Bookmark and Share

Rabu, 13 Januari 2010

PRAKTIK EKONOMI ISLAMI DI INDONESIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEREKONOMIAN

Akhmad Akbar Susamto*)
Malik Cahyadin**)

Di Indonesia, pengembangan ekonomi islami telah diadopsi ke dalam kerangka
besar kebijakan ekonomi. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran
singkat tentang berbagai praktik ekonomi islami di Indonesia dan mengevaluasi
sejauhmana praktik ekonomi islami tersebut berpengaruh terhadap perekonomian
dan kehidupan masyarakat. Berdasarkan sejumlah riset empiris yang telah
dilakukan, dapat diambil kesimpulan awal bahwa, dalam batas tertentu, praktik
ekonomi islami telah membawa pengaruh positif bagi upaya menggerakkan
perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan.
Kata kunci: Lembaga keuangan syariah, BAZ/LAZ, perekonomian
Perkembangan ekonomi yang didasarkan pada nilai-nilai Islam yang begitu
pesat dalam beberapa waktu terakhir telah menarik perhatian banyak pihak, baik
yang mengkritik maupun memujinya. Bagi Kuran (1997), praktik ekonomi islami
yang ada di berbagai negara muslim –termasuk Indonesia– tidak lebih hanyalah
bagian dari politik identitas. Sebaliknya, bagi Nienhaus (1988), Chapra (1992),
dan Presley dan Sessions (1994) praktik ekonomi islami adalah benar-benar
bagian dari upaya pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan yang
didasarkan pada paradigma Islam.
*) Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM dan peneliti
Laboratorium Ekonomika dan Bisnis Islami (LEBI) FEB UGM.
**) Peneliti dan koordinator Majelis Informasi dan Komunikasi, Laboratorium Ekonomika dan
Bisnis Islami (LEBI) FEB UGM.
Makalah ini sedang dalam proses untuk
dipublikasikan dalam Jurnal Ekonomi Syariah
MUAMALAH vol 5, tahun 2008. Oleh karena
itu, untuk keperluan kutipan dan sebagainya
silahkan merujuk langsung pada sumber tersebut.
Di Indonesia, pengembangan ekonomi islami telah diadopsi ke dalam
kerangka besar kebijakan ekonomi. Paling tidak, Bank Indonesia sebagai otoritas
perbankan di tanah air telah menetapkan perbankan syariah sebagai salah satu
pilar penyangga dual-banking system dan mendorong pangsa pasar bank-bank
syariah yang lebih luas sesuai cetak biru perbankan syariah (Bank Indonesia,
2002). Begitu juga, Departemen Keuangan melalui Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan (BapepamLK) telah mengakui keberadaan lembaga
keuangan syariah non-bank seperti asuransi dan pasar modal syariah. Sementara,
Departemen Agama telah mengeluarkan akreditasi bagi organisasi-organisasi
pengelola zakat baik di tingkatan pusat maupun daerah.
Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran singkat tentang
berbagai praktik ekonomi islami di Indonesia dan mengevaluasi sejauhmana
praktik ekonomi islami tersebut berpengaruh terhadap perekonomian dan
kehidupan masyarakat. Penjelasan dalam tulisan ini akan dimulai dengan bagian
pertama yang memuat ringkasan konsep ekonomi berdasar tuntunan Islam.
Selanjutnya, pada bagian kedua akan dipaparkan beberapa contoh praktik
ekonomi islami yang menonjol, khususnya perkembangan lembaga keuangan
syariah dan organisasi pengelola zakat. Pada bagian ketiga, disajikan hasil-hasil
riset empiris tentang implikasi praktik ekonomi islami di Indonesia, dilanjutkan
dengan bagian keempat yang berisi catatan penutup.
1. Konsep Ekonomi berdasarkan Tuntunan Islam
Salah satu mispersepsi umum tentang sistem ekonomi islami adalah bahwa
sistem ini merupakan “perpaduan” atau “jalan tengah” di antara sistem ekonomi
kapitalis dan sistem ekonomi sosialis.1 Pandangan semacam ini pada awalnya
memang tidak dapat terhindarkan karena: Pertama, gagasan tentang sistem
ekonomi islami mulai disampaikan para pemikir muslim di tengah-tengah
berlangsungnya pertarungan ideologis kapitalisme versus sosialisme. Merujuk
pada sejarah ekonomi islami kontemporer yang ditulis Ahmad (1997), tahap-tahap
awal pengembangan ekonomi islami terjadi pada kurun 1950-an hingga 1980-an,
di mana pada saat yang sama kapitalisme dan sosialisme masih kokoh dan
berhadap-hadapan diametral. Kedua, secara kebetulan, sebagian inti gagasan
ekonomi islami mengandung persamaan dengan inti gagasan yang telah ada dalam
sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi sosialis, sehingga inti gagasan
ekonomi islami yang disampaikan dianggap tidak lebih sebagai hasil “comotan”
dari sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi sosialis.
Meskipun demikian, sistem ekonomi islami adalah sistem ekonomi yang
“asli” bersumber pada nilai-nilai ajaran Islam (lihat di antaranya, Maudoodi,
1984; Nabhani, 2000). Sistem ekonomi islami dibangun di atas keyakinan dasar
bahwa alam dan segala isinya termasuk manusia adalah ciptaan Allah swt, dan
bahwa sebagai makhluk dan khalifatullah fil ardh, manusia berkewajiban
menjalankan dua tugas utama, yaitu bertauhid kepada Allah (rububiyah, uluhiyah,
maupun mulkiyah) dan memakmurkan dunia sesuai dengan cara-cara yang
1 Yang dimaksud sistem ekonomi (economic system) dalam hal ini adalah keseluruhan
keyakinan dasar, norma-norma, dan institusi-institusi yang menggambarkan bagaimana sebuah
perekonomian (seharusnya) di dalam sebuah masyarakat. Sistem ekonomi, meskipun terkait,
tetapi berbeda secara konseptual dengan ilmu ekonomi (economics).
diperintahkan-Nya. Begitu juga, sistem ekonomi islami didasarkan pada
keyakinan bahwa Muhammad saw adalah rasul dan utusan Allah, pembawa kabar
gembira sekaligus uswatun hasanah bagi seluruh manusia.
Keyakinan-keyakinan ini membawa konsekuensi pada pemahaman bahwa
setiap upaya untuk menata perekonomian harus sesuai dengan ketetapanketetapan
Allah swt sebagaimana termaktub di dalam al-Quran. Begitu juga,
dalam tataran rinci, upaya-upaya untuk menata perekonomian harus disandarkan
pada contoh-contoh yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah Muhammad saw
sebagaimana termuat dalam sunnah-sunnahnya.
Dari sini, para pemikir ekonomi islami telah mencoba mengambil inti-inti
ajaran Islam di bidang ekonomi, yang meskipun beragam secara klasifikatif, tetapi
praktis tidak mencerminkan pertentangan satu sama lain (di antaranya, Choudhury,
1986; Naqvi, 1994; Chapra, 2000). Dua norma utama yang dapat mewakili intiinti
ajaran Islam di bidang ekonomi tersebut adalah maslahah dan ‘adl. Maslahah
terkait dengan nilai absolut keberadaan barang, jasa, atau action (termasuk
kebijakan ekonomi) di mana kesemuanya harus memenuhi kriteria-kriteria yang
mengarah pada perwujudan tujuan syariah (maqashid al-syariah), yaitu
perlindungan agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Sementara, adil terkait
dengan interaksi relatif antara suatu hal dengan hal lain, individu yang satu
dengan yang lain, atau masyarakat tertentu dengan masyarakat lain.
Untuk mewujudkan kedua norma utama tersebut, diperlukan beberapa
institusi, yang mencakup antara lain: Pertama, bentuk kepemilikan yang
multijenis (Islam di satu sisi mengakui dan melindungi kepemilikan individu,
tetapi di sisi lain juga menekankan penghormatan atas kepemilikan bersama –
dalam konteks masyarakat ataupun negara). Kedua, insentif dunia plus insentif
akhirat sebagai pemotivasi untuk melakukan kegiatan ekonomi. Ketiga, kebebasan
berusaha. Keempat, pasar sebagai mekanisme pertukaran ekonomi (lihat d.a.,
Mannan, 1982; Islahi, 1985). Kelima, peran pemerintah untuk menjaga pasar
sedemikan rupa sehingga kemaslahatan dan keadilan dapat terwujud (lihat d.a.,
Jalaluddin, 1985; Kahf, 1998).
Di samping hal-hal di atas, beberapa instrumen juga digunakan sebagai
penopang kegiatan ekonomi dan kebijakan. Di antaranya adalah penghapusan riba
dan pendayagunaan zakat. Riba adalah setiap penambahan yang diambil tanpa
adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah (lihat
d.a., Chapra, 1984, 2000; Haque, 1995), sementara zakat adalah bagian dari harta
yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim untuk membersihkan dan
membersihkan harta sesuai dengan tuntunan Islam (lihat d.a., Faridi, 1980;
Hafidhudin, 2002).
2. Beberapa Praktik Ekonomi Islami
Sesuai dengan penjelasan di atas, yang dimaksud praktik ekonomi islami
semestinya meliputi semua aspek perekonomian yang sesuai dengan tuntunan
Islam. Di dalam kaidah muamalah disebutkan bahwa segala sesuatu itu hukumnya
boleh, kecuali bila ada dalil yang mengatur sebaliknya atau melarang (al ashlu fis
syai'i al iabahatu, illa ma dallad daslili 'alla khilafihi). Namun, sebagaimana
ditunjukkan oleh banyak pakar (d.a. Kuran, 1993; Chapra, 2000), praktik ekonomi
islami selama ini lebih banyak terfokus pada lembaga keuangan nirriba dan
pengelolaan zakat.
Oleh karena itu, pembahasan praktik ekonomi islami di bawah ini hanya
akan difokuskan pada kedua aspek tersebut yang selanjutnya –dengan meminjam
kata-kata Kuran (1993)– disebut sebagai subperekonomian islami (islamic
subeconomy).
2.1. Perbankan Syariah
Setelah melewati masa-masa awal yang lamban antara tahun 1992-1998,
perbankan syariah tumbuh secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Statistik Perbankan Syariah yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia
menunjukkan bahwa, sampai bulan November 2007, jumlah bank syariah telah
mencapai 143 unit. Perinciannya, tiga bank merupakan Bank Umum Syariah
(BUS), 26 bank merupakan Unit Usaha Syariah (UUS), dan 114 bank merupakan
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS).
Pertumbuhan jumlah bank syariah yang pesat tersebut juga diikuti oleh
peningkatan nilai indikator-indikator perbankan syariah, seperti aset, dana pihak
ketiga (DPK), dan pembiayaan. Sebagaimana tampak pada Gambar 1, nilai aset
perbankan syariah (selain BPR Syariah) pada akhir tahun 2003 baru mencapai Rp
7,9 trilyun. Pada bulan November 2007, nilai tersebut telah meningkat hingga
lebih dari empat kali lipat menjadi Rp 33,3 trilyun. Nilai DPK yang dihimpun dan
nilai pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah juga mengalami
kenaikan yang tajam, dari hanya Rp 5,7 trilyun dan Rp 5,5 trilyun menjadi
masing-masing Rp 25,7 trilyun dan Rp 26,5 trilyun.
Gambar 1. Indikator Perbankan Syariah 2003-2007
-
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
Des '03 Jun '04 Des '04 Jun '05 Des '05 Jun '06 Des '06 Jun '07
Rp trilyun
Aset DPK Pembiayaan
Sumber: Diolah dari Bank Indonesia (2004-2007)
Namun demikian, perlu dicatat bahwa kecepatan pertumbuhan bulanan
indikator-indikator tersebut justru mengalami penurunan. Bila pada tahun 2004,
rata-rata tingkat pertumbuhan aset perbankan syariah adalah 5,75 persen per bulan,
pada tahun 2006 dan 2007, rata-rata tingkat pertumbuhan aset tersebut turun
menjadi 2,09 persen dan 2,03 persen per bulan. Begitu pula, pada tahun 2004,
rata-rata tingkat pertumbuhan DPK perbankan syariah adalah 6,31 persen per
bulan, sementara pada tahun 2006 dan 2007, rata-rata tingkat pertumbuhannya
turun menjadi hanya 2,42 persen dan 2,00 persen per bulan.
Penelitian yang dilakukan oleh Sasmitasiwi dan Cahyadin (2007)
memproyeksi bahwa, sampai akhir tahun 2008, tingkat pertumbuhan aset, DPK
dan pembiayaan perbankan syariah akan cenderung lambat. Sebagaimana tampak
pada Gambar 2, nilai aset perbankan perbankan syariah pada triwulan IV 2008
diperkirakan mencapai Rp 36,93 trilyun. Begitu juga, nilai DPK yang dihimpun
dan pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah, diperkirakan mencapai
masing-masing Rp 28,98 trilyun dan Rp 29,37 trilyun. Penelitian ini belum
memperhitungkan kemungkinan dampak program akselerasi pengembangan
perbankan syariah yang didukung oleh Bank Indonesia (misalnya, Festival
Ekonomi Syariah yang diselenggarakan di berbagai kota dan penetapan
Rancangan Undang-undang tentang Perbankan Syariah menjadi Undang-undang
di Dewan Perwakilan Rakyat), oleh karena itu ada harapan bahwa realisasi
kenaikan indikator-indikator perbankan syariah pada akhir tahun 2008 akan lebih
besar.
Gambar 2. Proyeksi Indikator Perbankan Syariah 2008
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
40.0
2007.III 2007.IV 2008.I 2008.II 2008.III 2008.IV
Rp trilyun
Kredit Kredit DPK Aset
Sumber: Sasmitasiwi dan Cahyadin (2007)
Berdasarkan informasi yang berkembang, pada tahun ini beberapa pemain
baru akan memasuki pasar perbankan syariah, seperti ABN Amro, Bank Central
Asia (BCA), dan Bank Sinar Mas. 2 Begitu pula, pemain-pemain lama
mempertimbangkan untuk meningkatkan status layanan usaha mereka dari unit
usaha syariah menjadi bank umum syariah, baik melalui spin-off, merger, maupun
akuisisi.3 Bila hal ini terwujud, maka besar kemungkinan tingkat pertumbuhan
aset, DPK, dan pembiayaan perbankan syariah akan semakin cepat. Dengan
demikian, target Bank Indonesia untuk mewujudkan pangsa pasar perbankan
syariah sebesar lima persen –meskipun sangat berat– mungkin sedikit banyak
akan mendekati kenyataan.
2.2. Asuransi Syariah
Meskipun tidak sesemarak perbankan syariah, perkembangan asuransi
syariah juga cenderung positif dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BapepamLK), hingga bulan
November 2007, telah ada setidaknya 38 perusahaan asuransi yang beroperasi
sesuai dengan ketentuan syariah. Perinciannya, dua unit merupakan perusahaan
asuransi jiwa syariah, satu unit merupakan perusahaan asuransi kerugian syariah,
13 unit merupakan perusahaan asuransi jiwa konvensional yang mempunyai
cabang syariah, dan 19 unit merupakan perusahaan asuransi kerugian
2 www.kompas.com/kompas-cetak/0801/08/ekonomi/4147979.htm Diakses 23 Januari 2008.
3 www.mediaindonesia.com/berita.asp?id=155453 Diakses 23 Januari 2008.
konvensional yang membuka cabang syariah. Sisanya, sebanyak tiga unit
merupakan perusahaan reasuransi yang mempunyai cabang syariah.
Pada akhir tahun 2002, nilai aset asuransi jiwa syariah baru mencapai Rp
255 milyar. Pada September 2007, nilai aset tersebut telah meningkat menjadi Rp
763,98 milyar. Sebagaimana tampak pada Gambar 3, peningkatan aset juga diikuti
dengan peningkatan klaim dan investasi. Nilai klaim asuransi jiwa syariah pada
Desember 2002 hanya Rp 28 milyar, sementara pada September 2007 mencapai
Rp 139,44 milyar. Begitu juga, nilai investasi asuransi jiwa syariah pada akhir
tahun 2002 baru sebesar Rp 228 milyar, sementara pada September 2007 telah
menjadi 535,6 milyar.
Gambar 3. Asuransi Jiwa dan Asuransi Kerugian Syariah 2002-2007
Sumber: BapepamLK (2007)
Untuk asuransi kerugian syariah, pada akhir tahun 2002, nilai asetnya baru
mencapai Rp 51,44 milyar. Pada September 2007, nilai aset tersebut telah
meningkat menjadi Rp 627,46 milyar. Nilai klaim asuransi kerugian syariah pada
Asuransi Jiwa Syariah
0
200
400
600
800
1000
2002 2003 2004 2005 2006 Sep'07
R p m i l y a r
Premi Investasi Klaim Aset
Asuransi Kerugian Syariah
0
100
200
300
400
500
600
700
2002 2003 2004 2005 2006 Sep'07
R p M i l y a r
Premi Investasi Klaim Aset
Desember 2002 hanya Rp 23,6 milyar, sementara pada September 2007 telah
mencapai Rp 184,58 milyar.
2.3. Pasar Modal Syariah
Pasar modal syariah diluncurkan pada bulan Maret 2003 sebagai bagian dari
pasar modal Indonesia yang berada di bawah supervisi Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan (BapepamLK). Namun demikian, kegiatan
investasi syariah di pasar modal Indonesia sebenarnya telah dimulai jauh
sebelumnya, seperti penerbitan reksadana syariah yang dilakukan sejak
pertengahan tahun 1997 dan obligasi syariah (sukuk) yang dilakukan sejak tahun
2002.
Perkembangan pasar modal syariah sejauh ini cukup menjanjikan (Setiawan,
2005). Hal ini setidaknya tampak dari terus bertambahnya jumlah perusahaan
yang listing dalam Daftar Efek Syariah (DES), melakukan penawaran umum
obligasi syariah, atau menerbitkan reksadana syariah.
Sampai dengan bulan Juli 2007, telah ada setidaknya 20 emiten obligasi
syariah dengan jumlah nilai emisi mencapai Rp 3,2 trilyun atau sekitar 3 persen
dari total nilai emisi obligasi di Indonesia. Nilai ini menunjukkan peningkatan
yang cepat, mengingat angka enam bulan sebelumnya baru mencapai Rp 2,3
trilyun.
Gambar 4. Nilai Emisi Obligasi Syariah 2003-Juli 2007
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
2003 2004 2005 2006 Juli '07
Rp trilyun
Nilai emisi Linear (Nilai emisi)
Sumber: Diolah dari BapepamLK (2007)
Pada pasar reksadana, tercatat telah ada 18 perusahaan yang beroperasi
sebagai manajer investasi syariah. Sampai dengan Juli 2007, nilai aktiva bersih
(NAB) yang dikelola oleh 18 belas perusahaan ini telah mencapai 1,21 trilyun,
atau meningkat sebesar 68,1 persen dibandingkan angka pada bulan Desember
2006 yang baru mencapai 0,73 trilyun.
Keputusan pemerintah untuk menjadikan sukuk sebagai salah satu sumber
pembiayaan APBN diprediksi akan semakin meningkatkan gairah pasar modal
syariah. Sebagaimana diberitakan di berbagai media massa, pemerintah dan DPR
sedang berupaya untuk menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-undang
Surat Berharga Syariah Nasional sehingga dapat menjadi payung hukum yang
kuat bagi penerbitan sukuk oleh pemerintah.4
2.4. Baitul Mal wa Tamwil (BMT)
4 www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=320558&kat_id=256 Diakses 23 Januari 2008.
Keberadaan Baitul Mal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan
mikro syariah sempat mengalami pasang dan surut. Pada pertengahan 1990-an di
saat pemerintahan Presiden Suharto, jumlah BMT sempat disebutkan mencapai
3000 unit. Namun, pada bulan Desember 2005, jumlah BMT yang aktif
dilaporkan tinggal 2.017 unit.5 Menurut perkiraan Pusat Inkubasi Usaha Kecil
(Pinbuk), sampai dengan pertengahan tahun 2006, jumlah BMT kembali
bertambah menjadi sekitar 3.200 unit. BMT-BMT ini secara keseluruhan
melayani anggota atau calon anggota yang mencapai tiga juta orang.6
Pasang surut perkembangan BMT di Indonesia tidak terlepas dari kendala
yang mereka hadapi. Di antaranya yang paling krusial adalah landasan hukum
yang belum jelas. Karena sebagian besar BMT memiliki badan hukum koperasi,
maka secara legal tidak dapat menghimpun dana dari masyarakat langsung. BMTpun
mau tidak mau harus mensyaratkan keanggotaan bagi nasabah yang akan
dilayani, atau menjadikan nasabah tersebut sebagai calon anggota selama
beberapa waktu tertentu. Konsekuensinya, tidak saja sebagian calon nasabah
menjadi enggan, tetapi juga menyebabkan masalah internal di dalam BMT karena
setiap anggota –baik yang lama, maupun yang sama sekali baru dan tidak
memahamai visi BMT– mempunyai hak suara yang sama. Sementara, bila BMT
ingin dapat menghimpun dana dari masyarakat langsung, maka BMT harus
berganti status hukum menjadi bank atau lembaga keuangan bukan bank, seperti
modal ventura. Konsekuensinya, BMT justru akan kehilangan kelebihan utama
5 Berdasarkan data Gema PKM sebagaimana dikutip ProFI (Promotion of Financial Institutions)
dalam http://www.profi.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=48&Itemid=59
Diakses tanggal 22 Januari 2008.
6 www.pasarmuslim.com/e/ekonomi.php?bid=411 Diakses 23 Januari 2008.
mereka sebagai lembaga keuangan yang melayani usaha berskala mikro dan kecil
(Rizky, 2007).
2.5. Organisasi Pengelola Zakat
Pengelolaan zakat secara profesional mendapatkan momentumnya pada
tahun 1999 setelah Undang-undang No. 38/1999 ditetapkan. Sesuai dengan
ketentuan Undang-undang tersebut, organisasi pengelola zakat resmi di Indonesia
terdiri atas Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah (di tingkat
pusat, propinsi dan kabupaten/kota), dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang
dibentuk oleh masyarakat dan mendapat pengesahan dari pemerintah.
Meskipun perkembangan pengeloaan zakat terus menunjukkan kemajuan
yang pesat, tetapi capaian yang ada saat ini sebenarnya masih jauh dari optimal.
Dalam sebuah kesempatan disampaikan bahwa dana zakat yang disalurkan
melalui BAZ/LAZ baru mencapai sekitar Rp 700 milyar, jauh di bawah potensi
zakat yang diperkirakan mencapai Rp 2,9 trilyun.7
3. Implikasi Praktik Ekonomi Islami di Indonesia
Berbeda dengan publikasi yang menekankan urgensi pengembangan
ekonomi islami dan potensi besarnya bagi pembangunan ekonomi, hingga sejauh
ini masih belum terlalu banyak riset empiris yang mengkaji tentang implikasi
praktik ekonomi islami terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini bisa jadi
dilatarbelakangi oleh dua alasan: Pertama, masih terbatasnya data yang tersedia
7 http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=791 Diakses 24 Janurai
2008.
terkait dengan implikasi praktik ekonomi islami. Kedua, jika pun data yang
dimaksud telah tersedia, data tersebut tidak bisa serta merta digunakan mengingat
masih sangat kecilnya proporsi sub-perekonomian islami dibandingkan dengan
perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Sebagai contoh, banyak penulis telah menjelaskan keunggulan konsep
perbankan syariah dalam melaksanakan fungsi intermediasi keuangan –termasuk
dalam pembiayaan usaha kecil dan menengah– dan mendorong pertumbuhan
ekonomi (d.a., Khan, 1995; Ahmed, 2005; Jahri, 2005). Namun, masih sulit
ditemukan analisis empiris yang mengukur tentang sejauhmana perbankan syariah
di Indonesia telah benar-benar berperan dalam menggerakkan perekonomian.8
Oleh karena itu, salah satu cara primer yang bisa digunakan untuk
mengevaluasi peran tersebut adalah menghitung besarnya persentase dana yang
disalurkan kembali oleh perbankan syariah ke sektor non-keuangan. Sebagaimana
tampak pada Gambar 5, rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga (financing
to deposit ratio/FDR) bank-bank syariah sejak bulan Mei 2004 hingga Oktober
2007 selalu berada di atas loan to deposit ratio (LDR) bank-bank secara umum.
FDR bank-bank syariah berkisar antara 97 hingga 112,2 persen, sementara LDR
bank-bank secara umum tidak pernah melewati 66 persen. Dengan demikian, ada
indikasi yang kuat bahwa perbankan syariah mempunyai komitmen yang lebih
besar dalam mendukung sektor riil dibandingkan perbankan konvensional.
Gambar 5. Perkembangan FDR Perbankan Syariah 2004-2007
8 Untuk analisis di Negara lain, lihat misalnya Hallaq (2005), Khan, Qayyum dan Sheikh
(2005).
-
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
120.0
Mei '04
Ags '04
Nov '04
Jan '05
Mei '05
Jul '05
Okt '05
Des '05
Apr '06
Jul '06
Okt '06
Jan '07
Apr '07
Jul '07
Okt '07
Persen
FDR PbS LDR Total bank
Sumber: Diolah dari Bank Indonesia (2004, 2005, 2006, 2007)
FDR perbankan syariah yang tinggi itu sendiri ternyata dapat dicapai tanpa
harus mengorbankan kehati-hatian dan efisiensi usaha. Berdasarkan data yang
dipublikasikan oleh Bank Indonesia, diketahui bahwa selama kurun waktu awal
2004 hingga pertengahan 2007 tersebut tingkat pembiayaan non-lancar (nonperforming
financing/NPF) bank-bank syariah cenderung lebih rendah dari tingkat
kredit non-lancar (non-performing loan/NPL) bank-bank secara keseluruhan. 9
Begitu juga, dengan menggunakan metode DEA (data envelopment analysis),
asumsi CRS (constant return to scale), dan model CCR (Charnes-Cooper-
Rhodes), diketahui bahwa efisiensi sembilan bank syariah di Indonesia selama
tahun 2003-2004 selalu berada di atas 90 persen, dengan rincian 91,37 persen
pada tahun 2003 dan 94,99 persen pada tahun 2004. Hasil yang lebih baik bahkan
9 Selama periode tersebut, NPF bank-bank syariah berada pada kisaran 2,37 - 5,17 persen dan
selalu lebih rendah dari NPL bank-bank secara keseluruhan. Pada bulan April 2007, NPF bankbank
syariah meningkat menjadi 6,14 persen dan untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun
terakhir melewati NPL bank-bank secara umum.
dapat dicapai bila perhitungan dilakukan dengan asumsi VRS (variable return to
scale) dan model BCC (Banker-Charnes-Cooper) (Amzar, 2007; bandingkan
dengan Yudistira, 2003).
Terkait peran perbankan syariah dalam mendukung stabilitas moneter di
tanah air, Hastomi (2007) mencoba membandingkan kontrolabilitas instrumen
keuangan syariah dan instrumen keuangan konvensional. Dengan menggunakan
model ECM (error correction model) dan data bulanan Bank Indonesia periode
Mei 2002 hingga Agustus 2006, ia berkesimpulan bahwa jumlah uang beredar
dalam konteks perbankan syariah lebih mudah dikendalikan dibandingkan jumlah
uang beredar dalam konteks perbankan konvensional. Di sisi lain, ia juga
berkesimpulan bahwa instrumen moneter konvensional masih lebih baik dalam
mengendalikan inflasi di Indonesia dibandingkan dengan instrumen moneter
syariah. Kesimpulan Hastomi (2007) yang pertama tersebut konsisten dengan
temuan Kaleem (2000) di Malaysia, sementara kesimpulan yang kedua sedikit
berbeda. Menurut Kaleem (2000), instrumen moneter syariah dan instrumen
moneter konvensional sama-sama berfungsi baik dalam mengendalikan inflasi di
Malaysia (lihat juga, Izhar dan Asutay, 2007).
Widyaningrum (2002) menyebutkan empat karakter BMT yang menjadikan
praktik lembaga ini berbeda dengan lembaga-lembaga keuangana syariah lainnya
dan lebih berimplikasi pada masyarakat kecil. Pertama, BMT menawarkan
berbagai kemudahan dalam prosedurnya. Kedua, BMT hanya menuntut
persyaratan yang ringan. Ketiga, BMT memberikan pelayanan yang cepat. Dan
keempat, BMT bahkan menerapkan sistem “jemput bola” dengan mendatangi
nasabah atau calon nasabahnya.
Firmansyah (2006) menganalisis pengaruh BMT terhadap perkembangan
usaha 295 nasabah yang tersebar di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Sulawesi Selatan. Dengan menggunakan statistik deskriptif, ia menunjukkan
bahwa sejak menjadi nasabah BMT, sebagian besar responden telah merasakan
dampak positif atas perkembangan usaha mereka. Perkembangan ini berupa
peningkatan omzet penjualan, peningkatan keuntungan rata-rata, dan peningkatan
aset usaha setelah sebagian keuntungan digunakan untuk memperbesar modal
usaha yang dimiliki. Kesimpulan ini konsisten dengan temuan Ali (2006) yang
melakukan riset dengan pendekatan serupa untuk kasus nasabah BMT Ben Taqwa,
Grobogan, Jawa Tengah.
Dengan pendekatan yang sedikit berbeda, Saridu (2007) menganalisis
pengaruh pembiayaan qardhul-hasan bagi nasabah BMT Bina Umat Beringharjo.
Menurut Saridu (2007), meskipun secara nominal pemberian pembiayaan tersebut
tersebut membawa peningkatan usaha nasabah, tetapi secara riil tidak. Sebab,
ternyata peningkatan jumlah keuntungan dan nilai aset usaha yang dialami
nasabah masih belum mampu melampaui nilai inflasi pada saat itu. Toh demikian,
dalam konteks minimalis, telah terbukti bahwa pembiayaan qardhul-hasan yang
diberikan BMT Bina Dhuafa Beringharjo dapat membantu nasabah untuk
mempertahankan taraf hidup riil mereka di tengah kondisi ekonomi yang kurang
stabil.
Menyangkut pengelolaan zakat, Suprayitno (2004) menguji pengaruh zakat
terhadap kemiskinan dan variabel-variabel makroekonomi seperti pendapatan
domestik regional bruto (PDRB), investasi dan konsumsi. Dengan menggunakan
model persamaan simultan dan data-data agregat lintas propinsi tahun 2000, ia
menyimpulkan bahwa besarnya zakat yang disalurkan oleh BAZ/LAZ di masingmasing
propinsi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengurangan jumlah
penduduk miskin di wilayah yang bersangkutan. Begitu juga, ia menyimpulkan
bahwa besarnya zakat berpengaruh positif dan signifikan terhadap konsumsi
agregat (lihat juga, Susamto, 2002). Sementara, hubungan besarnya zakat dengan
peningkatan PDRB dan investasi (dengan proksi besarnya kredit usaha kecil yang
disetujui), meskipun berbadning lurus, tetapi secara statistik tidak signifikan.
Pada tingkatan mikro, penyaluran zakat juga dilaporkan telah berpengaruh
positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan pendekatan
deskriptif kualitatif, Fatmawati (2004) berkesimpulan bahwa masyarakat yang
menerima penyaluran zakat dari BMT Bina Dhuafa Beringharjo telah mengalami
peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan (lihat juga, Khatimah, 2004).
Lebih dari itu semua, praktik ekonomi islami di Indonesia saat ini telah
membawa tren baru yang dalam jangka panjang mengarah pada semakin
pentingnya peran sub-perekonomian islami di Indonesia. Pertama, praktik
ekonomi islami telah mampu memecah hambatan psikologis bahwa segala sesuatu
yang “berbau syariah” tidak dapat diterapkan dalam ekonomi modern. Meskipun
belum semua masyarakat memahami ekonomi syariah secara utuh, tetapi
setidaknya pertanyaan dan isu yang muncul di masyarakat telah bergeser dari
“perlu tidaknya mengembangkan ekonomi islami” menjadi “belum atau sudah
optimalnya peran ekonomi islami”. Kedua, praktik perekonomian islami yang ada
saat ini telah mendorong minat banyak pihak untuk terlibat lebih aktif dalam
pengembangan ekonomi islami secara umum. Sebagai contoh, berbagai perguruan
tinggi mulai menawarkan program pendidikan ekonomi islami, di samping juga
mendirikan pusat-pusat pengkajian dan penelitian. Bukan hanya di Fakultas Ilmu
Agama Islam atau di Fakultas Syariah, tetapi juga di Fakultas Ekonomi atau
Fakultas Ekonomika dan Bisnis.
4. Penutup
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, meskipun masih
dalam taraf pengembangan, praktik ekonomi islami di Indonesia telah
menunjukkan performa yang cukup menjanjikan dan –dalam batas-batas tertentu–
membawa implikasi positif bagi perekonomian. Dengan kata lain, peran ekonomi
islami tidak semata-mata terletak pada perubahan bentuk akad-nya yang sesuai
dengan syariah, tetapi juga perannya yang lebih besar dalam menggerakkan
perekonomian dan mewujudkan kesejahteraan.
Namun, riset-riset lanjutan perlu dilakukan untuk mengevaluasi praktik
ekonomi islami di Indonesia, dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan
metode penelitian yang lebih kompleks. Dengan cara itu, simpulan yang diambil
dapat lebih akurat, dan solusi yang dihasilkan dapat lebih tepat. Wallahu ‘alam.
Daftar Pustaka
Ahmad, Kurshid, 1997, “Pengantar”, dalam Muhammad U. Chapra, Al-Qur’an:
Menuju Sistem Moneter yang Adil, Edisi terjemahan oleh Lukman Hakim,
Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa
Ahmed, Habib, 2005, “The Islamic Financial System and Economic Growth: An
Assessment”, dalam Munawar Iqbal dan Ausaf Ahmad (ed.), Islamic
Finance and Economic Development, New York: Palgrave MacMillan, hal.
29-48
Ali, Marpuji, 2006, “Kontribusi BMT dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat: Studi
Kasus BMT Ben Taqwa, Grobogan, Jawa Tengah”, Tesis diajukan kepada
Program Magister Studi Islam, Universitas Islam Indonesia, tidak
dipublikasikan.
Amzar, Yohanes V., 2006, “Analisis Efisiensi Perbankan Syariah di Indonesia
2003-2004”, Tesis diajukan kepada Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi
UGM, tidak dipublikasikan
Bank Indonesia, 2002, Cetak Biru Perbankan Syariah Indonesia, Jakarta: Bank
Indonesia
_____, 2004-2007, Statistik Perbankan Syariah, Jakarta: Direktorat Perbankan
Syariah Bank Indonesia
Chapra, Muhammad U., 1984, “The Nature of Riba in Islam”, Hamdard Islamicus,
vol. 7(1), hal. 3-24
_____, 1992, Islam and the Economic Challenge, Leicester: The Islamic
Foundation
_____, 2000, “Why Has Islam Prohibited Interest? Rationale Behind the
Prohibition of Interest”, Review of Islamic Economics, vol. 9, hal. 5-20
_____, 2000, The Future of Economics: An Islamic Perspective, Leicester: The
Islamic Foundation
Choudhury, Masudul A., 1986, Contributions to Islamic Economic Theory: A
Study in Social Economics. Inggris: Macmillan
Faridi, F. R., 1980, “Zakat and Fiscal Policy”, dalam Khurshid Ahmad (ed.),
Studies in Islamic Economics, Leicester: The Islamic Foundation/Jeddah:
ICRIE, hal. 119-30
Fatmawati, Eli, 2004, “Peranan Zakat terhadap Pemberdayaan dan Kesejahteraan
Masyarakat: Studi kasus Jejaring Dompet Dhuafa Republika”, Skripsi
diajukan kepada Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Fakultas
Ekonomi UGM, tidak dipublikasikan
Firmansyah, 2006, “Pengaruh BMT terhadap Perkembangan Usaha Nasabah”,
dalam M. Nadjib, Pengaruh BMT terhadap Kondisi Sosial Ekonomi
Masyarakat, Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, hal. 91-126
Gregory, Paul R. dan Robert C. Stuart, 1999, Comparative Economic System,
Boston: Houghton Mifflin Company
Hafidhudin, Didin, 2002, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema
Insani Press
Hallaq, Said al-, 2005, “The Role of Islamic Banks in Economic Growth: The
Case of Jordan”, dalam Munawar Iqbal dan Ausaf Ahmad (ed.), Islamic
Finance and Economic Development, New York: Palgrave MacMillan, hal.
202-14
Haque, Ziaul, 1995, Riba: The Moral Economy of Usury, Interest, and Profit,
Kuala Lumpur: S. Abdul Majeed and Co.
Hastomi, La Ode I., 2007, “Aplikasi Dual-Banking System di Indonesia:
Perbandingan Instrumen Keuangan Syariah dan Instrumen Keuangan
Konvensional”, Skripsi diajukan kepada Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas
Ekonomika dan Bisnis UGM, tidak dipublikasikan
Iqbal, Munawar, 2001, “Islamic and Conventional Banking in the Nineties: A
Comparative Study,” Islamic Economic Studies, vol. 8(2), hal. 1-27
Islahi, Abdul A., 1985, “Ibn Taimiyah's Concept of Market Mechanism”, Journal
of Research in Islamic Economics, vol. 2(2), hal. 51-60
Izhar, Hylmun dan Mehmed Asutay, 2007, “The Controlability and Reliability of
Monetary Policy in a Dual Banking System: Evidence from Indonesia”,
Makalah diprsentasikan dalam IIUM International Conference on Islamic
Banking and Finance, Kuala Lumpur: IIU Malaysia.
Jahri, Mabid Ali al-, 2005, “Islamic Finance and Development”, dalam Munawar
Iqbal dan Ausaf Ahmad (ed.), Islamic Finance and Economic Development,
New York: Palgrave MacMillan, hal. 16-28
Jalaluddin, Abul K.M.,1985, The Role of Government in An Islamic Economy,
Kuala Lumpur: A S Noordeen
Kahf, Monzer, 1998, “Role of Government in Economic Development: Islamic
Perspective”, Makalah disampaikan dalam Economic Development Seminar,
Penang: University of Sains Malaysia
Kaleem, Ahmad, 2000, “Modeling Monetary Stability Under Dual Banking
System: The Case of Malaysia”, International Journal of Islamic Financial
Services, vol. 2(1), tanpa hal.
Khan, A., A. Qayyum, dan S.A. Sheikh, 2005, “Financial Development and
Economic Growth: The Case of Pakistan”, Pakistan Development Review,
vol. 44(4), Part II, hal. 819–37
Khan, Mohsin S., 1995, “Islamic Interest-free Banking: A Theorectical Analysis,”
Encyclopaedia of Islamic Banking, London: Institute of Islamic Banking
and Insurance
Khatimah, Khusnul, 2004, “Pengaruh Zakat Produktif Terhadap Peningkatan
Kesejahteraan Ekonomi Mustahik: Studi Kasus di Community Development
Circle (CDC) Dompet Dhuafa Republika 2001-Maret 2004”, Tesis diajukan
kepada Program Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam,
Universitas Indonesia, tidak dipublikasikan
Kuran, Timur, 1993, “Islamic Economics and the Islamic Subeconomy”, Journal
of Economic Perspectives, vol. 9(4), hal. 155-73
_____, 1997, “The Genesis of Islamic Economics: A Chapter in the Politics of
Muslim Identity”, Social Research, vol. 64(2), hal. 301–38.
Mannan, Muhammad A., 1982, Islamic Perspectives on Market Prices and
Allocation, Research Series in English No.11, Jeddah: International Centre
for Research in Islamic Economics, 1982
Maudoodi, Syed A.A. al-, 1984, Economic System of Islam, Lahore: Islamic
Publications
Nabhani, Taqiyuddin an-, 2000, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif
Perspektif Islam, Edisi terjemah oleh M. Maghfur Wachid, Surabaya:
Risalah Gusti
Naqvi, Syed N.H., 1994, Islam, Economics and Society, London dan New York:
Keegan Paul International
Nienhaus, Volker, 1988, Implications of Islamic Economics for Economic
Development with Special Reference to Financial Institutions, Amsterdam:
Middle East Research Associates
Presley, John R. dan John G. Sessions, 1994, “Islamic Economics: The
Emergence of a New Paradigm”, Economic Journal, vol. 104(424), hal.
584–96
Saridu, Siti M., 2007, “Pengaruh Kredit Qardhul Hasan terhadap Peningkatan
Kinerja Usaha: Studi Kasus Nasabah Qardhul Hasan BMT Bina Dhuafa
Beringharjo”, Skripsi diajukan kepada Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas
Ekonomika dan Bisnis UGM, tidak dipublikasikan
Sasmitasiwi, Banoon dan Malik Cahyadin, 2007, “Evaluasi dan Prediksi
Pertumbuhan Perbankan Syariah di Indonesia Tahun 2008”, Makalah
dipresentasikan dalam Simposium Riset Ekonomi III ISEI Cabang Surabaya,
Surabaya: ISEI dan Universitas Kristen Petra
Setiawan, Aziz B., 2005, “Perkembangan Pasar Modal Syariah”, Majalah
Hidayatullah, Edisi Mei.
Suprayitno, Eko, 2004, “Peranan Zakat terhadap Variabel Makroekonomi
Indonesia”, Tesis diajukan kepada Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi
UGM, tidak dipublikasikan
Susamto, Akhmad A., 2002, “Efek Zakat sebagai Pengurang Penghasilan Kena
Pajak: Tinjauan Makroekonomi”, Prosiding Simposium Nasional Ekonomi
Islami I, P3EI FE UII, Yogyakarta
Widyaningrum, Nurul, 2002, Model Pembiayaan BMT dan Dampaknya bagi
Pengusaha Kecil, Bandung: Yayasan Akatiga
Yudistira, Donsyah, 2003, “Efficiency in Islamic Banking: An Empirical Analysis
of 18 Banks”, Proceeding International Conference on Islamic banking:
Risk Management, Regulation and Supervision, Jakarta: Bank Indonesia, hal.
333-47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download Lagu Gratis, MP3 Gratis