Impact of Food Price Policy and Monetary Policy on Macro
Economic Stability
Nyak Ilham1 dan Hermanto Siregar2
1Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. A. Yani 70, Bogor
2Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Jl. Raya Pajajaran, Bogor
ABSTRACT
The relatively high share of food expenses in household expenditure indicates
that contribution of food prices to the inflation rate is still quite high. Inflation and its fluctuations are important variables affecting macroeconomic stability. Therefore, stabilizing food prices, which could lead to a more stable inflation, might potentially result in a more stable macroeconomy. Food price policy might play important role in stabilizing food prices; but could also disturb the stability if implemented improperly. This paper aims at analyzing effects of food price as well as monetary policies on macroeconomic indicators. For this analysis, quarterly data of the period 1980.1 to 2004.4 were utilized.
The study used a Vector Error Correction Model (VECM), from which Impulse Response
Function (IRF) analyzes were carried out. The results suggest that: (1) food price policy could not cause instability of macroeconomy, and (2) food price policy could not affect the unemployment rate, while monetary policy could do.
Key words : food price policy, monetary policy, stability, macroeconomic, VECM
ABSTRAK
Masih besarnya pangsa pengeluaran pangan pada sebagian besar kelompok
masyarakat berarti bobot inflasi kelompok pangan terhadap inflasi masih cukup besar.
Inflasi dan fluktuasinya dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi makro. Jadi stabilitas
harga pangan dan harga-harga di tingkat makro secara potensial dapat dilakukan dengan
menerapkan kebijakan harga pangan. Namun, kebijakan harga pangan yang tidak tepat
dapat juga menyebabkan ketidakstabilan ekonomi makro. Tulisan ini bertujuan untuk
menganalisis dampak kebijakan harga pangan dan kebijakan moneter terhadap
keseimbangan dan stabilitas indikator-indikator ekonomi makro. Data yang digunakan
merupakan data sekunder deret waktu triwulanan untuk periode 1980.1 - 2004.4. Analisis data menggunakan model VECM (Vector Error Correction Model) dan teknik IRF
(Impulse Response Function). Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan harga
pangan tidak menyebabkan instabilitas ekonomi makro, sedangkan kebijakan moneter
menyebabkan peningkatan angka pengangguran.
Kata kunci : kebijakan harga pangan, kebijakan moneter, stabilitas, ekonomi makro,
VECM
56
Jurnal Agro Ekonomi, Volume 25 No.1, Mei 2007 : 55 - 83
PENDAHULUAN
Latar Berlakang
Masih besarnya pangsa pengeluaran pangan sebagian besar
masyarakat berarti bobot inflasi kelompok pangan terhadap inflasi semakin
besar. Apalagi karakter produk pangan dengan nilai elastisitas permintaan dan
penawaran yang rendah menyebabkan besarnya fluktuasi harga pangan
(Nicholson, 2000). Inflasi dan fluktuasinya dapat mempengaruhi pasar uang
kemudian akan mempengaruhi stabilitas ekonomi makro.
Stabilitas ekonomi makro merupakan jaminan bagi investor untuk
berinvestasi sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan
ekonomi. Pengalaman menunjukkan suatu pemerintah dapat berganti rezim
akibat masalah politik yang diikuti kelangkaan pangan di pasar dan
meningkatnya laju inflasi. Berdasarkan hal itu, keterkaitan aspek harga pangan
dan inflasi merupakan isu penting.
Menurut Amang (1984), faktor moneter yang menyebabkan inflasi
adalah (1) peningkatan penawaran uang melebihi peningkatan permintaan
uang, yang disebabkan oleh defisit pemerintah, pengembangan kredit oleh
sistem perbankan, dan surplus neraca pembayaran yang disebabkan oil
booming dan bantuan asing; dan (2) faktor yang disebabkan oleh cost push
inflation adalah meningkatnya harga-harga komoditas utama di pasar domestik
seperti bahan bakar minyak, beras, dll.
Fenomena produk pangan di atas menuntut peran pemerintah agar
produsen dan konsumen domestik dapat dilindungi. Peran tersebut diharapkan
mampu mempercepat tercapainya tujuan pembangunan nasional. Untuk
mencapai tujuan pembangunan nasional, diperlukan tujuan antara, dalam
konteks ini adalah stabilitas harga pangan yang dapat dilakukan melalui
kebijakan harga pangan. Menurut Ellis (1992), salah satu tujuan kebijakan harga
pangan adalah menstabilkan harga pangan agar mengurangi ketidakpastian
petani dan menjamin harga pangan yang stabil bagi konsumen dan stabilitas
harga di tingkat makro.
Masalahnya adalah apakah intervensi kebijakan pemerintah berupa
kebijakan pangan dapat menyebabkan kestabilan ekonomi makro atau
sebaliknya justeru menyebabkan ketidakstabilan ekonomi makro. Karena
kebijakan harga membutuhkan dana, yang dimasa lalu bersumber dari uang
segar (fresh money) dari Bank Indonesia, sehingga mempengaruhi penawaran
uang atau melalui pengeluaran pemerintah. Bagi Indonesia sebagai negara
yang berbasis pertanian dengan jumlah penduduk yang besar, fenomena
tersebut harus mendapat perhatian dan diantisipasi.
Secara konsep teoritis, kebijakan harga pangan mampu mengendalikan
kestabilan ekonomi makro. Sebaliknya, jika kebijakan harga pangan yang
57
DAMPAK KEBIJAKAN HARGA PANGAN DAN KEBIJAKAN MONETER TERHADAP STABILITAS EKONOMI
MAKRO Nyak Ilham dan Hermanto Siregar
mempengaruhi penawaran uang dan pengeluaran pemerintah, tanpa kendali
dapat juga menyebabkan ketidakstabilan ekonomi makro. Dari uraian di atas,
permasalahan yang harus dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana
dampak kebijakan harga pangan terhadap stabilitas ekonomi makro?
Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan menganalisis dampak kebijakan
harga pangan yang dilakukan pemerintah terhadap stabilitas ekonomi makro.
Secara khusus, penelitian ini bertujuan menganalisis dampak kebijakan harga
pangan dan kebijakan moneter terhadap keseimbangan dan stabilitas ekonomi
makro.
METODOLOGI
Kerangka Pemikiran
Dampak Kebijakan dan Keseimbangan Ekonomi Makro
Variabel ekonomi makro yang menjadi isu utama adalah pertumbuhan
output, laju inflasi, pengangguran, dan neraca pembayaran (Stiglitz, 1997;
Dornbusch et al., 1998). Variabel ekonomi makro tersebut saling terkait melalui
pasar barang, pasar uang, pasar tenaga kerja, dan pasar saham yang
membentuk keseimbangan internal (macro equilibrium) dan keseimbangan
eksternal.
Jika terjadi kegagalan panen pada suatu negara dimana kontribusi
pengeluaran pangan masyarakatnya lebih tinggi dari pengeluaran nonpangan,
akan memberikan efek pada ekonomi makro. Gagal panen cenderung akan
meningkatkan harga pangan. Dengan asumsi hanya terdapat dua sektor dalam
ekonomi, pangan dan nonpangan, harga pangan akan meningkat dari P0
P dan
P1
P. Ini berimplikasi pengeluaran untuk pangan meningkat dan akan berimbas
ke sektor nonpangan berupa penurunan harga dan inflasi akan meningkat
(Gambar 1). Sebaliknya, jika ada kenaikan produksi pangan. Dengan demikian,
fluktuasi panen akan menyebabkan instabilitas, baik bagi konsumen beras,
petani padi, maupun produsen manufaktur.
Dalam kasus gangguan suplai positif dan ada intervensi pemerintah,
agar tidak terjadi penurnan harga ekses suplai tersebut perlu dikumpulkan.
Pengumpulan pangan tersebut membutuhkan dana. Sebelum tahun 1999,
digunakan dana Bank Indonesia (BI). Ada dua kebijakan berbeda yang mungkin
dijalankan terhadap uang yang digunakan untuk menahan dan/atau
mendistribusikan suplai pangan. Kemungkinan pertama, tidak ada “sterilisasi”.
Pembelian excess supply menggunakan dana BI akan meningkatkan suplai
uang dan level harga agregat.
58
Jurnal Agro Ekonomi, Volume 25 No.1, Mei 2007 : 55 - 83
S1
P S0
P S0
NP
PP PNP
P1
P
P0
NP
P0
P P1
NP
D0
P D1
NP D0
NP
0 Q1
P Q0
P QP 0 Q1
NP Q0
NP QNP
Gambar 1. Pengaruh Gagal Panen terhadap Harga Pangan dan Harga
Nonpangan (Sumber: Dawe, 2002)
Kemungkinan kedua, BI melakukan sterilisasi terhadap perubahan pada
suplai uang yang digunakan untuk mengumpulkan dan/atau mendistribusikan
suplai beras. Jika ini dilakukan berdasarkan satu untuk satu, hasilnya adalah
sterilisasi sempurna. Dalam skenario ini, surplus panen tidak menyebabkan
peningkatan suplai uang dan level harga agregat.
Pada kondisi pemerintah melakukan intervensi tanpa sterilisasi dan
ekonomi dalam keadaan tertutup, berarti BI menambah penawaran uang ke
pasar dan akan mempengaruhi keseimbangan di pasar uang. Meningkatnya
penawaran uang pada tingkat harga tetap, akan menyebabkan kurva
penawaran MS/P bergeser ke kanan dari MS0/P0 ke MS1/P0 (Gambar 2a). Pada
tingkat harga yang sama akan menyebabkan ekses penawaran uang sehingga
meningkatkan permintaan terhadap Bond. Pada penawaran Bond tetap maka
harga Bond meningkat. Untuk memperoleh imbal hasil yang sama maka suku
bunga Bond harus menurun.
Begesernya MS/P ke kanan, yang diikuti dengan menurunnya r dari r0
ke r1, menyebabkan kurva LM juga bergeser ke kanan dari LM0 ke LM1 dan
investasi meningkat melalui pergerakan sepanjang kurva IS0, sehingga output
meningkat dari Y0 ke Y1 (Gambar 2b). Kenaikan output pada harga tetap di P0
menyebabkan kurva AD bergeser ke kanan, dari AD0 ke AD1, yang
menyebabkan ekses permintaan. Ekses permintaan ini meningkatkan harga dari
P0 ke P1 (Gambar 2c). Kenaikan P dari P0 ke P1 menggeser keseimbangan di
pasar uang sehingga MS1/P0 bergeser ke kiri atas menjadi MS1/P1. Hal ini
menyebabkan kurva LM1 bergeser ke kiri atas menjadi LM2. Pergeseran ini
menaikkan suku bunga yang menyebabkan investasi berkurang, sehingga
output turun dari Y1 ke Y2 dan terjadi keseimbangan.
59
DAMPAK KEBIJAKAN HARGA PANGAN DAN KEBIJAKAN MONETER TERHADAP STABILITAS EKONOMI
MAKRO Nyak Ilham dan Hermanto Siregar
MS0/P0 MS1/P1 LM0
r r LM2
MS1/P0
LM1
r0 r0
r2 r2
r1 r1
MD0 IS0
0 L0 L2 L1 L 0 Y0 Y2 Y1 Y
(a) (b)
P AS0
P1
P0 AD1
AD0
0 Y0 Y2 Y1 Y
(c)
Gambar 2. Dampak Kebijakan Buffer Stock terhadap Keseimbangan Makro pada
Perekonomian Tertutup (Sumber: Branson, 1979)
Di pasar tenaga kerja, kenaikan harga dari P0 ke P1 menyebabkan
pengusaha meningkatkan produksi sehingga butuh tenaga kerja lebih banyak
yang ditunjukkan oleh bergesernya kurva WD ke kanan atas, dari WD0 ke WD1.
Dengan menggunakan asumsi Keynessian (p<1), peningkatan permintaan
60
Jurnal Agro Ekonomi, Volume 25 No.1, Mei 2007 : 55 - 83
tenaga kerja tersebut direspon oleh tenaga kerja dengan menawarkan tenaga
kerja lebih rendah yang ditunjukkan oleh bergesernya kurwa WS ke kiri atas,
namun pergeserannya lebih kecil dari pergeseran WD (Gambar 3b).
Keseimbangan makro baru terjadi pada tingkat output Y2, harga P1, suku bunga
r2, dan tenaga kerja N2. Intervensi pemeritah dengan adanya kelebihan produksi
tanpa sterilisasi pada perekonomian tertutup menyebabkan pertumbuhan
ekonomi yang diikuti oleh meningkatnya inflasi, penurunan suku bunga, dan
meningkatnya kesempatan kerja.
Y
Y2
Y0
KP0
0 N0 N2 N
(a)
W WS1
WS0
W2
W0
WD0 WD1
0 N0 N2 N
(b)
Gambar 3. Dampak Kebijakan Buffer Stock terhadap Keseimbangan Pasar Tenaga
Kerja pada Perekonomian Tertutup (Sumber: Branson, 1979)
61
DAMPAK KEBIJAKAN HARGA PANGAN DAN KEBIJAKAN MONETER TERHADAP STABILITAS EKONOMI
MAKRO Nyak Ilham dan Hermanto Siregar
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa gangguan panen atau panen
raya dapat mempengaruhi kondisi ekonomi makro melalui berbagai jalur, di
antaranya melalui inflasi, suku bunga bank, pertumbuhan ekonomi, investasi,
kurva produksi agregat, dan penawaran uang. Untuk mengantisipasi dampak
gangguan panen atau panen raya terhadap stabilitas ekonomi makro
pemerintah melakukan kebijakan harga pangan.
Pengendalian Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Dengan mengetahui penyebab inflasi, dapat dijadikan dasar untuk
mengendalikan inflasi dalam bentuk target inflasi untuk menjaga stabilitas
ekonomi. Brooks (1998) dalam Debelle (2000) menunjukkan bahwa negara
yang melakukan target inflasi, rata-rata tingkat inflasi dan keragamannya telah
menurun secara substansial dan pertumbuhan outputnya menjadi lebih tinggi
dengan keragaman inflasi dan output yang lebih rendah. Kondisi perekonomian
seperti ini lebih baik dari kondisi sebaliknya.
Di Indonesia kebijakan target inflasi diawali tahun 1999 dan hasil
analisis CSIS (berbagai terbitan), menunjukkan target inflasi Bank Indonesia
untuk tahun 2000 - 2002 tidak dapat tercapai. Kegagalan tersebut disebabkan
oleh meningkatnya permintaan uang, kondisi politik yang tidak pasti, dan adanya
musim kemarau yang menyebabkan naiknya harga bahan makanan. Di negara
maju, harga bahan makanan dan situasi politik, sudah tidak signifikan
mempengaruhi target inflasi, kecuali faktor-faktor moneter.
Pada periode 1970-1979 sumbangan bahan makanan dalam inflasi
mencapai 57,47 persen dan menurun menjadi 31.17 persen pada periode tahun
1990-1998. Hal ini mengindikasikan pembangunan pertanian dan kebijakan
pendukungnya berhasil meredam peningkatan harga bahan pangan sehingga
tidak lagi menjadi sumber penyebab utama inflasi seperti pada periode 1960 -
1970 (Simatupang, 2002). Namun karena kuatnya hubungan harga beras
terhadap komoditas lain, maka stabilisasi harga beras tetap menjadi bagian
strategis dari stabilisasi ekonomi (PSE, 2003).
Menurut Gunawan (1991), ketatnya pengaturan harga pangan di
Indonesia menyebabkan berkurangnya ketidakstabilan ekonomi makro. Hal
yang sama terjadi di beberapa negara, seperti yang disitir maupun yang
dihasilkan dari studi Kannapiran (2000) menunjukkan skim stabilitas harga
komoditas dapat mengurangi instabilitas ekonomi makro, tetapi pada beberapa
hasil penelitian ada yang menciptakan sedikit fluktuasi, khususnya pada balance
of payment dan stabilitas moneter. Hal itu disebabkan kebijakan stabilitas harga
tidak memberikan kontribusi yang baik terhadap manajemen ekonomi makro.
Penelitian Sugiyono (2005), Mulyana (1998), dan Rahardjo (1993) menunjukkan
bahwa laju inflasi dipengaruhi oleh harga riil beras eceran. Menurut Sugiyono
(2005), peningkatan harga dasar gabah lebih menguntungkan petani padi,
konsumen beras tetap diuntungkan (ketahanan pangan meningkat), dan
62
Jurnal Agro Ekonomi, Volume 25 No.1, Mei 2007 : 55 - 83
stabilitas ekonomi makro terjaga (pertumbuhan ekonomi meningkat,
pengangguran berkurang dan inflasi mengalami penurunan), serta partai politik
dan pemerintah diuntungkan karena faktor politik (ketahanan nasional)
mengalami penguatan, sedangkan peningkatan subsidi pupuk berdampak positif
meningkatkan penggunaan pupuk, produktivitas padi, produksi dan penawaran
beras, pendapatan usahatani dan konsumsi beras, serta berdampak positif
terhadap stabilitas ekonomi makro dan stabilitas politik.
Kebijakan Harga Pangan
Menurut Ellis (1992), salah satu tujuan kebijakan harga pertanian
adalah menstabilkan harga pertanian agar mengurangi ketidakpastian
usahatani, serta menjamin harga pangan yang stabil bagi konsumen dan
stabilitas harga di tingkat makro. Selanjutnya dikatakan, kebijakan harga
pertanian dapat dilakukan melalui berbagai instrumen, yaitu kebijakan
perdagangan, kebijakan nilai tukar, pajak dan subsidi, serta intervensi langsung.
Secara tidak langsung stabilisasi harga dapat juga dilakukan melalui kebijakan
pemasaran output dan kebijakan input. Kebijakan input antara lain berupa
subsidi harga sarana produksi yang diberlakukan pemerintah terhadap pupuk,
benih, pestisida, dan kredit.
Berdasarkan penyebabnya, kebijakan stabilisasi harga atau stabilisasi
harga dapat dilakukan dengan melakukan kebijakan harga pangan, yaitu
kebijakan harga dasar (floor price) dan kebijakan harga tertinggi (ceiling price).
Kebijakan ini menyebabkan ketidakseimbangan pasar sehingga diperlukan
kebijakan pendukung, yaitu melakukan stok atau ekspor saat kebijakan harga
dasar ditetapkan dan melakukan operasi pasar saat kebijakan harga atap
ditetapkan (Sugiarto et al. 2002).
Dari berbagai bentuk kebijakan yang ada, konsep kebijakann harga
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kebijakan harga input-ouput yang
terdiri dari subsidi harga input, subsidi kredit pengadaan input, subsidi
pengadaan pangan, dan subsidi kredit pengadaan pangan. Ukuran yang
digunakan adalah jumlah dana (milyar rupiah) yang digunakan pemerintah
untuk melaksanakan kebijakan tersebut.
Konsep Pangan
Menurut Undang-undang No 7 tahun 1996 yang mengatur tentang
pangan (Pemerintah Republik Indonesia,1996), pangan adalah segala sesuatu
yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah,
yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan
atau minuman.
63
DAMPAK KEBIJAKAN HARGA PANGAN DAN KEBIJAKAN MONETER TERHADAP STABILITAS EKONOMI
MAKRO Nyak Ilham dan Hermanto Siregar
Karena penelitian ini berkaitan dengan kebijakan harga pangan dan
tidak semua komoditas pangan melibatkan pemerintah dalam bentuk kebijakan
harga pangan maka tidak semua komoditas pangan akan dianalisis. Untuk itu
digunakan kelompok pangan utama yang ada kaitannya dengan program
kebijakan harga pangan.
Indikator dan Stabilitas Ekonomi Makro
Indikator ekonomi makro yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
inflasi, kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan neraca perdagangan
(proksi dari neraca pembayaran) yang merupakan indikator kunci (Stiglitz, 1997;
Dornbusch et al., 1998). Variabel ekonomi makro tersebut saling terkait melalui
pasar barang, pasar uang, pasar tenaga kerja, serta pasar saham yang
membentuk keseimbangan internal (macro equilibrium) dan keseimbangan
eksternal (balance of payment-BOP). Selain itu, variabel ekonomi makro lain
yang diamati adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, suku bunga bank,
penawaran uang, dan investasi.
Stabilitas ekonomi makro dapat dilihat dari pengaruh guncangan
kebijakan harga pangan atau variabel ekonomi makro lainnya terhadap variabel
kunci indikator ekonomi makro. Jika suatu guncangan menimbulkan fluktuasi
yang besar pada variabel ekonomi makro, maka dapat dikatakan stabilitas
ekonomi makro rentan terhadap guncangan tersebut. Sebaliknya, jika
dampaknya menimbulkan fluktuasi yang kecil, maka dapat dikatakan stabilitas
ekonomi makro stabil.
Ukuran yang digunakan dalam mengukur stabilitas dalam studi ini
adalah dampak guncangan/shock terhadap: (1) perbedaan nilai awal dan akhir
variabel endogen, (2) besarnya variasi yang dilihat dari amplitudo fluktuasi
variabel endogen, dan (3) panjangnya waktu fluktuasi variabel endogen untuk
mencapai pada keseimbangan baru, serta (4) koefisien variasi. Suatu
guncangan dapat menyebabkan keseimbangan baru, kondisinya meningkat,
tetap, atau menurun dari kondisi keseimbangan saat awal guncangan.
Metode Analisis
Pendekatan dan Spesifikasi Model
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
ekonometrika. Tujuan utama kebijakan harga pangan adalah untuk menjaga
stabilitas harga pangan agar tingkat inflasi dapat dikendalikan. Selanjutnya
tingkat inflasi mempengaruhi suku bunga di pasar uang. Kemudian suku bunga
mempengaruhi investasi di pasar barang. Inflasi juga mempengaruhi permintaan
tenaga kerja di pasar tenga kerja dan seterusnya ada keterkaitan antara variabel
ekonomi makro, sehingga terjadi keseimbangan. Adanya keterkaitan antara
variabel secara simultan yang saling mempengaruhi maka hubungan
64
Jurnal Agro Ekonomi, Volume 25 No.1, Mei 2007 : 55 - 83
diantaranya lebih tepat jika dispesifikasi dalam model VAR (Vector
Autoregressive). Bentuk umum model VAR sesuai dengan ordo optimal hasil uji
Likelihood Ratio sebanyak k adalah:
VAR (k), Zt = AtZt-1 + A2Zt-2 + … + AkZt-k + et (1)
Selanjutnya persamaan VAR struktural dengan ordo k (misal k=3)
sesuai dengan variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
IHKt = a11IHKt-1 + a12IOPPt-1 + a13EXRt-1 + a14UNMt-1 + a15MSIt-1 +
a16GDPt-1 + a17IRTt-1 + a18INVt-1 + a19BOTt-1+…………. +
c11IHKt-3 + c12IOPPt-3 + c13EXRt-3 + c14UNMt-3 + c15MSIt-3 +
c16GDPt-3 + c17IRTt-3 + c18INVt-3 + c19BOTt-3 + e1t (2)
IOPPt = a21IHKt-1 + a22IOPPt-1 + a23EXRt-1 + a24UNMt-1 + a25MSIt-1 +
a26GDPt-1 + a27IRTt-1 + a28INVt-1 + a29BOTt-1+………… +
c21IHKt-3 + c22IOPPt-3 + c23EXRt-3 + c24UNMt-3 + c25MSIt-3 +
c26GDPt-3 + c27IRTt-3 + c28INVt-3 + c29BOTt-3 + e2t (3)
EXRt = a31IHKt-1 + a32IOPPt-1 + a33EXRt-1 + a34UNMt-1 + a35MSIt-1 +
a36GDPt-1 + a37IRTt-1 + a38INVt-1 + a39BOTt-1+….……... +
c31IHKt-3 + c32IOPPt-3 + c33EXRt-3 + c34UNMt-3 + c35MSIt-3 +
c36GDPt-3 + c37IRTt-3 + c38INVt-3 + c39BOTt-3 + e3t (4)
UNMt = a41IHKt-1 + a42IOPPt-1 + a43EXRt-1 + a44UNMt-1 + a45MSIt-1 +
a46GDPt-1 + a47IRTt-1 + a48INVt-1 + a49BOTt-1+….……... +
c41IHKt-3 + c42IOPPt-3 + c43EXRt-3 + c44UNMt-3 + c45MSIt-3 +
c46GDPt-3 + c47IRTt-3 + c48INVt-3 + c49BOTt-3 + e4t (5)
MSIt = a51IHKt-1 + a52IOPPt-1 + a53EXRt-1 + a54UNMt-1 + a55MSIt-1 +
a56GDPt-1 + a57IRTt-1 + a58INVt-1 + a59BOTt-1+.………... +
c51IHKt-3 + c52IOPPt-3 + c53EXRt-3 + c54UNMt-3 + c55MSIt-3 +
c56GDPt-3 + c57IRTt-3 + c58INVt-3 + c59BOTt-3 + e5t (6)
65
DAMPAK KEBIJAKAN HARGA PANGAN DAN KEBIJAKAN MONETER TERHADAP STABILITAS EKONOMI
MAKRO Nyak Ilham dan Hermanto Siregar
GDPt = a61IHKt-1 + a62IOPPt-1 + a63EXRt-1 + a64UNMt-1 + a65MSIt-1 +
a66GDPt-1 + a67IRTt-1 + a68INVt-1 + a69BOTt-1+.………... +
c61IHKt-3 + c62IOPPt-3 + c63EXRt-3 + c64UNMt-3 + c65MSIt-3 +
c66GDPt-3 + c67IRTt-3 + c68INVt-3 + c69BOTt-3 + e6t (7)
IRTt = a71IHKt-1 + a72IOPPt-1 + a73EXRt-1 + a74UNMt-1 + a75MSIt-1 +
a76GDPt-1 + a77IRTt-1 + a78INVt-1 + a79BOTt-1+.………... +
c71IHKt-3 + c72IOPPt-3 + c73EXRt-3 + c74UNMt-3 + c75MSIt-3 +
c76GDPt-3 + c77IRTt-3 + c78INVt-3 + c79BOTt-3 + e7t (8)
INVt = a81IHKt-1 + a82IOPPt-1 + a83EXRt-1 + a84UNMt-1 + a85MSIt-1 +
a86GDPt-1 + a87IRTt-1 + a88INVt-1 + a89BOTt-1+.………... +
c81IHKt-3 + c82IOPPt-3 + c83EXRt-3 + c84UNMt-3 + c85MSIt-3 +
c86GDPt-3 + c87IRTt-3 + c88INVt-3 + c89BOTt-3 + e8t (9)
BOTt = a91IHKt-1 + a92IOPPt-1 + a93EXRt-1 + a94UNMt-1 + a95MSIt-1 +
a96GDPt-1 + a97IRTt-1 + a98INVt-1 + a99BOTt-1+.………... +
c91IHKt-3 + c92IOPPt-3 + c93EXRt-3 + c94UNMt-3 + c95MSIt-3 +
c96GDPt-3 + c97IRTt-3 + c98INVt-3 + c99BOTt-3 + e9t (10)
dimana:
IHKt = Indeks harga konsumen
IOPPt = Kebijakan harga pangan (input-output), diproksi dari biaya
yang digunakan untuk kebijakan yang mendukung stabilitas
harga pangan dalam satuan milyar rupiah.
EXRt = Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
UNMt = Pengangguran, adalah angkatan kerja yang tidak mempunyai
pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan, satuan ribu orang
MSIt = Penawaran uang (M1) dalam satuan Rp milyar.
GDPt = Produk domestik bruto, dalam satuan Rp milyar
IRTt = Suku bunga bank Bank Umum untuk keperluan investasi
dalam satuan persen (%).
INVt = Investasi adalah jumlah nilai investasi yang disetujui
Pemerintah yang berasal dari PMDN dan PMA dalam satuan
Rp milyar.
66
Jurnal Agro Ekonomi, Volume 25 No.1, Mei 2007 : 55 - 83
BOTt = Neraca perdagangan dalam satuan USD juta.
et = Guncangan acak (random disturbance)
Dengan model VAR, semua variabel harus memenuhi syarat stationer.
Jika syarat itu terpenuhi, model tersebut hanya dapat melihat isu jangka pendek.
Untuk memperoleh isu jangka panjang dan jangka pendek, pendekatan
alternatifnya adalah model VECM (Vector Error Correction Model). Dengan kata
lain, pendekatan VAR harus dikombinasikan dengan VECM
Menurut Ward dan Siregar (2000), rumus umum model VECM adalah:
i t t t t
k
i
t Dy = G Dy + m + m t + ab y + e - -
-
= å
1
'
1 0
1
1
(11)
dimana:
D yt = yt – yt-1; (k-1) = ordo VECM dari VAR;
G i = matriks koefisien regresi; μ0 = vektor intersep;
μ1 = vektor koefisien regresi; a = matrik loading;
ß’ = vektor kointegrasi; yt = variabel in level;
Vektor kointegrasi (ß’) menunjukkan hubungan jangka panjang terhadap
variabel yang akan dianalisis. Vektor kointegrasi ini dapat ditunjukkan dalam
bentuk matriks kointegrasi berdasarkan banyaknya persamaan jangka panjang
yang dihasilkan pada pengujian kointegrasi. Hasil pendugaan VECM digunakan
untuk memperoleh inovasi informasi dalam jangka pendek dan jangka panjang
dengan tingkat perubahan tertentu dengan analisis IRF (Impulse response
Fuction).
Prosedur Analisis
Pada model stabilitas ekonomi makro, hasil analisis model VECM
digunakan untuk analisis lebih lanjut dengan menggunakan teknik IRF. Untuk
mengoperasikan prosedur ekonometrika deret waktu tersebut digunakan
perangkat lunak (software) Interactive Econometric Analysis Microfit 4.0 for
Windows (Pesaran dan Pesaran1997). Untuk sampai pada tujuan yang
diharapkan prosedur yang dilakukan melalui beberapa tahapan berikut.
Sebelum dilakukan pengolahan lebih lanjut, semua variabel dalam
bentuk nominal diriilkan terlebih dahulu. Dalam model ECM Variabel yang
digunakan sering dalam bentuk logaritma karena dua alasan: (1) parameter
variabelnya diinterpretasikan sebagai nilai elastisitas dan (2) pada variabel beda
67
DAMPAK KEBIJAKAN HARGA PANGAN DAN KEBIJAKAN MONETER TERHADAP STABILITAS EKONOMI
MAKRO Nyak Ilham dan Hermanto Siregar
pertama (first difference) diinterpretasikan sebagai laju pertumbuhan (growth
rates) dengan formula sebagai berikut (Thomas, 1997):
D = t y
1
1
1
1 ln( ) ln( ) ln
-
-
-
-
-
» ÷
ø
ö
çè
æ
- =
t
t t
t
t
t t Y
Y Y
Y
Y
Y Y (12)
Dengan cara ini semua variabel tidak memiliki satuan karena dalam
bentuk laju pertumbuhan. Jika nilai parameter dikalikan 100 persen, satuannya
menjadi seragam dalam bentuk persen. Untuk variabel yang merupakan friksi
seperti suku bunga, jika diperlukan tetap mengubah variabel in level menjadi
bentuk bedanya (difference), tapi tidak harus dilogaritmakan karena satuannya
sudah persen.
Selanjutnya dilakukan uji stasionaritas yang bertujuan untuk mengetahui
apakah variabel yang digunakan mengandung unit root (tidak stationer).
Pendugaan menggunakan variabel yang tidak stasioner menghasilkan regresi
yang semu (spurious regression) dan kesimpulan yang menyesatkan (Dickey et
al., 1994 dan Verbeek, 2000). Oleh karena itu, sebelum melakukan pendugaan
harus dilakukan pengujian apakah data yang digunakan sudah stasioner.
Untuk mengetahui apakah suatu variabel stationer atau tidak, dilakukan dengan
uji statistik Dickey Fuller (DF) dan Augmented Dickey Fuller (ADF).
Tahap berikut adalah menentukan rank kointegrasi. Namun sebelumnya
perlu ditentukan berapa lag optimal yang digunakan dalam model. Penentuan
ordo lag optimal harus dilalui melalui uji statistik SBC (Schwarz Bayesian
Criterion). Ordo lag optimal saat nilai statistik SBC terbesar atau menggunakan
Adjusted LR Test. Penelitian ini menggunakan pendekatan Adjusted LR Test.
Uji Kointegrasi bertujuan untuk memastikan apakah variabel yang
digunakan dalam sistem persamaan mempunyai hubungan jangka panjang. Uji
kointegrasi berarti menentukan rank kointegrasi (r). Asumsi yang digunakan
model mengandung unrestricted intercept dan restricted trend. Pengujian
hipotesis berdasarkan statistik yang berdasarkan Maximal Eigenvalue of the
Stochastic Matrix dan Trace of the Stochastic Matrix.
Setelah diketahui rank kointegrasi dilakukan restriksi umum (general
restriction) berdasarkan motode Johansen. Tahap ini diperlukan untuk
melangkah ke tahap restriksi spesifik. Restriksi umum akan menghasilkan
pendugaan parameter vektor kointegrasi sesuai rank kointegrasi yang exactly
identified dengan nilai likelihood (LL) tertentu. Nilai LL tersebut digunakan
sebagai pedoman untuk menghasilkan restriksi spesifik yang valid dan optimal.
Untuk memperoleh persamaan struktural VECM yang over identified
sebagai persamaan akhir yang digunakan untuk peramalan jangka pendek dan
jangka panjang sesuai rank kointegrasi, dilakukan restriksi spesifik terhadap
matrik parameter jangka panjang pada masing-masing vektor kointegrasi. Suatu
persamaan VECM dikatakan valid jika hasil restriksi menunjukkan over identified
68
Jurnal Agro Ekonomi, Volume 25 No.1, Mei 2007 : 55 - 83
dengan kriteria LR Test memiliki nilai p-value > 0.01 dan nilai LL mendekati nilai
likelihood kondisi exactly identified.
Tahap akhir adalah melakukan akuntansi inovasi pada persamaan hasil
restriksi spesifik yang secara statistik sudah valid dan optimal. Untuk melihat
respon dinamik suatu variabel akibat adanya guncangan dari variabel lain yang
diukur dalam satuan standar deviasi, digunakan analisis IRF. Dalam analisis
guncangan difokuskan pada kebijakan harga pangan dan kebijakan moneter.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan adalah data sekunder deret waktu triwulanan
tahun 1980.1 s/d 2004.4. Data diperoleh dari berbagai sumber, seperti Bank
Indonesia, Badan Pusat Statistik, BULOG, Departemen Keuangan, Departemen
Pertanian, Bank Dunia, dan instansi terkait lainnya. Khusus untuk data
triwulanan dapat juga diinterpolasi dari data tahunan. Upaya tersebut sudah
dilakukan oleh beberapa peneliti, di antaranya Boediono (1979) dan Insukindro
(1984).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pendugaan Model
Berdasarkan hasil pengujian awal variabel yang digunakan merupakan
beda pertama (first difference), ordo lag optimum yang digunakan adalah tiga,
dan rank kointegrasinya adalah dua. Hasil uji statistik dari restriksi umum dan
restriksi spesifik menunjukkan bahwa sistem persamaan yang digunakan exactly
identified dengan nilai Likelihood Ratio 21,23 dan persamaan kointegrasi over
identified dengan nilai Likelihood Ratio 21,06 dengan nilai p-value lebih besar
dari 0,01 yaitu 0,56. Ini berarti restriksi yang disusun compatible dengan perilaku
data dan model VECM valid digunakan dalam melakukan berbagai shock
kebijakan atau inovasi perekonomian dengan teknik IRF. Dalam tulisan ini hasil
pendugaan VECM tidak dibahas karena hanya merupakan tujuan antara untuk
digunakan melakukan analisis peramalan jangka panjang dengan menggunakan
teknik IRF.
Respon Dinamik Variabel Ekonomi Makro terhadap Kebijakan Harga
Pangan
Respon dinamik variabel ekonomi makro terhadap guncangan
kebijakan harga pangan dianalisis dengan menggunakan teknik Impulse
Response Function. Pengaruh guncangan kebijakan harga pangan sebesar satu
standar deviasi terhadap stabilitas ekonomi makro di Indonesia dapat dilihat
pada Gambar 4–Gambar 12. Guncangan kebijakan harga pangan dapat berupa
impor pangan dan input produksi pertanian. Akibatnya BOT yang masih surplus
USD 9,9 juta pada saat terjadi guncangan pada triwulan pertama menjadi defisit
USD 51,8 juta. Defisit terus membesar hingga triwulan ke 16 yaitu sebesar USD
69
DAMPAK KEBIJAKAN HARGA PANGAN DAN KEBIJAKAN MONETER TERHADAP STABILITAS EKONOMI
MAKRO Nyak Ilham dan Hermanto Siregar
104,5 juta dan mulai stabil pada triwulan ke-14 hingga dalam jangka panjang
defisit stabil pada nilai USD 98,8 juta.
Gambar 4. Respon Kebijakan Harga Pangan terhadap Guncangan Kebijakan Harga
Pangan
Gambar 5. Respon Neraca Perdagangan terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan
Gambar 6. Respon PDB terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan
Respon Neraca
Perdagangan
Triwulan
-50
-100
-150
0
50
0 5 10 15 20 25 30 35
Respon Kebijakan Harga
Pangan
Triwulan
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0 5 10 15 20 25 30 35
Respon PDB
Triwulan
-0,003
-0,005
-0,007
-0,009
-0,011
0 5 10 15 20 25 30 35
70
Jurnal Agro Ekonomi, Volume 25 No.1, Mei 2007 : 55 - 83
Gambar 7. Respon Penawaran Uang terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan
Gambar 8. Respon Inflasi terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan
Gambar 9. Respon Suku Bunga terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan
Penawaran Uang
Triwulan
0,005
0,007
0,009
0,011
0,013
0,015
0 5 10 15 20 25 30 35
Respon Inflasi
Triwulan
0,000
0,005
0,010
0,015
0,020
0 5 10 15 20 25 30 35
Respon Suku Bunga
Triwulan
-0,1
-0,2
-0,3
-0,4
-0,5
0,0
0,1
0,2
0 5 10 15 20 25 30 35
71
DAMPAK KEBIJAKAN HARGA PANGAN DAN KEBIJAKAN MONETER TERHADAP STABILITAS EKONOMI
MAKRO Nyak Ilham dan Hermanto Siregar
Gambar 10. Respon Investasi terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan
Gambar 11. Respon Nilai Tukar terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan
Gambar 12. Respon Pengangguran terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan
Respons Investasi
Triwulan
-0,02
-0,04
-0,06
-0,08
0,00
0,02
0,04
0,06
0 5 10 15 20 25 30 35
Respon Nilai Tukar
Triwulan
0,01
0,02
0,03
0,04
0,05
0 5 10 15 20 25 30 35
Respon Pengangguran
Triwulan
-0,005
-0,010
-0,015
-0,020
0,000
0 5 10 15 20 25 30 35
72
Jurnal Agro Ekonomi, Volume 25 No.1, Mei 2007 : 55 - 83
Meningkatnya kebijakan harga pada triwulan pertama menyebabkan
PDB mengalami ekspansi. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penawaran
uang akibat kebijakan harga sehingga merangsang aktivitas ekonomi. Namun,
karena sebagian dana kebijakan harga pangan tersebut digunakan untuk impor,
maka pada triwulan 2–4 PDB mengalami kontraksi mencapai angka terendah
pada triwulan ke-4 yaitu –0,99 persen. Selanjutnya PDB cenderung mengalami
ekspansi dan mulai stabil pada triwulan ke-13 hingga dalam jangka panjang
pertumbuhan PDB stabil pada -0,84 persen. Kontraksinya aktivitas ekonomi
menyebabkan penerimaan pemerintah menjadi menurun, sehingga sejak
dilakukan guncangan kebijakan harga pangan, maka pertumbuhan dana yang
digunakan untuk mendukung kebijakan tersebut cenderung menurun, dari 27,95
persen pada awal kebijakan mengalami pertumbuhan terendah menjadi 16,42
persen pada triwulan ke-13. Pertumbuhan mulai stabil pada triwulan ke-18 dan
dalam jangka panjang stabil kembali pada pertumbuhan 17,47 persen.
Di pasar uang, kebijakan harga pangan pada triwulan pertama
meningkatkan penawaran uang 1,47 persen karena dana kebijakan harga
sebagian berasal dari dana segar KLBI. Peningkatan penawaran uang diikuti
oleh peningkatan inflasi sebesar 0,11 persen. Dugaan terjadinya inflasi akibat
kebijakan harga diantisipasi pihak Bank Indonesia dengan melakukan sterilisasi
sehingga penawaran uang menurun mencapai titik terendah hingga 0,54 persen
triwulan ke-6 yang diikuti dengan penurunan inflasi.
Sterilisasi yang dilakukan hingga triwulan ke-6 ternyata terlalu
berlebihan sehingga menyebabkan PDB kontraksi hingga triwulan ke-4. Oleh
karena itu, Bank Indonesia meningkatkan kembali jumlah penawaran uang ke
posisi hampir sama dengan posisi awal yang mulai stabil pada triwulan ke-25
dan dalam jangka panjang stabil pada 1,14 persen. Naiknya penawaran uang
sejak triwulan ketujuh menyebabkan PDB mengalami sedikit ekspansi. Jadi,
terlihat jelas adanya hubungan antara penawaran uang, inflasi, dan PDB.
Pada triwulan pertama, naiknya penawaran uang dan inflasi
menyebabkan suku bunga riil meningkat pada triwulan pertama. Tetapi, ketika
inflasi meningkat mencapai nilai tertinggi pada triwulan ke-5 yaitu 1,52 persen,
maka suku bunga riil menjadi turun mencapai titik terendah pada triwulan ke-3
yaitu –0,43 persen. Turunnya suku bunga tidak direspon oleh investor, apalagi
saat suku bunga naik kembali mencapai titik tertinggi pada triwulan ke-8 yaitu
0,14 persen. Suku bunga tersebut kemudian turun kembali dan mulai stabil pada
triwulan ke-21 dan dalam jangka panjang stabil pada tingkat -0,05 persen
Kenaikan suku bunga riil ini disebabkan karena menurunnya inflasi dan mulai
stabil pada triwulan ke-9 kemudian dalam jangka panjang stabil pada tingkat
1,04 persen.
Kenaikan suku bunga menyebabkan investasi mengalami penurunan
dan mencapai titik terendah pada triwulan ke-6 yaitu –7,43 persen. Penurunan
investasi ini menyebabkan PDB kontraksi. Jadi penurunan PDB disebabkan oleh
dua hal yaitu menurunnya investasi dan neraca perdagangan. Ternyata
guncangan kebijakan harga pangan dalam jangka panjang tidak berpengaruh
73
DAMPAK KEBIJAKAN HARGA PANGAN DAN KEBIJAKAN MONETER TERHADAP STABILITAS EKONOMI
MAKRO Nyak Ilham dan Hermanto Siregar
terhadap suku bunga. Kondisi suku bunga yang fluktuatif dan kembali stabil
pada kondisi semula ini mungkin yang menyebabkan investor tidak perlu
meresponnya.
Turunnya suku bunga domestik menyebabkan terjadinya pelarian modal
ke luar negeri. Untuk itu dibutuhkan dollar sehingga permintaan dollar AS
meningkat dan rupiah terdepresiasi mencapai nilai tertinggi yaitu 4,56 persen
pada triwulan ke-3. Sebaliknya, saat suku bunga meningkat terjadi kapital inflow
dan rupiah menguat lagi kondisi ini menyebabkan nilai tukar mulai stabil pada
triwulan ke-18, kemudian dalam jangka panjang menjadi stabil relatif sama pada
kondisi sebelum ada guncangan kebijakan harga pangan yaitu pada tingkat
2,35. Artinya guncangan kebijakan harga pangan tidak berpengaruh besar
terhadap nilai tukar rupiah.
Di pasar tenaga kerja naiknya harga barang atau inflasi direspon
pengusaha dengan meningkatkan permintaan tenaga kerja hingga triwulan ke-2
setelah guncangan terjadi pengurangan pengangguran mencapai titik terendah
yaitu -1,81 persen. Namun setelah diamati ternyata inflasi yang terjadi akibat
impor, bukan akibat meningkatnya permintaan produk dalam negeri. Kondisi ini
menyebabkan pengusaha menurunkan permintaan tenaga kerja sehingga
pengangguran meningkat kembali dan mulai stabil pada triwulan ke-14
kemudian dalam jangka panjang stabil mendekati kondisi semula yaitu –0,64
persen.
Dinamika inflasi dimulai dari 0,00 persen saat guncangan menjadi 1,52
persen pada saat terjadi inflasi tertinggi pada triwulan ke-5 dan kemudian stabil
pada tingkat inflasi 1,04 persen. Kenaikan yang terjadi hanya sekitar 1,00
persen. Kenaikan tersebut tidak memberikan efek besar bagi perekonomian.
Kontraksi PDB saat guncangan terjadi sebesar –0,34 persen, kemudian
kontraksi paling dalam terjadi pada triwulan ke-4 yaitu –0,99 dan dalam jangka
panjang stabil menjadi -0,84 persen. Peurunan pertumbuhan hanya –0,65
persen merupakan angka yang relatif kecil sehingga dapat dikatakan kebijakan
harga pangan tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Terjadinya stagflasi disebabkan kebijakan harga pangan yang dilakukan
masih didukung dengan pengadaan pangan impor (beras, jagung, kedele, gula,
dll.). Peningkatan impor menurunkan BOT akibatnya PDB mengalami kontraksi
dan inflasi juga meningkat. Kedepan sebaiknya kebijakan harga pangan
dilakukan dengan dominan mengandalkan produksi dalam negeri sehingga tidak
menurunkan BOT dan diduga akan menyebabkan PDB ekspansi.
Respon Dinamik Variabel Ekonomi Makro terhadap Guncangan Kebijakan
Moneter
Pengaruh guncangan kebijakan moneter sebesar satu standar deviasi
terhadap stabilitas ekonomi makro di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 13 –
Gambar 21. Ketika guncangan terjadi hingga triwulan pertama penawaran uang
74
Jurnal Agro Ekonomi, Volume 25 No.1, Mei 2007 : 55 - 83
naik sedikit dari 3,36 persen menjadi 3,37 persen. Namun, hal ini telah
meningkatkan inflasi menjadi 0,23 persen pada triwulan pertama dan terus
meningkat menjadi 0,33 persen pada triwulan ke-2. Kemudian, inflasi turun
mencapai titik rendah yaitu -0,17 persen, kemudian naik sedikit, dan stabil pada
triwulan ke-13 dalam kondisi deflasi. Guncangan kebijakan moneter awalnya
menyebabkan jumlah uang yang ditawarkan fluktuatif dan dalam jangka panjang
stabil menjadi 3,62 persen.
Kecilnya respon penawaran uang akibat kebijakan moneter pada
triwulan pertama, sedangkan inflasi meningkat relatif tajam, menyebabkan
naiknya suku bunga nominal, sehingga suku bunga riil juga meningkat dari –
0,08 persen saat terjadi guncangan menjadi 0,03 persen pada triwulan pertama.
Peningkatan suku bunga riil direspon investor dengan mengurangi investasi
sehingga laju investasi menurun. Demikian juga sebaliknya, jika terjadi
penurunan suku bunga investor meningkatkan investasinya. Perilaku demikian
hanya berlaku hingga triwulan ketiga karena fluktuasi suku bunga relatif tinggi.
Setelah itu, fluktuasi suku bunga relatif mengecil dan pengaruhnya tidak
signifikan terhadap perilaku investasi. Fluktuasi suku bunga mulai stabil pada
triwulan ke-13 hingga stabil dalam jangka panjang.
Naiknya suku bunga pada triwulan pertama meningkatkan kapital inflow
akibatnya nilai tukar mengalami apresiasi. Nilai tukar yang terapresiasi ini
berperan mengendalikan inflasi. Walau pada dua triwulan pertama kebijakan
moneter menyebabkan meningkatnya inflasi, namun dalam jangka panjang
pengaruhnya dapat meningkatkan nilai tukar rupiah sehingga inflasi menjadi
terkendali. Dalam jangka panjang, guncangan kebijakan moneter menyebabkan
rupiah terapresiasi dan mulai stabil pada triwulan ke-10 hingga stabil pada
–3,92 persen.
Inflasi yang meningkat tajam hingga triwulan ke-2 menyebabkan daya
saing produk ekspor menurun. Hal ini terlihat dari nilai tukar yang menguat
sehingga neraca perdagangan juga menurun dari surplus USD 77,23 juta
menjadi defisit USD 226,06 juta. Defisit terus berlanjut dan mulai stabil pada
triwulan ke-8 hingga jangka panjang stabil pada USD 453,09 juta. Defisit neraca
perdagangan menyebabkan dalam jangka panjang PDB mengalami kontraksi.
Turunnya neraca perdagangan, sedangkan penawaran uang meningkat,
memberi peluang untuk meningkatkan aktivitas ekonomi domestik khususnya
sektor konsumsi domestik. Konsumsi domestik ini mampu meningkatkan PDB.
Akan tetapi, peningkatan PDB yang disebabkan oleh bukan sektor produksi
karena terlihat kecenderungan investasi yang menurun dan mulai stabil pada
triwulan ke-11. Penurunan investasi menyebabkan angka pengangguran
meningkat dan mulai stabil pada triwulan ke-8.
Untuk mengendalikan inflasi, jika BI melakukan penyuntikan dana ke
pasar selalu diikuti oleh sterilisasi dalam bentuk lainnya. Dengan demikian,
guncangan kebijakan moneter dapat menyebabkan dana untuk kebijakan harga
pangan menurun. Hal ini terus berlanjut hingga triwulan kedua. Namun
75
DAMPAK KEBIJAKAN HARGA PANGAN DAN KEBIJAKAN MONETER TERHADAP STABILITAS EKONOMI
MAKRO Nyak Ilham dan Hermanto Siregar
demikian, karena kebijakan moneter juga menyebabkan inflasi hingga triwulan
ke-2, maka dana untuk kebijakan harga pangan ditingkatkan sebagai reaksi
terhadap inflasi. Akan tetapi, pada triwulan ke-3 dan seterusnya, inflasi
mengalami penurunan hingga stabil pada -0,07 persen. Kondisi demikian
direaksi oleh kebijakan harga dengan menurunkan dana untuk dukungan
kebijakan harga dan sedikit meningkat sebelum mulai stabil pada triwulan ke-10.
Peningkatan penawaran uang melalui kebijakan moneter dalam jangka
pendek meningkatkan inflasi sehingga daya saing produk ekspor menurun dan
menurunkan neraca perdagangan. Akibatnya, PDB mengalami kontraksi. Dalam
jangka panjang kebijakan tersebut mampu meningkatkan aktivitas ekonomi,
khususnya sektor konsumsi, bukan di investasi, dan mampu meningkatkan PDB
tetapi tidak mengurangi pengangguran, bahkan sebaliknya.
Gambar 13. Respon Penawaran Uang terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
Gambar 14. Respon Inflasi terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
Respon Penawaran Uang
Triwulan
0,020
0,025
0,030
0,035
0,040
0 5 10 15 20 25 30 35
Respon Inflasi
Triwulan
-0,001
-0,002
0,000
0,001
0,002
0,003
0,004
0 5 10 15 20 25 30 35
76
Jurnal Agro Ekonomi, Volume 25 No.1, Mei 2007 : 55 - 83
Gambar 15. Respon Suku Bunga terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
Gambar 16. Respon Nilai Tukar terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
Gambar 17. Respon Pengangguran terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
Respon Suku Bunga
Bank
Triwulan
-0.05
-0,10
-0,15
-0,20
-0,25
-0,30
0,00
0,05
0,10
0,15
0 5 10 15 20 25 30 35
Respon Nilai Tukar
Triwulan
-0,01
-0,02
-0,03
-0,04
-0,05
0,00
0 5 10 15 20 25 30 35
Respon Pengangguran
Triwulan
0,00
0,01
0,02
0,03
0,04
0,05
0,06
0 5 10 15 20 25 30 35
77
DAMPAK KEBIJAKAN HARGA PANGAN DAN KEBIJAKAN MONETER TERHADAP STABILITAS EKONOMI
MAKRO Nyak Ilham dan Hermanto Siregar
Gambar 18. Respon PDB terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
Gambar 19. Respon Investasi terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
Respon Neraca
Perdagangan
Triwulan
-100
-200
-300
-400
-500
0
100
0 5 10 15 20 25 30 35
Gambar 20. Respon Neraca Pedagangan terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
Respon PDB
Triwulan
-0,004
-0,006
-0,008
-0,010
-0,002
0 5 10 15 20 25 30 35
Respon Investasi
Triwulan
-0,05
0,00
0,05
0,10
0,15
0 5 10 15 20 25 30 35
78
Jurnal Agro Ekonomi, Volume 25 No.1, Mei 2007 : 55 - 83
Gambar 21. Respon Kebijakan Harga Pangan terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
Guncangan ekonomi yang disebabkan kebijakan harga pangan dan
kebijakan moneter mempunyai kelebihan dan kekurangan (Tabel 1). Kelebihan
kebijakan harga pangan tidak menyebabkan naiknya tingkat pengangguran,
namun menyebabkan kontraksi ekonomi. Kontraksi ekonomi dapat dihindari jika
kebijakan harga pangan yang dilakukan didukung oleh produksi dalam negeri.
Selama ini, kebijakan tersebut banyak didukung oleh produk impor, baik berupa
impor pangan maupun sarana produksi. Hal tersebut menyebabkan BOT defisit
sehingga PDB kontraksi. Jika kebijakan harga pangan lebih didukung oleh
produksi dalam negeri, ini berarti terjadi pengurangan impor sehingga nilai
ekspor lebih besar dari nilai impor. Kebijakan perdagangan yang mengurangi
impor menyebabkan BOT surplus sehingga PDB mengalami ekspansi, namun
pengangguran dan inflasi menjadi meningkat.
Tabel 1. Dampak Kebijakan Harga Pangan dan Moneter terhadap Keseimbangan
Ekonomi Makro dalam Jangka Panjang
No Kebijakan Dampak terhadap
Indikator Kunci Ekonomi Makro
1. Kebijakan Harga Pangan
(meningkat)
PDB kontraksi
Inflasi ; BOT defisit
Pengangguran stabil
2. Kebijakan Moneter
(ekspansi)
PDB kontraksi
Deflasi ; BOT defisit
Pengangguran naik
Dampak kebijakan moneter menyebabkan keseimbangan jangka
panjang mengalami kontraksi, pengangguran meningkat, BOT defisit, dan
Respon Kebijakan Harga
Pangan
Triwulan
-0,02
-0,04
-0,06
-0,08
0,00
0 5 10 15 20 25 30 35
79
DAMPAK KEBIJAKAN HARGA PANGAN DAN KEBIJAKAN MONETER TERHADAP STABILITAS EKONOMI
MAKRO Nyak Ilham dan Hermanto Siregar
deflasi. Hasil ini sesuai dengan mandat Bank Indonesia (2006), yaitu
memelihara kestabilan nilai rupiah melalui kebijakan moneter, mengatur dan
menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank.
Kebijakan moneter tersebut dilakukan untuk mengendalikan laju inflasi.
Selanjutnya dikatakan bahwa bukti-bukti empiris menunjukan dalan jangka
panjang kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi tingkat inflasi dan tidak
dapat mempengaruhi variabel riil, seperti pertumbuhan output ataupun tingkat
pengangguran.
Untuk melihat dampak kebijakan terhadap stabilitas ekonomi makro
diperlukan ukuran-ukuran kuantitatif. Ada empat ukuran yang digunakan dalam
melihat dampak kebijakan terhadap stabilitas. Rinciannya dapat dilihat pada
Tabel 2. Ukuran pertama yaitu waktu yang dibutuhkan hingga dampak
guncangan mulai stabil (kolom tiga Tabel 2). Dari tiga kebijakan terlihat bahwa
waktu yang dibutuhkan untuk mencapai stabil relatif sama, yaitu berkisar 8-14
triwulan atau 2-3.5 tahun. Waktu ini menjadi penting jika fluktuasi yang terjadi
cukup tajam atau panjang gelombang (jarak titik maksimum dan minimum) yang
terjadi cukup besar.
Kolom empat pada Tabel 2 memperlihatkan ukuran kedua dalam
menentukan stabilitas yaitu perbedaan antara pertumbuhan pada saat mencapai
titik maksimum dan titik minimum. Secara umum ketiga kebijakan tidak
menyebabkan instabilitas pada variabel kunci ekonomi makro dengan
perbedaan jarak titik maksimum dan minimum antara 0,33 – 4,79 persen,
kecuali pada neraca perdagangan perbedaan tersebut cukup besar.
Tabel 2. Dampak Kebijakan Harga Pangan dan Moneter terhadap Stabilitas Ekonomi
Makro
Ukuran Stabilitas
Kebijakan
Variabel
Ekonomi
Makro
Waktu
mencapai
stabil
(triwulan)
Perbedaan
dampak
maksimum dan
minimum (%)
Perbedaan
petumbuhan
awal dan
akhir (%)
Koefisien
Variasi
1. Kebijakan
Harga
Pangan
(meningkat)
1. Inflasi
2. PDB
3. BOT
4. UNM
9
13
14
14
1,52 (0-5)
0,86 (2-4)
62* (0-1)
1,23 (2-7)
1,04
0,50
615+
0,03
0,29
0,18
0,25
0,36
2. Kebijakan
Moneter
(ekspansi)
1. Inflasi
2. PDB
3. BOT
4. UNM
13
13
8
8
0,33 (2-5)
0,58 (1-4)
492* (0-3)
4,79 (0-4)
0,00
0,22
391+
4,95
1,83
0,33
0,22
0,22
Keterangan :
* dalam Juta USD.
+ diperoleh saat pertumbuhan triwulan ke-1 ke-2 dan triwulan saat akan mencapai stabil.
(n): angka dalam kurung menunjukkan periode titik maksimum-minimum terpanjang.
BOT=neraca perdagangan; PDB: Produk Domestik Bruto; UNM : pengangguran.
80
Jurnal Agro Ekonomi, Volume 25 No.1, Mei 2007 : 55 - 83
Ukuran ketiga adalah dampak kebijakan terhadap perbedaan
pertumbuhan saat awal dan akhir (kolom lima Tabel 2). Sama seperti ukuran
sebelumnya, secara umum ketiga kebijakan tidak menyebabkan instabilitas
pada variabel kunci ekonomi makro dengan perbedaan 0,00-1,66 persen,
kecuali pada neraca perdagangan perbedaan tersebut cukup besar. Ukuran
keempat adalah koefisien variasi (cv=sd/rataan). Secara relatif nilai koefisien
variasi variabel kunci ekonomi makro yang diakibatkan guncangan kebijakan
harga pangan memiliki nilai kecil dibandingkan koefisien variasi variabel kunci
ekonomi makro yang diakibatkan guncangan kebijakan moneter. Indikasi ini
makin mendukung bahwa dampak kebijakan harga pangan tidak menyebabkan
instabilitas ekonomi makro. Temuan ini sama dengan penelitian Kannapiran
(2000), skim stabilitas harga komoditas dapat mengurangi instabilitas ekonomi
makro. Secara relatif nilai koefisien variasi inflasi dan PDB akibat dampak
kebijakan harga pangan lebih kecil dari kebijakan moneter.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan
Baik jangka pendek maupun jangka panjang, kebijakan harga pangan
yang merupakan kebijakan harga input-output menyebabkan PDB kontraksi dan
inflasi, namun tidak menyebabkan naiknya tingkat pengangguran. Walaupun
menyebabkan kontraksi ekonomi dan inflasi, kebijakan harga pangan secara
relatif tidak menyebabkan instabilitas ekonomi makro dibandingkan kebijakan
moneter.
Kebijakan moneter awalnya meningkatkan inflasi, namun pada triwulan
kedua setelah kebijakan mampu menurunkan inflasi. Penurunan inflasi tersebut
menyebabkan perekonomian mengalami kontraksi sehingga meningkatkan
angka pengangguran.
Implikasi Kebijakan
Kontraksi PDB dan inflasi (stagflasi) yang terjadi akibat guncangan
kebijakan harga pangan karena kebijakan ini menggunakan dana KLBI dan
masih didukung dengan pengadaan pangan impor. Akibatnya, neraca
perdagangan defisit, PDB kontraksi, dan inflasi meningkat. Oleh karena itu, di
masa yang akan datang sebaiknya kebijakan harga pangan dilakukan dengan
dukungan produksi pangan dalam negeri. Namun demikian, kebijakan impor
pangan masih tetap diperlukan pada batas-batas tertentu, misalnya pada saat
produksi dan stok pangan tidak mencukupi, serta untuk menghindari munculnya
spekulasi yang melakukan penimbunan stok pangan.
Ketidakmampuan kebijakan moneter menurunkan angka pengangguran
tapi mampu menurunkan inflasi dan di sisi lain kebijakan harga pangan
menyebabkan inflasi tetapi mampu menurunkan angka pengangguran,
81
DAMPAK KEBIJAKAN HARGA PANGAN DAN KEBIJAKAN MONETER TERHADAP STABILITAS EKONOMI
MAKRO Nyak Ilham dan Hermanto Siregar
membuktikan bahwa setiap kebijakan mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Oleh sebab itu, suatu kebijakan dengan kebijakan yang lain harus saling
mendukung.
DAFTAR PUSTAKA
Amang, B. 1984. The Price of Rice and Inflation In Indonesia 1967–1981. Dissertation.
Submitted in Partial Satisfaction of the Requirements for the Degree of Doctor of
Philosophy in Economics in the Graduate Division of the University of California.
Bank Indonesia. 2002. Laporan Tahunan 2001. Bank Indonesia. Jakarta.
http://www.bi.go.id/web/id/BI+Publik/interaktif/inflasi.htm.
Bank Indonesia. 2006. Perananan Bank Indonesia dalam Pengendalian Inflasi (Question
& Answer).
Boediono. 1979. Sebuah Model Makro Triwulanan untuk Indonesia. EKI, 27 (3):
351-381. Jakarta.
Branson, W. H. 1979. Macroeconomic Theory and Policy. Second Edition. Harper &
Row, Publisher. New York.
CSIS. 2001a. Tinjauan Perkembangan Ekonomi : Skenario Pertumbuhan 2001 :
Creative Destruction, Muddling - Through atau Sky Dive ?. 30 (1): 6 – 7.
Centre for Strategic and International Studies. Jakarta.
CSIS. 2001b. Tinjauan Perkembangan Ekonomi: Ekonomi Indonesia di Tengah
Ketidakpastian. 30 (2) : 108 - 109. Centre for Strategic and International
Studies. Jakarta.
CSIS. 2001c. Tinjauan Perkembangan Ekonmi: Perkembangan Ekonomi Makro Kuartal
Kedua 2001. 30 (3) : 243-245. Centre for Strategic and International Studies.
Jakarta.
CSIS. 2001d. Tinjauan Perkembangan Ekonmi: Indonesia Tenggelam Berdiri. 30 (4) :
384-3856. Centre for Strategic and International Studies. Jakarta.
CSIS. 2002a. Tinjauan Perkembangan Ekonomi. 31 (1): 36-38. Centre for Strategic
and International Studies. Jakarta.
CSIS. 2002b. Tinjauan Perkembangan Ekonomi. 31 (2): 156-158. Centre for Strategic
and International Studies. Jakarta.
CSIS. 2002c. Tinjauan Perkembangan Ekonomi: Membaiknya Indikator Perekonomian
Indonesia. 31(3): 297-298. Centre for Strategic and International Studies.
Jakarta.
CSIS. 2002d. Tinjauan Perkembangan Ekonomi: Pemulihan Lambat yang Terus
Terhambat. 31 (4): 414-416. Centre for Strategic and International Studies.
Jakarta.
Dawe, D. 2002. Macro Economics Benefit Rice Stabilization. Dalam : M. Husein Sawit et
al. (editor), Bulog: Pergulatan dalam Pemantapan Peranan dan Penyesuaian
Kelembagaan – Kumpulan Naskah dalam Rangka Menyambut 35 Tahun Bulog.
IPB Press. Bogor.
82
Jurnal Agro Ekonomi, Volume 25 No.1, Mei 2007 : 55 - 83
Debelle G. 2000. Inflation Targeting and Output Stabilisation. Paper presented in Bank
Indonesia International Monetary Fund Conference on “Monetary Policy and
Inflation Targeting in Emerging Economies”. Jakarta, July 13 – 14, 2000.
Reserve Bank of Australia.
Dickey, D. A., D.W. Jansen and D.L. Thornton. 1994. A Primer on Cointegration with an
Application to Money and Income. In: Cointegration for the Applied Economist.
Edited by B. Bhaskara Rao. St. Martin’s Press. New York.
Dornbusch, R., S. Fischer and R. Srartz. 1998. Macroeconomics. Seventh Edition.
McGraw-Hill Companies, Inc. Boston.
Ellis, F. 1992. Agricultural Policies In Developing Countries. Cambridge University
Press. Cambridge.
Gunawan, A. H. 1991. Anggaran Pemerintah dan Inflasi di Indonesia. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Insukindro. 1984. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah, Cadangan Devisa dan Angka
Pengganda Uang terhadap Jumlah Uang Beredar di Indonesia. EKI, 32 (4):447-
454.
Kannapiran, C.A. 2000. Commodity Price Stabilisation: Macroeconomic Impacts and
Policy Option. Agricultural Economics No. 23 June 2000: 17-30.
Mulyana, A. 1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek
Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas: Suatu Analisis Simulasi.
Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nicholson, W. 2000. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Edisi kedelapan.
Penerbit Erlangga. Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia. 1996. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
tahun 1996, Tentang Pangan. http://www.bulog.go.id/hukum/index.html.
Pesaran, M.H. dan B. Pesaran. 1997. Working with Microfit 4.0, Interactive Econometric
Analysis. Oxford University Press. New York.
PSE. 2003. Analisis Ketahanan Pangan Dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah.
Laporan Penelitian. Kerja sama Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen
Pertanian dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor.
Rahardjo, M.D. 1993. Politik Pangan dan Industri Pangan di Indonesia. Prisma, 5 (22):
13-23.
Simatupang, P. 2002. Kelayakan Pertanian Sebagai Sektor Andalan Pembangunan
Ekonomi Indonesia. Monograf Series N0. 23: 95 – 108. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.
Stiglitz, J. E. 1997. Economics. Second Edition. W.W. Norton & Company. New York.
Sugiarto, T. Herlambang, Brastoro, R. Sudjana dan S. Kelana. 2002. Ekonomi Mikro:
Sebuah Kajian Komprehensif. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sugiyono. 2005. Model Ekonomi Politik Regulasi Beras Indonesia: Suatu Analisis
Kebijakan. Tesis Magister Sains Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
83
DAMPAK KEBIJAKAN HARGA PANGAN DAN KEBIJAKAN MONETER TERHADAP STABILITAS EKONOMI
MAKRO Nyak Ilham dan Hermanto Siregar
Thomas, R. L. 1997. Modern Econometrics: An Introduction, Addison-Wesley. Harlow.
Verbeek, M. 2000. A Guide to Modern Econometrics. John Wiley & Sons, Ltd. New York.
Ward, B. D. and H. Siregar. 2000. The Role of Aggregate Demand Shocks in Explaining
Indonesian Macro-Economic Fluctuations. Commerce Division Discussion Paper
No. 86, Lincoln University. Canterbury.
Senin, 25 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar