Diterbitkan oleh Banking with the Poor Network
Bekerjasama dengan SEP Network
Pendanaan oleh Citi Foundation sebagai bagian
kegiatan dari Citi Network Strengthening Program
Table of contents
1. Sekilas informasi tentang Indonesia: kondisi terkini sosial dan ekonomi ……………………...….… 5
2. Latar Belakang mengenai keuangan mikro di Indonesia ……………………………………….…… 6
3. Sistem perbankan dan keuangan mikro .………………………………………………………………. 8
4. Lembaga Keuangan nonbank di Keuangan Mikro ………………………………………………….. 13
5. Dukungan kelembagaan untuk keuangan mikro ..………………………………………………….... 16
6. Regulasi keuangan dan dampaknya pada keuangan mikro .………………………………………... 18
6.1 Peraturan bank ..………………………………………………..…………………………………... 18
6.2 Peraturan pada lembaga keuangan nonbank …...……..……...………………………….………... 18
6.3 Peraturan pada Koperasi ...…………………………………...…………………………………… 18
6.4 Undang-undang mengenai yayasan .………………………………..……………………………… 20
7. Intervensi Pemerintah yang mempengaruhi keuangan mikro ..……………………………..……… 20
8. Kesempatan dan Tantangan ...………………………………………………………………………... 22
8.1 Prospek lebih jauh ……………………………………………………………………………….… 23
9. Referensi dan informasi lebih lanjut …..……………………………………………………………... 25
Tables
1. Data demografi dan ekonomi makro …………………………………………………………...………. 6
2. Lembaga perbankan yang telah diatur, berdasarkan kategori, 2007 ............………………...……… 9
3. Tabungan dan Deposito pada sistem perbankan, berdasarkan kategori bank, 2007 …………….… 9
4. Pinjaman usaha mikro, kecil dan menengah, 2007…………………………………………………… 10
5. Beberapa lembaga keuangan nonbank yang berkecimpung di keuangan mikro ……………….…. 14
6. Lembaga keuangan dan kepemilikan nya yang berkecimpung di keuangan mikro, status
Peraturan ………………………………………………………………………………………….……. 19
Peta Indonesia ………………………..………………………………………………..……………………….. 5
Catatan mengenai kurs:
Mata uang Indonesia, Rupiah (Rp) mengikuti perkembangan pertukaran mata uang di mana
nilai Rupiah sangat rendah sehingga menimbulkan jumlah hingga triliun rupiah. Dalam
rangka perbandingan internasional, makalah ini akan menerapkan kemudahan aritmatika di
pertukaran mata uang pada Rp.10.000,00 per 1 US Dollar.
3
Pengantar
Studi ini merupakan salah satu kegiatan dari Banking with the Poor Network (BWTP
Network) di dalam Program Penguatan Citi Network, berkolaborasi dengan SEEP Network,
serta didanai oleh Citi Foundation.
Program Penguatan Citi Network mendukung pembangunan Studi Industri pada skala
jaringan tingkat nasional dan regional. Tujuan dari Studi Industri BWTP Network ini adalah
untuk menyediakan gambaran mengenai sektor keuangan mikro dimana BWTP network
beroperasi. Studi ini menargetkan lebih daripada kinerja individu lembaga-lembaga dan
memfokuskan pada perkembangan pasar keuangan mikro secara menyeluruh dalam bentuk
deskriptif dan analisis. Studi ini bertujuan untuk memberikan gambaran pada setiap industri
dimana sebagai sumber yang berguna bagi BWTP Network, para anggotanya dan komunitas
keuangan mikro yang luas.
Laporan Industri Keuangan Mikro: Indonesia adalah merupakan kajian bagi sektor keuangan
mikro di Indonesia, dan membawa sebuah kontribusi kepada BWTP Network’s Asia
Resource Centre for Microfinance (ARCM). Studi ini membangun profil sebuah negara yang
memiliki jaringan BWTP di tahun 2004.
ARCM dilandasi dengan dialog dan pertukaran informasi dalam skala nasional dan regional
seputar Asia Tenggara, dan bertujuan untuk membuat sebuah pembelajaran pada satu
tempat dan pusat informasi bagi anggota BWTP dan pelaku keuangan mikro di Asia.
ARCM mendukung perluasan jangkauan dan efisiensi dalam jasa keuangan untuk penduduk
miskin di Asia Tenggara, jasa-jasa yang penting dalam melawan kemiskinan dalam daerah,
meningkatkan taraf kehidupan jutaan rakyat melalui pembangunan aset dan peningkatan
pemasukan keuangan.
ARCM memiliki dua tujuan :
• Pertama, ARCM bertujuan untuk memberikan dukungan pada para mitra dan
bantuan kerjasama di Asia, di antara para donatur keuangan mikro dan
pendukungnya, dan di antara para donator dan pelaku keuangan, dalam rangka
untuk meningkatkan bantuan sistem keuangan serta meningkatkan pembelajaran
yang setara.
• Kedua, ARCM bertujuan untuk membangun pengetahuan tentang dasar-dasar
manajemen yang dapat diterima oleh seluruh pelaku keuangan mikro di Asia supaya
dapat meningkatkan kapasitas institusi, meningkatkan distribusi inovasi, dan
mengembangkan standar keuangan mikro tingkat regional dan sub-regional .
Diketahui
Laporan industri Keuangan Mikro : (laporan tentang ) Indonesia dibuat oleh Global
Innovation Consulting (GIC) dibawah koordinasi Jamie Bedson, Ketua Koordinator BWTP
Network dan Perwakilan untuk wilayah Asia dari The Foundation for Development
Cooperation (FDC).
4
Laporan industri Keuangan Mikro : Indonesia juga hasil dari kerjasama produktif dan intensif
antara Frans Purnama CEO of GIC, BWTP Network dan the Foundation for Development
Cooperation.
BWTP Network juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. John Conroy, FDC Special
Consultant, atas masukan dan kontribusinya yang sangat berharga dalam studi ini. Serta
terima kasih kepada Shawn Hunter (FDC), Carly Stephan (FDC) and Melanie Aube (FDC)
untuk kontribusinya dalam hasil rangka akhir.
Akronim
ADB Asian Development Bank
ARCM Asia Resource Centre for Microfinance
BDB Bank Dagang Bali
BKD Badan Kredit Desa
BKK Badan Kredit Kecamatan
BKKBN Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
BMT Baitul Maal wat Tamwil
BPR Bank Perkreditan Rakyat
BRI Bank Rakyat Indonesia
BTPN Bank Tabungan Pensiunan Nasional
BWTP Banking with the Poor Network
CAMEL Capital, Assets quality, Management, Earnings, Liquidity
FDC The Foundation for Development Cooperation
GEMA PKM Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro Indonesia
GIC Global Innovation Consulting
GTZ German technical service providers
IFC International Finance Corporation
IMF International Monetary Fund
INKOPDIT Induk Koperasi Kredit
IPO Initial Public Offering
KSP Koperasi Simpan Pinjam
KUD Koperasi Unit Desa
LDKP Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan
LPD Lembaga Perkreditan Desa
LPJK Lembaga Dana Kredit Pedesaan
MFI Microfinance Institution
NGO Non-Governmental Organisation
P4K Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan Kecil
PNM Permodalan Nasional Madani
PPSW Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita
Pro-FI Promotion of Small Financial Institutions
SEEP Small Enterprise Education and Promotion Network
USAID United States Agency for International Development
5
1. Sekilas Informasi Tentang Indonesia: Informasi Terakhir Sosial
Ekonomi
Indonesia telah melampaui krisis politk dan ekonomi dalam beberapa tahun lalu. Dalam
dekade terakhir, negeri yang terdiri dari 231,6 juta penduduk telah mengalami Krisis
Finansial Asia, turunnya Bapak Suharto dari kursi kepresidenan setelah menjabat selama 32
tahun, pemilihan umum yang bebas semenjak era 1960, kemerdekaan Timor Timur,
gerakan separatis menuntut propinsi independen, konflik agama dan etnik berdarah.
Kejadian bencana alam seperti yang terakhir adalah Tsunami yang memporak- porandakan
propinsi Sumatra dan Aceh.
Peta Indonesia
Kesulitan ekonomi Indonesia akan terus berlanjut. Di awal tahun 2008, prediksi-prediksi
ekonomi menggambarkan perkembangan yang kurang baik. Menurut pandangan ADB’s
Asian Development (2008),
Perkembangan dari perlambatan ekonomi di tahun terakhir telah membawa ke
perkembangan ketenagakerjaan, walaupun dalam skala 9,1% di bulan Agustus 2007,
angka PHK masih tinggi dibanding dengan beberapa Negara di bagian timur dan
selatan Asia. Terlebih, angka pengangguran juga masih tinggi di 27,6% dalam
ketenagakerjaan. Sementara masalah ini masih dapat dianggap bahwa pasca krisis
Indonesia masih belum mendapati peningkatan skala ekonomi semestinya bisa
menurunkan pengangguran dan kemiskinan, perkembangan yang telah dicapai
belum dapat seimbang dengan peningkatan ketenagakerjaan (ADB, 2008)
Walaupun telah sukses dalam menurunkan kemiskinan akibat dampak dari krisis keuangan
1997, tingkat kemiskinan di Indonesia masih tinggi, dan kecil kemungkinan untuk turun
secara signifikan di masa depan. Menurut ADB, “walaupun bagian dari populasi yang
berada di bawah garis kemiskinan (hidup dalam pendapatan kurang dari $1/hari) telah
menurun dalam beberapa tahun hingga 8,5%, hampir separuh dari populasi, masih hidup
dalam pendapatan kurang dari $2 per hari. Tabel 1 menyediakan gambaran dalam situasi
demografik dan ekonomi makro :
6
Tabel 1, Data Demografik dan Ekonomi Makro untuk Indonesia
Kriteria 2004 2005 2006
Jumlah Penduduk (Ribu) ‐ 218.869 222.192
Jumlah Penduduk Aktif secara Ekonomi
(’000)
‐ 105.800 106.390
Garis Kemiskinan Nasional ( Rupiah per
kapita/Bulan)
122.775 129.108 151.997
Jumlah Penduduk di bawah garis
kemiskinan (%)
16.7 15.97 17.75
Angka bisa membaca (%) 90.4 90.9 ‐
Perkiraan Umur Hidup (thn) ‐ 69.8 ‐
Rasio Peningkatan Penduduk per tahun
(%)
1.34
(2000 – 2005)
1.27
(2005 – 2010)
1.18
(2010 – 2015)
PDB (Rasio Peningkatan %) 5.05 5.60 5.50
Inflasi Rate (%) 6.40 17.11 6.60
Bunga (%) 13.41 16.23 15.07
Kurs Mata Uang (1 USD = Rp.) 9,790 10,330 9,520
Rasio Pengangguran (%) 10.26 10.45
Pada tingkat akumulasi, sektor perbankan menunjukkan rasio pinjaman terhadap deposit
(LDR) yang relatif rendah dan tidak mampu secara maksimal untuk membiayai pendapatan
dan pertumbuhan ketenagakerjaan melalui cara penyaluran kredit. Walaupun terjadi
reformasi terkini pada sistem perbankan, Pemerintah Indonesia mengakui bahwa sistem
perbankan berkinerja kurang baik pada tugasnya di dalam intermediasi keuangan serta
kontribusi di pertumbuhan ekenomi. Lebih jelasnya kekurangan itu ada pada ‘kemauan atau
kapasitas untuk menyalurkan pada proyek-proyek infrastruktur dan usaha-usaha kecil dan
menengah” (IMF,2007b:50).
2. Latar Belakang keuangan mikro Indonesia
Indonesia merupakan salah satu Negara pertama yang mengembangkan keuangan mikro
secara komersial di Asia, dengan mengatur lembaga keuangan menyediakan jasa
pelayanan keuangan mikro di seluruh wihayah kepulauan tersebut. Selain keberhasilan
pada penyedia keuangan mikro secara komersial, Indonesia juga merupakan tempat yang
diminati untuk pengembangan program-program pemerintah bersubsidi, lembaga-lembaga
keuangan lokal dan berbasis komunitas, koperasi dan Lembaga Swadaya Masyarakat.
Walaupun terdapat perkembangan yang cukup signifikan oleh penyedia jasa keuangan
mikro, beberapa studi menunjukkan bahwa masih terdapat permintaan yang belum terpenuhi
untuk pelayanan keuangan mikro, di mana mayoritas rumah tangga di pedalaman tetap
belum memiliki akses pada sumber-sumber pendanaan dari lembaga setengah formal atau
formal. Penyedia keuangan mikro yang teregulasi, seperti bank komersial dan Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) harus mengikuti prinsip-prinsip komersial dan lebih mengarah
pada level atas pasar usaha mikro, yaitu di kabupaten atau kecamatan, dengan pinjaman
7
lebih dari Rp 3 juta (USD300). Sedangkan Lembaga Swadaya Masyarakat, koperasi dan
Bank Kredit Desa (BKD) menjangkau level libih rendah hingga terbawah, namun memiliki
keterbatasan untuk menjangkau daerah pelosok. BRI Unit lebih mengarah meminjamkan
untuk tujuan investasi sedangkan BPR berorientasi menyediakan pinjaman modal kerja. BRI
unit merupakan pemain dominan di mana mereka diperkirakan menerima sekitar dua pertiga
dari pengumpulan tabungan pada sektor keuangan mikro formal dan setengah formal; serta
membukukan total 40% dari pinjaman (nilai) di usaha mikro. Sedangkan BPR memiliki
pangsa pasar sekitar 15-20% dari sektor keuangan mikro.
Indonesia memiliki sejarah yang panjang pada keuangan mikro komersial, dimulai satu abad
yang lalu dengan Badan Kredit Desa (BKD), yaitu merupakan bank milik desa menyediakan
kredit mikro dengan ketentuan komersial. Diperkirakan 5000 BKD beroperasi di Indonesia
saat ini. Keuangan mikro yang berkelanjutan pada sektor perbankan komersial dimulai pada
tahun 1970 dengan dibukanya Bank Dagang Bali (BDB), bank swasta di Bali yang memiliki
kekhususan pada keuangan mikro secara komersial, serta berhasil membangun
pengetahuan para nasabah keuangan mikronya juga produk-produk tabungan yang baik.
Namun sayang, BDB ditutup oleh Bank Indonesia (bank sentral) pada tahun 2004 karena
alas an kepengurusan; sedangkan keberlanjutan pada model perbankan mikro BDB bukan
merupakan isu. Sekumpulan lembaga-lembaga besar lainnya juga dioperasikan oleh Bank
Rakyat Indonesia (BRI), bank komersial besar. Memiliki kekhususan pada unit keuangan
mikro yang telah ada keberadaannya selama seperempat abad. Bank komersial besar dan
lembaga keuangan lebih kecil teregulasi memiliki peran yang penting pada keuangan mikro
Indonesia. Juga sebagai catatan, lembaga-lembaga ini dimiliki oleh satu atau lainnya pada
tingkat pemerintah, baik pusat, propinsi atau lokal.
Terminologi yang umum bagi lembaga keuangan kecil teregulasi di Indonesia adalah “Bank
Perkreditan Rakyat”, atau disebut BPR. Institusi ini diperkenalkan oleh Bank Indonesia di
tahun 1978. Setelah keuangan reformasi di tahun 1988 (yang dikenal sebagai PACTO ’88),
sebagai bank lapis kedua atau disebut BPR. Spesifikasi persyaratan untuk lisensi bank-bank
BPR yang telah berdiri sebelumnya (modal, ukuran deposito) telah dibuat tetapi tidak di
patuhi. Sekarang ini BPR-BPR, sudah mencakup institusi keuangan berlisensi, sebagian
besar dimiliki oleh swasta, yang telah memenuhi kriteria pada undang-undang perbankan
tahun 1992. Pada Agustus 2008, mereka sudah berjumlah 1796 ( merupakan 15% pangsa
pasar keuangan mikro ), dan terdapat hampir 9,000 lembaga keuangan pedesaan yang tidak
terlisensi oleh Bank Indonesia. Ini dapat di kategorikan sebagai BKD milik desa di Jawa dan
Madura, dan Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP) dimiliki sebagian besar oleh
pemerintah daerah. (atau pada beberapa kasus milik desa)
Pada tahun 1984, di masa bangkitnya reformasi keuangan yang baru oleh pemerintah, Bank
Rakyat Indonesia, merubah jaringan Unit Desa nya untuk beroperasi di tingkat kecamatan.
Kantor-kantor Unit Desa tersebut dirubah dari agen penyambung program kredit dari
pemerintah yang bersubsidi untuk penanaman padi (BIMAS) menjadi intermediasi keuangan
mikro secara kormesial. Jaringan unit desa ini sekarang merupakan yang terbesar dan salah
satu yang paling menguntungkan pada jaringan perbankan mikro pedesaan di dunia
berkembang. Pada krisis keuangan tahun 1997-1998, sebagian besar nasabah keuangan
mikro BRI tetap percaya pada pelayanan keuangan yang ditawarkan oleh BRI unit, nasabah
tetap memelihara atau terus menambah tingkat tabungan mereka. Ketahanan pada sistem
BRI Unit Desa pada masa krisis jauh berbeda dari kerugian besar yang dialami BRI pada
pembiayaan korporasinya. Terlebih, bank mengalami kebangkrutan secara teknis, dan harus
dibantu oleh program restrukturisasi dan pembiayaan ulang, seperti yang terjadi pada
industri perbankan secara keseluruhan.
Sebagai konsekuensi langsung dari krisis keuangan, 82 bank komersial ditutup, 13
dinasionalisasi dan lainnya di rekapitalisasi atau digabung. Beberapa bank pemerintah
dikonsolidasikan menjadi lembaga keuangan yang lebih besar, yaitu Bank Mandiri. Kinerja
8
jaringan unit BRI selama masa krisis menyelamatkan BRI dari proses penggabungan
menjadi bank yang lebih besar. Dengan tutupnya bank-bank, banyak pemegang deposito
kecil kehilangan simpanan tabungan mereka, sehingga mengakibatkan krisis kepercayaan
pada lembaga keuangan.
Pemain penting lainnya di pasar keuangan mikro formal adalah Perum Pegadaian, melayani
jutaan masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan ketiga pemain utama (BRI Unit, BPR,
dan Pegadaian), sektor keuangan formal menjadi kekuatan dominan pada keuangan mikro
Indonesia, dan mengungguli sektor semi formal dan informal dengan selisih yang besar.
Sektor keuangan semi formal memiliki peran lebih kecil pada keuangan mikro Indonesia.
LSM di Indonesia tidak memainkan peran penting pada intermediasi keuangan namun
sebaliknya fokus pada pengerahan sosial, sering kali berpartisipasi pada program
pengurangan kemiskinan dari pemerintah. Pada tahun-tahun terakhir ini, sebagian kecil
LSM bergerak menuju keuangan mikro secara komersial, dengan mendirikan BPR-BPR.
Satu di antaranya memiliki bank komersial di Jawa Tengah dan lainnya mengambil
kesempatan dari liberalisasi politk pasca Soeharto untuk mengoperasikan koperasi.
Selama masa pemerintahan Soeharto, sistem koperasi sangat dipolitisir dan digunakan
sebagai kendaraan untuk menyalurkan kredit murah ke kelompok-kelompok tujuan tertentu.
Sektor koperasi tetap menderita dari interfensi politik dan juga regulasi yang lemah. Sebagai
tambahan, di kedua masa, baik era Suharto dan pasca Suharto, program
programpemerintah menyediakan pembiayaan kredit bersubsidi kepada kelompok penduduk
tertentu, menggunakan sistem perbankan komersial untuk menyalurkan dana. Misalnya,
untuk menolong petani miskin, program Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani-
Nelayan Kecil, atau P4K, menyediakan pinjaman lunak melalui kelompok swadaya
masyarakat. Untuk menjangkau perempuan, Program Keluarga Sejahtera yang
dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional atau BKKBN memiliki
jaringan unit-unit desa dan beroperasi melalui kelompok perempuan dengan mengajak untuk
memobilisasi tabungan dan menyalurkan kredit bersubsidi. Program-program ini
dilaksanakan oleh suku dinas dan pada umumnya tujuan-tujuan penghapusan kemiskinan
menjadi perhatian dari pembangunan sektor keuangan. Elemen penting pada keuangan
mikro di Indonesia ini akan didiskusikan di bawah (bagian VI).
Akhirnya, Indonesia juga memiliki sejarah yang panjang pada skema kredit dan tabungan
informal, yaitu Arisan dan juga bentuk lainnya pada keuagan tradisional. Namun, skema ini
memiliki keterbatasan jangkauan dan keberlanjutannya lebih berdasarkan kesatuan sosial
daripada ketaatan keuangan. Jutaan masyarakat Indonesia ikutserta pada kegiatan ini, baik
di tempat bekerja, kelompok sosial dan desa; dan mereka bukan berarti khusus untuk kaum
miskin saja.
3. Sistem Perbankan dan Keuangan Mikro
Seperti pada sistem keuangan yang sedang berkembang, bank komersial melanjutkan
dominasinya di sektor keuangan Indonesia. Namun yang membuat tidak umum pada kasus
Indonesia adalah derajat kepentingan pada sub-sektor keuangan mikro. Bank Indonesia
mencatat adalah sekitar 71 juta rekening bank di tahun 2007, dimana sekitar 69 juta adalah
rekening tabungan. Jumlah penduduk mendekati 230 juta dan jumlah penduduk aktif secara
ekonomi adalah sekitar 108 juta, hal in menggambarkan bahwa akses menyeluruh pada
jasa-jasa lembaga keuangan yang teregulasi masihlah jauh untuk dicapai. Rangkuman atau
“headline” dari ukuran pada akses terhadap jasa keuangan yang tersedia untuk Indonesia
dan beberapa Negara tetangga menguatkan hal ini. Bank Dunia memperkirakan bahwa 40%
dari penduduk dewasa di Indonesia memiliki akses pada rekening bank di lembaga
9
perbankan teregulasi (Bank Dunia, Finance for all, 2008). Ini dapat dibandingkan dengan
59%, 29% dan 26% perkiraan untuk Thailand, Vietnam dan Thailand, dan hampir memiliki
tingkat yang sama dengan RRC (42%).
Indonesia memiliki sektor perbankan yang beragam, dengan jumlah lembaga
menggambarkan sejarah yang jelas pada pembangunan sektor keuangan. Namun secara
umum, bank teregulasi adalah Bank Umum atau BPR. Kategori-kategori dari lembaga
teregulasi terpampang di Table 2, yaitu daftar macam-macam bank komersial dan BPR. Dari
128 bank komersial, 31 merupakan entitas pemerintah (baik 100% dimiliki atau mayoritas
dikontrol) termasuk 26 Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Table 2, Lembaga Perbakan Teregulasi, berdasarkan kategori (2007)
Bank Komersial Pemerintah 5
Bank Pembangunan Daerah (BPD) 26
Bank Komersial Swasta 67
Bank Campuran 19
Bank Asing 11
Jumlah Bank Komersial 128
Jumlah Cabang 9,888
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) 1,880
Sumber: Bank Indonesia, 2008
Pentingnya bank-bank ini (berdasarkan tabungan yang dimiliki dan pinjaman yang diberikan)
mungkin dapat diperoleh pada table 3. Pada umumnya, data menunjukkan berlanjutnya
posisi penting dari bank komersial pemerintah, di mana tetap memegang 37% dari tabungan
dan 35% dari pinjaman, dibandingkan dengan 42% dan 43% dari bank swasta untuk
tabungan dan pinjaman. Bank Pembangunan Daerah juga merupakan milik pemerintah,
walaupun lebih kecil, memiliki potensi untuk memainkan peran pembangunan yang besar
pada tingkat lokal.
Table 3, Tabungan dan Deposito pada system perbankan, berdasarkan kategori bank
(2007)
Kategori Bank Total dana di
Bank (dalam
Rp. Triliun)
Rata‐rata
tabungan per
bank pada
setiap kategori
(dalam Rp.
Triliun)
Pinjaman
Berjalan (Rp.
Triliun)
Loan to
deposit
ratio ‐‐ LDR
(%)
Pemerintah 485 96.1 348.9 72
Bank
Pembangunan
Daerah
140 5 71.9 51
Bank Swasta
(Devisa)
520 15 432.5 79
Bank Swasta (Non
Devisa)
30 0.7 Termasuk pada total
diatas
Termasuk pada
total diatas
Bank Campuran 42 2.1 141.6 103
Bank Asing 95 8.4 Termasuk pada total
diatas
Termasuk pada
total diatas
Bank Perkreditan
Rakyat
n/a 8.4 milyar n/a n/a
Sumber: IMF (2007: 42b).
10
Data menunjukkan bahwa sistem perbankan belum merealisasikan kapasitas maksimalnya
sebagai intermediasi keuangan, dengan rendahnya rasio pinjaman per deposito (loan-todeposit
/ LDR) di Bank Pembangunan Daerah (51%) dan Bank Pemerintah (72%).
Sedangkan Bank Swasta (79%) menunjukkan kinerja yang lebih baik. Akumulasi rasio
pinjaman per deposito di sistem perbankan telah meningkat di beberapa tahun sampai 2007
dan ini merupakan tingkat yang tertinggi sejak krisis keuangan tahun 1997-1998. Namun ini
tetap perlu diperhatikan apakah krisis keuangan yang dimulai pada tahun 2007-2008 akan
merubah perkembangan positif ini dan menurunkan kapasitas bank-bank untuk pertumbuhan
pembiayaan serta pembentukan lapangan kerja, termasuk untuk usaha mikro.
Elemen penting pada pertumbuhan pembiayaan di tahun-tahun terakhir adalah adanya
ekspansi kredit kepada kategori usaha mikro, kecil dan menengah berdasarkan ukuran
pemerintah. Pertumbuhan ini dikarenakan adanya gambaran dari perubahan peraturan yang
secara khusus untuk memfasilitasi jenis pembiayaan ini dan juga ajakan pemerintah di dalam
pembentukan mekanisme untuk menyalurkan kredit kepada usaha mikro dan kecil serta
kelompok berpenghasilan rendah. Namun, pembiayaan ini kelihatan hanya memberikan
manfaat kepada kelompok berpenghasilan menengah atau non-miskin di masyarakat
Indonesia.
Bank Indonesia mendefinisikan usaha mikro yaitu usaha yang memiliki penghasilan tidak
lebih dari Rp.100juta (USD10,000). Ini mungkin diperkirakan terlalu tinggi untuk sebuah
Negara yang memiliki PDB perkapita nya sekitar USD1,000. Pembiayaan bank kepada
usaha mikro, kecil dan menengah meningkat signifikan dari 2004 setelah dilantiknya
Presiden Yudhoyono, dengan rata-rata 20% pertumbuhan per tahun (table 4). Pembiayaan
ini merupakan setengah dari total kredit yang disalurkan bank pada 2007 dengan total
sebesar USD 52 juta. Nilai tersebut terdiri dari 40% untuk kebutuhan modal kerja, 9% untuk
kebutuhan investasi, dan 51% untuk konsumsi. Kenyataannya elemen terbesar pada
pembiayaan ini adalah untuk konsumsi kepada kelas menengah dan keluarga non miskin.
Tidak terlihat adanya estimasi yang jelas mengenai pembiayaan bank kepada keuangan
mikro, diluar untuk sektor usaha mikro, kecil dan menengah. Namun, tidak dipungkiri bahwa
pembiayaan untuk kredit mikro melalui sistem perbankan sudah terus meningkat pada
beberapa tahun sampai 2007.
Table 4, Pinjaman Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, berdasarkan Kategori dari Bank
Sentral (Rupiah Milyar)
Purpose of Loan
Tujuan Pinjaman
2008 (akhir
Maret)
2007 2006 2005 2004
Modal Kerja 204.321 204.765 171.118 142.653 111.636
Investasi 45.194 44.578 37.147 33.049 28.460
Konsumsi 268.766 253.453 202.177 179.225 130.997
Total 518.280 502.796 410.442 354.908 271.093
Sumber : Bank Indonesia
Untuk kelompok berpenghasilan rendah dan pinjaman mereka, Divisi Unit dari Bank Rakyat
Indonesia (dinamakan Bank BRI di 2004) memiliki total 3.44 juta peminjam mikro pada
program pembiayaan “KUPEDES” dengan total pencairan dana per Desember 2006 sebesar
Rp.27.3triliun (USD 2.73milyar). Dari berbagai sumber pendanaan, pembiayaan ini didanai
oleh lebih dari 30 juta penabung dengan total tabungan sebesar Rp.38.68triliun
(USD3.87milyar) pada rekening SIMPEDES.
Bank Danamon Indonesia (bank swasta yang mengoperasikan divisi khusus untuk kredit
mikro nya, yaitu Danamon Simpan Pinjam) melayani total 400.000 peminjam mikro dengan
11
total pencairan dana Rp.8.6triliun (USD 860 juta) di 2007. Rata-rata besaran pinjaman mikro
BRI adalah sekitar Rp 7.93juta (USD 793) per peminjam, sedangkan Danamon Simpan
Pinjam adalah Rp 21.5juta (USD 2150) per peminjam. BRI Unit juga memiliki pinjaman
tanpa jaminan dengan maksimum pendanaan sebesar Rp 5 juta (kira-kira USD 500) dengan
maksimum jangka waktu 2 tahun. Danamon Simpan Pinjam memiliki juga pinjaman tanpa
jaminan dengan maksimum pendanaan sampai dengan Rp 20 juta (USD 2.000). Perbedaan
mencolok dari kedua bank tersebut (bank pemerintah dan swasta) sangat kentara, baik dari
segi jangkauan dan besaran pinjaman yang dapat mereka berikan.
BRI membangun kesuksesannya berdasarkan pada adanya permintaan untuk produk
finansial tersebut dan perkembangan atas masing-masing Unitnya (dahulu dinamakan Unit
Desa) pada divisi yang terpisah di BRI. Jasa yang diberikan oleh BRI Unit adalah produk
pinjaman, tabungan, asuransi dan transfer uang / remitansi. Produk KUPEDES, pinjaman
individual mengharuskan adanya jaminan dan dapat digunakan untuk modal kerja dan
investasi. Produk tabungan SIMPEDES memperbolehkan adanya penarikan tanpa batas,
dan menawarkan pada tingkat bunga yang kompetitif serta dijamin oleh Pemerintah. BRI
Unit menjadi sumber dari inovasi-inovasi. Misalnya, sebagai cara untuk mengajak lebih
banyak calon nasabah membuka rekening tabungan, BRI menyelenggarakan undian per
semester untuk pemegang rekening SIMPEDES. Setiap penabung akan menerima lembar
undian gratis berdasarkan jumlah saldo rekening mereka.
Pada konteks perbankan mikro secara komersial, patut pula disebutkan produk-produk
tabungan milik Bank Dagang Bali, walaupun lembaga ini yang dulunya mengalami
kesuksesan sudah tidak beroperasi. BDB membangun kesuksesannya pada mobilisasi
tabungan, dengan tiga jenis produk tabungan: deposito berjangka, rekening giro dan
beberapa jenis rekening tabungan dengan buku. Kesuksesan BDB di dalam memobilisasi
tabungan adalah dengan menggunakan tim pengerahan tabungan. Dua staf melakukan
kegiatan kunjungan kepada penabung untuk menarik uang dan juga memberi sesuai
permintaan penarikan. Seperti BRI, Bank Dagang juga menjalani undian secara berkala,
dimana tiket undian gratis diberikan kepada penabung sesuai dengan batas minimum saldo
rekening mereka.
Produk tabungan BRI Unit dilandasi atas prinsip-prinsip kepercayaan, keamanan,
kemudahan, likuiditas, kerahasiaan, dan ketersambungan dengan pinjaman dan keuntungan.
Produk-produk tabungan yang beragam tersedia dengan derajat likuiditas yang berbeda.
Suku bunga meningkat mengikuti minimum saldo rekening, menggambarkan peningkatan
biaya atas pengaturan rekening-rekening kecil. ”Harga transfer” ditentukan untuk
pembiayaan antar Unit dan dari Unit kepada Bank. Hal ini untuk mengelola posisi likuiditas
pada bank. Rekening tabungan digunakan untuk membentuk penilaian kredit per nasabah,
dan juga untuk jaminan kredit. Pengguna dari produk tabungan, SIMPEDES, dibolehkan
untuk melakukan transaksi tanpa batas. Hal ini diperkenalkan setelah hasil dari studi
lapangan menunjukkan keterbatasan dalam penarikan menjadi penyebab utama keraguan
para masyarakat pedesaan untuk membuka rekening tabungan.
Setiap BRI Unit diperlakukan sebagai sumber keuntungan, kemandirian secara keuangan
dan independen dari subsidi. BRI selalu menerapkan kebijakan yang kaku kepada seluruh
BRI Unitnya dari ”program” pemerintah atau kebijakan pembiayaan, dimana hal ini sudah
ditangani oleh sistem cabang BRI. Dalam sejarahnya, Divisi Unit terus dilindungi dari
berbagai perluasan negatif dari aktivitas kebijakan pembiayaan. Pada akhir September
2004, BRI mengoperasikan 4.049 Unit dan 325 cabang. Privatisasi sebagian saham BRI
berlangsung sukses, yaitu dengan menyelenggarakan IPO dan daftar saham per 10
November 2003. Kemudian permintaan saham melampaui lima belas kali dari penerbitan
sahamnya. Pemerintah menjual kurang lebih 30% kepemilikan saham di BRI. Pada akhir
September 2004, BRI memiliki 87% pendanaannya ke usaha mikro, kecil, dan menengah,
sedangkan untuk pendanaan ke korporasi terwakili 13%. Sekitar 31% dari total pendanaan
12
Rp 58.119 triliun (USD 6,2 miyar) adalah merupakan untuk sektor usaha mikro atau sekitar
Rp18,14 triliun (USD1,9 milyar)
Sukses yang dialami Bank Danamon pada pembiayaan keuangan mikro telah menstimulasi
bank-bank swasta lainnya, seperti BTPN, Bank Mega Syariah, Bank Mayapada, Bank NISP
dan Bank DIPO Internasional. Dimana mereka melakukan “down-scale” pada operasional
mereka dalam rangka memasuki sektor keuangan mikro. Sebelum masa krisis keuangan,
bank pemerintah, BTPN (Bank Tabungan Pensiunan Nasional), dengan dukungan dari
Texas Pacific Group (TPG), memberikan signal dalam investasi sebesar Rp 30-40 triliun
untuk 5 tahun kedepan untuk operasional keuangan mikronya. Bank Mega Syariah
merencanakan 210 unit keuangan mikro di 17 kota. Bank Mega Syariah merupakan pionir di
antara bank syariah di sektor ini. Bank Mandiri, bank terbesar komersial di Indonesia, telah
mencanangkan keinginannya untuk membuka 300 unit perbankan mikro dan merekrut 1.700
karyawan pada 2008. Direncanakan untuk meningkatkan pembiayaan keuangan mikro lebih
dari 10% total pencairan dananya.
Penting untuk membedakan antara bank-bank di Indonesia yang berkecimpung di
pembiayaan mikro untuk alasan komersial dan yang ikut serta dengan alasan mandat sosial
atau respon dari ajakan dan peraturan pemerintah. Ini tidak sesederhana hanya karena
kepemilikan pemerintah dengan pengusahaan swasta, di mana BRI tetap mayoritas menjadi
milik pemerintah namun juga menerapkan agenda komersialnya. Bank Mandiri adalah bank
pemerintah yang memiliki agenda kedua-duanya (misi sosial dan komersial). Bank
Danamon, perusahaan terdaftar di bursa, adalah salah satu dari bank komersial swasta yang
memiliki keuangan mikro secara komersial dan secara aktif berkomitmen terus di pangsa
pasar tersebut. Bank-bank swasta lainnya merasakan pentingnya untuk menemukan
bentuk-bentuk akomodasi dari pemerintah dan/atau bank sentral. Sehingga (dengan
keberagaman entusiasme) mereka menerapkan beberapa aset nya untuk fokus ke keuangan
mikro, baik langsung atau melalui program linkage dengan lembaga-lembaga keuangan kecil
yang teregulasi (BPR). BPR-BPR ini pun beraneka ragam di dalam ketertarikannya serta
kapasitas yang dimiliki untuk pembiayaan mikro. BPR-BPR yang dimiliki oleh pemerintah
daerah dan koperasi pada umumnya berorientasi ke mikro, sedangkan yang dimiliki oleh
swasta, berorientasi profit yang pada umumnya fokus ke usaha kecil dan menengah. Untuk
BPR akan dibicarakan lebih detail dibawah ini.
Selanjutnya, sebagian besar penyedia keuangan formal (bank komersial dan BPR) juga
mengoperasikan unit spesifik, cabang dan produk menggunakan prinsip-prinsip perbankan
syariah. Perbankan syariah merupakan kekuatan yang signifikan di sektor keuangan mikro
dan finansial Indonesia, dalam bentuk volume jasa keuangan yang disediakan dan jumlah
unit yang menyediakan jasa tersebut.
Semua bank memahami keberhasilan BRI di dalam pembiayaan adalah melalui pengerahan
tabungan, walaupun sebagian besar tidak dalam posisi untuk berkompetisi dengan BRI
dengan alasan adanya keterbatasan jaringan cabang mereka. Adalah hal yang benar bahwa
bank-bank selain BRI menghadapi biaya pendirian yang besar untuk memperluas jangkauan.
Jaringan pedesaan BRI adalah merupakan warisan dari investasi pemerintah yang dilakukan
sebelum 1980-an, dimana kriteria komersial belum begitu penting. Namun juga pemulihan
yang lama dari krisis keuangan 1997, dimana rasio pinjaman terhadap deposito rendah, juga
mengurangi insentif untuk bank komersial membuka cabang-cabang baru untuk
memobilisasi tabungan. Kompetisi yang lebih beragam dan luas untuk simpanan, termasuk
mereka kaum miskin, harus menunggu waktu di mana pembiayaan bank komersial
mengalami keterbatasan likuiditas dikarenakan pertumbuhan ekonomi. Ini bukan merupakan
prospek yang baik pada kondisi keuangan 2008.
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) atau lapis kedua bank, seperti disebutkan diatas, didirikan
pada tahun 1970 an dan mendapat percepatan dalam bentuk regulasi dengan adanya
13
liberalisasi keuangan 1988 (PAKTO 88). Setelah ini, bank lapis kedua dapat didirikan, yang
adalah Bank Perkreditan Rakyat. Untuk mereka, BPR-BPR “lama” yang sudah berdiri,
ketentuan spesifik ditentukan, dalam bentuk modal minimum dan ketentuan lainnya, untuk
membawa ke tingkat kelas yang baru untuk semua BPR. Ketentuan-ketentuan ini tidak
sepenuhnya diterapkan, meninggalkan situasi dimana lembaga-lembaga keuangan lokal ini
beroperasi sehari-hari dalam situasi yang tidak jelas.
BPR-BPR “baru” yang teregulasi berukuran lebih kecil dari Bank Umum dan hanya
menyediakan produk-produk dasar saja. BPR dibolehkan untuk menerima simpanan, namun
terbatas dari segi lokasi, fungsi dan komposisi portofolionya. Mereka bertempat secara lokal
dan sebagian besar milik swasta, walaupun sebagian juga dimiliki oleh pemerintah daerah
atau koperasi. Sejak 1999, pemerintah sudah mencetus adanya konsolidasi para BPR,
dengan lebih besar namun sedikit entitas. Sebagai hasilnya, pembentukan BPR baru
menurun dan banyak yang sudah tutup. Kurang dari 1800 BPR beroperasi per pertengahan
tahun 2009, turun dari total 2158 di 2004.
Saat ini, BPR adalah yang termasuk pada lembaga keuangan kecildijelaskan di atas yang
memenuhi kriteria spesifik tertera pada Undang-Undang Perbankan 1992, dan juga lebih dari
9.000 lembaga keuangan pedesaan seperti LDKP, BKD dan BKK. Lembaga-lembaga ini
akan dijelaskan di bawah ini, pada seksi VI. BPR-BPR berlisensi yang diatur di dalam UU
Perbankan, menyediakan pinjaman, tabungan, dan deposito berjangka. BPR tidak dapat
menyediakan rekening giro karena tidak memiliki akses ke sistem kliring. Mereka melayani
segmen menengah pada pasar keuangan mikro, yang pada umumnya dipilih oleh nasabah
yang tidak dapat menyediakan jaminan yang cukup untuk mengakses pinjaman di BRI. BPR
pada umumnya memiliki kinerja keuangan yang rendah, manajemen yang lemah dan terus di
dorong oleh peraturan Bank Indonesia untuk melakukan pembiayaan yang konservatif serta
memiliki jaminan. Lembaga keuangan kecil ini beroperasi pada tingkat lokal dan dimiliki oleh
pihak swasta maupun pemerintah yang memiliki perbedaan di dalam kegiatannya. BPR milik
pemerintah daerah pada umumnya menikmati monopoli daerah dan tidak berkompetisi satu
sama lain. BPR ini pada umumnya lebih menguntungkan dibandingkan dengan BPR milik
swasta, dimana sering berada di tempat / ceruk kecil dan kompetisi yang tinggi. BPR milik
pemerintah lebih bersemangat untuk memobilisasi perolehan simpanan dan bersedia
menyediakan pinjaman berukuran lebih kecil. Mereke juga lebih sering ikut serta di dalam
program linkage dengan Bank Umum, dimana Bank Indonesia terus mengajak mengikuti
program ini. BPR swasta pada umumnya didirikan belum lama dan ditemukan di daerah
urban atau peri-urban.
Pada Maret 2004, industri BPR telah memiliki 2,4 juta peminjam dan 5 juta penabung,
dengan rasio pinjaman terhadap deposito sebesar 77% dan rasio non-performing loan
sebesar 8%. Hampir 60% dari BPR teregistrasi sebagai perseroan terbatas, 36% adalah
milik pemerintah dan sisanya merupakan koperasi. Pada saat itu, BPR berlisensi memiliki
aset sebesar Rp 13,43 triliun (USD 1,34 milyar) dimana Rp 9,43 triliun (USD 940juta) berupa
pembiayaan. Selanjutnya juga dapat memobilisasi Rp.2,66 triliun (USD 267 juta) dalam
bentuk tabungan, serta Rp 3,36 triliun (USD 336 juta) dalam bentuk deposito berjangka.
Lebih lanjut, terjadi pertumbuhan yang cepat untuk aspek-aspek tersebut diatas. Per
Agustus 2008, pembiayaan mencapai Rp 25,01 triliun (USD 2,5 milyar), dan deposito
sebesar Rp 20,6 triliun (USD 2,06 milyar). Rasio pinjaman terhadap deposito mencapai
84,3% dan NPL berada di 7%.
Tabungan BPR tipikal dengan rekening menggunakan buku tabungan. Tabungan ini
memperbolehkan penarikan tanpa batas dan menawarkan suku bunga di mana pada
umumnya mengikuti inflasi. Deposito berjangka BPR pada umumnya berjangka waktu
hingga dua belas bulan. Suku bunga berfluktuasi tergantung dari lokasi, kepemilikan, ukuran
bank dan faktor-faktor lainnya. Pada 2003, BPR berhasil membukukan keuntungan sebesar
14
Rp 429 milyar (USD 43 juta), dan memperoleh 25% keuntungan pada permodalan, serta
3,4% keuntungan pada aset.
4. Lembaga Keuangan Non-Bank di Keuangan Mikro
Perum Pegadaian adalah perusahaan milik pemerintah yang menyediakan jasa keuangan
mikro kepada lebih dari 15 juta peminjam di 2004 melalui jaringan 812 cabang. Pada tahun
2004, Perum Pegadaian memberikan Rp 10,45 triliun (USD 1,05 milyar) dalam bentuk
pinjaman, dan menghasilkan keuntungan sebesr Rp.230 milyar (USD 24.7 juta). Pegadaian
menawarkan jasa keuangan yang cepat dan efisien, di mana nasabah akan menaruh
barang-barang / aset yang dimiliki untuk memperoleh pinjaman tanpa aset tersebut dijual ke
Pegadaian. Pegadaian pada umumnya memberikan pinjaman kecil dimana hampir 90%
adalah kurang dari Rp 500.000 (USD 50) di 2001.
Jasa-jasa keuangan mikro lainnya adalah termasuk di dalamnya sektor keuangan semi
formal yang berisikan ribuan lembaga keuangan non-bank seperti Badan Kredit Desa (BKD),
LKDP, dan juga perusahaan keuangan dan asuransi, koperasi, koperasi kredit dan LSM. Ini
merupakan kelompok heterogen dan terminology ‘lembaga keuangan non-bank’ digunakan
hanya untuk mengindikasikan bahwa mereka adalah bukan bank, secara bentuk hukumnya.
Sehingga institusi-institusi ini tidak dalam regulasi Bank Indonesia dan hanya teregistrasi dan
terlisensi oleh badan pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Didirikan sejak satu abad yang lalu, BKD merupakan lembaga kredit mikro pertama di
Indonesia. Bentuk BKD adalah kecil, dimiliki oleh desa yang hanya berlokasi di Pulau Jawa
dan Madura. BKD pada umumnya mengalami kinerja yang buruk, kapasitas manajemen
yang lemah dan seringkali tekait dengan birokrasi pedesaan. Lembaga ini disupervisi dan di
bawah administrasi dari cabang BRI, atas nama Bank Indonesia. Dijalankan oleh kepala
desa, BKD menawarkan produk tabungan dan pinjaman kepada nasabah mereka.
Simpanan pokok diharuskan ada, agar memperoleh pinjaman, namun BKD dilarang untuk
memobilisasi tabungan sukarela. Pinjaman biasanya adalah berukuran kecil, tanpa jaminan
dan diproses dengan cepat. BKD biasanya hanya buka sehari dalam satu minggu dan
jumlah tabungan yang diterima dari nasabah akan ditransfer ke rekening BKD di BRI. BKD
mengatur ketentuan pembiayaannya melalui pendapatan dari deposito, simpanan pokok dan
meminjam dari BRI.
LKDP mengambil bentuk yang berbeda, seperti Badan Kredit Kecamatan (BKK), kuat di
Jawa dan LPD di Bali. Mereka disupervisi oleh pemerintah daerah nya. BKK Jawa Tengah
adalah salah satu contoh yang berhasil untuk LKDP. BKK Jawa Tengah lahir sebagai
lembaga kredit yang mentargetkan kaum miskin dan dapat menerima tabungan hanya
setelah 1984. Lembaga ini menggunakan teknik-teknik keuangan mikro pada umumnya
seperti pinjaman tanpa jaminan dan berdasarkan karakter, kecil yang kemudian meningkat
perlahan-lahan berdasarkan kinerja pengembalian pinjaman nya, pinjaman dibayar dengan
system angsuran tetap, tidak ada jaminan tetapi dengan simpanan pokok. Lembaga ini
menerima bantuan teknis dari USAID.
Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali merupakan yang terbaik di sistem LDKP di
Indonesia, walaupun terdapat kompetisi yang kuat di tingkat lokal dari banyaknya lembaga
formal dan informal. LPD dipandang sebagai entitas yang menguntungkan, di mana
bergantung pada tabungan dan deposito sebagai sumber pendanaan. LPD didirikan dari
1988 sebagai lembaga keuangan pedesaan yang memiliki peran ekonomi dan sosial di
komunitas tersebut. LPD banyak menerima bantuan teknis dari USAID dan GTZ.
LPD berbeda dengan LKDP yang dikontrol oleh pemerintah daerah yaitu mereka dimiliki oleh
organisasi komunitas lokal. Keanggotaan berdasarkan “Banjar”, merupakan unit terpenting
dari organisasi sosial di masyarakat Bali. Solidaritas sosial yang mengakar ini merupakan
15
syarat penting keberhasilan dari sistem LPD. Pada pertengahan 1999, 910 LPD melayani
545.000 nasabah. Ini berarti lebih dari 80% dari penduduk Bali dapat dijangkau oleh LPD,
pencapai yang sulit di semua tempat. LPD Bali dan BKK merupakan bagian penting dari
LKDP yang belum berubah ke status BPR.
Gerakan koperasi di Indonesia mempunyai sejarah politisasi panjang. Koperasi desa yang
didukung oleh pemerintah sudah didirikan sejak masa kolonial dan koperasisme memiliki
tempat khusus dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pada masa Soeharto, Koperasi milik
pemerintah, atau disebut Koperasi Unit Desa (KUD) merupakan salah satu pilar dari
kenegaraan Indonesia. Saat ini, terdapat dua jenis koperasi keuangan mikro, yaitu Koperasi
Simpan Pinjam (KSP) dan Unit Simpan Pinjam (USP) dari koperasi serba usaha. Sebagian
besar koperasi di subsidi oleh program kredit pemerintah. Namun, sebagian kecil koperasi
akar rumput menunjukkan kinerja yang baik. Setelah jatuhnya Suharto di 1998 koperasi
yang dikontrol secara ketat oleh pemerintah mulai memudar dan koperasi independen mulai
muncul.
Table 5, Lembaga Keuangan Non Bank berperan di keuangan mikro, tingkat aktivitas
dan jumlah nasabah
Tipe Unit Simpanan
(Rp. Mil)
Penabung Pinjaman
(Rp. Mil)
Peminjam Rata‐Rata
pinjaman (Rp.
Juta)
Koperasi
Simpan Pinjam
(KSP)
1,598 325.27 878,379 1,154.8 480,326 2.4
Unit Simpan
Pinjam
(USP)
36,485 1,454 10,524,908 13,495 4,987,783 2.7
LDKP 2,272 334 n.a 358 1,300,000 0.27
Koperasi
Syariah
3,038 209 n.a 157 1,200,000 0.13
Koperasi Kredit
dan LSM
1,146 188.01 290,000 505.73 400,000 1.27
Sumber: Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Statistik Koperasi 2007
Pergerakan Koperasi Kredit Independen, didukung oleh Badan Koordinasi Koperasi Kredit
atau BK3I, terlihat lebih sukses di dalam mendidik lembaga keuangan koperasi yang
independen dan berkelanjutan. Pergerakan ini memiliki hubungan dengan, dan dibantu oleh,
berbagai macam pergerakan koperasi luar negeri. Pada tahun 2004, Induk Koperasi Kredit
Indonesia (INKOPDIT) juga memulai program keuangan mikro untuk membangun kapasitas
dari kelompok swadaya masyarakat dengan mampu merubah diri menjadi koperasi.
Terdapat pula koperasi keuangan yang independen dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip
syariah dan juga bentuk organisasi syariah (pra-koperasi), BMT, dimana melaksanakan
simpanan dan pinjaman. BMT merupakan analogi dari kelompok swadaya masyarakat.
Lembaga ”lapis kedua” pemerintah, Permodalan Nasional Madani (PNM) yang menyediakan
pendanaan dan asistensi pengembangan kapasitas untuk lembaga-lembaga keuangan
syariah.
Untuk alasan sejarah, di dalam masa Soeharto yang tidak mengikut sertakan LSM yang
independen, beberapa LSM hanya bisa berperan kecil pada industri keuangan mikro
Indonesia. Dibandingkan dengan penyedia secara komersial yang besar di lapangan, jumlah
nasabah LSM pada umumnya sangat kecil. Namun para LSM ini dapat meningkatkan
jumlah nasabah mereka menjadi jumlah nasabah yang besar dalam waktu singkat di mana
dalam hal menyediakan jasa non keuangan untuk membantu program kredit massal dari
pemerintah. Misalnya, program pemerintah menggunakan LSM untuk memfasilitasi
terbentuknya kelompok swadaya masyarakat sebagai asal muasal pelayanan keuangan
16
mikro, di mana pada umumnya diberikan oleh Bank Umum seperti BRI. Pada umumnya
LSM-LSM ini memobilisasi simpanan, di mana akan ditabung di rekening BRI, yang juga
pada akhirnya akan menyalurkan pinjaman bersubsidi dari pemerintah kepada kelompok.
Saat ini, mayoritas LSM penyedia jasa keuangan tetap dalam kondisi yang tidak
berkelanjutan dan bergantung pada pemerintah atau pendanaan dari donor untuk
beroperasi. Hanya sedikit LSM, seperti organisasi besar Bina Swadaya, sudah masuk
kedalam keuangan mikro secara komersial dengan mendirikan BPR. Setidaknya satu Bank
Umum dioperasikan oleh LSM, Yayasan Purba Danarta di Jawa Tengah. LSM lainnya
menggunakan metodologi Grameen Bank.
Yayasan Mitra Usaha (YMU) adalah contoh dari organisasi di mana sudah mengadopsi
pendekatan Grameen dan sekarang telah menjangkau 12.000 nasabah. Mitra Bisnis
Keluarga (MBK), adalah lembaga keuangan mikro yang menerapkan metode Grameen dan
telah diatur berdasarkan keputusan Menteri Keuangan sebagai perusahaan pembiayaan
non-bank (Ventura). Saat ini, sudah beroperasi di enam kecamatan di Jawa dan
menjangkau lebih dari 80.000 anggota hingga April 2008. MBK adalah LKM-LSM tercepat di
dalam pertumbuhan dan terbesar di Indonesia yang melayani hanya kepada perempuan.
Bina Swadaya membantu kelompok swadaya masyarakat di area-area yang sangat tidak
diuntungkan untuk dihubungkan dengan bank. Bina Swadaya bekerja di desa-desa
termiskin yang sudah diidentifikasi oleh program pemerintah—IDT di 1990 an. Bina
Swadaya juga telah mendirikan BPR sejak 2002 dengan mengadaptasi metodologi ASA dari
Bangladesh pada tujuh dari 21 cabangnya. Bina Swadaya menjadi penggerak dalam
kepedulian keuangan mikro, di mana sangat erat dihubungkan dengan GEMA PKM, forum
nasional pemangku kepentingan keuangan mikro. GEMA PKM telah mengadakan survey
pada 55 lembaga keuangan mikro dengan Mercy Corps, LSM luar negeri yang aktif di
Indonesia. Survei ini mengindentifikasi adanya permintaan atas kumpulan pendanaan dan
jasa teknis untuk keuangan mikro, selain jasa pemeringkat di antara LKM yang sudah maju.
PPSW adalah LSM yang bekerja secara penuh dengan perempuan di semua isu, seperti
pembangunan ekonomi dan sosial, pekerja migran, kesehatan reproduksi dan pendidikan.
Pada keuangan mikro, PPSW menargetkan untuk meningkatkan pendapatan perempuan
melalui pengembangan organisasi komunitas, mencoba untuk meluluskan ke tingkat
koperasi yang formal. Pada tahun 2001, PPSW memulai pendanaan koperasi sekunder,
KOPPERTI, untuk melayani jaringan koperasi-koperasi primer dengan dasar peningkatan
dari kelompok swadaya masyarakat.
Setelah pengalaman yang panjang dengan berkolaborasi antara LSM berbasis gereja dan
koperasi, Catholic Relief Services (CRS) memutuskan untuk fokus pada BPR. CRS
mendirikan kumpulan pendanaan, PT. UKABIMA, untuk menyediakan asistensi teknis dan
investasi pada ekuitas. Entitas lainnya, ”Program Penguatan Kepala Rumah Tangga
Perempuan”, melaporkan bahwa kepala rumah tangga perempuan mewakili 13,4% dari 60
juta kepala keluarga di Indonesia, dengan 50% di antaranya berada di daerah terkena
konflik. Program tersebut, menjangkau 7.000 perempuan pada delapan propinsi, mengajak
pengembangan asosiasi simpan pinjam, untuk mendukung pembentukan usaha bagi
perempuan..
17
5. Dukungan Kelembagaan pada Keuangan Mikro
Keuangan mikro Indonesia didukung oleh berbagai macam lembaga, yang berasal dari
pemerintah, dari sektor lembaga sukarela (baik nasional dan internasional), dari sektor
swasta dan dari lembaga bi- dan multi-lateral. Berikut ini adalah keterangan dari beberapa
lembaga-lembaga yang mendukung pertumbuhan sektor keuangan mikro.
Pro-FI, merupakan singkatan dari ‘Promotion of Small Financial Institutions’ sebuah proyek
yang didukung oleh Bank Indonesia dan lembaga asistensi teknis Jerman, GTZ. Tujuan
proyek ini adalah meningkatkan operasional dari dua kategori penyedia keuangan mikro;
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan beberapa lembaga keuangan non-bank, khususnya
Lembaga Pendanaan Desa (LPD) di Bali. Proyek ini bekerja melalui asosiasi BPR, dikenal
dengan PERBARINDO dan juga bertujuan untuk memperkuat PERBARINDO tersebut
dengan menyediakan dukungan teknis dan manajemen. Pro-FI memberikan dukungan atas
perkembangan kebijakan keuangan mikro pada tingkat nasional dan provinsi, serta aktif di
dalam usaha mengamankan perundang-undangan keuangan mikro yang luas. Pro-FI juga
membantu membuatkan peraturan pemeritah daerah Bali untuk mendukung kegiatan LPD.
Proyek ini selanjutnya juga mendukung pengembangan sistem pelatihan di mana
memberikan sertifikasi kepada manajer dan direktur BPR. Sertifikasi ini di buat untuk
meningkatkan kapasitas keahlian manajemen dan profesionalisme. Pro-FI juga memajukan
lembaga keuangan non-bank di Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Bank Indonesia telah menyetujui program sertifikasi untuk sistem BPR, sebagai bagian dari
usaha penguatan sektor keuangan yang melayani usaha kecil dan menengah.
PERBARINDO adalah asosiasi BPR yang sudah lama berdiri. Asosiasi ini aktif di dalam
memberikan dukungan teknis kepada BPR, dan saat ini berkecimpung di dalam penerapan
standar baru pada kinerja dan pengembangan pelatihan dengan dukungan dari GTZ dan
Bank Indonesia. Asosiasi ini memiliki lebih dari 1.600 BPR sebagai anggota, 80% di
antaranya beroperasi di Jawa dan Bali.
Permodalan Nasional Madani, atau PNM, adalah BUMN yang lebih berperan melayani
usaha kecil dan menengah pada usaha mikro. PNM didanai oleh pemerintah dengan cara
menarik keuntungan dari perusahaan milik negara (BUMN) dan juga adanya transfer dana
yang sebelumnya di administrasi oleh Bank Indonesia. Hal ini dilakukan untuk meninggalkan
bank sentral dari kegiatan “kebijakan pembiayaan”. PNM mendukung program linkage
antara Bank Umum dan BPR, serta Bank Umum dan penyedia keuangan mikro nonbank.
PNM menyediakan pinjaman kepada penyedia keuangan mikro nonbank melalui Bank
Pembangunan Daerah (BPD), dengan jaminan berupa mobilisasi simpanan oleh lembaga
keuangan mikro. PNM memiliki dukungan yang singkat terhadap keuangan mikro syariah.
GEMA PKM, adalah singkatan dari Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro
Indonesia. Gerakan ini didirikan pada tahun 2000 atas inisiatif LSM nasional, termasuk Bina
Swadaya. GEMA PKM menjadi aktif mempromosikan keuangan mikro di Indonesia melalui
berbagai forum. GEMA PKM memiliki lebih dari 50 anggota, termasuk lembaga keuangan
formal, LSM dan organisasi masyarakat, program pemerintah dan lembaganya, lembaga
riset dan donor. Forum ini aktif dalam mendukung Regional Microcredit Summit yang
diselenggarakan di Indonesia pada tahun 2008 dan sudah mengadopsi tujuan Summit, yaitu
memperluas jangkauan jasa keuangan mikro kepada sepuluh juta keluarga termiskin
Indonesia. GEMA PKM juga aktif di dalam mendukung kampanye perundang-undangan
keuangan mikro dan sudah melakukan lobi untuk pendirian dana kumpulan untuk penyedia
keuangan mikro nonbank.
GIC (Global Innovation Consulting) adalah Penyedia Jasa Teknis swasta yang didirikan pada
tahun 2007 dan fokus kepada keuangan mikro. GIC menyediakan bantuan asistensi teknis
18
dan jasa konsultansi pada industri ini. Klien-klien GIC termasuk Asian Development Bank,
GTZ, Bank Dunia, Citigroup, LKM-LKM baik konvensional dan syariah. GIC memiliki kantor
di Jakarta dan Singapura dan memberikan pelayanan jasa di Indonesia, Timor Leste dan
Filipina.
BK3I adalah Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia. Badan ini adalah organisasi apex
tingkat nasional untuk koperasi kredit dengan jaringan ke gerakan koperasi internasional.
Badan ini mengatur dan menjaga agarderajat independensi pada masa era Soeharto dan
anggota koperasinya harus dibedakan dari Koperasi Unit Desa (KUD) dimana merupakan
koperasi pemerintah yang menyediakan platform untuk kebijakan-kebijakan pedalaman /
pedesaan pada pemerintahan Soeharto.
MICRA adalah yayasan yang melaksanakan sejumlah fungsi-fungsi yang terspesialisasi
pada LKM, donor, investor, Bank Umum dan pemerintah. Mungkin yang terpenting dari
fungsi nya adalah sebagai penyedia jasa pemeringkat yang didesain untuk memberikan
evaluasi independen dan verifikasi pada kinerja individu LKM. MICRA menggunakan alat
pemeringkat ‘PRIME’, dibangun secara kerjasama antara staf MICRA dan IFC PENSA.
Pada akhirnya ini merupakan kerjasama IFC PENSA / Mercy Corps di dalam “Proyek Awal
Linkage Komersial”. Alat pemeringkat ini dibuat untuk memajukan transparansi, peningkatan
kinerja dan investasi di sektor keuangan mikro Indonesia. Alat ini berdasarkan standar
nasional dan internasional di perbankan dan keuangan mikro dan dapat mengevaluasi LKM
pada tingkat pengembangan, dari yang baru sampai yang sudah lama, termasuk lembaga
syariah. Program ini memperoleh perhatian, walaupun investasi yang diperlukan untuk
menjalani proses pemeringkatan cukup substansial di beberapa LKM. Selanjutnya, MICRA
memperoleh dana hibah sebesar 19 juta dollar AS dari Yayasan Gates, melalui pendiri
MICRA, Mercy Corps. Dana ini akan diaplikasikan ke pembentukan “bank of banks” di mana
akan menjadi kumpulan (apex) pembiayaan ke LKM. MICRA sudah mengambil salah satu
Bank Umum untuk tujuan ini.
PT UKABIMA (Usaha Karya Bina Mandiri) adalah perusahaan keuangan nonbank swasta
yang didirikan 1996 melalui dukungan USAID dan Catholic Relief Services Program
Indonesia. UKABIMA mendukung keuangan mikro yang berkelanjutan dengan
meningkatkan kapasitas Bank Perkreditan Rakyat dengan memberikan kualitas produk dan
jasa ke pengusaha mikro. Per Desember 2004 PT. UKABIMA sudah menyediakan
pendanaan kumpulan ke jaringan 49 BPR. Perusahaan ini juga menyediakan asistensi
teknis seperti pelatihan, penilaian dan jasa konsultasi bisnis, dan dukurngan pengembangan
MIS, BPR, LSM lokal dan internasional, koperasi dan lainnya. Untuk meningkatkan dan
memperdalam jangkauan, UKABIMA sudah berpartisipasi dalam ekuitas BPR dan saat ini
memiliki tiga BPR di Sumatera Utara dan Jawa Tengah.
PT. BISMA, PT. Bina Insan Sejahtera Mandiri, adalah perseroan terbatas yang mempunyai
misi dalam pengembangan keuangan mikro. BISMA berorientasi bisnis komersial, namun
memilih untuk memposisikan diri sebagai perusahaan ’sosial-komersial’. BISMA menyebut
dirinya dengan memberikan prioritas pada layanan nilai sosial pada setiap jasa yang
diberikan kepada sektor tidak hanya memaksimalkan keuntungan komersial. BISMA
menargetkan untuk menjamin kerjasama, baik dalam jasa keuangan maupun teknis, dengan
LKM yang memiliki keterbatasan kapasitas teknis dan/atau akses pendanaan. Jasa-jasa
BISMA dapat dikategorikan sebagai berikut : (a) Penempatan dana untuk mendukung
ekspansi modal kerja di LKM, mengarahkan untuk memicu hubungan antara LKM dan bank
umum; dan (b) Jasa teknis, menyediakan inkubasi dan layanan lainnya dalam mendukung
kemampuan teknis LKM. Akumulasi pendanaan hingga Maret 2008 adalah sebesar Rp 60
Miliar ( USD 6 juta ), untuk 100 BPR dan koperasi.
19
6. Regulasi Moneter untuk Keuangan Mikro
6.1 Peraturan Bank
Peraturan pemerintah dalam sistem perbankan di Indonesia ( Undang-undang Perbankan,
1992 dan perubahan undang-undang 1998 ) mengatur, seperti yang tersebut di atas, untuk
dua jenis bank. Terdapat bank umum menawarkan produk keuangan yang lengkap. Mereka
memiliki akses pada sistem pembayaran dan menyediakan jasa-jasa perbankan pada
umumnya, serta jasa pertukaran mata uang asing. Bank umum diharuskan memiliki modal
disetor sebesar Rp 10 Miliar ( USD 1 juta ). Kategori bank kedua adalah Bank Perkreditan
Rakyat (BPR). Pendirian untuk modal disetor adalah Rp. 50 juta, ketentuan ini ditingkatkan
pada tahun 1999 menjadi Rp 500 juta (USD 50,000) untuk area lokal. Persyarakatn modal
minimum juga ditingkatkan untuk BPR yang beroperasi di daerah Jakarta, dari Rp 50 juta
menjadi Rp 2 Miliar (USD200.000), dan untuk ibukota propinsi sebesar Rp 1 Miliar
(USD100.000)
Pada tahun 2003, dengan perubahan Undang-Undang Bank Indonesia, tugas supervisi
perbankan di Bank Indonesia dipindahkan. Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan (LPJK)
sekarang melaksanakan fungsi tersebut, sedangkan Bank Indonesia tetap bertanggung
jawab untuk kebijakan keuangan dan pengembangan sistem perbankan. Bank Indonesia
juga memiliki fungsi tetap di dalam pembiayaan usaha mikro, kecil dan menengah (tetapi
tidak untuk pembiayaan ulang seperti pendanaan). Hal ini akan dijelaskan lebih jauh di
bawah. Selain itu, LPJK mempunyai pengaturan khusus dengan lembaga lainnya untuk
mengsupervisi seperi BKD disupervisi oleh cabang BRI. Dalam mensupervisi bank umum
LPJK menggunakan sistim penilaian CAMEL (Modal, kualitas aset, manajemen, pendapatan,
likuiditas) yang berisikan tujuh rasio dan 25 pertanyaan. Untuk BPR keenam komponen
CAMEL dilakukan dalam format yang sederhana. Setelah krisis moneter 1997-1998, terjadi
proses rasionalisasi yang drastis dalam sistem perbankan komersial, seperti tersebut di atas.
Proses paralel terjadi juga di antara BPR, dimana jumlahnya menurun sebanyak 400 hingga
total 1.800 selama 2008.
6.2 Peraturan untuk lembaga keuangan non-bank.
Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), yang dibentuk oleh pemerintah provinsi, telah
disarankan untuk merubah ke BPR tetapi (seperti yang tersebut di atas) mayoritas tidak
melakukan. Sehingga LDKP tetap diregulasi oleh pemerintah provinsi, sedangkan asistensi
teknis serta supervisi biasanya didelegasikan ke Bank Pembangunan Daerah (BPD), yang
juga dimiliki oleh pemerintah provinsi. Jika LDKP dibatasi untuk memobilisasi simpanan,
spesifik kategori LDKP di Bali, Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dibolehkan oleh Bank
Indonesia untuk menerima pendanaan dari anggota di tingkat desa, dengan ketentuan
bahwa mereka tidak menyebut sebagai bank. Lembaga semi formal seperti LDKP, LPD,
koperasi keuangan mikro, koperasi kredit dan LSM adalah diluar kerangka hukum
perbankan, dan memiliki status hukum yang tidak jelas di dalam sistem keuangan. Hal ini
dapat membawa risiko untuk penabung kecil pada kasus-kasus di mana lembaga-lembaga
ini menerima tabungan.
6.3 Peraturan Koperasi
Walaupun kerangka hukum untuk koperasi di Indonesia ada, pengawasan yang aktif tidak
berjalan karena kurangnya kapasitas badan sentral yang bertanggungjawab, Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Sektor koperasi di regulasi oleh peraturan
pemerintah tahun 1995 dan keputusan menteri tahun 1998, di mana membatasi aktivitas
simpan dan pinjam untuk Koperasi Simpan Pinjam atau Unit Simpan Pinjam. Persyaratan
minimum modal juga diterapkan.
20
Table 6, Lembaga Keuangan dan Entitas Lainnya yang Berkecimpung di Keuangan
Mikro, Status Keperaturan
KATEGORI
Lembaga yang
diregulasi dibawah UU
Perbankan
Lembaga yang didasari
oleh peraturan
keuangan lainnya
Entitas dengan
peraturan
keuangan yang
tidak jelas
Bank Umum Bank Umum –
pemerintah dan swasta
(termasuk BPD)
Bank lainnya yang
teregulasi
Bank Perkreditan Rakyat
(BPR non‐BKD)
Bank Perkreditan Rakyat
– kepemilikan swasta,
pemerintah daerah atau
koperasi
Bank lainnya yang
teregulasi
Bank Perkreditan Rakyat
(BPR‐BKD)
Badan Kredit Desa (BKDs)
Pengawasan BKD
dilakukan oleh Bank
Rakyat Indonesia
Lembaga keuangan
non‐bank (lokal area)
LDKPs
Misalnya BKK, LPD,
tergantung pada
pemerintah daerah dan
pengawas BPD.
Entitas lapis kedua
PN Madani
Departemen Keuangan
Pegadaian
Perum Pegadaian
Departemen Keuangan
Koperasi, Koperasi
Kredit
KSPs & USPs, (termasuk
syariah, juga koperasi
kredit. Masuk kedalam UU
Koperasi)
Lembaga
Pengembangan
Pendanaan Informal:
LSM, LKM tidak
teregistrasi, kelompok
swadaya masyarakat
LSM, LKM, BMT
(syariah),
Kelompok
swadaya
masyarakat
Sumber: diambil dari Conroy dan Budastra (2008)
21
6.4 Undang-Undang Yayasan
Pada tahun 2001, mengikuti beberapa kejadian perlakuan tidak wajar pada status organisasi
nonprofit, pemerintah menyetujui undang-undang untuk Yayasan (bentuk yang umum pada
organisasi nonprofit di Indonesia). Sesuai dengan undang-undang, yayasan hanya boleh
menyediakan pelayanan sosial, humanis, dan agama serta dilarang untuk berkecimpung
dalam pengumpulan pendapatan atau aktivitas ekonomi seperti keuangan mikro. Yayasan
yang sudah berdiri diberikan waktu lima tahun untuk mengikuti undang-undang yang baru,
misalnya berhenti beroperasi untuk keuangan mikro mereka atau menjadi BPR / koperasi.
Beberapa yayasan yang sebelumnya sebagai penyedia keuangan mikro menghadapi
tantangan yang sulit untuk merubah ke status baru, dikarenakan memiliki kekurangan dana
atau kualifikasi untuk menjadi BPR, atau segan untuk mengikuti peraturan-peraturan sebagai
koperasi. Akhir waktu secara hukum seringkali menunjukkan kurang jelas di Indonesia dan
situasi ini akan memakan waktu.
Table 5 menunjukkan jenis-jenis peraturan di mana penyedia jasa keuangan mikro di sistem
keuangan Indonesia masuk di dalamnya. Di mana membedakan antara mereka yang diatur
berdasarkan UU Perbankan, mereka yang diatur oleh regulasi keuangan lainnya (misalnya
dibawah UU Koperasi, Peraturan Pemerintah Propinsi) dan mereka yang tidak di bawah
peraturan keuangan secara jelas. Kategori terakhir ini termasuk LSM dan kelompok
swadaya masyarakat, di mana mungkin termasuk di dalam peraturan atau undang-undang
nonkeuangan lainnya. Proposal untuk adanya peraturan yang menyeluruh untuk LKM sudah
dalam pembicaraan di tahun-tahun ini, dan masalah ini akan disinggung di seksi berikutnya.
7. Intervensi Pemerintah yang mempengaruhi keuangan mikro.
Sistem keuangan Indonesia memiliki sejarah yang panjang pada intervensi negara, di mana
bank sentral membiayai untuk ”kebijakan pembiayaan” dan alokasi kredit oleh bank
pemerintah yang dihubungkan dengan target-target kepentingan (misalnya petani untuk
program penumbuhan padi). Hingga tahun 1970-an, bank sentral, Bank Indonesia,
menerapkan target-target pembiayaan ulang dan suku bunga sesuai dengan prioritasprioritas
yang ditetapkan pada sektor ekonomi. Sepanjang 1970-an, gelombang pertama
pada deregulasi keuangan menghasilkan dibukanya rekening modal terhadap aliran dana
luar negeri, walaupun perusahaan lokal tetap diminati. Mengikuti krisis minyak, tahun 1980
an melihat deregulasi lanjutan dengan pembatasan kredit dihapuskan, suku bunga
diliberalisasi dan pembiayaan ulang atas kepentingan ditanggalkan. Pada tahun 1998, paket
deregulasi, dinamai PAKTO 88, menawarkan lisensi perbankan baru, seperti untuk BPR, dan
regulasi yang longgar untuk cabang bank dan deposit. Selama waktu itu, sistim BRI Unit
direstrukturisasi dan diterapkan arah komersialisasi yang berhasil pada keuangan mikro.
Di era tahun 1990-an, pemerintah menjalankan pengurangan lanjutan pada program
pinjaman bersubsidi dan membuat perubahan keatas pada suku bunga pembiayaan ulang.
UU Perbankan 1992 meninggalkan perbedaan antara bank pembangunan dan tabungan.
Dengan berdirinya bank-bank swasta dan asing, kompetisi dengan bank pemerintah
meningkat, dan suku bunga di sektor komersial sepenuhnya di deregulasi. Pada tahun
1994, setelah skandal yang berhubungan dengan Bank Pembangunan Indonesia
(BAPINDO), Bank Indonesia memperkuat kontrol pada lembaga keuangan nonbank, dan
memberikan kebijakan lisensi lebih selektif. Akhir tahun 1990 an dan krisis keuangan
menunjukkan program restrukturisasi yang besar pada sistem keuangan, dengan penutupan
bank, penggabungan dan rekapitalisasi oleh pemerintah. Pemerintah memperluas jaminan
pada deposito bank dan kewajiban-kewajiban bank tertentu untuk melindungi terjadinya
penarikan dana besar-besaran pada bank. Namun walaupun pada masa krisis, beberapa
22
penyedia keuangan mikro tetap menguntungkan, di antaranya beberapa BPR, BRI Unit
sistem (di mana berbeda dengan BRI yang mana sebagai divisi) dan bank swasta Bank
Dagang Bali.
Bank Indoensia sudah melakukan peran aktif dalam mendukung perkembangan kredit usaha
mikro, kecil dan menengah, sepanjang era Soeharto sampai 1998 dan seterusnya. Aktif di
bidang kebijakan kredit, pengembangan kelembagaan dan asistensi teknis. Di bawah UU
Bank Indonesia 1999, Bank Indonesia diharuskan untuk menyerahkan fungsi pembiayaan
ulang kepada entitas baru, Permodalan Nasional Madani (PNM). Sebagai lembaga lapis
kedua dibentuk secara spesifik, PNM mengambil alih portofolio pinjaman Usaha Kecil,
Menengah dan sebagian pinjaman koperasi pertanian milik Bank Indonesia, di mana BRI
dan Mandiri bertanggunjawab untuk sisanya. Madani dan bank-bank diberdayakan untuk
tujuan ini, melalui ”on-budget” pada alokasi keuangan oleh pemerintah pusat. Ini adalah
langkah lanjutan di bidang kampanye, dimulai pada awal 1990 an, untuk mengakhiri
pendanaan pada pembiayaan kebijakan. Namun beberapa dukungan untuk memperbarui
ketentuan-ketentuan tetap ada dalam legislatur. Kemungkinan munculnya seorang populis
tidak dapat dikesampingkan, terlihat dari perputaran roda politik Indonesia.
Walaupun pendirian PN Madani, Bank Indonesia masih memiliki fungsi yang berhubungan
dengan pembangunan dan pembiayaan usaha mikro, kecil dan menengah. Bank Indonesia
melihat bahwa BPR memiliki peran penting di dalam menyediakan jasa keuangan kepada
usaha-usaha tersebut. Melalui kebijakan perbankan, dibuat untuk membentuk arsitektur
perbankan Indonesia yang baru dan lebih efektif, dan mengajak Bank Umum untuk masuk
kedalam “linkage” untuk mendanai BPR. PN Madani, seperti disebutkan di atas, juga
mendukung program tersebut. Bank Indonesia juga mendorong peningkatan kapasitas pada
BPR dengan mengimplementasikan sistem pelatihan bersertifikat dan memperluas asistensi
teknis dan dukungan teknologi informasi dengan bantuan dari penyedia jasa teknis Jerman,
GTZ dan Bankakademie.
Dukungan publik terhadap strategi pembangunan pedalaman, memajukan koperasi, Bank
Umum pemerintah dan swasta, LSM dan organisasi masyarakat, seringkali
mengikutsertakan penyaluran kredit kepada kelompok-kelompok tertentu selama masa
Soeharto sampai 1998. Dua program masyarakat yaitu “P4K” (pada pertanian) dan
“Keluarga Sejahtera” (dihubungkan dengan keluarga berencana) dijelaskan pada seksi dua
di atas. Dimulai pada masa pemulihan krisis (dari 1998-1999) berbagai aktivitas
ditingkatkan, dengan penyerapan inisiatif pemulihan mengikutsertakan kredit. Inisiatif ini
telah berhasil pada abad yang baru dengan menggunakan skema anti-kemiskinan, seringkali
dibentuk atas respon dari tekanan politik. Banyak dari program pembangunan milik
pemerintah dan lembaga internasional dimasukkan juga komponen keuangan mikro. Hal ini
mengakibatkan timbulnya lembaga-lembaga keuangan formal atau tidak formal beroperasi di
jaringan program pemerintah yang luas, dengan batasan jangkauan untuk LSM sebagai
agen fasilitasi. Lembaga-lembaga ini seringkali diimplementasi tanpa praktek-praktek terbaik
keuangan mikro. Sumber-sumber dana murah, hanya berkelanjutan sepanjang dukungan
eksternal berlanjut terus, dan menjadi berkembang. Hal ini menimbulkan kompetisi yang
tidak adil untuk penyedia keuangan mikro komersial, tidak menarik atas potensi penyediapenyedia
baru dan memotong entitas non-komersial di dalam beroperasi secara
berkelanjutan.
Sebuah studi disiapkan untuk Asian Regional Microcredit Summit 2008 mencatatan 14
lembaga pemerintah pusat dan departemen yang melaksanakan 18 program yang berkaitan
dengan perputaran pendanaan dengan anggaran gabungan sebesar Rp 5,3 triliun (USD 533
juta). Departemen Keuangan berusaha untuk membawa kumpulan aktivitas, dengan semua
potensi atas politisasi, alokasi sumber-sumber daya yang tidak tepat, dibawah kontrol dan
derajat analisa. Peraturan pemerintah pada 2005 kelihatan untuk memperkuat genggaman
pada bidang ini. Namun, paradoks tetap terjadi di mana di Indonesia dimungkinkan untuk
23
melihat contoh-contoh kredit mikro populis dan keuangan mikro menggunakan praktekpraktek
terbaik beroperasi bersebelahan. Hal ini mungkin terjadi, pertama, karena adanya
ketentuan-ketentuan umum pada jasa keuangan dan, kedua, karena keduanya melayani
tingkat sosial yang berbeda. BRI Unit banyak bertemu dengan kelas menengah dan
mendekati miskin, sementara ”skema-skema” (paling tidak secara ide) menargetkan kaum
miskin.
Usaha-usaha sudah berjalan untuk beberapa tahun terakhir, paling tidak sejak 2001, untuk
mencapai keputusan atas peraturan keuangan mikro yang luas dan sanggup menyelesaikan
kontradiksi-kontradiksi ini. Undang-undang keuangan mikro dilihat penting untuk
mengklarifikasi status dari lembaga keuangan mikro yang tidak jatuh pada otoritas Bank
Indonesia dan UU Perbankan. Usaha-usaha ini diarahkan oleh kerjasama antara Bank
Indonesia-GTZ proyek pembangunan sektor keuangan (Pro-FI) dan didukung secara
entusiasme oleh GEMA PKM. Departemen Keuangan terlihat juga mempertimbangkan nilai
pada usaha-usaha merasionalisasi sector tersebut. Tidak mengejutkan, sebuah usaha tidak
disambut oleh semua pemerhati yang berkecimpung pada penyaluran kredit dan yang
mengambil keuntungnan dari nya. Konsekuensinya, kemajuan atas mendraft undangundang
dan meluluskannya manjadi sangat lamban. Undang-undang yang dijanjikan pada
akhir 2005, tetapi tidak tercapai.
Saat ini, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) terlihat sebagai
penanggungjawab atas agenda legislasi keuangan mikro. Ini terjadi pada konteks lebih luas
pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah, 2005 – 2009. Pada pasal yang
dikhususkan untuk usaha mikro, kecil dan menengah, rencana untuk aksi dijalankan yaitu
untuk « meningkatkan kapasitas kelembagaan dan kualitas pelayanan dari Lembaga
Keuangan Mikro… dan Koperasi Simpan Pinjam". Ini akan mengharuskan "menyediakan
kepastian atas status mereka sebagai badan hukum, fasilitasi prosedur lisensi, memberikan
insentif kepada pendirian sistem jaringan diantara Lembaga Keuangan Mikro dan antara
Lembaga Keuangan Mikro dan Bank". Ini juga mengharuskan "mendukung usaha-usaha
untuk kemajuan kualitas dan akreditasi lembaga sekunder (koperasi simpan pinjam dan
keuangan mikro). BAPPENAS memandang ketentuan-ketentuan ini merupakan pembukaan
yang penting untuk menghapus kredit bersubsidi dijalankan oleh lembaga nonkeuangan dan
untuk memprofesionalkan jumlah besar dari lembaga keuangan kecil dan tidak teregulasi
dibawah UU Perbankan.
8. Kesempatan dan Tantangan
Pada umumnya, penyedia jasa keuangan formal lebih mengarah untuk menjangkau pasar
keuangan mikro teratas, sedangkan tingkat bawah dari piramida jasa keuangan, rumah
tangga miskin dan pengusaha mikro pedalaman di luar kota tetap kurang terlayani.
Jangkauan atas jasa keuangan mikro di daerah pedalaman tetap terbatas, dikarenakan
sebagian besar lembaga komersial, seperti BPR dan BRI Unit lebih fokus pada ibukota
kabupaten dan daerah dengan aktivitas ekonomi yang tinggi, seperti Jawa dan Bali.
Sejumlah faktor tertera di situasi ini:
• Ekspansi lebih lanjut dari jaringan BRI Unit akan terbatas oleh statusnya sebagai
“sapi perah” yang dimiliki di dalam bank dan persyaratan modal yang tinggi untuk
membuka diluar Jawa dan Bali.
• BRI Unit melakukan pendanaan yang konservatif, dan tetap jauh dari potensi nya
khususnya pada jangkauan di daerah pedalaman. Dengan memfokuskan pada
peminjam dengan pendapatan tetap atau jaminan, BRI Unit telah mengecualikan
mayoritas kriteria nasabah keuangan mikro.
• Kondisi peraturan untuk lembaga keuangan nonbank tidak kondusif untuk
memperkuat dirinya dan kelembagaan nya. Mereka beroperasi di bawah kondisi
24
tidak jelas, seperti identitas badan hukum, kemampuan untuk memobilisasi tabungan
dan ketentuan-ketentuan pada berbagai macam tingkat pemerintahan.
• Pemberian program kredit mikro yang diinisiasi dan disubsidi oleh pemerintah tidak
memberikan lingkungan yang kondusif untuk penyedia keuangan mikro yang
beroperasi secara berkelanjutan .
• Kurangnya perhatian dan tidak diaplikasikannya prinsip-prinsip praktek yang baik
pada keuangan mikro di antara lembaga-lembaga pemerintah dan organisasi semi
formal, dan juga beberapa Bank Umum yang sudah masuk ke bisnis keuangan mikro.
Tidak adanya pusat penyedia jasa pelatihan di Indonesia.
• Dukungan asistensi teknis dan peningkatan kapasitas kepada penyedia keuangan
mikro terbatas oleh adanya keberagaman lembaga dan penyebaran secara
geograpis. Proyek ProFI dari GTZ dan Bank Indonesia baru-baru ini mencoba
mengatasi masalah ini , sejauh ini hanya BPR dan lembaga non-bank teregulasi yang
memiliki kepedulian akan hal ini. Terdapat gap /perbedaan yang substansial untuk
peningkatan kapasitas kepada entitas kurang formal.
• Tidak terdapatnya biro kredit formal di Indonesia di mana dapat digunakan untuk
memonitor risiko kredit dan kelebihan pemberian kredit pada area di mana kompetisi
keuangan mikro tinggi. Bank-bank yang ikut serta di dalam keuangan mikro, seperti
BRI unit dan BPR melakukan pertukaran informasi atas nasabah-nasabahnya pada
basis informal.
• Lembaga keuangan mikro di Indonesia hanya menyediakan jasa keuangan yang
terbatas. Misalnya, hanya sistem BRI Unit memiliki sistem terintegrasi dengan
transfer uang dikarenakan merupakan bagian dari Bank BRI. Peraturan yang berlaku
melarang koperasi dan BPR untuk menjalankan secara langsung jasa remitansi.
Namun, saat ini beberapa BPR bekerjasama dengan pihak ketiga untuk jasa transfer
uang untuk menambah dari produk simpan pinjam. Sebagian kecil koperasi besar
juga bekerjasama dengan pihak ketiga untuk jasa transfer uang. Ini merupakan area
penting dari kebijakan pemerintah di mana pengembangan teknis tidak mampu
memenuhi kebutuhan komunitas.
• Permintaan atas produk ”leasing” terbukti ada di koperasi Syariah dan
pengembangan yang lebih luas untuk jasa ini diperlukan.
• Fasilitas asuransi mikro juga merupakan kebutuhan LKM untuk melakukan
manajemen risiko lebih baik pada program pembiayaan. Permintaan ini belum
pernah ditujukan kepada perusahaan asuransi.
• Kredit mikro untuk perumahan, dicairkan oleh LKM kepada rumah tangga
berpenghasilan rendah untuk membangun atau merenovasi rumah mereka melalui
bekerja sendiri atau gotong royong adalah kebutuhan yang mendesak di mana ini
tidak diberikan atau ditargetkan secara cukup. Kementerian Perumahan Rakyat
memberikan kredit subsidi yang akan diberikan melalui LKM, tetapi terdapat
pertanyaan pada target dari pendanaan ini. Jika kredit mikro dibawa dengan fokus
untuk perbaikan peningkatan dari kaum miskin, maka pembiayaan ini dapat dilakukan
secara berkelanjutan.
8.1 Prospek Masa Depan
Keuangan mikro Indonesia akan terus berlanjut untuk tumbuh, baik dari sisi ukuran dan
derajat kesulitannya. Ini akan memberikan kontribusi pada pengurangan kemiskinan, baik
secara langsung dan dengan mempercepat proses penyerapan keuangan. Di antara
kegiatan yang paling potensial untuk dikembangkan, dan memberikan manfaat
kesejahteraan bagi kaum miskin , adalah pengembangan jasa keuangan yang terjangkau
untuk transfer uang. Walaupun secara peraturan tidak diperbolehkan dan adanya biaya
teknologi, banyak lembaga keuangan mikro sudah berpengalaman menyediakan transfer
yang menggunakan pihak ketiga.
25
Kesempatan pada area lainnya terletak pada kemajuan teknologi yang cepat pada
khususnya teknologi informasi dan telekomunikasi. Dikarenakan sebagian besar peminjam
mikro tinggal di pedesaan dan pedalaman, sedangkan LKM sebagian besar berlokasi di kota
kecamatan, biaya transportasi dan kesempatan baik bagi peminjam dan staf lapangan
adalah tinggi. Kesempatan yang diwakili oleh “mobile banking” atau perbankan telepon
bergerak terbukti berhasil dari pengalaman di Filipina, seperti halnya ditempat lain.
Penyebaran telepon genggam di daerah pedesaan tertinggal dari beberapa tetangga
regional, namun infrastruktur dan permintaan konsumer meningkat pada titik di mana
kesempatan atas “mobile banking” dapat terjangkau.
Tantangan dari luar yang dihadapi oleh keuangan mikro Indonesia datang dari pengaruh
ekonomi global. Memuncaknya harga BBM mempengaruhi keberadaan usaha mikro, cukup
terpisah dari dampak ekonomi formal. Rencana-rencana untuk ekspansi pada perbankan
mikro yang disampaikan oleh Bank-Bank Umum besar terancam dengan perkembanganperkembangan
di ekonomi makro. Selain itu, perkembangan pertumbuhan investasi luar
negeri pada LKM mungkin menjadikan mereka lebih rapuh pada kejutan eksternal daripada
yang pernah terjadi sebelumnya di krisis 1997.
26
9. Referensi dan Informasi Lanjutan
Bank Indonesia (2008), 2007 Indonesia Economy Report
ADB (Asian Development Bank) (2008), “Asian Development Outlook: Indonesia”.
Ali, Arifuddin (2002), “Development of Microfinance Institutions in Indonesia”, APRACA,
Asia Pacific Rural Finance No. 2.
Arianto, Sulaiman Arif (2004) “Commercialization of Microfinance and Linkages Between
Microfinance and Commercial Banking”, Paper presented on BWTP International
Microfinance Workshop in Phnom Penh, Cambodia.
Bank BRI (2007), Annual Report 2006, Jakarta.
Bank Indonesia, “2007 Indonesia Economy Report”.
Bank Indonesia (2006), “Blue Print for Rural Banks”Bappenas (National Development
Planning Agency) ‘Medium Term Development Plan, 2005-2009’, chapter 20,
‘Empowerment of cooperatives and micro, small and medium enterprises’.
Central Bureau of Statistics (BPS) (2008), “Selected Socio-Economic Indicators of
Indonesia, March.
Charitonenko, Stephanie and Ismah Afwan (2003), “Commercialization of Microfinance”,
ADB.
Conroy, John D (2000), ‘Indonesia’, in “The Role of Central Banks in Microfinance in Asia
and the Pacific”, Vol 2, pp91-126, prepared for the Asian Development Bank by FDC.
Conroy, John D and Iketut Budastra (2008), “The rich variety of microfinance linkages in
Indonesia”, in Maria Pagura (ed), “Expanding the Frontier in Rural Finance”, Practical Action
Publishing, for FAO.
Bank Indonesia (2004), Economic Report on Indonesia 2003
IMF (International Monetary Fund) (2007a), “IMF Country Report”, No. 07/272, 2007
IMF (International Monetary Fund) (2007b), “IMF Country Report”, No. 07/273, 2007
Bappenas (2004), Microfinance Policy and Strategy Development for Microfinance
Ministry of Cooperatives and Small Medium Enterprises (2008), “Statistik Perkoperasian –
Cooperative Statistics 2007”
Republic of Indonesia, Banking Act, No. 10/1992
Republic of Indonesia, Cooperative Act No. 25/1992
Robinson, Marguerite (2002), “The Microfinance Revolution. Volume 2: Lessons from
Indonesia”, World Bank and Open Society Institute, Washington.
Seibel, Hans Dieter and Wahyu Dwi Agung (2005), Abstract on “Islamic Microfinance in
Indonesia”, GTZ.
27
Central Bureau of Statistics (BPS) 2008, Selected Socio-Economic Indicators of Indonesia
March
Soesilo, Nining (2008), ‘Microfinance: portrait and development in Indonesia’, FEUI,
Jakarta, for the Asian Microcredit Summit
Ministry of Cooperatives and Small Medium Enterprises (2008), Statistik Perkoperasian
2007
Global Innovation Consulting (2007), ”Understanding the market of Microfinance in
Indonesia “
Robinson, Marguerite (2002), The Microfinance Revolution. Volume 2: Lessons from
Indonesia’, World Bank and Open Society Institute, Washington, 2002.
UNEP, Geneva (2004), “Indonesia: Integrated Assessment of the Poverty Reduction
Strategy Paper”.
Wijono, Wiloejo Wirjo (2005), “Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah
Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan”:
Microfinance Institutions Empowerment as Part of National Financial Structure: Concrete
Solution to End Poverty.
World Bank (2008), ‘Finance for All?’, Washington.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar