahan yang senantiasa akan terjadi.14
Hal ini tercermin dari kebijakan otoritas moneter dalam menjaga
tingkat inflasi. Setiap tahunnya otoritas moneter senantiasa menargetkan
bahwa angka atau tingkat inflasi harus diturunkan menjadi satu digit atau
inflasi moderat.15
Dengan paradigma berpikir seperti itu, otoritas moneter dalam
upayanya menyelesaikan permasalahan inflasi cenderung “berkutat” pada
bagaimana menurunkan tingkat inflasi yang tinggi, bukan berpikir bagaimana
agar inflasi tidak terjadi.16
Upaya otoritas moneter mengendalikan iflasi memang sangatlah
beralasan. Terutama disebabkan dampak inflasi terhadap pertumbuhan
ekonomi. Dari segi biaya, biaya yang harus ditanggung pemerintah dengan
adanya inflasi sangatlah besar.17 Terjadinya inflasi dapat mendistorsi hargaharga
relatif, tingkat pajak, suku bunga riil, pendapatan masyarakat akan
terganggu, mendorong investasi yang keliru, dan menurunkan moral.18 Maka
dari itu, mengatasi inflasi merupakan sasaran utama kebijakan moneter.19
Secara empirik, pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi
dapat dilihat dari krisis tahun 1997 - 1998 yang mengakibatkan terganggunya
sektor riil. Krisis ini diawali dari krisis di sektor moneter (depresiasi nilai tukar
rupiah dengan dolar) yang kemudian merambat kepada semua sektor tanpa
terkecuali.20 Tingkat Inflasi ketika itu sebesar 77,60 % yang diikuti
pertumbuhan ekonomi minus 13,20 %.21 Adapun terganggunya sektor riil
tampak pada kontraksi produksi pada hampir seluruh sektor perekonomian.
Tahun 1998, seluruh sektor dalam perekonomian (kecuali sektor listrik, gas,
12 Ibid., Target Bank Indonesia di tahun 2008 ini inflasi berada pada angka 4,5%.
13 Bambang Kusumanto. Dapatkah Inflasi di Indonesia dijinakkan? Fiskal.depkeu.go.id.
Kamis, 24 mei 2007
14 T. Gilarso. Pengantar Ilmu Ekonomi Bagian Makro, cet. IX (Yogyakarta: Kanisius,
2002), hal. 398.
15 Pada tahun 1998 triwulan pertama ketika inflasi sebesar 20% maka BI segra
mengambil kebijakan untuk menaikkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebesar 15%.
Lihat Tony Prasetiantono, Efektivitas Rupiah Superketat, Majalah D&R, 04 April 1998.
16 Riawan Amin, Mengendalikan atau Menghapus Inflasi, 18 Mei 2007,
http://www.sebi.ac.id
17 Besarnya biaya disinflasi (kebijakan untuk menurunkan tingkat inflasi) di Amerika
pada periode 1980-1984 misalnya telah membebani negara sekitar $ 215 milyar kerugian output
(dalam harga 1990) per satuan persentase pengurangan inflasi. Lihat Paul A. Samuelson dan
William D. Nordhaus. Macro Economics (Makro Ekonomi), cet. XI (Jakarta; Erlangga, 2005), hal.
336
18 Ibid., hal. 320. Lihat juga Dictionary of Economics, second edition, alih bahasa oleh
Tumpal Rumapea, Posman Haloho. Penerbit Erlangga, 1994. hal. 303.
19 Undang Undang No. 23 Th. 1999 Tentang Bank Indonesia mengamanatkan
pencapaian kestabilan nilai rupiah, khususnya dalam bentuk inflasi, sebagai sasaran akhir
kebijakan moneter Bank Indonesia. Conference on Monetary Policy and Inflation Targeting in
Emerging Economies. http://www .bi.go.id
20 Ismail Yusanto. Mencari Solusi Krisis Ekonomi, hal. 2
21 Staf Ahli Menneg PPN Bidang Ekonomi Perusahaan. Pengkajian dan Monitoring
Pelaksanaan Penyehatan Perbankan, hal. 4
4
dan air bersih) mengalami kontraksi. Sektor konstruksi mengalami kontraksi
terbesar yaitu 36,4 %. Disusul kemudian sektor keuangan sebesar 26,6 %.22
Inflasi sesungguhnya mencerminkan kestabilan nilai sebuah mata
uang.23 Stabilitas tersebut tercermin dari stabilitas tingkat harga yang
kemudian berpengaruh terhadap realisasi pencapaian tujuan pembangunan
ekonomi suatu negara, seperti pemenuhan kebutuhan dasar, pemerataan
distribusi pendapatan dan kekayaan, perluasan kesempatan kerja, dan
stabilitas ekonomi.24
Sebagaimana disebutkan di atas, kestabilan nilai mata uang sangat
penting untuk dijaga yang merupakan cerminan dari inflasi. Maka timbul
pertanyaan, bagaimana caranya menjaga kestabilan nilai mata uang kertas
sekarang?
Sistem moneter dunia kini dikuasai fiat money yang sangat rentan
dengan fluktuasi (Volatile25), kecuali beberapa negara yang menggunakan
uang dwi-logam (dinar dan dirham).26 Implikasi dari dominannya penggunaan
fiat money, perjalanan perekonomian dunia senantiasa mengalami “pasangsurut”.
Robert A Mundell, peraih nobel ekonomi, mengatakan ketika
masyarakat dunia menggunakan fiat money, maka konsekuensi logisnya,
mereka telah memasuki tahapan ekonomi baru: regime of permanent inflation
atau inflasi abadi.27 Hal yang sama juga dikatakan oleh William Cobbet dalam
tulisannya yang berjudul Peper Againts Gold (1828). Ia mengatakan bahwa
utang nasional dan inflasi adalah anak dari sistem uang kertas.28
Dalam rangka mengendalikan inflasi dan menjaga stabilnya nilai mata
uang, Pemerintah dan otoritas moneter yang ada mengambil beberapa
kebijakan baik dari segi moneter, fiskal, maupun sektor riil.29 Dari segi
moneter maka bank sentral akan menaikkan suku bunga dan pengetatan
likuiditas perbank-kan, mengkaji efektivitas instrumen moneter dan jalur
transmisi kebijakan moneter, menentukan sasaran akhir kebijakan moneter,
mengidentifikasi variabel yang menyebabkan tekanan-tekanan inflasi,
memformulasikan respon kebijakan moneter.30
Dari segi fiskal, pemerintah menerapkan kenaikan prosentase
pungutan pajak, mengadakan pinjaman sukarela atau pinjaman paksa,
memotong uang, membekukan sebagian atau seluruhnya simpanan-simpanan
22 Deniey Adi Purwanto, Sudahkah Perekonomian Indonesia Keluar dari Krisis?
23 Peranan Bank Indonesia Dalam Pengendalian Inflasi, 24 Mei 2007, http://www.bi.go.id
24 Mulya E. Siregar. Manajemen Moneter Alternatif, dalam Buku Dinar Emas Solusi Krisis
Moneter. Cet. I (Jakarta; PIRAC, SEM Institute, Infid, 2001), hal. 88
25 Volatile sama dengan tidak stabil, rentan fluktuasi, atau nilainya gampang mengalami
naik turun secara relatif dibandingkan dengan mata uang lainnya. Lihat M. Lutfi Hamidi. Gold
Dinar (Sistem Moneter Global yang Stabil dan Berkeadilan), cet. I (Jakarta: Senayan Publishing,
2007), hal. 32
26 Negara tersebut adalah Kuwait, Yordania, Tunisia, Bahrain, Iran dan beberapa negara
Timur Tengah lainnya. Lihat, Benny, “Pengaruh Penggunaan Mata Uang Berbasis Emas (Dinar
Kuwait) Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Kuwait Tahun 1994-2003”, Skripsi: STIKER,
Yogyakarta, hal. 11
27 A. Riawan. Mengendalikan atau Menghilangkan Inflasi, http://www.sebi.ac.id
28 Tarek El Diwany. The Problem with Interest (Sistem bunga dan Permasalahannya),
cet. I (Jakarta: Akbar, 2003), hal. 53
29 Peranan Bank Indonesia Dalam Pengendalian Inflasi, 24 Mei 2007, http://www.bi.go.id
30 Ibid.,
5
(deposito) pihak-pihak partikulir (bukan punya pemerintah) yang ada dalam
bank-bank, serta penurunan pengeluaran pemerintah.31
Gambar 1. Dilema Kebijakan Pengendalian Inflasi dan
Akibat Buruk Fiat Money
Sumber: Diolah sendiri dari beberapa sumber
Tampak pada gambar di atas, tindakan BI, Pemerintah, dan Usaha
Swasta dalam mengendalikan inflasi hanyalah sebatas menyentuh
permasalahan teknis atau gejala (symptom) semata.
31 M. Manullang. Ekonomi Moneter, cet. XIII (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993), hal. 93-
96
6
Sebaliknya, perpaduan kebijakan32 yang digunakan menimbulkan krisis
bertambah parah. Inilah sebuah dilema yang sampai saat ini belum
terpecahkan sebagaimana secara jelas dikatakan oleh Samuelson dan
Nordhaus. Bahkan mereka mengatakan kebijakan atau solusi yang ditawarkan
oleh para ahli dalam memecahkan permasalahan inflasi dan pengangguran
secara bersamaan justru menyebabkan efek sampingan yang lebih buruk dari
penyakitnya itu sendiri.33 Ini terjadi dikarenakan “obat” yang diberikan hanya
sebatas menghilangkan penyakit bagian permukaan saja, sementara penyakit
bagian dalamnya masih belum disembuhkan.34
Penyakit bagian dalam yang belum tersentuh oleh perpaduan
kebijakan di atas adalah terkait dengan hakikat mata uang itu sendiri dan
sistem yang melingkupinya35 serta penyalahgunaan dari fungsi dasar uang
sebagai alat tukar yang bertambah menjadi tidak hanya sebatas sebagai alat
tukar, melainkan juga menjadi sebuah barang (komoditas) yang turut
diperdagangkan dengan imbalan bunga (interest).36
Dari sini dapat disimpulkan bahwa, kehadiran kebijakan moneter
alternatif (mata uang yang kuat dan stabil, serta kebijakan moneter yang
tidak memunculkan dilema di sektor riil) yang mampu mengendalikan inflasi
sudah sangat mendesak dibutuhkan dan segera diaplikasikan.
Dalam hal ini, Abdul Qadim Zallum (Pemimpin Ke 2 Hizbut Tahrir)
dalam bukunya Sistem Keuangan di Negara Khilafah mengatakan bahwa,
sistem moneter yang berbasis kepada emas dan perak merupakan satusatunya
sistem moneter yang mampu menyelesaikan problematika mata
uang, menghilangkan inflasi besar-besaran yang menimpa seluruh dunia, dan
mampu mewujudkan stabilitas mata uang dan stabilitas nilai tukar, serta bisa
mendorong kemajuan perdagangan internasional.37
Untuk itu, penulis sangat tertarik untuk meneliti kebijakan moneter
alternatif yang mampu mengendalikan inflasi menurut Hizbut Tahrir.
Meskipun secara khusus, sebenarnya Hizbut Tahrir tidak pernah membuat
konsep moneter Islam baik dalam buku, booklet, leaflet, dan publikasipublikasi
resmi Hizbut Tahrir lainnya, namun kebijakan moneter Hizbut Tahrir
dapat dihimpun dan dianalisa dari pandangan Hizbut Tahrir tentang dinar &
32 Di Indonesia, sinergi kebijakan dalam rangka antisipasi inflasi ini dituangkan dalam
Keputusan Menteri Keuangan yang menyatakan pengendalian inflasi akan dilakukan dalam suatu
forum yang dikoordinasi oleh Menko Perekonomian, yang beranggotakan Menteri Keuangan,
Gubernur BI, Menteri Perdagangan, dan menteri-menteri terkait. Pembahasan yang lebih lanjut
tentang sinergi kebijakan antara pemerintah dengan otoritas moneter dapat dibaca pada
Iskandar Simorangkir. Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal di Indonesia: Suatu Kajian
dengan Pendekatan Game Theory. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, vol. 9, no. 3, Januari
2007.
33 Lihat Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, Economic Macro (Makro Ekonomi),
hal. 322. Dilema kebijakan moneter digambarkan oleh Kwik Kian Gie dengan pernyataan “Jangan
sampai nilai tukar rupiah merosot walaupun sektor riilnya ambruk”, Lihat Kwik Kian Gie,
Membengkaknya Sertifikat BI. Bisnis Indonesia, 4 maret 2007, dalam
http://www.UNISOSDEM.org. Ketua Umum Kadin M.S. Hidayat memberikan keterangan perihal
beban besar yang ditanggung BI dalam setahun untuk membiayai bunga dari SBI (sebesar 20
triliun) sejatinya dapat meningkatkan sektor riil yang cukup signifikan, lihat Gung Panggodo S,
Menanti Trobosan di Sektor Keuangan. Bisnis Indonesia, 5 Maret 2007, dalam
http://www.UNISOSDEM.org. Ibid., Ryan Kiryanto, Dana di SBI: Sebuah Dilema
34 Pengendalian inflasi dalam perspektif al Qur’an, http://www.dwicondro.blogspot.com
35 fractional reserve requirement, floating exchange rate, interest
36 Lihat gambar 1. Ismail Yusanto. Mencari Solusi., hal. 3
37 Abdul Qadim Zallum. Sistem Keuangan di Negara Khilafah, cet. I (Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah, 2002), hal. 239
7
dirham sebagai mata uang, hukum jual beli mata uang asing, hukum
pertukaran mata uang, hukum riba, hukum pasar modal, hukum perbankan,
hukum pertukaran internasional.
B. Pengendalian Inflasi dalam Perspektif Kebijakan Moneter Islam
1. Definisi Kebijakan Moneter dan Inflasi
Untuk memudahkan analisa permasalahan pengendalian inflasi dalam
perspektif kebijakan moneter Islam, maka penulis terlebih dahulu akan
memabahas secara singkat berkaitan dengan dua variabel yang digunakan
dalam penelitian ini, yakni kebijakan moneter dan inflasi.
Aulia Pohan mengatakan kebijakan moneter (monetary policy) adalah
suatu pengaturan di bidang moneter yang bertujuan untuk menjaga dan
memelihara kestabilan nilai uang dan mendorong kelancaran produksi dan
pembangunan dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat.38 Hampir
senada dengan definisi yang diutarakan Pohan, dalam kamus istilah keuangan
dan perbankan kebijakan moneter didefinisikan dengan rencana dan tindakan
otoritas moneter yang terkoordinasi untuk menjaga keseimbangan moneter,
dan kestabilan nilai uang, mendorong kelancaran produksi dan pembangunan,
serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.39
Wikipedia memberikan definisi kebijakan moneter dengan sebuah
proses yang dilakukan oleh pemerintah, bank sentral, atau otoritas moneter
dari sebuah negara untuk mengontrol, penawaran uang, ketersediaan uang,
tingkat bunga, dalam rangka mencapai seperangkat tujuan orientasi kepada
pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Dimana biasanya kebijakan moneter
dikenal sebagai pilihan antara kebijakan ekspansi atau kebijakan kontraksi.40
Definisi ini hampir senada dengan definisi yang diberikan oleh Dictionary of
Economics, dimana dikatakan kebijakan moneter adalah suatu instrumen
kebijakan ekonomi makro yang mengatur penawaran uang, kredit dan tingkat
bunga dalam rangka mengendalikan tingkat pembelanjaan atau pengeluaran
dalam perekonomian.41
Definisi kebijakan moneter yang digunakan pada penelitian ini adalah
sebagaimana definisi yang disampaikan oleh Pohan. Definisi ini lebih bersifat
netral (tidak memihak kepada salah satu aliran ekonomi yang ada,
sebagaimana definisi yang ada pada wikipedia dan kamus Istilah Keuangan
dan Perbankan yang lebih dominan kepada aliran moneteris).42
Adapun definisi inflasi dalam Dictionary of Economics didefinisikan
dengan suatu peningkatan tingkat harga umum dalam suatu perekonomian
yang berlangsung secara terus menerus dari waktu ke waktu.43 Samuelson
dan Nordhaus dalam buku mereka Macro Economics mendefinisikan inflasi
38 Aulia Pohan. Potret Kebijakan Moneter Indonesia, cet. I (Jakarta; Rajawali Pers,
2008), hal. 11
39 Aliminsyah dan Padji. Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan, cet. II
(Bandung:Yrama Widya, 2006), hal. 186
40 Monetary Policy, dalam http://www.wikipedia.com
41 Dictionary of Economics, hal. 416-417
42 Indikasi dari ketidaknetralan tersebut adalah disebutkannya kontrol penawaran uang,
tingkat bunga, kebijakan ekspansi dan kontraksi moneter.
43 Dictionary of Economics, hal. 303
8
dengan cukup pendek yaitu kenaikan tingkat harga umum.44 Adapun Bank
Indonesia mendefinisikan inflasi dengan kecenderungan dari harga-harga
untuk meningkat secara umum dan terus menerus.45
Definisi di atas mendapat kritikan cukup tajam dari mazhab ekonomi
Austria. Ekonom dari mazhab Austria mengatakan bahwa definisi inflasi di
atas tidak mengambarkan fakta inflasi sesungguhnya, terlebih lagi adalah
faktor pemicu inflasi itu sendiri. Definisi di atas hanya sebatas menjelaskan
salah satu akibat inflasi.46
Aliminsyah dan Padji memberikan definisi inflasi sebagai berikut “suatu
keadaan yang menunjukkan jumlah peredaran uang yang lebih banyak dari
pada jumlah barang yang beredar, sehingga menimbulkan penurunan daya
beli uang dan selanjutnya terjadi kenaikan harga yang menyolok”47. Definisi
ini hampir senada dengan yang disampaikan oleh Murray N. Rothbard.48
Terjadinya perbedaan delam mendefinisikan inflasi ini dikarenakan
sebagian pakar ekonomi menjelaskan makna inflasi berdasarkan sebab yang
menimbulkan inflasi dan sebagian yang lain berdasarkan akibat yang
ditimbulkan oleh inflasi.49
Secara umum, definisi inflasi yang jamak dipakai adalah definisi yang
penulis tulis pada bagian pertama.50 Sebagaimana halnya definisi kebijakan
moneter yang digunakan dalam penelitian ini, maka dalam definisi inflasi
penulis menggunakan definisi inflasi yang disampaikan oleh Bank Indonesia.
Mengapa penulis menggunakan definisi inflasi yang pertama? Ada dua
alasan yang penulis gunakan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, harus
kita pahami bahwa sebuah definisi adakalanya berasal dari sebuah konsep
tentang nilai yang dalam perumusannya diharuskan merujuk kepada dalil-dalil
syar’i dan adakalanya terkait dengan konsep yang murni berasal dari sebuah
fakta.51
Definisi inflasi sepenuhnya didasarkan pada penelaahan yang cermat
(dan tepat) terhadap fakta fenomena perkembangan harga barang dan jasa.
Dengan kata lain, definisi inflasi adalah berbicara fakta apa adanya (das sein),
bukan berbicara apa yang seharusnya (das sollen).52 Dalam hal ini, definisi
inflasi kelompok yang ke dua tidaklah menggambarkan fakta apa adanya.53
Ini sama halnya ketika kita mendefinisikan tentang akal. Akal atau
berpikir adalah proses pemindahan fakta melalui indera ke dalam otak disertai
dengan informasi sebelumnya yang digunakan untuk menafsirkan fakta
44 Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus. Macro Economics, hal. 307
45 http://www.bi.go.id
46 Murray N. Rothbard. What has Government Done to Our Money? (Apa yang Dilakukan
Pemerintah Terhadap Uang Kita?), cet I (Jakarta; Granit, 2007), hal. Xiii-xiv
47 Aliminsyah dan Padji. Kamus Istilah., hal. 370
48 Murray N. Rothbard. What has.,. Lihat juga Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet IX (Jakarta; Balai Pustaka, 1997), hal. 378. Lihat juga
Inflasi, http://www.id.wikipedia.org
49 Ahmad Hasan. Al Auraq Al Naqdiyah Fi Al- Iqtishad Al Islamy (Qimatuha wa
Ahkamuha) (Mata Uang Islami: Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami), (Jakarta:
Rajawali Pers, 2005), hal. 273-274
50 Kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus
51 Muhammad Shiddiq Al Jawi, Seputar Konsep Syakhsiyah.
http:///www.khilafah1924.org
52 Ibid.,
53 Memasukkan unsur jumlah uang beredar
9
tersebut. Definisi ini diperoleh dari fakta kegiatan berpikir manusia.54 Metode
telaah seperti inilah yang seharusnya juga diterapkan dalam mendefinisikan
fakta tentang inflasi.
Kedua, sebagaimana halnya definisi kebijakan moneter, definisi inflasi
kelompok yang ke dua memasukkan unsur besaran jumlah uang beredar
sehingga definisi tersebut tidak bersifat netral (mengikuti aliran moneteris).
Dengan kata lain, ia hanya memuat salah satu dari penyebab
terjadinya inflasi. Padahal secara faktual penyebab inflasi sangatlah beragam
sebagaimana yang penulis tuliskan di bawah ini.
Secara umum, berdasarkan penyebabnya inflasi terbagi ke dalam 3
macam, yakni: Pertama, tarikan permintaan (demand-pull inflation). Inflasi
ini timbul apabila permintaan agregat meningkat lebih cepat dibandingkan
dengan potensi produktif perekonomian. Kedua, dorongan biaya (cosh-push
inflation). Inflasi ini timbul karena adanya depresiasi nilai tukar, dampak
inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan
harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price), dan
terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya
distribusi. Ketiga, ekspektasi inflasi. Inflasi ini dipengaruhi oleh perilaku
masyarakat dan pelaku ekonomi apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau
forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat
produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar
keagamaan dan penentuan upah minimum regional.55
Gambar 2
Keterkaitan Antar Jenis-jenis Inflasi
Sumber: http://www.bi.go.id
54 Muhammad Shiddiq al Jawi, Seputar.,
55 http://.www.bi.go.id
10
Dalam rangka menjaga inflasi agar tetap dalam tingkat moderat baik
pemerintah (kebijakan fiskal) maupun otoritas moneter (kebijakan moneter)
mengambil sejumlah langkah sebagaimana yang telah kami tuliskan pada
bagian latar belakang.56
Bagaimana inflasi dalam perekonomian Islam? Sesungguhnya, apabila
inflasi didefinisikan dengan kecendrungan kenaikan harga-harga secara
umum, maka akan kita dapati bahwa dalam setiap perekonomian (apakah itu
menggunakan sistem ekonomi Kapitalis ataupun Islam) akan senantiasa
ditemui permasalahan inflasi.
Hanya saja, terdapat perbedaan yang cukup signifikan (baik secara
kuantitatif maupun kualitatif) antara permasalahan inflasi yang ada di dalam
perekonomian Islam dengan yang ada di dalam perekonomian Kapitalis.
Salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan itu adalah
dikarenakan mata uang yang digunakan dalam perekonomian Islam adalah
bimetalik (dinar dan dirham). Dimana dalam diri dinar dan dirham tersebut
mempunyai sejumlah keunggulan dibandingkan dengan mata uang kertas
yang digunakan pada saat ini. Salah satu keunggulan itu adalah adanya nilai
intrinsik (nilai ini tidak terdapat pada fiat money) yang terkandung di
dalamnya. Oleh karena itu, inflasi yang disebabkan faktor lemahnya mata
uang (depresiasi nilai) sebagaimana yang terjadi dalam perekonomian
Kapitalis tidak akan terjadi dalam perekonomian Islam.57
2. Kebijakan Moneter
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, dalam tulisan ini penulis
akan mencoba memberikan deskripsi kebijakan moneter Islam (Perspektif
Hizbut Tahrir) dalam mengendalikan inflasi.
Setidaknya ada tujuh kebijakan moneter Islam yang menurut penulis
dapat mengendalikan inflasi baik secara langsung maupun tidak langsung,
yaitu: Dinar dan dirham sebagai mata uang, hukum jual beli mata uang asing,
hukum pertukaran mata uang, hukum bunga, hukum pasar modal, hukum
perbankan, hukum pertukaran internasional, dan otoritas kebijakan moneter.
Di bawah ini penulis akan menjelaskan (secara singkat) empat dari
tujuh kebijakan moneter di atas dalam kaitannya mengendalikan inflasi.
2.1 Dinar dan Dirham
Di atas penulis sudah menjelaskan bagaimana eksistensi dari fiat
money yang secara pasti menyebabkan terjadinya inflasi. Lebih dari itu, ia
merupakan faktor utama terjadinya inflasi dalam sitem Kapitalisme.
Berbeda halnya dalam sistem ekonomi Islam, inflasi yang disebabkan
kelemahan dari mata uang relatif cukup kecil kemungkinan terjadinya (kalau
tidak bisa dikatakan tidak akan terjadi).
56 Pada halaman 5 dan 6
57 Efek dari depresiasi nilai tukar mata uang akan mengakibatkan efek berantai, yaitu
menurunnya nilai rupiah terhadap sejumlah barang yang sifatnya dibutuhkan dunia internasional
(komoditi internasional; minyak misalnya), dan meningkatnya harga bahan baku bagi industri
dalam negeri yang di dapatkan di luar negeri melalui mitra dagang sehingga mengakibatkan
naiknya biaya produksi.
11
Mengapa demikian? Untuk mengetahui mengapa penggunaan dinar
dan dirham dapat mengendalikan inflasi terlebih dahulu harus diketahui
kelemahan dari fiat money. Setelah itu dikomparasikan dengan karakteristik
mata uang dinar dan dirham.
Telah diketahui bahwa, Fiat money memiliki kelemahan yang teramat
fatal.58 Sebaliknya, dinar dan dirham tidaklah memiliki kelemahan
sebagaimana yang ditemukan dalam fiat money. Faktor fundamental dari
kekuatan dinar dan dirham adalah setaranya antara nilai nominal dengan nilai
intrinsik yang terdapat pada mata uang tersebut.
Eksistensi nilai intrinsik ini akan secara otomatis menjaga nilai
tukarnya terhadap mata uang lain. Sehingga inflasi yang disebabkan
lemahnya nilai tukar mata uang domestik dengan mata uang asing yang
berdampak kepada naiknya komoditas impor, output gap,59 dan ekspektasi
inflasi60 dapat dikatakan tidak akan terjadi.61
2.2 Hukum Bunga
Pergerakan ekonomi dalam sistem ekonomi konvensional sangat
bergantung pada sistem bunga. Begitu pentingnya sistem bunga bagi
ekonomi Kapitalisme, maka dalam kebijakan moneter konvensional struktur
suku bunga menjadi salah satu instrumen moneter untuk mencapai sasaran
akhir (inflasi).
Hampir semua sektor ekonomi Kapitalisme terkait dengan sistem
bunga, mulai dari sektor riil terlebih lagi adalah sektor non riil. Sistem bunga
mengakibatkan sektor non riil berkembang lebih cepat dibandingkan dengan
sektor riil. Hal ini dikarenakan sektor non riil dalam memberikan keuntungan
relatif lebih cepat dan besar jumlahnya apabila dibandingkan dengan sektor
riil.
Akibatnya sektor riil mengalami kekurangan “darah” untuk
menggerakkan roda ekonomi. Ketika roda ekonomi sudah berjalan lambat dan
bahkan terhenti bisa dipastikan inflasi adalah sebuah keniscayaan yang akan
terjadi.
Sebaliknya, Islam secara tegas berpendapat bahwa, bunga hukumnya
adalah haram.62 Kalau bunga dalam Islam diharamkan, lalu bagaimana
caranya menggerakkan roda ekonomi?
Islam menggariskan bahwa, harta yang dimiliki oleh seseorang
individu apabila ingin dikembangkan haruslah melewati cara yang memang
58 Lihat gambar 1
59 Output gap (deflationary gap) adalah kesenjangan output atau deflasioner. Maksudnya
adalah penurunan pengeluaran total permintaan agregat (aggregat demand) pada tingkat
kesempatan kerja penuh (full employment) pendapatan nasional potensial (potensial GNP).
Karena pengurangan beberapa pengeluaran, maka beberapa sumber-sumber ekonomi yang tidak
produktif akan menyebabkan produksi nasional bruto actual (actual GNP) di bawah produksi
nasional bruto potensial. Dictionary of Economics, hal. 135 dan 469.
60 Inflasi yang disebabkan perilaku ekonomi masyarakat dan pelaku ekonomi (antisipasi)
dari kejadian yang akan datang perihal perkembangan ekonomi, yaitu: pembentukan harga di
tingkat produsen, dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan dan
penentuan upah minimum regional (UMR). Lihat Pengenalan inflasi di Indonesia dalam
http://www.bi.go.id
61 Lihat gambar 2, keterkaitan antara nilai tukar (rupiah) dengan inflasi komoditas impor
62 Lihat pembahasan lengkap tentang bunga dalam M. Ahmad ad Da’ur. Bantahan Atas
Kebohongan-kebohongan Hukum Seputar Riba dan Bunga Bank, cet. I (Bogor: Al Azhar Press,
2004).
12
dihalalkan oleh Allah Swt. Dalam hal ini Islam memberikan tiga pilihan apakah
dengan cara usaha mandiri, kerjasama pihak kedua (syarikah), dan
kerjasama pihak ketiga (melalui lembaga mediasi Bank Syariah).63
Dengan kata lain, Islam tidak mengijinkan pengembangan harta
melalui perdagangan uang (uang beranak uang) dengan sistem bunga.
Kebijakan Islam melarang perdagangan uang ini tentunya akan mencegah
uang beredar pada tempat tertentu saja (sektor non riil),64 sehingga
kebutuhan “darah” (dana) bagi sektor riil dapat terpenuhi. Ketika dana segar
bagi sektor riil telah tercukupi maka bisa dipastikan gerak dari roda ekonomi
akan berjalan dengan baik dan mencegah terjadinya inflasi.65
2.3 Hukum Perbankan
Dalam sistem ekonomi Kapitalisme, lembaga keuangan (perbankan)
menempati posisi yang sangat menentukan. Melalui lembaga inilah sistem
bunga dapat berjalan dengan baik dan bergerak sangat cepat.
Apabila dalam sistem ekonomi Kapitalisme perbankan merupakan
suatu keniscayaan. Maka dalam sistem ekonomi Islam (SEI) adalah
sebaliknya. Islam memandang pendirian suatu bank adalah mubah (boleh),66
hanya saja kegiatan dari perbankan tersebut tetap mengacu kepada
ketentuan-ketentuan (dhawabit) syari’ah.
Dengan demikian, apabila eksistensi perbankan dalam sistem ekonomi
Kapitalisme cenderung semakin memperdalam jurang antara sektor riil
dengan sektor non riil yang berujung kepada inflasi. Sebaliknya dalam SEI
lembaga keuangan yang ada akan membantu atau mendukung pergerakan
sektor riil.67
2.4 Otoritas Kebijakan Moneter Islam
Dalam SEI, otoritas kebijakan moneter dan fiskal tidaklahlah terpisah
dengan struktur pemerintahan (lembaga eksekutif) yang ada sebagaimana
yang ada pada SEK (sistem ekonomi Kapitalis). Kebijakan moneter dan Fiskal
dalam SEI sama-sama berada di bawah departemen Baitul Maal.68 Sehingga
tidak diperlukan lagi koordinasi atau pembahasan apakah otoritas moneter
dengan lembaga eksekutif perlu dipisahkan atau tidak untuk mengambil
kebijakan moneter.69
63 Ismail Yusanto. Analisis Keuangan Bank Muamalat Indonesia Pada Periode Krisis
Ekonomi Tahun 1998 – 1999. Program Pascasarjan Sekolah Tinggi Ekonomi IPWI Jakarta, 2000.
64 Lebih dari itu, eksistensi sektor non riil tidaklah diakui dalam Islam.
65 Haramnya bunga juga didukung oleh kebijakan yang lain, yakni diterapkannya hukum
zakat. Faktor ini juga sangat signifikan dalam mencegah menumpuknya uang atau harta
kekayaan pada orang tertentu saja.
66 Muhammad Husain Abdullah. Dirasat Fi al Fikri al Islami (Studi Dasar-dasar Pemikiran
Islam), cet. I (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002), hal. 217
67 Misalnya bank menjadi perantara antara pemilik modal dan pekerja untuk membentuk
syirkah mudharabah dimana bank nantinya akan memperoleh komisi. Ibid., hal. 218. lebih dari
itu, dalam SEI dikotomi sektor moneter (non riil) dan riil tidak dikenal. Kalaupun ada sektor
moneter maka ia adalah suatu mekanisme pembiayaan transaksi atau produksi di pasar riil. Lihat
Agustianto. Ke Arah Moneter Syari’ah (bagian II).
68 Lihat http://www.khilafah.com dan Jaribah bin Ahmad Al Haritsi. Al Fiqh Al Iqtishadi Li
Amiril Mukminin Umar Ibn Al Khathab (Fikih Ekonomi Umar bin Al Khathab), Cet. I (Jakarta:
KHALIFA, 2006), hal. 339-348.
69 Dalam SEK, diskursus kewenangan moneter apakah berada dibawah koordinasi
eksekutif atau mutlak menjadi kewenangan bank sentral telah menjadi suatu hal yang teramat
13
Gambar 3
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter dan Sektor Riil Perspektif Islam
dalam Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
C. Kesimpulan dan Penutup
Pada bagian kesimpulan ini penulis tidak hendak mengulang kembali
pembahasan singkat yang telah dipaparkan di atas. Melainkan ingin
menyampaikan bahwa Islam selain memiliki fikrah (konsep) juga memiliki
thariqoh (metode) bagaimana menerapkan konsep yang telah ada tersebut.
Lebih dari itu, konsep Islam antara satu dengan yang lainnya saling
terkait erat. Oleh karena itu, segala konsep yang diajarkan dalam Islam
tidaklah dapat diterapkan secara parsial. Konsep Islam perlu dan harus
diterapkan secara kaffah (totalitas).
Mana mungkin syariah Islam diterapkan dimana kepemimpinan
politiknya berada dalam kungkungan demokrasi Kapitalisme, padahal syariah
Islam mengutuk demokrasi??? Dalam konteks ini, mana mungkin kebijakan
moneter berbasis syariah dijalankan oleh orang-orang yang menghamba
kepada hukum thagut dan antek-antek barat???
Oleh karena itu, kebijakan moneter berbasis syariah yang telah penulis
paparkan di atas hanya bisa diterapkan dan dijalankan oleh kepemimpinan
yang juga sesuai dengan syariah, yakni Daulah Khilafah Rasyidah.
Wallhua’lam bi ash-shawab
pelik dan menguras energi banyak pihak. Lebih lengkapnya lihat Ibid., Iskandar Simorangkir
Koordinasi Kebijakan Moneter
Rabu, 13 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar