Bookmark and Share

Senin, 25 Januari 2010

DAMPAK KRISIS MONETER DAN KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING AGRIBISNIS AYAM RAS PEDAGING DI JAWA BARAT

SAPTANA dan I WAYAN RUSASTRA1
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Deptanhut., Bogor

ABSTRACT
Monetary and economic crisis started on the mid of 1997 has negative impact on the
performance and sustainability of poultry industry in this country. The main problem faced by broiler industry, namely: (1) Most of feed stuff are highly dependent on import; (2) The structure of input and output market are olygopolistic in nature; (3) Cooperative farming is not consistently implemented; and (4) The price of input factor increased threefold due to monetary and economic crisis. Based on those backgrounds, the objective of this study is to analysis the impact of government policy on financial and economic feasibilities of broiler agribusiness. The finding of the respective study conducted in two district (Bogor and Tasikmalaya) indicated that: (1) Because of economic crisis, financial and economic profitability of broiler industry decreases; (2) Private Cost Ratio (PCR) increased from 0,753
– 0,873 to 0,851 – 0,989 due to crisis, indicating lower financial competitiveness; (3) The value of DRCR before and after crisis are 0,727 – 0,976 vs. 0,790 vs. 0,917 which reveal lower economic competitiveness; and (4) The value of Nominal Protection Coefficient (NPC) during the economic crisis showed that broiler industry experiencing disincentive for both input and output market. The implication of this study in relation with the development of broiler industry facing the economic globalization are as follows: (1) The vertical integration and cooperation between smallholder broiler farming and input/output industry should be strengthening in synergistic manner; (2) In order to generate foreign exchange and higher
value added through export and product development as well as product differentiation, vertical integration for all agribusiness subsystem in broiler industry should be implemented; and (3) The establishment of cooperative broiler farming system should be conducted in the region of potential market and feed stuff producing regions.
Keywords: Monetary Crisis, Competitiveness, Government Policy, and Broiler Agribusiness
1 Masing-masing adalah Peneliti Muda dan Ahli Peneliti Madya pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian, Bogor
2 Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Rudolf Sinaga, Dr. Bonar M. Sinaga dan Dr. Erwidodo
yang telah memberikan masukan dan pengkayaan terhadap tulisan ini.
2

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ternak unggas merupakan salah satu komoditas subsektor peternakan yang sejak
tahun 1972 mengalami pertumbuhan relatif cepat hingga tahun 1997. Pertumbuhan tersebut
didorong oleh adanya perkembangan yang kuat dari sektor industri hulu (pabrik pakan,
pembibitan dan industri farmasi) dan industri hilir yang meliputi rumah potong ayam, restoran
dan lain-lain. Para ahli menyatakan bahwa industri unggas nasional telah mampu
swasembada dalam menyediakan telur dan daging unggas sejak tahun 1993.
Kegiatan usaha yang menarik dikaji di subsektor peternakan adalah usaha agribisnis
ayam ras pedaging. Hal ini dilandasi beberapa argumen, yaitu: (1) pada periode 1986-1995,
produksi daging asal unggas didominasi oleh daging ayam ras, dengan pangsa 61,16 persen
dari total daging unggas; (2) periode siklus produksinya yang relatif pendek sehingga
perputaran modal relatif cepat, sehingga cocok untuk usaha peternakan rakyat; (3) usaha ayam
ras pedaging mempunyai kaitan yang luas baik kaitan kebelakang (backward linkage) dan
kaitan kedepan (forward linkage); (4) kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja secara
ekstensif; dan (5) sebagai salah satu komoditas yang mempunyai potensi ekspor.
Akhir-akhir ini usaha agribisnis ayam ras pedaging menghadapi permasalahan sangat
berat dan mengancam keberlanjutannya sebagai akibat terjadinya krisis moneter dan ekonomi.
Beberapa permasalahan utama dalam agribisnis ayam ras pedaging adalah : (1) Penyediaan
bahan baku pakan yang sebagian besar mengalami ketergantungan impor tinggi, seperti
jagung mencapai 40-50 persen; bungkil kedelai 95 persen; tepung ikan 90-92 persen; tepung
tulang dan vitamin/feed additive hampir 100 persen impor; (2) Adanya indikasi terjadinya
ketimpangan struktur pasar, baik pada pasar input (sapronak) maupun pasar output (daging)
yang sekarang sudah dalam bentuk struktur pasar yang oligopolistik; (3) Kemitraan usaha
tidak dijalankan secara konsisten, yang seharusnya bersifat saling memerlukan, saling
memperkuat dan saling menguntungkan, hal yang terjadi justru sebaliknya, timbul eksploitasi
dari yang kuat kepada yang lemah; dan (4) Krisis moneter dan ekonomi telah menyebabkan
keterpurukan industri ayam ras pedaging, karena terjadinya peningkatan harga sapronak
khususnya pakan menjadi hampir tiga kali lipat dari harga sebelum krisis.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan penulisan paper ini adalah untuk
menganalisis ayam ras pedaging sebelum dan sesudah krisis ekonomi yang meliputi :
1. Kinerja agribisnis dan tingkat profitabilitas agribisnis ayam ras pedaging;
3
2. Efisiensi finansial dan ekonomik agribisnis ayam pedaging secara finansial pada berbagai
pola pengusahaan dan skala usaha;
3. Dampak kebijaksanaan pemerintah terhadap penggunaan masukan domestik dan
tradeable serta kinerja produksi ayam ras pedaging.
KERANGKA PEMIKIRAN
Daya saing adalah kemampuan produsen memproduksi suatu komoditi dengan mutu
yang baik dan biaya yang cukup rendah sesuai harga di pasar internasional, dapat dipasarkan
dengan laba yang cukup dan dapat melanjutkan kegiatan produksi atau usahanya
(Simanjuntak, 1992). Artinya, apakah biaya produksi riil yang terdiri dari pemakaian
sumberdaya domestik cukup rendah sehingga harga jualnya dalam rupiah dibandingkan harga
yang terbentuk di pasar dunia cukup kompetitif.
Komoditas ternak ayam ras pedaging adalah barang yang diperdagangkan (tradable
goods), maka ada dua kriteria yang dipakai, yaitu: (1) layak secara ekonomik; dan (2) layak
secara finansial. Kelayakan ekonomik merupakan syarat agar usaha agribisnis ayam ras
pedaging efisien bagi masyarakat secara keseluruhan, sementara itu kelayakan finansial
efisien bagi lembaga atau individu yang terlibat dalam aktivitas tersebut (Kadariah, dkk.,
1978).
Menurut Simatupang (1991); Sudaryanto dan Simatupang (1993), konsep keunggulan
komparatif merupakan ukuran daya saing potensial apabila perekonomian tidak mengalami
distorsi sama sekali. Simatupang (1993) mengemukakan bahwa konsep yang lebih cocok
untuk mengukur kelayakan finansial adalah keunggulan kompetitif atau sering disebut
“revealed competitive advantage” yang merupakan pengukur daya saing kegiatan pada
kondisi perekonomian aktual.
Selain biaya produksi riil daya saing suatu komoditas juga dipengaruhi oleh
kebijaksanaan pemerintah. Hal ini disebabkan untuk mencapai perekonomian yang kompetitif
sempurna, dimana alokasi sumberdaya optimal dan produksi barang dan jasa maksimum,
dalam kenyataannya sulit terwujud (Samuelson and Nordhaus, 1993). Dalam prakteknya,
perekonomian seringkali mengalami distorsi struktur pasar (monopoli atau oligopoli), distorsi
karena faktor kebijakan pemerintah, dan distribusi pendapatan yang tidak merata. Untuk
menghadapi kelemahan mekanisme pasar tersebut, banyak negara menerapkan kebijaksanaan
melalui campur tangan pemerintah. Kebijaksanaan pemerintah berpengaruh pada tingkat
harga input- output, dapat berupa subsisi/pajak, tarif, kebijakan upah tenaga kerja dan
fiskal/moneter.
4
Kebijaksanaan pemerintah di bidang perunggasan menuju ke arah berjalannya
mekanisme pasar. Sebagai ilustrasi tarif bea masuk jagung, bungkil kedelai, bungkil kacang
tanah, dedak/bekatul dan tepung ikan yang sebesar 5 – 10,5 persen pada periode 1989-1994,
pada tahun 1998 telah dihapuskan, kecuali dedak/bekatul yang masih dikenakan tarif bea
masuk sebesar 5 persen. Sementara itu tarif bea masuk untuk ayam, daging dan telur dari 15
– 30 persen (1989-1994) telah diturunkan menjadi 5 – 10 persen (1998). Berbagai kebijakan
tersebut berpengaruh terhadap struktur pasar input dan output menuju bekerjanya mekanisme
pasar dan berguna untuk menjustifikasi penetapan harga sosial.
Kerangka pemikiran sistem komoditas daging ayam ras dan komponen yang
menentukan daya saing terlihat pada Gambar 1,
METODOLOGI
Lokasi Penelitian dan Metoda Penarikan Contoh
Penelitian dilakukan di propinsi Jawa Barat dengan dua kabupaten contoh, yaitu
Kabupaten Bogor dan Tasikmalaya. Kabupaten Bogor mewakili daerah sentra produksi yang
berdekatan dengan tujuan pasar utama Jakarta dengan skala usaha yang relatif besar,
sedangkan Kabupaten Tasikmalaya mewakili daerah sentra produksi yang jauh dari tujuan
pasar utama Jakarta dengan skala usaha yang relatif kecil.
Dalam pengambilan contoh dilakukan klasifikasi berdasarkan pola pengusahaan (pola
KINAK PRA/PIR Kesepakatan, pola KINAK PIR, pola Mandiri dan pola Kontrak Kandang)
dan skala usaha. Mengingat unit analisis adalah agribisnis ayam ras pedaging, maka digali
informasi dari berbagai pelaku tataniaga, baik input maupun output, rumah potong ayam
(RPA) dengan mengikuti aliran komoditas. Metode pengambilan contoh dilakukan dengan
cara proporsional acak terstratifikasi (proportional stratified random sampling). Secara
terperinci sebaran responden contoh disajikan pada Tabel 1,
Tabel 1, Sebaran Responden Pelaku Agribisnis Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Bogor dan
Tasikmalaya, 1998
Uraian Kabupaten Bogor Kabupaten Tasikmalaya
1, Peternak ayam ras pedaging
- Pola KINAK PRA
- Pola KINAK PIR
- Pola Mandiri
- Pola Kontrak Kandang
2. Pedagang sapronak/poultry shop
3. Pedagang ayam atau daging ayam
4. Pemotongan ayam
10
10
6
6
4
2
2
15
-
-
15
4
2
2
Jumlah 40 38
5
Metode dan Analisis Data
Harga bayangan menggunakan penyesuaian seperti dilakukan Gittinger (1976 dan
1986). Penentuan harga bayangan dengan mengeluarkan distorsi akibat kebijakan pemerintah
atau akibat kegagalan pasar. Dalam penelitian ini untuk menentukan harga sosial komoditas
yang diperdagangkan didekati dengan harga batas (border price). Untuk komoditas yang
selama ini diekspor digunakan harfa f.o.b (free on board) dan untuk komoditas yang diimpor
digunakan harga cif (cost insurance freight). Mengingat bahwa analisis PAM ini ditujukan
untuk menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif sampai dengan tingkat pedagang
besar (wholesale) maka perlu dilakukan beberapa penyesuaian. Untuk harga fob, karena
merupakan harga batas di pelabuhan ekspor perlu dikurangi biaya transport dan handling dari
pedagang besar ke pelabuhan Tanjung Priok. Sementara itu untuk harga cif, karena
merupakan harga batas di pelabuhan impor, maka perlu ditambah biaya transport dan
handling dari pelabuhan Tanjung Priok ke pedagang besar.
Menurut Pearson et al. (1976) dalam Haryono (1991), ada dua pendekatan yang
digunakan untuk mengalokasikan biaya kedalam komponen domestik dan asing, yaitu
pendekatan total dan pendekatan langsung. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan total.
Pendekatan total diasumsikan bahwa setiap biaya dari input tradable produksi domestik
dibagi kedalam komponen biaya domestik dan asing. Pendekatan total lebih tepat digunakan
apabila produsen lokal dilindungi sehingga tambahan penawaran input tradable datang dari
produksi domestik. Pendekatan total lebih sesuai digunakan dalam analisis dampak
kebijaksanaan atau untuk memperkirakan biaya ekonomi atau sosial dari struktur proteksi
yang dilakukan pemerintah.
Penelitian ini adalah untuk melihat dampak krisis moneter dan kebijaksanaan
pemerintah terhadap profitabilitas dan daya saing agribisnis ayam ras pedaging, maka
digunakan pendekatan total. Hal ini dilandasi oleh beberapa argumen: (1) Analisis yang
dilakukan adalah analisis dampak krisis moneter dan kebijaksanaan pemerintah; dan (2)
Masih adanya proteksi terhadap produsen domestik baik pembibitan, pabrik pakan dan
produsen bahan baku penyusun pakan. Hasil alokasi biaya kedalam komponen domestik dan
asing pada sistem komoditi ayam ras pedaging di Jawa Barat disajikan pada Tabel 2.
Analisis daya saing mencakup dua dimensi yaitu keunggulan kompetitif (competitive
advantage) dan keunggulan komparatif (comparative advantage). Disamping itu akan
dilakukan analisis dampak kebijaksanaan pemerintah terhadap sistem komoditas tersebut.
Alat analisis yang akan digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM) yang dikembangkan
oleh Monke dan Person (1989; 1995).
6
Tabel 2. Alokasi Biaya ke dalam Komponen Domestik dan Asing, pada Sistem
Komoditi Ayam Ras Pedaging di Jawa Barat, 1998
Biaya Domesik (%) Asing (%)
A. 1, Anak ayam (DOC)
2. Pakan ayam ras
3. Obat-obatan, vitamin & mineral
4. Listrik
5. Pemanas (kerosen)
6. Alas kandang (sekam)
7. Tenaga kerja
8. Karyawan/pegawai
9. Penyusutan kandang & alat
10, Bunga modal
11, Sewa lahan
12. Sewa kandang
B. 1, Transport/pengangkutan
2. Pemotongan
3. Penanganan
35,00
51,21
20,00
50,00
100,00
100,00
100,00
100,00
50,00
100,00
100,00
100,00
45,53
50,00
82,81
65,00
48,79
80,00
50,00
0,00
0,00
0,00
0,00
50,00
0,00
0,00
0,00
54,57
50,00
17,19
Catatan :
DOC = Day Of Chiken
Indikator daya saing meliputi: (1) PCR (Private Cost Ratio) atau (rasio biaya privat)
dan (2) DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) atau BSD (Biaya imbangan sumberdaya
domestik). Rasio biaya privat adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga
privat. Nilai PCR mencerminkan efisiensi finansial. Apabila nilai PCR<1 dan makin kecil,
maka aktivitas ekonomi efisien secara finansial dan kemampuan itu meningkat. Rasio biaya
sumberdaya domestik merupakan indikator kemampuan sistem komoditas membiayai biaya
faktor domestik pada harga sosial. Apabila DRCR<1 dan makin kecil, maka aktivitas
ekonomi efisien secara ekonomik dalam pemanfaatan sumberdaya domestik untuk
menghemat satu-satuan devisa dan kemampuannya meningkat. Sebaliknya DRCR>1, maka
permintaan domestik lebih menguntungkan dengan melakukan impor.
Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif dinamis (dynamics comparative
advantage and competitive advantage) akan dibuat dengan melakukan analisis keunggulan
komparatif dan kompetitif statis (statics comparative advantage and competitive advantage)
untuk dua titik waktu yaitu kondisi sebelum dan sesudah krisis moneter. Perubahan
profitabilitas dan daya saing usaha agribisnis ayam ras petelur dan pedaging pada berbagai
pola pengusahaan, skala usaha dan lokasi dapat dilihat dari satu titik waktu ke titik waktu
lainnya. Di samping itu juga akan dilakukan analisis sensitivitas pada situasi setelah terjadi
krisis untuk perubahan harga daging ayam ras, harga pakan ternak, dan perubahan kedua
faktor tersebut secara simultan.
7
Secara terperinci beberapa asumsi dasar yang digunakan dalam analiais PAM pada
penelitian ini adalah : (1) Perhitungan berdasarkan harga privat, untuk analisis finansial; (2)
Perhitungan berdasarkan harga sosial (bayangan), untuk analisis ekonomi; (3) Output bersifat
tradable dan input dapat dipisahkan kedalam komponen asing dan domestik; (4) Eksternalitas
positif dan negatif dianggap saling meniadakan dengan demikian dianggap nol; dan (5) Pada
semua pola usaha ternak yang diteliti diasumsikan merupakan usaha agribisnis yang
terintegrasi dari kegiaan budidaya, pemotongan dan pemasarannya dalam satu kesatuan
managemen.
Pada dasarnya langkah perhitungan PAM terdiri atas empat tahap: (1) penentuan
masukan-keluaran fisik secara lengkap dari aktivitas ekonomi yang akan dianalisis; (2)
penaksiran harga bayangan (shadow price) dari masukan dan keluaran; (3) pemisahan seluruh
biaya kedalam komponen domestik dan asing, serta menghitung besarnya penerimaan, dan (4)
menghitung dan menganalisis berbagai indikator yang bisa dihasilkan oleh PAM. Guna
menganalisis daya saing dan dampak kebijaksanaan pemerintah digunakan alat analisis Policy
Analysis Matrix, seperti pada Tabel 3.
Beberapa indikator yang dapat diperoleh dari penggunaan PAM adalah sebagai berikut
: (1) Keuntungan Privat (PP): PP = penerimaan privat (A) – biaya tradable privat (B) – biaya
input non tradable privat (tradeable C); (2) Keuntungan sosial (SP): SP = penerimaan sosial
(E) – biaya input tradable sosial (F) – biaya input non tradable sosial (G); (3) Transfer output
(OT) = A – E; (4) Transfer input (IT) = B – F; (5) Transfer faktor (FT) = C – G; (6) Transfer
bersih (NT) = Keuntungan privat (D) – Keuntungan sosial (H); (7) Rasio biaya privat (PCR) =
C : (A – B); (8) Rasio biaya sumberdaya domestik (DRCR) = G : (E – F); (9) Koefisien
Proteksi Output Nominal (NPCO) = A:E; (10) Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) = B
: F; (11) Koefisien Proteksi Efektif (EFC) = (A-B) : (E-F); (12) Koefisien keuntungan = (D :
H); (13) Rasio Subsisi bagi produsen (SRP) = (L : E).
Tabel 3. Matrik Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix, PAM)
Penerimaan Input
Tradable
Input
Domestik
Keuntungan
Harga privat
(finansial)
Harga sosial
(bayangan)
Dampak kebijakan
A
E
I3
B
F
J4
C
G
K5
D1
H2
L6
Sumber: Monke dan Person, 1989
Keterangan:
1. Keuntungan privat, D = A-B-C 4. Transfer input, untuk input tradable, J = B-F
2. Keuntungan sosial, H = E-F-G 5. Transfer faktor, untuk input non tradable, K = C-G
3. Transfer output, I = A-E 6. Transfer bersih, L = D-H atau I=J-K
8
KINERJA AGRIBISNIS AYAM RAS PEDAGING DI JAWA BARAT
Struktur Biaya Usahaternak Ayam Ras
Untuk peternakan ayam ras biaya tetap tergantung pada jumlah investasi untuk kandang,
tanah, dan peralatan. Sedangkan biaya variabel meliputi bibit (doc), ransum, obat-obatan dan
vaksin, makanan tambahan (feed suplemen), tenaga kerja dan biaya-biaya lain yang habis
dipakai dalam satu periode proses produksi (Soeprawiro, 1980).
Clayton (1967) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa 66.00 persen dari biaya
produksi ayam ras pedaging adalah untuk ransum; 24.00 untuk biaya bibit. 6.00 persen untuk
obat-obatan, vaksin dan feed suplemen; serta 4.00 persen untuk biaya tenaga kerja. Selanjutnya
Siregar dkk (1980) mengemukakan hasil yang hampir sama, yaitu: 60,00 persen untuk ransum;
20,00 persen untuk bibit; 5.00 persen untuk biaya obat-obatan, vaksin dan feed suplemen; 5.00
persen untuk biaya tenaga kerja dan 10,00 persen untuk biaya depresiasi dan lain-lain.
Sudaryani (1981) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa 61,84 persen dari biaya
produksi ayam ras pedaging adalah untuk ransum; 30,33 persen untuk biaya bibit; 1,96 persen
biaya obat-obatan dan vaksin; serta 1,45 persen untuk tenaga kerja. Selanjutnya Hanjali (1982)
mengemukakan komposisi biaya dari hasil penelitiannya di Perusahaan Peternakan Broleka di
Ciawi Bogor sebagai berikut: biaya ransum 56.35 persen, bibit (doc) 32.26 persen, tenaga kerja
5.95 persen, dan biaya lainnya sebesar 5.44 persen.
Hasil penelitian Saptana (1987); Saptana dan Sri Hastuti (1995) menunjukkan bahwa
proporsi biaya ransum usahaternak ayam ras pedaging terhadap total biaya bervariasi menurut
lokasi dan pola pengembangan. Di Jawa proporsinya mencapai 57,21 persen, di Sumatera
55,60 persen; dan di Cimanggis sebesar 66.55 persen. Proporsi biaya ransum terhadap total
biaya untuk pola KINAK PRA di Bogor adalah 59,42 persen, KINAK PIR di Bogor 62,76
persen, pola KINAK PRA di Tasikmalaya 59,89 persen, KINAK PRA di Ciamis 60,52 persen
dan pola KINAK PRA di Lampung sebesar 57,14 persen.
Perkembangan Populasi, Produksi dan Konsumsi
Pada periode Pelita IV hingga Pelita VI (1984-1997), populasi ayam ras pedaging
mengalami peningkatan dari 4.170,000 ekor (1984) menjadi 20,850,083 ekor (1997), atau
meningkat sebesar 14,55 persen pertahun.
Pada sisi produksi, memberikan gambaran yang relatif sama. Pada periode (1984-
1997), produksi daging ayam ras (broiler) meningkat dari 20,640,890 kg (1984) menjadi
149.166.020 kg (1997) atau meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 15,92 persen
pertahun.
9
Perkembangan konsumsi produk daging untuk Jawa Barat mengalami peningkatan.
Total konsumsi daging meningkat dari 197.965 ton (1995) menjadi 215.579 ton (1997) atau
meningkat sebesar 4,51 persen pertahun. Konsumsi daging perkapita meningkat dari 5,06 kg
perkapita pertahun (1995) menjadi 5,40 kg perkapita pertahun (1997).
Berdasarkan perkembangan populasi, produksi dan konsumsi, merefleksikan beberapa
hal sebagai berikut :
(1) Populasi, produksi dan konsumsi mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun
setelah terjadi krisis mengalami penurunan yang cukup tajam.
(2) Perkembangan produksi yang lebih besar dibandingkan perkembangan populasi
menunjukkan adanya peningkatan produktivitas dalam usaha ternak ayam ras
pedaging, yang mengindikasikan semakin dikuasainya teknologi budidaya.
(3) Adanya perkembangan konsumsi produk ternak ayam ras pedaging menunjukkan
adanya peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan pendidikan dan kesadaran
masyarakat akan nilai gizi.
(4) Dampak krisis moneter dan ekonomi telah menurunkan aktivitas usaha pada budidaya
ayam ras pedaging, diperkirakan di lokasi penelitian jumlah peternak yang bertahan
tinggal 30 persen dari kondisi sebelum krisis ekonomi.
Kinerja Industri Hulu dan Hilir
Dalam periode 1993-1996, perkembangan industri pembibitan di Jawa Barat adalah
sebagai berikut: (1) jumlah perusahaan pembibitan (breeding farm) untuk Grant Parent Stock
(GPS) dan Parent Stock (PS) relatif tetap, bahkan untuk perusahaan pembibitan PS
mengalami penurunan sebesar 3,95 persen pertahun; (2) kapasitas produksi untuk PS ayam
ras pedaging berkisar antara 8359 ribu - 17892 ribu ekor dan cenderung meningkat dengan
pesat yaitu sebesar 34,13 persen pertahun; (3) kapasitas produksi Final Stock (FS) untuk
pedaging berkisar antara 262615 ribu - 718654 ribu ekor dan meningkat dengan lebih cepat
yaitu sebesar 47,55 persen pertahun; (4) produksi aktual doc FS untuk pedaging berkisar
antara 194.796 ribu – 351,800 ribu ekor dan mengalami peningkatan dengan laju 26,59 persen
pertahun. Namun setelah terjadi krisis moneter diperkirakan industri pembibitan di Jawa Barat
hanya beroperasi 30-40 persen dari kapasitas produksinya
Situasi industri pembibitan sebelum dan sesudah krisis moneter di Kabupaten Bogor
adalah sebagai berikut: (1) jumlah perusahaan GPS ada 3 buah, baik kondisi sebelum maupun
sesudah krisis moneter; (2) jumlah perusahaan PS mengalami penurunan secara tajam dari 19
buah menjadi hanya tinggal 9 buah; (3) produksi doc PS mengalami penurunan secara tajam
10
dari 339.790 ekor per bulan menjadi 132.180 ekor atau menurun sebesar 61,10 persen; (4)
produksi doc FS juga mengalami penurunan secara tajam dari 5.811,065 ekor menjadi
2.005.033 ekor atau turun sebesar 65,50 persen; (5) jumlah tenaga kerja yang terserap pada
industri pembibitan juga turun dari 2476 orang menjadi 2061 orang.
Hasil penelitian Sumaryanto dan Rusastra (1991) menyimpulkan bahwa efisiensi
produksi pabrik pakan pada saat pengamatan adalah layak secara ekonomik dari segi
pemanfaatan sumberdaya domestik hanya untuk memenuhi kebutuhan setempat (lokal).
Untuk tujuan perdagangan antar daerah berada pada kondisi kritis dan tidak layak sama sekali
untuk tujuan promosi ekspor. Industri pakan ayam ras di wilayah Bogor-Bekasi belum
berproduksi secara efisien pada kondisi laba maksimum jangka pendek (Alim, 1996). Hal ini
terutama disebabkan oleh belum optimalnya alokasi penggunaan jagung kuning, bungkil
kedele dan “wheat pollar”.
Sistem pemasaran pabrik pakan berjalan tidak efisien, dimana pabik pakan dan pelaku
tata niaga (agent/distributor dan poultry shop) mengambil porsi keuntungan relatif besar
(Saptana dan Rivai, 1996). Hal ini terjadi karena pabrik pakan membentuk kartel dan sistem
pemasaran produk pakan ternak dijalankan dengan sistem komisi atau fee, di mana pelaku tata
niaga pakan memperoleh fee sebesar 15-20 persen dari harga jual pakan. Disamping itu
poultry shop masih memperoleh keuntungan dari penjualan pakan kepada peternak.
Perkembangan pabrik pakan di propinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut: (1)
kapasitas produksi pakan ternak meningkat dari 912.442 ton (1991) menjadi 1,083.892 ton
(1997) atau meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 4,42 persen pertahun; (2) produksi
pakan ternak meningkat dari 427.771 ton (1991) menjadi 863.482 ton (1997) atau meningkat
sebesar 15,33 persen pertahun; (3) produksi pakan untuk unggas juga meningkat dari 384.994
ton (1991) menjadi 777.134 ton (1997) atau meningkat sebesar 15,33 persen pertahun. Namun
sejak terjadinya krisis, pabrik pakan hanya beroperasi 30 persen dari kapasitas aktualnya.
Krisis moneter dan ekonomi juga berdampak negatif terhadap pada industri hilirnya
yaitu industri tempat pemotongan ayam (TPA) dan industri rumah potong ayam (RPA).
Meskipun pada periode (1993-1997) jumlah TPA dan RPA meningkat, namun produksinya
jauh dibawah kapasitasnya. RPA yang dimiliki PT Sierad Produce produksinya mengalami
penurunan dari 30,000 - 40,000 ekor per hari sebelum krisis menjadi 15.000 - 20,000 ekor per
hari atau turun sebesar 50 persen. Sementara itu RPA yang berlokasi di Kabupaten
Tasikmalaya hanya beroperasi 50 persen dari kapasitas produksi terpasang.
11
Pola Kerjasama Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging
Lahirnya konsep kerjasama usaha atau kemitraan usaha antara perusahaan pertanian
(BUMN, swasta, koperasi) dengan pertanian rakyat (petani kecil) didasarkan atas dua
argumen. Pertama, adanya perbedaan dalam penguasaan sumberdaya (lahan dan kapital)
antara masyarakat industrial di perkotaan (pengusaha) dengan masyarakat pertanian di
pedesaan (petani). Dimana orang kota dikategorikan mempunyai modal dan pengetahuan,
namun kurang dalam sumberdaya lahan dan tenaga kerja, sedangkan di sisi lain orang desa
mempunyai lahan dan tenaga kerja, namun kurang modal dan kemampuan (keterampilan).
Kedua, adanya perbedaan sifat hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha
pada masing-masing subsistem dari sistem agribisnis. Di dalam subsistem usahatani, skala
usaha kecil lebih efisien atau sama efisiennya dengan skala usaha besar, karena sifat
hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha bersifat meningkat atau tetap
(increasing atau constant cost to scale). Dalam subsistem pemasaran, pengolahan dan
pengadaan saprodi, skala usaha besar lebih efisien dari pada skala kecil, karena sifat
hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha bersifat menurun (decreasing cost to
scale) (Sinaga, 1987).
Secara teknis peternak skala kecil lebih efisien dibandingkan peternak skala besar
meskipun secara statistik selisih efisiensi teknisnya tidak signifikan (Ming, 1997). Surono
(1997) mengemukakan bahwa tidak berkembangnya peternakan ayam ras skala kecil
disebabkan oleh struktur pasar input dan output yang kurang kompetitif. Harga input yang
diterima peternak skala kecil lebih mahal 20 – 30 persen dibandingkan harga yang diterima
peternak skala besar. Dari kedua penulis tersebut juga diungkapkan batas skala usaha yang
ideal berdasarkan ketersediaan tenaga kerja adalah sebesar 15.000 ekor per siklus.
Kedua argumen di atas merupakan faktor pendorong pentingnya kemitraan usaha yang
diwujudkan melalui konsep Perusahaan Inti Rakyat (PIR) di mana pada subsektor peternakan
dibentuklah PIR perunggasan (PIR-GAS). Dalam operasionalnya, PIR perunggasan dikenal
dalam tiga bentuk, yaitu: (1) pola PIR dengan plasma kesepakatan, yaitu jaminan penyediaan
sapronak dan pemasaran hasil; (2) pola PIR dengan plasma rasio, yaitu kerjasama inti plasma
dengan sistem rasio harga, antara harga pakan, doc dan obat-obatan dengan harga jual hasil;
dan (3) pola PIR dengan plasma mandiri (tanpa kesepakatan dan rasio harga).
Dengan dikeluarkannya Keppres 22/1990 yang pada dasarnya berisi pembebasan skala
usaha, membuka kesempatan bagi pemodal besar untuk bergerak dalam bidang budidaya
dengan syarat 65 persen dari produksinya ditujukan untuk ekspor (PMA) dan melakukan
pembinaan terhadap peternakan rakyat melalui kemitraan usaha. Kemitraan tersebut
12
dilakukan melalui KINAK PRA, KINAK PIR dan KINAK SUPER. Pada tahun 1994 tercatat
10 perusahaan yang melakukan kemitraan usaha dengan peternak plasma dalam bentuk
KINAK PRA dan KINAK PIR ayam ras, yang melibatkan 1208 orang peternak plasma.
Setelah krisis moneter terjadi penurunan secara tajam perusahaan peternakan inti sebesar 25
persen, peternak plasma sebesar 40 persen dan jumlah ternak yang diusahakan turun sebesar
60 persen untuk KINAK PRA ayam ras pedaging.
Kemitraan usaha setelah terjadinya krisis mengalami kemerosotan baik dari segi
jumlah maupun kualitasnya. Salah satu faktor penyebabnya adalah tata niaga pakan yang
berdasarkan sistem fee, sehingga mendorong poultry shop mencari peternak plasma (mitra)
sebanyak-banyaknya tanpa melalui seleksi yang memadai dan hanya mengejar target
penjualan pakan guna mengejar fee. Dengan adanya krisis moneter dan ekonomi, dimana
pabrik pakan menuntut pembayaran tunai maka banyak poultry shop yang tidak dapat
memenuhi kewajibannya. Pola kemitraan yang semula dalam bentuk KINAK PRA atau PIR
kesepakatan mengalami pergeseran kearah pola kerjasama sewa kandang (contract farm)
sekaligus jasa tenaga kerja. Artinya peternak hanya sebagai pengelola ayam ras dengan
memperoleh imbalan uang sewa kandang sebesar Rp. 50-75/ekor dan upah kerja Rp.200-
225/ekor, sehingga peternak memperoleh penghasilan sebesar Rp.250-300/ekor per siklus.
Sebagian peternak hanya menyewakan kandang saja dan perusahaan peternakan melakukan
pengelolaan secara mandiri.
ANALISIS EFISIENSI DAN DAYA SAING
Tingkat efisiensi dan kemampuan daya saing ditunjukkan oleh beberapa indikator
seperti keuntungan finansial, keuntungan ekonomik, profit cost ratio (PCR) dan domestic
resource cost ratio (DRCR). Hasil analisis efisiensi dan kemampuan daya saing agribisnis
ayam ras pedaging berdasarkan pola pengusahaan, skala usaha dan lokasi penelitian dapat
disimak pada Tabel 4.
Pada kondisi sebelum krisis moneter agribisnis ayam ras pedaging pada berbagai pola
pengusahaan, skala usaha dan lokasi baik secara finansial maupun ekonomik layak diteruskan
dimana keuntungan finansial dan ekonomik per unit output lebih besar dari nol (Tabel 4).
Pada kondisi sesudah krisis moneter hampir semua pola pengusahaan, skala usaha dan lokasi
masih tetap menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomik, kecuali pada pola
Mandiri di Kabupaten Bogor. Secara finansial keuntungan agribisnis ayam ras petelur
mengalami penurunan yang tajam sebagai akibat krisis moneter, sedangkan keuntungan
ekonomik mengalami peningkatan. Hal ini terutama disebabkan oleh naiknya harga sarana
13
produksi terutama pakan sebagai akibat depresiasi rupiah terhadap dollar, sementara di sisi
lain pendapatan masyarakat mengalami penurunan.
Tabel 4. Keuntungan Finansial dan Keuntungan Ekonomik, PCR dan DRCR Sistem Komoditi Ayam Ras
Pedaging per Siklus (2 bulan) di Jawa Barat, Kondisi Sebelum Krisis Moneter (1996/1997) dan
Sesudah Krisis Moneter (1997/1998)
Sebelum krisis moneter1) Sesudah krisis moneter1)
Uraian Keuntungan
Finansial
Keuntungan
Ekonomi
PCR DRCR Keuntungan
Finansial
Keuntungan
Ekonomik
PCR DRCR
Kabupaten Bogor
1, Pola KINAK PRA
Skala 2 500 ekor
Skala 3 000 ekor
Skala 4 000 ekor
Skala 5 000 ekor
2. Pola KINAK PIR
Skala 6 000 ekor
Skala 30 000 ekor
Skala 60 000 ekor
Skala 12 0000 ekor
Skala 150 000 ekor
3. Pola Mandiri
Skala 8 000 ekor
Skala 15 000 ekor
skala 30 000 ekor
4. Pola Kont. kandang
skala 30 000 ekor
skala 75 000 ekor
Kabupaten Tasikmalaya
Pola KINAK PRA
1, skala 1 000 ekor
skala 2 000 ekor
skala 2 500 ekor
skala 4 000 ekor
skala 5 000 ekor
skala 6 000 ekor
2. Pola kontrak kandang
& jasa tenaga kerja
skala 1 000 ekor
skala 2 000 ekor
skala 2 500 ekor
skala 3 000 ekor
skala 4 000 ekor
skala 5 000 ekor
1 261
1 790
1 468
1 639
2 997
2 926
2 933
3 020
2 913
3 185
3 341
3 194
2 352
2 191
1 264
1 218
1 413
1 443
1 494
1 403
1 357
1 484
1 911
1 883
1 340
1 901
1 051
1 546
1 324
1 336
2 515
2 445
2 479
2 483
2 492
2 327
2 583
2 483
2 111
1 980
2 184
2 236
2 339
2 331
2 366
2 540
1 963
2 027
2 379
2 705
2 368
2 392
0,878
0,832
0,860
0,846
0,753
0,761
0,758
0,753
0,754
0,764
0,757
0,763
0,792
0,804
0,853
0,857
0,837
0,832
0,828
0,837
0,854
0,840
0,798
0,799
0,854
0,799
0,881
0,836
0,858
0,843
0,752
0,760
0,756
0,752
0,750
0,781
0,777
0,778
0,797
0,811
0,772
0,769
0,759
0,759
0,756
0,743
0,791
0,788
0,757
0,727
0,757
0,755
1 137
2 043
1 262
992
1 231
1 117
1 112
1 052
1 040
256
531
232
133
788
251
206
595
360
547
453
796
1 439
2 526
3 048
2 205
1 225
2 205
2 748
2 211
2 286
1 728
1 630
1 623
1 570
1 580
1 394
2 220
1 378
1 336
1 939
1 928
1 867
2 147
2 076
2 103
2 029
1 905
2 310
3 032
3 452
2 475
2 180
0,932
0,882
0,925
0,943
0,933
0,939
0,939
0,940
0,942
0,986
0,972
0,988
0,992
0,954
0,986
0,989
0,967
0,980
0,970
0,975
0,959
0,927
0,876
0,851
0,890
0,937
0,858
0,828
0,859
0,855
0,891
0,897
0,897
0,899
0,899
0,917
0,876
0,920
0,921
0,881
0,876
0,880
0,863
0,867
0,865
0,870
0,876
0,852
0,813
0,790
0,845
0,862
Catatan:
1) Keuntungan finansial dan ekonomik adalah dalam rupiah/kg broiler karkas.
PCR = Private Cost Ratio
DRCR = Domestic Resource Cost Ratio
Pada kondisi sebelum krisis moneter agribisnis ayam ras pedaging pada berbagai pola
pengusahaan, skala usaha dan lokasi diperoleh nilai PCR<1, Pada kondisi sesudah krisis
moneter hampir semua pola pengusahaan masih tetap memiliki keunggulan kompetitif,
namun nilai PCR makin mendekati angka 1, Hal tersebut menunjukkan adanya keunggulan
kompetitif, namun mengalami penurunan setelah terkena dampak krisis moneter.
Penyebabnya adalah besarnya ketergantungan bahan baku pakan dari impor.
14
Pada kondisi sebelum dan sesudah krisis moneter agribisnis ayam ras pedaging pada
berbagai pola pengusahaan, skala usaha dan lokasi diperoleh nilai DRC<1, Nilai DRC kurang
dari satu mengindikasikan adanya keunggulan komparatif, meskipun keunggulan yang
dimiliki menurun setelah terjadinya krisis moneter dan ekonomi. Berdasarkan nilai PCR dan
DRC yang relatif konstan pada berbagai skala usaha menunjukkan bahwa efisiensi dan daya
saing agribisnis ayam ras pedaging antar skala usaha relatif sama.
DAMPAK DIVERGENSI DAN KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH
Ukuran dampak divergensi dan kebijaksanaan pemerintah dalam Matrik PAM adalah
transfer output (Output Transfer, OT), transfer input (Input Transfer, IT), transfer faktor
(Factor Transfer, FT) dan transfer bersih (Net Transfer, NT). Ukuran relatif ditunjukan oleh
analisis koefisien proteksi output nominal atau nominal protection coeficient on output
(NPCO), koefisien proteksi input nominal atau nominal protection coeficient on input (NPCI),
koefisien proteksi efektif atau effectif protection coeficient (EPC). Koefisien profitabilitas atau
profitability coeficient (PC) dan rasio subsidi bagi produsen atau subsidy ratio to producen
(SRP).
Dampak Divergensi dan Kebijaksanaan di Bidang Output
Campur tangan pemerintah atau adanya divergensi dalam output dapat dilihat dari
besarnya nilai transfer output (OT) dan NPCO. Bentuk campur tangan pemerintah tersebut
adalah kebijaksanaan perdagangan yang berupa hambatan impor (tarif atau quota) serta
kebijaksanaan subsidi dan pajak. Sebagai ilustrasi sampai dengan tahun 1998 pemerintah
Indonesia masih mengenakan tarif impor ayam hidup sebesar 10 persen dan daging ayam
sebesar 5 persen (Departemen Keuangan, 1999). Transfer output (OT) merupakan selisih
antara penerimaan yang dihitung atas harga finansial dengan penerimaan yang dihitung
berdasar harga bayangan. Koefisien proteksi output nominal (NPCO) merupakan indikasi dari
transfer output yang ditunjukkan oleh rasio antara penerimaan yang dihitung berdasar harga
finansial dengan penerimaan yang dihitung berdasar harga bayangan.
Berdasarkan hasil analisis dari tabel Matrik PAM diperoleh hasil OT dan NPCO
untuk agribisnis ayam ras pedaging, yang dapat disimak pada Tabel 5. Pada kondisi sebelum
krisis moneter agribisnis ayam ras pedaging pada berbagai pola pengusahaan, skala usaha di
Kabupaten Bogor diperoleh nilai OT positif. Nilai OT positif mengandung arti masyarakat
membeli dan produsen menerima dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya.
Sebaliknya di Kabupaten Tasikmalaya dua pola yang diteliti yaitu KINAK PRA serta Kontrak
15
Kandang dan jasa tenaga kerja diperoleh nilai OT negatif. Hal tersebut disebabkan pengusaha
agribisnis ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor mempunyai akses yang lebih baik dalam
perolehan sapronak maupun dalam penjualan hasil. Pada kondisi sesudah terjadi krisis
moneter agribisnis ayam ras pedaging pada berbagai pola pengusahaan, skala usaha dan lokasi
diperoleh OT yang positif.
Tabel 5. Nilai OT dan NPCO Sistem Agribisnis Ayam Ras Pedaging per Siklus (2 Bulan) di Jawa Barat,
Kondisi Sebelum Krisis Moneter (1996/1997) dan Sesudah Krisis Moneter (1997/1998)
Sebelum krisis moneter Sesudah krisis moneter
Uraian OT
(Rp/kg Broiler Karkas)
NPCO OT
(Rp/kg Broiler Karkas)
NPCO
Kabupaten Bogor
1. Pola KINAK PRA
Skala 2 500 ekor
Skala 3 000 ekor
Skala 4 000 ekor
Skala 5 000 ekor
2. Pola KINAK PIR
Skala 6 000 ekor
Skala 30 000 ekor
Skala 60 000 ekor
Skala 120 000 ekor
Skala 150 000 ekor
3. Pola Mandiri
Skala 8 000 ekor
Skala 15 000 ekor
Skala 30 000 ekor
4. Pola Kontrak kandang
dan jasa tenaga kerja
Skala 30 000 ekor
Skala 75 000 ekor
Kabupaten Tasikmalaya
1, Pola KINAK PRA
skala 1 000 ekor
skala 2 000 ekor
skala 2 500 ekor
skala 4 000 ekor
skala 5 000 ekor
skala 6 000 ekor
2. Pola Kontrak kandang
dan jasa tenaga kerja
skala 1 000 ekor
skala 2 000 ekor
skala 2 500 ekor
skala 3 000 ekor
skala 4 000 ekor
skala 5 000 ekor
1 232
1 232
1 232
1 232
2 400
2 400
2 400
2 400
2 400
2 657
2 725
2 648
1 037
848
-2 120
-2 120
-2 121
-2 120
-2 120
-2 120
-1 448
-1 448
-1 448
-1 448
-1 448
-1 448
1,071
1,071
1,071
1,071
1,139
1,139
1,139
1,138
1,138
1,132
1,132
1,129
1,017
1,049
0,853
0,875
0,861
0,867
0,857
0,888
0,917
0,917
0,917
0,917
0,917
0,917
976
976
976
976
2 536
2 536
2 536
2 536
2 536
1 747
1 241
1 791
1 096
1 096
4 552
4 637
4 550
4 552
4 634
4 571
5 910
6 601
6 601
6 601
6 601
6 573
1,033
1,033
1,033
1,033
1,086
1,086
1,086
1,086
1,086
1,053
1,036
1,053
1,021
1,007
1,158
1,155
1,152
1,147
1,155
1,155
1,167
1,187
1,190
1,198
1,185
1,207
Catatan:
OT = Output Transfer (Transfer Output)
NPCO =Nominal Protection Coefficient on Output (koefisien proteksi nominal pada output)
16
Pada kondisi sebelum krisis moneter agribisnis ayam ras pedaging pada berbagai pola
pengusahaan, skala usaha di Kabupaten Bogor diperoleh nilai NPCO>1, Nilai NPCO yang
lebih besar dari satu menunjukkan adanya distorsi pasar atau kebijaksanaan pemerintah yang
menyebabkan harga finansial lebih besar dari harga bayangannya. Sebaliknya di Kabupaten
Tasikmalaya dua pola yang diteliti yaitu KINAK PRA serta Kontrak Kandang dan Jasa
Tenaga Kerja diperoleh nilai NPCO<1, namun sudah mendekati angka satu. Pada kondisi
sesudah terjadi krisis moneter agribisnis ayam ras pedaging pada berbagai pola pengusahaan,
skala usaha dan lokasi diperoleh nilai NPCO>1.
Dampak Divergensi dan Kebijaksanaan di Bidang Input
Dampak divergensi dan kebijaksanaan pemerintah pada input tradable ditunjukkan
oleh nilai transfer input (Input Tyransfer, IT) dan NPCI. Bentuk kebijaksanaan pada input
tradable dapat berupa kebijaksanaan perdagangan serta subsidi dan pajak, sedangkan bentuk
divergensi lainnya dapat disebabkan adanya distorsi pasar. Transfer input (IT) menunjukkan
selisih antara biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga finansial dengan biaya input
yang dapat diperdagangkan pada harga bayangan. Koefisien proteksi input nominal (NPCI)
sebagai indikasi transfer input yang merupakan rasio antara biaya input yang dihitung
berdasar harga finansial dengan biaya input tradable yang dihitung pada harga bayangan.
Sementara itu divergensi atau kebijaksanaan yang terdapat pada input domestik
ditunjukkan oleh nilai transfer faktor (Factor Transfer, FT). Kebijaksanaan yang dilakukan
dapat berbentuk subsidi atau pajak, sedangkan divergensi juga dapat disebabkan distorsi pasar
seperti adanya struktur pasar oligopoli, oligopsoni, monopoli dan monopsoni. Secara lebih
terperinci informasi mengenai nilai IT, NPCI dan FT agribisnis ayam ras pedaging dapat
disimak pada Tabel 6.
Pada kondisi sebelum krisis moneter agribisnis ayam ras pedaging pada berbagai pola
pengusahaan, skala usaha di Kabupaten Bogor sebagian besar diperoleh nilai IT yang positif.
Nilai IT yang positif mempunyai arti terdapat kebijaksanaan pemerintah atau distorsi pasar
pada input tradable yang merugikan pelaku agribisnis ayam ras pedaging, karena membuat
harga input tradable yang dibeli produsen menjadi lebih mahal dibanding tidak ada
kebijaksanaan atau distorsi pasar. Sebaliknya untuk pola KINAK PRA dan Mandiri di
Kabupaten Tasikmalaya diperoleh nilai IT yang negatif. Artinya terdapat kebijaksanaan
pemerintah atau distorsi pasar pada input tradable yang menguntungkan pelaku agribisnis
ayam ras pedaging di Kabupaten Tasikmalaya. Pada kondisi sesudah terjadi krisis moneter
diperoleh nilai IT yang negatif pada pola KINAK PRA, pola Mandiri di Kabupaten Bogor,
17
sedangkan nilai IT pada KINAK PIR di Bogor, pola KINAK PRA serta pola Kontrak
Kandang dan jasa tenaga kerja di Tasikmalaya diperoleh nilai IT yang positif.
Tabel 6. Nilai IT, NPCI dan FT Sistem Komoditi Aayam Rras Pedaging per Siklus (2 bulan) di Jawa Barat,
Kondisi Ssebelum Krisis Moneter (1996/1997) dan Sesudah Krisis Moneter (1997/1998)
Sebelum krisis moneter Sesudah krisis moneter
Uraian FT
(Rp/kg broiler
karkas)
IT
(Rp/kg broiler
karkas)
NPCI FT
(Rp/kg broiler
karkas)
IT
(Rp/kg broiler
karkas)
NPCI
Kabupaten Bogor
1, Pola KINAK PRA
skala 2 500 ekor
skala 3 000 ekor
skala 4 000 ekor
skala 5 000 ekor
2. Pola KINAK PIR
skala 6 000 ekor
skala 30 000 ekor
skala 60 000 ekor
skala 120 000 ekor
skala 150 000 ekor
3. Pola Mandiri
skala 8 000 ekor
skala 15 000 ekor
skala 30 000 ekor
4. Pola Kontrak Kandang
dan jasa tenaga kerja
skala 30 000 ekor
skala 75 000 ekor
Kabupaten Tasikmalaya
1, Pola KINAK PRA
skala 1 000 ekor
skala 2 000 ekor
skala 2 500 ekor
skala 4 000 ekor
skala 5 000 ekor
skala 6 000 ekor
2. Pola Kontrak Kandang
dan jasa tenaga kerja
skala 1 000 ekor
skala 2 000 ekor
skala 2 500 ekor
skala 3 000 ekor
skala 4 000 ekor
skala 5 000 ekor
1 035
958
1 015
947
1 519
1 562
1 531
1 647
1 474
1 616
1 614
1 569
687
517
-46
-194
-123
-203
-149
-139
491
234
126
282
483
223
27
30
73
-17
399
357
402
216
505
288
224
368
109
120
-1 153
-966
-1 072
-1 029
-1 099
-844
-1 333
-1 138
-1 106
-908
-903
-1 181
1,003
1,004
1,009
0,998
1,056
1,050
1,056
1,030
1,069
1,032
1,024
1,040
1,017
1,018
0,853
0,875
0,861
0,867
0,857
0,888
0,833
0,854
0,854
0,878
0,882
0,845
2 249
2 165
2 025
2 871
2 960
2 952
2 940
2 468
2 923
2 987
3 309
3 024
2 032
2 161
4 033
4 131
3 998
4 233
4 039
3 990
5 366
4 924
4 586
4 432
4 371
4 711
-206
-487
-100
-601
72
97
106
587
153
-101
-108
-87
267
86
2 196
2 166
2 104
2 031
2 151
2 157
2 342
2 548
2 521
2 573
2 500
2 817
0,985
0,964
0,993
0,956
1,005
1,007
1,008
1,042
1,011
0,994
0,993
0,995
1,021
1,007
1,158
1,155
1,152
1,147
1,155
1,155
1,167
1,187
1,190
1,198
1,185
1,207
Catatan:
FT = Factor Transfer (Transfer Faktor)
IT = Input Transfer (Transfer Input)
NPCI = Nominal Protection Coefficient on Input (koefisien proteksi nominal pada input)
Pada kondisi sebelum krisis moneter agribisnis ayam ras pedaging pada berbagai pola
pengusahaan dan skala usaha di Kabupaten Bogor sebagian besar diperoleh nilai NPCI>1,
namun masih mendekati angka satu. Hal tersebut mengandung arti terdapat proteksi yang
relatif kecil pada produsen input tradable, sedangkan sektor yang menggunakan yaitu pelaku
agribisnis ayam ras pedaging (peternak) sedikit dirugikan. Sebaliknya untuk pola KINAK
PRA serta pola Kontrak Kandang dan jasa tenaga kerja di Kabupaten Tasikmalaya diperoleh
18
nilai NPCI <1, Artinya pada daerah ini tidak terdapat proteksi pada produsen input tradable
pada kondisi sebelum krisis moneter. Pada kondisi setelah terjadi krisis moneter agribisnis
ayam ras pedaging pola KINAK PRA dan pola Mandiri di Kabupaten Bogor diperoleh nilai
NPCI<1, meskipun mendekati angka satu. Sementara itu untuk pola KINAK PIR di
Kabupaten Bogor, pola KINAK PRA serta pola Kontrak Kandang dan jasa tenaga kerja di
Kabupaten Tasikmalaya diperoleh nilai NPCI>1,
Pada kondisi sebelum krisis moneter agribisnis ayam ras pedaging pada berbagai pola
pengusahaan, skala usaha di Kabupaten Bogor diperoleh nilai FT yang positif. Artinya,
terdapat kebijaksanaan pemerintah atau distorsi pasar yang menguntungkan produsen input
faktor domestik, yang dapat berupa subsidi pupuk, subsidi suku bunga atau struktur pasar
input domestik yang bersifat oligopolistik. Sebaliknya untuk dua pola usaha di Kabupaten
Tasikmalaya diperoleh nilai FT yang negatif. Pada kondisi setelah terjadi krisis moneter
agribisnis ayam ras pedaging pada berbagai pola usaha, skala usaha dan lokasi diperoleh nilai
FT yang positif, nilai tersebut umumnya lebih besar dibandingkan sebelum krisis moneter.
Artinya terdapat kebijaksanaan pemerintah atau distorsi pasar yang semakin menguntungkan
produsen input faktor domestik, berupa subsidi pupuk, subsidi suku bunga dan lain-lain.
Dampak Divergensi dan Kebijaksanaan Input-Output
Dampak divergensi dan kebjaksanaan input dan output secara keseluruhan dapat
dilihar dari nilai transfer bersih (Net Transfer, NT), koefisien proteksi efektif (Effective
Protection Coeeficient, EPC), rasio proteksi efektif (Effective Protection Ratio, EPR) dan
rasio subsidi ke produsen (Subsidy Rasio to Producen, SRP). Pada kondisi sebelum krisis
moneter agribisnis ayam ras pedaging pada berbagai pola pengusahaan, skala usaha di
Kabupaten Bogor diperoleh nilai NT yang positif (Tabel 7). Sementara itu agribisnis ayam ras
pedaging pada pola KINAK PRA serta pola Kontrak Kandang dan jasa tenaga kerja di
Kabupaten Tasikmalaya diperoleh nilai NT yang negatif. Nilai NT yang positif menunjukkan
adanya insentif ekonomi bagi pelaku agribisnis ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor,
sebaliknya pelaku agribisnis ayam ras pedaging di Kabupaten Tasikmalaya tidak memperoleh
insentif untuk meningkatkan produksi atau usahanya. Pada kondisi setelah terjadi krisis
moneter usaha agribisnis ayam ras pedaging pada berbagai pola pengusahaan, skala usaha dan
lokasi adalah negatif.. Kondisi tersebut menunjukkan pada kondisi sesudah terjadi krisis
moneter tidak lagi ada insentif ekonomi untuk meningkatkan produksi daging ayam. Hal ini
juga diindikasikan banyaknya peternak yang gulung tikar.
19
Pada kondisi sebelum krisis moneter agribisnis ayam ras pedaging pada berbagai pola
pengusahaan, skala usaha di Kabupaten Bogor diperoleh nilai PC>1, Sedangkan di Kabupaten
Tasikmalaya diperoleh nilai PC<1, Nilai PC>1 mengandung arti bahwa keuntungan yang
diterima pelaku agribisnis ayam ras pedaging lebih besar dari keuntungan yang seharusnya
diterima dibanding bila tidak ada campur tangan pemerintah atau distorsi pasar dan
sebaliknya jika PC<1, Pada kondisi setelah terjadi krisis moneter diperoleh nilai PC<1,
Artinya, usaha agribisnis ayam ras pedaging memperoleh keuntungan yang lebih kecil dari
yang seharusnya dibanding bila tidak ada campur tangan pemerintah atau distorsi pasar.
Tabel 7. Nilai NT, PC, EPC dan SRP Sistem Komoditi Ayam Ras Pedaging per Siklus (2 bulan) di Jawa Barat,
Kondisi Ssebelum Krisis Moneter (1996/1997) dan Sesudah Krisis Moneter (1997/1998)
Sebelum krisis moneter Sesudah krisis moneter
Uraian NT
(Rp/kg telur)
PC EPC SRP NT
(Rp/kg telur)
PC EPC SRP
Kabupaten Bogor
1, Pola KINAK PRA
skala 2 500 ekor
skala 3 000 ekor
skala 4 000 ekor
skala 5 000 ekor
2. Pola KINAK PIR
Skala 6 000 ekor
Skala 30 000 ekor
Skala 60 000 ekor
Skala 120 000 ekor
Skala 150 000 ekor
3. Pola Mandiri
skala 8 000 ekor
skala 15 000 ekor
skala 30 000 ekor
4. Pola Kontrak Kandang
dan jasa tenaga kerja
skala 30 000 ekor
skala 75 000 ekor
Kabupaten Tasikmalaya
1, Pola KINAK PRA
skala 1 000 ekor
skala 2 000 ekor
skala 2 500 ekor
skala 4 000 ekor
skala 5 000 ekor
skala 6 000 ekor
2. Pola Kontrak Kandang
dan jasa tenaga kerja
skala 1 000 ekor
skala 2 000 ekor
skala 2 500 ekor
skala 3 000 ekor
skala 4 000 ekor
skala 5 000 ekor
170
244
145
302
481
481
467
537
421
754
758
711
241
212
-921
-1 019
-926
-888
-871
-1 137
-606
-544
-468
-823
-1 029
-491
1,155
1,158
1,109
1,226
1,191
1,197
1,189
1,216
1,169
1,310
1,294
1,286
1,114
1,107
0,579
0,544
0,604
0,619
0,632
0,553
0,691
0,732
0,803
0,696
0,566
0,795
1,132
1,127
1,124
1,133
1,197
1,201
1,198
1,218
1,190
1,213
1,220
1,286
1,089
1,070
0,899
0,881
0,892
0,887
0,895
0,087
0,988
0,968
0,965
0,946
0,944
0,973
0,010
0,014
0,008
0,017
0,028
0,028
0,027
0,031
0,024
1,213
1,220
1,204
0,014
0,012
-0,053
-0,059
-0,053
-0,051
-0,050
-0,065
-0,035
-0,031
-0,027
-0,047
-0,059
-0,028
-1 068
-702
-949
-1 294
-497
-513
-511
-519
-540
-1 138
-1 689
-1 146
-1 203
-1 151
-1 677
-1 661
-1 552
-1 716
-1 556
-1 576
-1 108
-872
-506
-405
-270
-956
0,516
0,744
0,571
0,434
0,713
0,685
0,685
0,670
0,658
0,183
0,239
0,169
0,100
0,406
0,130
0,110
0,277
0,173
0,260
0,223
0,418
0,623
0,833
0,833
0,891
0,562
1,076
1,092
1,069
1,100
1,155
1,155
1,155
1,125
1,154
1,110
1,075
1,110
1,049
1,062
1,151
1,159
1,156
1,162
1,159
1,155
1,277
1,257
1,251
1,246
1,258
1,238
-0,036
-0,024
-0,032
-0,044
-0,017
-0,017
-0,017
-0,018
-0,018
-0,035
-0,049
-0,034
-0,041
-0,039
-0,057
-0,056
-0,053
-0,058
-0,053
-0,053
-0,038
-0,030
-0,017
-0,014
-0,009
-0,033
Catatan :
NT = Net Transfer (Transfer Bersih)
PC = Profitability Coefficient (Koefisien Profitabilitas)
EPC = Effective Protection Coefficient (Koefisien Proteksi Efektif)
SRP = Subsidy Ratio to Producen (Rasio Subsidi pada Produsen)
20
Pada kondisi sebelum krisis moneter agribisnis ayam ras pedaging pada berbagai pola
pengusahaan, skala usaha di Kabupaten Bogor diperoleh EPC>1, sedangkan di Kabupaten
Tasikmalaya nilai EPC<1, Nilai EPC>1 mengandung arti bahwa terdapat kebijaksanaan
pemerintah atau distorsi pasar yang menyebabkan harga finansial output lebih besar dari
harga bayangannya dan atau harga finansial input lebih kecil dari harga bayangannya. Pada
kondisi sesudah terjadi krisis moneter pada semua pola, skala usaha dan lokasi yang diteliti
diperoleh nilai EPC<1, Artinya terdapat kebijaksanaan yang menyebabkan harga finansial
output lebih kecil dari harga bayangannya dan atau harga finansial input lebih besar dari harga
bayangannya.
Pada kondisi sebelum krisis moneter agribisnis ayam ras pedaging pada berbagai pola
pengusahaan, skala usaha di Kabupaten Bogor diperoleh nilai SRP positif, sedangkan di
Kabupaten Tasikmalaya diperoleh SRP yang negatif. Nilai SRP positif mengandung arti
bahwa kebijaksanaan pemerintah atau distorsi pasar yang ada selama ini menyebabkan pelaku
agribisnis ayam ras pedaging mengeluarkan biaya produksi lebih kecil dari biaya imbangan
berproduksi dan sebaliknya jika SRP negatif. Pada kondisi sesudah terjadi krisis moneter
agribisnis ayam ras pedaging pada berbagai pola pengusahaan, skala usaha dan lokasi
diperoleh nilai SRP negatif. Artinya, pelaku agribisnis ayam ras pedaging mengeluarkan biaya
produksinya lebih besar dari biaya imbangan berproduksi dibanding bila tidak ada campur
tangan pemerintah atau distorsi pasar.
DAMPAK ALTERNATIF KEBIJAKSANAAN HARGA INPUT DAN OUTPUT
TERHADAP EFISIENSI DAN DAYA SAING
SISTEM KOMODITI AYAM RAS
Analisis sensitivitas (analisis kepekaan) perlu dilakukan karena analisis dalam metode
PAM merupakan analisis yang bersifat statis, meskipun dalam penelitian ini sudah dilakukan
pada dua titik waktu yaitu sebelum krisis moneter (1996/1997) dan sesudah krisis moneter
(1997/1998). Analisis sensitivitas berguna untuk mengetahui kepekaan efisiensi finansial dan
ekonomi dalam pengusahaan sistem komoditi ayam ras pedaging pada kondisi setelah terjadi
krisis moneter terhadap perubahan-perubahan pada komponen yang sangat berpengaruh.
Komponen terbesar dari biaya produksi untuk sistem komoditi ayam ras pedaging adalah
biaya untuk ransum. Biaya ransum ayam ras pedaging berkisar antara 50-65 persen, dan
proporsi biaya pakan ini meningkat dengan terjadinya krisis moneter. Oleh karena itu akan
dilakukan analisa kepekaan terhadap harga ransum dengan mempertimbangkan kenaikan harga
ransum sementara faktor lain tetap. Efisiensi finansial dan ekonomi sistem komoditi ayam ras
21
pedaging sangat dipengaruhi oleh perkembangan harga daging ayam (broiler) baik harga
finansial maupun harga sosial. Oleh karena itu akan diadakan analisa kepekaan terhadap
perubahan harga broiler.
Ketiga akan dilakukan analisa sensitivitas terhadap perubahan harga ransum dan broiler
yang terjadi secara bersama-sama, yaitu keduanya mengalami kenaikan. Dalam dunia nyata
kondisi ketiga inilah yang sering terjadi, terjadi kenaikan harga broiler namun lebih rendah dari
kenaikan harga pakan. Besarnya prosentase perubahan pada harga pakan, harga output dan
gabungan keduanya didasarkan atas perkembangan harga selama periode 1994-1998.
Mengingat cakupan dalam penelitian ini begitu luas, maka analisis sensitivitas hanya
akan dilakukan pada kondisi setelah terjadi krisis moneter dan skala usaha selektif. Hal ini
dilandasi bahwa analisis sensitivitas relevan dilakukan pada kondisi terakhir setelah terjadi krisis
moneter dan hasil analisis efisiensi finansial dan ekonomi relatif sama antar skala usaha.
Informasi secara terperinci hasil analisis sensitivitas pengusahaan agribisnis ayam ras
pedaging pada berbagai pola pengusahaan kondisi setelah terjadi krisis moneter skala usaha
selektif, dapat disimak pada Tabel 8. Pada kondisi awal, sebelum dilakukan analisis
sensitivitas diperoleh beberapa informasi sebagai berikut : (1) Untuk pola KINAK PRA di
Kabupaten Bogor, skala usaha 5 000 ekor diperoleh nilai PCR = 0,943 dan DRCR = 0,855;
(2) Untuk pola KINAK PIR di Kabupaten Bogor, skala usaha 6 000 ekor diperoleh nilai PCR
= 0,933 dan nilai DRCR = 0,891; (3) Untuk pola Mandiri di Kabupaten Bogor, skala usaha 8
000 ekor diperoleh nilai PCR = 0,986 dan nilai DRCR = 0,917; (4) Untuk pola kontrak
kandang dan jasa tenaga kerja di Kabupaten Bogor, skala usaha 15 000 ekor diperoleh nilai
PCR = 0,947 dan nilai DRCR = 0,891; (5) Untuk pola KINAK PRA di Kabupaten
Tasikmalaya, skala usaha 6 000 ekor diperoleh nilai PCR = 0,986 dan nilai DRCR = 0,876;
dan (6) Untuk pola kontrak kandang dan jasa tenaga kerja di Kabupaten Tasikmalaya, skala
usaha 5 000 ekor diperoleh nilai PCR = 0,959 dan DRCR = 0,876.
Pada kondisi setelah terjadi krisis moneter sistem komoditi ayam ras pedaging pada
berbagai pola usaha baik di Kabupaten Bogor maupun Tasikmalaya efisien secara finansial
atau memiliki keunggulan kompetitif dan efisien secara ekonomi atau memiliki keunggulan
komparatif. Namun dari besarnya nilai indikator yang diperoleh menunjukkan efisiensi
finansial atau keunggulan kompetitif dan efisiensi ekonomi atau keunggulan komparatif yang
dimiliki relatif rendah, yang ditunjukkan oleh nilai PCR dan DRCR yang meskipun < 1 tetapi
besarnya sudah mendekati angka satu.
22
Tabel 8. Nilai PCR dan DRCR pada Tahun 1997/1998 (setelah Krisis Moneter) dan Alternatif Kebijakan
Pengusahaan Sistem Komoditi Ayam Ras (2 bulan) di Jawa Barat
Kabupaten Bogor Kabupaten Tasikmalaya
Simulasi
kebijakan
Pola KINAK
PRA:
5 000 ekor
Pola KINAK
PIR:
6 000 ekor
Pola Mandiri:
8 000 ekor
Pola kontrak
kandang & jasa
tenaga kerja:
15 000 ekor
Pola KINAK
PRA:
6 000 ekor
Pola kontrak
kandang dan jasa
tenaga kerja:
5 000 ekor
PCR DRCR PCR DRCR PCR DRCR PCR DRCR PCR DRCR PCR DRCR
Kondisi tahun
1997/1998
(setelah krisis
moneter)
0,943 0,855 0,933 0,891 0,986 0,917 0,947 0,891 0,986 0,876 0,959 0,876
Alternatif
kebijakan
1, Harga
daging
ayam naik
20%
2. Harga
pakan
naik 40%
3. Harga
Harga telur
naik 20%
dan harga
pakan naik
40%
0,847
1,161
1,009
0,773
1,007
0,894
0,847
1,120
0,989
0,808
1,047
0,925
0,885
1,212
1,052
0,824
1,094
0,956
0,861
1,116
0,989
0,814
1,008
0,903
0,875
1,037
0,927
0,788
1,028
0,907
0,847
1,115
0,980
0,783
1,019
0,901
Catatan :
Singkatan pada Tabel ini sama seperti Tabel sebelumnya
Analisis sensitivitas yang dilakukan terhadap kenaikan harga daging ayam 20 persen,
sementara faktor lainnya tetap diperoleh hasil analisis sebagai berikut: (1) Untuk pola KINAK
PRA di Kabupaten Bogor, skala usaha 5 000 ekor diperoleh nilai PCR = 0,847 dan DRCR =
0,773; (2) Untuk pola KINAK PIR di Kabupaten Bogor, skala usaha 6 000 ekor diperoleh
nilai PCR = 0,847 dan nilai DRCR = 0,808; (3) Untuk pola Mandiri di Kabupaten Bogor,
skala usaha 8 000 ekor diperoleh nilai PCR = 0,885 dan nilai DRCR = 0,824; (4) Untuk pola
kontrak kandang dan jasa tenaga kerja di Kabupaten Bogor, skala usaha 15 000 ekor diperoleh
nilai PCR = 0,861 dan nilai DRCR = 0,814; (5) Untuk pola KINAK PRA di Kabupaten
Tasikmalaya, skala usaha 6 000 ekor diperoleh nilai PCR = 0,875 dan nilai DRCR = 0,788;
dan (6) Untuk pola kontrak kandang dan jasa tenaga kerja di Kabupaten Tasikmalaya, skala
usaha 5 000 ekor diperoleh nilai PCR = 0,847 dan DRCR = 0,783.
Hasil analisis sensitivitas tersebut menunjukkan bahwa adanya kenaikan harga daging
ayam sebesar 20 persen, sementara faktor lain tetap akan meningkatkan efisiensi finansial dan
23
efisiensi ekonomi usaha sistem komoditi ayam ras pedaging. Fakta empiris menunjukkan
bahwa kenaikan harga di tingkat konsumen tidak ditransmisikan secara sempurna ke tingkat
peternak, sehingga peternak hanya memperoleh kenaikan harga yang relatif kecil.
Analisis sensitivitas yang dilakukan terhadap harga pakan naik sebesar 40 persen,
sementara faktor lain dianggap tetap diperoleh hasil analisis sebagai berikut : (1) Untuk pola
KINAK PRA di Kabupaten Bogor, skala usaha 5 000 ekor diperoleh nilai PCR = 1,161 dan
DRCR = 1,007; (2) Untuk pola KINAK PIR di Kabupaten Bogor, skala usaha 6 000 ekor
diperoleh nilai PCR = 1,120 dan nilai DRCR = 1,047; (3) Untuk pola Mandiri di Kabupaten
Bogor, skala usaha 8 000 ekor diperoleh nilai PCR = 1,212 dan nilai DRCR = 1,094; (4)
Untuk pola kontrak kandang dan jasa tenaga kerja di Kabupaten Bogor, skala usaha 15 000
ekor diperoleh nilai PCR = 1,116 dan nilai DRCR = 1,008; (5) Untuk pola KINAK PRA di
Kabupaten Tasikmalaya, skala usaha 6 000 ekor diperoleh nilai PCR = 1,037 dan nilai DRCR
= 1,028; dan (6) Untuk pola kontrak kandang dan jasa tenaga kerja di Kabupaten
Tasikmalaya, skala usaha 5 000 ekor diperoleh nilai PCR = 1,115 dan DRCR = 1,019.
Hasil analisis sensitivitas tersebut menunjukkan bahwa kenaikan harga pakan sebesar
40 persen, sementara faktor lainnya tetap akan menurunkan efisiensi finansial dan ekonomi
usaha sistem komoditi ayam ras pedaging. Pada kondisi ini secara finansial usaha agribisnis
ayam ras pedaging sudah tidak efisien lagi yang ditunjukkan oleh nilai PCR > 1, Secara
ekonomik dengan kenaikan harga pakan 40 persen usaha ayam ras pedaging memberikan
gambaran yang relatif sama yaitu sudah tidak efisien lagi, yang ditunjukkan oleh nilai DRCR
> 1,
Analisis sensitivitas gabungan terhadap kenaikan harga daging ayam 20 persen dan
harga pakan 40 persen, sementara faktor lain dianggap tetap diperoleh hasil sebagai berikut :
(1) Untuk pola KINAK PRA di Kabupaten Bogor, skala usaha 5 000 ekor diperoleh nilai PCR
= 1,009 dan DRCR = 0,894; (2) Untuk pola KINAK PIR di Kabupaten Bogor, skala usaha 6
000 ekor diperoleh nilai PCR = 0,989 dan nilai DRCR = 0,925; (3) Untuk pola Mandiri di
Kabupaten Bogor, skala usaha 8 000 ekor diperoleh nilai PCR = 1,052 dan nilai DRCR =
0,956; (4) Untuk pola kontrak kandang dan jasa tenaga kerja di Kabupaten Bogor, skala usaha
15 000 ekor diperoleh nilai PCR = 0,989 dan nilai DRCR = 0,903; (5) Untuk pola KINAK
PRA di Kabupaten Tasikmalaya, skala usaha 6 000 ekor diperoleh nilai PCR = 0,927 dan nilai
DRCR = 0,907; dan (6) Untuk pola kontrak kandang dan jasa tenaga kerja di Kabupaten
Tasikmalaya, skala usaha 5 000 ekor diperoleh nilai PCR = 0,980 dan DRCR = 0,901,
24
Hasil analisis sensitivitas tersebut menunjukkan bahwa kenaikan harga pakan 40
persen dan diikuti kenaikan harga daging ayam sebesar 20 persen menunjukkan bahwa
pengusahaan sistem komoditi ayan ras pedaging sudah tidak efisien secara finansial yang
ditunjukkan oleh nilai PCR mendekati angka 1 dan bahkan >1, sedangkan secara ekonomik
masih efisien yang ditunjukkan oleh nilai DRCR <1, namun sudah mendekati angka satu.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pengusahaan agribisnis ayam ras pedaging pada berbagai pola, skala usaha dan lokasi yang
diteliti pada kondisi sebelum krisis moneter adalah menguntungkan baik secara finansial
maupun ekonomik. Pada kondisi setelah krisis moneter pengusahaan agribisnis ayam ras
pedaging mengalami penurunan tingkat keuntungan baik secara finansial maupun ekonomik.
Namun apabila ditelusuri pada tiap pelaku agribisnis ayam ras pedaging, pada kondisi
sebelum krisis moneter usaha ternak memperoleh marjin keuntungan yang relatif kecil
sedangkan pelaku tataniaga (RPA dan pedagang daging ayam) memperoleh marjin
keuntungan yang lebih besar, bahkan pada kondisi setelah krisis moneter dimana hampir
semua usaha ternak mengalami kerugian besar, para pelaku tataniaga daging ayam
mengalami peningkatan keuntungan.
2. Kondisi tersebut diatas menempatkan peternak ayam ras pedaging pada posisi yang sulit. Hal
ini antara lain disebabkan oleh meningkatnya harga sapronak hampir tiga kali lipat setelah
terjadi krisis moneter, tingginya tingkat suku bunga bank (diatas 36%), kemitraan tidak
dijalankan secara konsisten sehingga memperlemah posisi peternak menghadapi struktur
pasar yang oligopolistik baik pada pasar input maupun output; dan rendahnya daya beli
masyarakat terhadap produk ayam ras.
3. Rasio biaya privat (PCR) pengusahaan agribisnis ayam ras pedaging pada berbagai pola,
skala usaha dan lokasi yang diteliti pada kondisi sebelum krisis moneter lebih kecil dari satu.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengusahaan agribisnis ayam ras pedaging efisien
secara finansial atau memiliki keunggulan kompetitif dan dapat memacu pertumbuhan
produksi. Namun pada kondisi setelah terjadi krisis moneter diperoleh nilai PCR yang
semakin besar mendekati angka satu dan pada pola mandiri diperoleh nilai diatas satu. Hal
tersebut mengandung arti bahwa pengusahaan agribisnis ayam ras pedaging mengarah pada
keadaan yang tidak efisien atau semakin tidak memiliki keunggulan kompetitif.
25
4. Rasio biaya sumberdaya domestik (DRCR) pengusahaan agribisnis ayam ras pedaging pada
berbagai pola, skala usaha dan lokasi penelitian baik pada kondisi sebelum maupun setelah
krisis moneter lebih kecil dari satu. Namun nilai DRCR yang diperoleh makin mendekati
angka satu, sejak terjadi krisis moneter. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengusahaan
agribisnis ayam ras pedaging efisien secara ekonomik atau memiliki keunggulan komparatif,
namun keunggulannya menurun sejak terjadi krisis moneter.
5. Kebijaksanaan pemerintah terhadap input dan output secara keseluruhan pada kondisi
sebelum dan sesudah krisis moneter menunjukkan adanya perlindungan (proteksi) terhadap
agribisnis ayam ras pedaging. Kebijaksanaan protektif tersebut dapat berupa subsidi input,
subsidi suku bunga, hambatan impor output, dan berbagai program penyehatan agribisnis
ayam ras pedaging. Kebijaksanaan protektif tersebut menyebabkan penerimaan finansial
lebih besar dari penerimaan ekonomi dan atau pengeluaran input tradable finansial lebih
kecil dibandingkan dengan biaya input tradable ekonomi.
Saran
1. Program peningkatan produksi ayam pedaging dapat dikembangkan di kedua daerah
penelitian. Hal yang perlu diperhatikan adalah kecenderungan naiknya harga sapronak
terutama ransum (pakan), bibit (DOC) serta obat, vitamin dan mineral yang meningkat
hampir tiga kali lipat setelah krisis, sementara harga output belum meningkat secara
proporsional karena rendahnya daya beli masyarakat. Perencanaan dan pelaksanaan program
kemitraan melalui kelompok atau koperasi perlu dimantapkan dan diberdayakan sehingga
mampu menekan biaya produksi dan menjamin harga output yang layak.
2. Keuntungan peternak secara finansial pada kondisi setelah krisis moneter mengalami
penurunan keuntungan secara tajam. Sementara pada subsistem lainnya bahkan
keuntungannya meningkat, merupakan ancaman dalam keberlanjutan pengembangan
agribisnis ayam ras pedaging. Keadaan ini hendaknya menyadarkan berbagai pihak tentang
perlunya pemberdayaan subsistem usaha ternak yang merupakan sektor yang mempunyai
peran paling sentral dalam produksi daging ayam. Oleh karena itu diperlukan usaha yang
dapat memberikan insentif kepada peternak dalam budidaya ayam ras pedaging.
3. Dalam pengembangan agribisnis ayam ras pedaging dan dalam rangka menghadapi
perdagangan bebas, beberapa strategi dan kebijaksanaan yang perlu diperhitungkan adalah
sebagai berikut:
26
a. Melakukan koordinasi vertikal yang dapat ditempuh dengan kerjasama kemitraan intiplasma
secara tertutup yang didasarkan atas saling membutuhkan dan saling
menguntungkan;
b. Integrasi vertikal perusahaan peternakan dari hulu hingga ke hilir untuk mewujudkan
efisiensi, sehingga bisa memasuki pasar ekspor;
c. Integrasi vertikal yang dilakukan oleh koperasi agribisnis perunggasan. Dalam model ini
koperasi secara bertahap mampu menguasai seluruh jaringan agribisnis dari hulu hingga
ke hilir dan harus mampu berkompetisi dengan perusahaan swasta. Pemerintah
bertindak sebagai fasilitator bagi tumbuh dan berkembangnya koperasi agribisnis
perunggasan;
d. Pengembangan teknologi pakan alternatif dengan mengoptimalkan penggunaan bahan
baku sumberdaya domestik, misalnya bungkil kelapa sawit, bungkil kelapa, biji kapuk,
buah cherry hutan dan sebagainya. Disamping itu juga meningkatkan penelitian dan
pengembangan yang berkaitan dengan bahan baku pakan ternak, misalnya penelitian
tentang kedele, sorghum, cassava dan lain-lain, sehingga ketersediaan pakan ternak di
Indonesia cukup terjamin dengan harga yang mampu bersaing;
e. Pemantapan adopsi teknologi pembibitan dan budidaya ayam ras melalui
pendayagunaan hasil penelitian dalam dan luar negeri yang dikaitkan dengan
pelaksanaan pengkajian dan diseminasi melalui kelembagaan Balai Penelitian dan
Pengkajian Teknologi Pertanian (BP2TP) yang tersebar di hampir seluruh propinsi di
Indonesia.
f. Pengembangan industri pengolahan (pemotongan, pengemasan, penyimpanan/cool
storage) melalui berbagai kebijakan pemerintah, misalnya kredit lunak, penghapusan
PPN, kemudahan perijinan dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Alim, M. R. 1996. Keragaan Industri Pakan Ayam Ras di Wilayah Bogor dan Bekasi: Suatu
Analisis Efisiensi dan Skala Ekonomi Tesis S2 (tidak dipublikasikan). Jurusan Ilmu-Ilmu
Sosial Ekonomi Pertanian. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
BPS. 1997. Statistik Industri Besar dan Sedang. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
Clayton, E. S. 1977. The Economic of Poultry Industry Longmans. Green and Co. Ltd. London.
Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat. 1993/1994 – 1997. Laporan Tahunan. Dinas Peternakan
Propinsi Dati I. Jawa Barat. Bandung.
Ditjennak. 1996. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta.
. 1997. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta.
27
. 1998. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta.
Departemen Keuangan. 1999. Buku Tarif Bea Masuk Indonesia. Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai, Deparetmen Keuangan. Jakarta
Gittinger, J.P. 1976. Analisis Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Edisi pertama. Terjemahan
Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Gittinger, J.P. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Edisi 1986. Terjemahan.
Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Handjali, 1982. Analisa Finansial Usahaternak Ayam Pedaging (tidak dipublikasikan). Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Haryono, D. 1991, Keunggulan Komparatif dan dampak Kebijaksanaan Pada Produksi Kedelai,
Jagung dan Ubikayu di Propinsi Lampung. Thesis Pasca Sarjana. IPB Bogor.
Lindert, P. H. dan Ch. P. Kindleberger. 1993. Ekonomi Internasional (Alih bahasa Burhanuddin
Abdullah) Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Ming, L.H. 1997. Analisis Perbandingan Efisiensi Usahatani Ayam Ras Pedaging Skala Kecil
dan Skala Besar (Studi Kasus pada peternakan ayam ras pedaing di Kecamatan Parung,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi S1 Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian,
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Monkey, E. A. dan S. R. Pearson. 1995. The Policy Analysis Matrix for A Agricultural
Development. Cornell University Press, Ithaca and London.
Samuelson, P. A. dan W. D. Nordhous. 1993. Mikroekonomi. Edisi Keempat Belas. Penerbit
Erlangga. Jakarta.
Saptana dan R. S. Rivai. 1996. Analisa Pemasaran Sarana Produksi Peternakan dan Hasil Ternak
Unggas (Suatu kajian pada daerah agribisnis ayam ras di propinsi Jawa Barat). Prosiding
Seminar Nasional Peternakan dan Vateriner. Puslitbangnak. Bogor.
Saptana. 1987. Kelayakan Ekonomis dan Finansial usaha Ternak Ayam Ras Petelur dan
Pedaging di Indonesia Ditinjau dari Efisiensi Penggunaan Sumberdaya Domestik. Skripsi
S1 (tidak dipublikasikan). Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Saptana dan S.H. Suhartini. 1995. Agribisnis Ayam Ras Petelur dan Pedaging Melalui Pola
Kemitraan di Propinsi Jawa Barat dan Lampung. Prosiding Agribisnis: Peluang dan
Tantangan Agribisnis Perkebunan, Peternakan dan Perikanan. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian. Bogor.
Simanjuntak, S. B. 1992. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap
Daya Saing Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia. Disertasi Doktor Program Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Simatupang, P. 1991, The Conception of Domestic Resource Cost and Net Ekonomic Benefit for
Comparative Advantage Analysis Agribusiness Division Working Paper No. 2/91,
Center for Agro-Socioeconomic Research. Bogor.
Sinaga, R.S. 1987. Pembangunan Pertanian Sistem Agribisnis dan Perusahaan Inti Rakyat.
Ringkasan Kuliah. Jurusn Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soeprawiro, P., A. P. Siregar dan M. Sabrani. 1980, Teknik Peternakan Ayam Pedaging di
Indonesia. Margie Group. Jakarta.
28
Sudarsono, S. 1985. Pengantar Teori Mikroekonomi. Lembaga Penerbit Fakultas Enonomi
Universitas Indonesia. Jakarta.
Sudaryani. 1981, Analisa Pendapatan Usahaternak Ayam pedaging di Ciawi Bogor. Skripsi S1
(tidak dipublikasikan). Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sudaryanto, T. dan P. Simatupang. 1993. Arah Pengembangan Agribisnis: Suatu Catatan
Kerangka Analisis dalam Prosiding Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Sumaryanto dan I. W. Rusastra. 1991, Analisis Keunggulan Komparatif Industri Pakan Ternak di
Jawa dan di Lampung. Jurnal Agroekonomi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Bogor.
Surono, Y.I. 1997. Analisis Perbandingan Efisiensi Peternakan Ayam Ras Pedaging Skala Kecil
dan Skala Besar (Studi Kasus Peternakan Ayam Ras Pedaging di Kecamatan Gunung
Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi S1 Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi
Pertanian, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download Lagu Gratis, MP3 Gratis