Bookmark and Share

Rabu, 13 Januari 2010

KONTRIBUSI HUKUM ISLAM TERHADAP PERKEMBANGAN HUKUM NASIONAL

Oleh: Prof. Dr. H. Muchsin, SH

I. Pendahuluan
Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia, tentu
sangat berpengaruh terhadap pola hidup bangsa Indonesia. Perilaku pemeluknya
tidak lepas dari syari'at yang dikandung agamanya. Melaksanakan syari'at agama
yang berupa hukum-hukum menjadi salah satu parameter ketaatan seseorang dalam
menjalankan agamanya. Ada beberapa kata yang harus diberikan penjelasan dari
judul di atas, yaitu: kontribusi, hukum Islam, perkembangan, hukum, dan nasional.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa kata "kontribusi" berarti
sumbangan.1 Kamus bahasa Inggeris (Oxford) menyebutnya dengan contribution,
yang berarti act of contributing, perbuatan memberikan sumbangan.2 Menurut
penulis, sumbangan yang dimaksud dengan kata tersebut pada umumnya bersifat
immaterial.
Kata hukum yang dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab
hukm yang berarti putusan (judgement) atau ketetapan (Provision). Dalam buku
Ensiklopedi Hukum Islam, hukum berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu atau
meniadakannya.3 Sementara dalam A Dictionary of Law dijelaskan tentang
pengertian hukum sebagai berikut
"Law is "the enforceable body of rules that govern any society or one of the
1Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), edisi
ketiga, hal. 592.
2AS Hornby, et. Al., OxfordAdvanced Dictionary of Current English, (edidi revisi), (london:
Oxford University [t. th.], ed. I (1942), hal. 186-187.
3HA. Hafizh Dasuki, Ensiklopedi Hukum Islam, PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, FIKIMA, 1997, hal.
571
2
rules making up the body of law, such as Act of Parliament."4
"Hukum adalah suatu kumpulan aturan yang dapat dilaksanakan untuk
mengatur/memerintah masyarakat atau aturan apa pun yang dibuat sebagai suatu
aturan hukum seperti tindakan dari Parlemen."
Bagi kalangan muslim, jelas yang dimaksudkan sebagai hukum adalah
Hukum Islam, yaitu keseluruhan aturan hukum yang bersumber pada AIquran, dan
untuk kurun zaman tertentu lebih dikonkretkan oleh Nabi Muhammad dalam
tingkah laku Beliau, yang lazim disebut Sunnah Rasul.
Sementara itu Rifyal Ka'bah5 mengemukakan bahwa hukum Islam adalah
terjemahan dari istilah Syari'at Islam (asy-syari'ah al-lslamiyyah) atau fiqh Islam (alfiqh
a/- Islami). Syariat Islam dan fiqh Islam adalah dua buah istilah otentik Islam
yang berasal dari perbendaharaan kajian Islam sejak lama. Kedua istilah ini dipakai
secara bersama-sama atau silih berganti di Indonesia dari dahulu sampai sekarang
dengan pengertian yang kadangkadang berbeda, tetapi juga sering mirip. Hal ini
sering menimbulkan kerancuan-kerancuan di kalangan masyarakat bahkan di antara
para ahli.
Kaidah-kaidah yang bersumber dari Allah SWT kemudian lebih dikonkretkan
diselaraskan dengan kebutuhan zamannya rnelalui ijtihad atau penemuan hukum
oleh para mujtahid dan pakar di bidangnya masing-masing, baik secara perorangan
maupoun kolektif.
Nasional berarti bersifat 1) kebangsaan, 2) meliputi suatu bangsa.6
Dalam perjalanan kodifikasi hukum nasional Indonesia, keberadaan hukum
Islam sangat penting, selain sebagai materi bagi penyusunan hukum nasional, hukum
4Elizabeth A. Martin (editor) a Dictionary of Law, New York: Oxford University Press,· Fourth
Edition, 1997, hal. 259
5Ulasan berikut dikutif dan disarikan dari, Rifyal Ka'bah, , Hukum Islam di Indonesia, Buletin Dakwah, 19
Mei 2006.
6Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., hal. 775.
3
Islam juga menjadi inspirator dan dinamisator dalam pengembangan hukum
nasional. Hukum Islam sangat dekat dengan sosioantropologis bangsa Indonesia,
sehingga kehadirannya dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat luas.
Kedekatan sosioantropologis Hukum Islam dengan masyarakatnya menjadi
fenomena tersendiri ditandai dengan maraknya upaya formalisasi pemberlakuan
syari'at Islam di berbagai wilayah di Indonesia.
Sebagai negara berdasar atas hukum yang berfalsafah Pancasila, negara
melindungi agama, penganut agama, bahkan berusaha memasukkan hukum agama
ajaran dan hukum agama Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
sebagaimana pernyataan the founding father RI, Mohammad Hatta, bahwa dalam
pengaturan negara hukum Republik Indonesia, syari'at Islam berdasarkan AI-Qur'an
dan Hadis dapat dijadikan peraturan perundang-undangan Indonesia sehingga orang
Islam mempunyai sistem syari'at yang sesuai dengan kondisi Indonesia.7 Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 − dalam salah satu konsiderannya − menyatakan bahwa Piagam
Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dsar 1945, dan
adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.8
Dalam hal ini sangat menarik untuk menyimak apa yang dikemukakan oleh
Prof. Dr. Bustanul Arifin, S. H. bahwa prospek hukum Islam dalam pembangunan
hukum nasional sangat positif karena secara kultural, yuridis dan sosiologis memiliki
akar kuat. Menurutnya, Hukum Islam memiliki serta menawarkan konsep hukum
yang lebih universal dan mendasarkan pada nilai-nilai esensial manusia sebagai
khalifatullah, bukan sebagai homo economicus.9
7Ichtijanto, Pengembangan Teori berlakunya hukum Islam di Indonesia, dalam Hukum Islam di
Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya cet. ke-2, 1994, hIm. 16-17.
8M. Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan lainnya di Negara
Hukum Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 44.
5Ibid., hal. 18.
4
II. Pembahasan
Sistem hukum yang mewarnai hukum nasional10 kita di Indonesia selama ini
pada dasarnya terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar subsistem hukum yaitu
sistem hukum barat, hukum adat dan sistem hukum Islam, yang masing-masing
menjadi sub-sistem hukum dalam sistem hukum Indonesia.
Sistem Hukum Barat merupakan warisan penjajah kolonial Belanda yang
selama 350 tahun menjajah Indonesia. Penjajahan tersebut sangat berpengaruh pada
sistem hukum nasional kita. Sementara Sistem Hukum Adat bersendikan atas dasardasar
alam pikiran bangsa Indonesia, dan untuk dapat sadar akan sistem hukum adat
orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat
Indonesia. Kemudian sistem Hukum Islam, yang merupakan sistem hukum yang
bersumber pada kitab suci AIquran dan yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad
dengan hadis/sunnah-Nya serta dikonkretkan oleh para mujtahid dengan ijtihadnya.11
Bustanul Arifin menyebutnya dengan gejala sosial hukum itu sebagai perbenturan
antara tiga sistem hukum, yang direkayasa oleh politik hukum kolonial Belanda dulu
yang hingga kini masih belum bisa diatasi12, seperli terlihat dalam sebagian kecil
pasal pada UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Dari ketiga sistem hukum di atas secara objektif dapat kita nilai bahwa hukum
Islamlah ke depan yang lebih berpeluang memberi masukan bagi pembentukan
hukum nasional. Selain karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan
10Sunaryati Hartono, mantan Kepala BPBN, mengatakan bahwa sebenarnya bangsa Indonesia
belum mempunyai hukum nasional, dan yang paling banyaknya baru hukum di Indonesia. John Ball,
Guru Besar di Sidney University, menyebut keadaan hukum di Indonesia sebagai "The struggle for a
national law." Lev mengatakan ada pertentangan-pertentang kepentingan antara golongan-golongan
ideologi dalam hukum (Barat, Adat, dan Islam) sehingga hukum lama masih tetap juga dipakai dan belum
ada konsensus untuk menggantinya. (Bustanul Arifin, Transformasi Syariah ke dalam Hukum Nasional
(Bertenun dengan Benang-benang Kusut), Jakarta : Yayasan Al-Hikmah, 1999), hal. 5 dan 11).
11Untuk lebih lengkap baca Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum, Jakarta: BP IBLAM, 2004, hal .9-22
12Bustanul Arifin, Transformasi Syariah ke dalam Hukum Nasional (Bertenun dengan Benang-benang
Kusut), Jakarta : Yayasan Al-Hikmah, 1999), hal. 11-12.
5
adanya kedekatan emosional dengan hukum Islam juga karena sistem hukum
barat/kolonial sudah tidak berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia, sementara
hukum adat juga tidak memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi pembangunan
hukum nasional, sehingga harapan utama dalam pembentukan hukum nasional
adalah sumbangsih hukurn Islam.
Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam
pembangunan hukum nasional. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan hukum
Islam layak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu:13
1. Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti, UU Perkawinan,
UU Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat,
dan UU Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam serta beberapa undangundang
lainnya yang langsung maupun tidak langsung memuat hukum Islam
seperti UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengakui keberadaan
Bank Syari'ah dengan prinsip syari'ahnya., atau UU NO. 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama yang semakin memperluas kewenangannya, dan UU Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen beragama
Islam akan memberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi
kepentingannya.
3. Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitas
keagamaan masyarakat yang terjadi selama ini merupakan cerminan kesadaran
mereka menjalankan Syari'at atau hukum Islam, seperti pembagian zakat dan
waris.
4. Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat
menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka cukup berat
bagi Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia.
13Muchsin, Masa Depan Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: BP IBLAM, 2004, hal. 17-18.
6
Untuk lebih mempertegas keberadaan hukum Islam dalam konstalasi hukum
nasional dapat dilihat dari Teori eksistensi tentang adanya hukum Islam di dalam
hukum nasional Indonesia. Teori ini mengungkapkan bahwa bentuk eksistensi
hukum Islam di dalam hukum nasionallndonesia itu ialah:
1. ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional lndonesia.
2. ada dalam arti kemandirian, kekuatan dan wibawanya diakui adanya oleh hukum
nasional dan diberi status sebagai hukum nasional.
3. ada dalam hukum nasional dalam arti norma hukum Islam (agama) berfungsi
sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasionallndonesia.
4. ada dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia.14
Bila dilihat dari realitas politik dan perundang-undangan di Indonesia
nampaknya eksistensi hukum Islam semakin patut diperhitungkan seperti terlihat
dalam beberapa peraturan perundangan yang kehadirannya semakin memperkokoh
Hukum Islam:
(1) Undang-Undang Perkawinan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan dan
diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran Negara Tahun
'1974 No. Tambahan Lembaran Negara Nomer 3019).
(2) Undang-Undang Peradilan Agama
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan
dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1989 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1989 No. 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3400).
Kemudian pada tanggal 20 Maret 2006 disahkan UU Nomor 3 tahun 2006
14Iehtijanto, Pengembangan Teori berlakllnya hllkllm Islam di Indonesia, dalam Hukum Islam di
Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya eet. ke-2 1994, hal. 137
7
tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agarna. Yang
melegakan' dari UU ini adalah semakin luasnya kewenangan Pengadilan
Agama khususnya kewenangan dalam menyelesaikan perkara di bidang
ekonomi syari'ah. 15
Untuk menjelaskan berbagai persoalan syari'ah di atas Dewan Syari'ah
Nasional (DSN) telah mengeluarkan sejumlah fatwa yang berkaitan dengan
ekonomi syari'ah yang sampai saat ini jumlahnya sudah mencapai 53 fatwa.
Fatwa tersebut dapat menjadi bahan utama dalam penyusunan kompilasi
tersebut.
Sehubungan dengan tambahan kewenangan yang cukup banyak kepada
pengadilan agama sebagaimana pada UU No. 3 tahun 2006 yaitu mengenai
ekonomi syari'ah, sementara hukum Islam mengenai ekonomi syari'ah masih
tersebar di dalam kitab-kitab fiqh dan fatwa Dewan Syari'ah Nasional,
kehadiran Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES) yang
didasarkan pada PERMA Nomor 2 Tahun 2008, tanggal 10
September 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah,
menjadi pedoman dan pegangan kuat bagi para Hakim Pengadilan
Agama khususnya, agar tidak terjadi disparitas putusan Hakim, dengan
tidak mengabaikan penggalian hukum yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat sebagaimana maksud Pasal 28 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah terdiri dari 4 Buku, 43 Bab, 796
Pasal.
(3) Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji
15Sedangkan yang dimaksud dengan ekonomi syariah, seperti yang diulas dalam penjelasan UU
ini adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah yang antara lain
meliputi: bank syari'ah, lembaga kuangan mikro syari'ah, asuransi syari'ah, reasuransi syari'ah, reksadana
syari'ah, obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah, sekuritas syari'ah, pembiayaan
syari'ah, pegadaian syari'ah, dana pensiun lembaga keuangan syari'ah dan bisnis syari'ah.
8
Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia No. 3832), yang digantikan oleh UU Nomor 13 Tahun 2008.
UU pengganti ini memiliki 69 pasal dari sebelumnya 30 pasal. UU ini
mentikberatkan pada adanya pengawasari dengan dibentuknya Komisi
Pengawasan Haji Indonesia [KPHI]. Demikian juga dalam UU ini diiatur
secara terperinci tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji [BPIH].16 Aturan
baru tersebut diharapkan dapat menjadikan pelaksanaan ibadah haji lebih tertib
dan lebih baik.17
(4) Undang-Undang Pengelolaan Zakat
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggaI 23 September 1999
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 164, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3885).
(5) Undang-Undang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh.
Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh disahkan dan diundangkan di Jakarta pada
tanggal 4 Oktober 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1999
No.172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.3893).
(6) Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh
Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi
Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disahkan
dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2001 (Lembaran Negara
16BPIH disetorkan ke rekening Menteri melalui bank syariah dan / atau bank umum nasional
yang ditunjuk oleh Menteri (Pasal 22).
17Republika, Rabu 2 April 2008, hal. 5
9
Republik Indonesia Tahun 2001 No. 114, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia No. 4134).
(7) Kompilasi Hukum Islam
Perwujudan hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan
pemahaman yang berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan sering terjadi
perdebatan di kalangan para ulama. Karena itu diperlukan upaya penyeragaman
pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam.
Keinginan itu akhirnya memunculkan Kompilasi Hukum Islam (KHI),
yang saat ini telah menjadi salah satu pegangan utama para hakim di lingkungan
Peradilan Agama. Sebab selama ini Peradilan Agama tidak mempunyai buku
standar yang bisa dijadikan pegangan sebagaimana halnya KUH Perdata. Dan
pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden menandatangani Inpress No.1 Tahun 1991
yang merupakan instruksi untuk memasyarakatkan KHI.
(8) Undang-undang tentang Wakaf
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disahkan dan
diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 No. 159, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia No. 4459).
Kemudian pada tanggal 15 Desember 2006 ditetapkanlah peraturan
pemerintah Republik. Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Maksud penyusunan
peraturan pelaksanaan PP ini adalah untuk menyederhanakan pengaturan yang
mudah dipahami masyarakat, organisasi dan badan hukum, serta pejabat
pemerintahan yang mengurus perwakafan, BWI, dan LKS, sekaligus
menghindari berbagai kemungkinan perbedaan penafsiran terhadap ketentuan
yang berlaku.
(9) Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
10
semakin menegaskan legalitas penerapan syariat Islam di Aceh. Syariat Islam
yang dimaksud dalam undang-undang ini meliputi ibadah, al-ahwal alsyakhshiyah
(hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum
pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi'ar, dan
pembelaan Islam.
Di samping itu keberadaan Mahkamah Syar'iyah yang memiliki
kewenangan yang sangat luas semakin memperkuat penerapan hukum Islam di
Aceh. Mahkamah Syar'iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang
beragama Islam dan berada di Aceh. Mahkamah ini berwenang memeriksa,
mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang al-ahwal
al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata) tertentu, jinayah
(hukum pidana) tertentu, yang didasarkan atas syari'at Islam.
10) Undang-undang Tentang Perbankan Syari'ah18
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang diundangkan pada
tanggal 10 November 1998, menandai sejarah baru di bidang perbankan yang
mulai memberlakukan sistem ganda duel system banking di Indonesia, yaitu
sistem perbankan konvensional dengan piranti bunga, dan sistem perbankan
dengan peranti akad-akad19 yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.20
Sejarah perbankan secara faktual telah mencatat bahwa dalam kurun
waktu antara tahun 1992 hingga Mei 2004 telah berkembang pesat perbankan
18Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 (selanjutnya disebut UU No. 21 Tahun
2008) tentang Perbankan Syariah menyebutkan bahwa perbankan syariah adalah segala sesuatu yang
menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta
cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
19Akad-akad dimaksud antara lain adalah : wadi'ah, mudharabah, musyarakah, ijarah, ijarah
muntahiya bit-tamlik, murabahah, salam, istishna'I, qardh, wakalah, atau akad lain yang sesuai dengan
prinsip syariah.
20yaitu antara lain yang tidak mengandung unsur : riba, maysir, gharar, haram, dan zalim.
11
syariah. Secara kuantitatif jumlah bank syariah pada tahun 1992 hanya ada satu
Bank Umum Syariah, yaitu Bank Mu'amalat Indonesia, dan BPRS, tetapi saat
ini telah ada dua Bank Umum Syariah dengan 114 kantor cabang dan pembantu
Bank Syariah. Pada tahun 2006 jumlah Bank Syariah telah berkembang dua kali
lipat dari jumlah dua tahun yang lalu.21 Tren perkembangan perbankan syariah
yang begitu cepat dengan memperoleh simpatik luas dari umat muslim dan juga
dari nonmuslim. Sistem Perbankan Syariah berdiri di atas akad-akad yang telah
disepakati bersama dengan prinsip syariah tak boleh merugikan dan juga tidak
boleh membebankan kerugian bersama kepada salah satu pihak. Keuntungan
menjadi keuntungan bersama, dan juga kerugian menjadi kerugian yang harus
ditanggung bersama.22
Sistem perbankan syariah telah teruji dan terbukti di seluruh dunia,
termasuk Indonesia, dalam menghadapi krisis moneter yang dapat terjadi kapan
saja. Pemerintah telah menyatakan keseriusannya untuk menelaah urgensi
pembuatan UU Perbankan Syariah di Indonesia, dan akhirnya pada tanggal 17
Juni 2008 DPR mengesahkan Undang-Undang Tentang Perbankan Syariah
yang diundangkan pada tanggal 16 Juli 2008. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94 tentang Perbankan Syariah, dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867).
Peluasan kelembagaan perbankan syariah telah merambah kepada aspekaspek
ekonomi syariah sebagai berituk-bentuk produk perbankan syariah. Dan
Perbankan Syariah sebagai suatu lembaga dalam perbankan, menuntut adanya
kepastian hukum, penegakan hukum, dan keadilan, serta antisipasi hukum
apabila terjadi konflik antara pihak nasabah dengan pihak bank. Undang-Un
21Ahmad Kamil, M. Fauzan, Kilab Undang-undang Hukum Perbankan Dan Ekonomi Syari'ah,
Jakarta: Kencana, 2007, hal. vi
22Ibid.
12
dang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diundangkan pada tanggal 20
Maret tahun 2006 telah memberi amanat kepada Lembaga Peradilan Agama
sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia
untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan perkaraperkara
tertentu termasuk perkara perbankan dan ekonomi syariah yang
terjadi di Indonesia.
Saat ini perkembangan Perbankan Syariah tidak hanya dalam jasa bank
saja tapi juga merambah sektor lain seperti Asuransi Syariah, Obligasi Syariah,
Reksadana Syariah dan produk lainnya. Hal yang tak kalah pentingnya guna
menutupi kekurangan aturan hukum yang ada maka Perbankan Syariah sangat
mengandalkan apa yang dinamakan dengan kepercayaan sebagai modal utama
dan karakteristik Perbankan Syariah. Pada Bank Syariah, prinsip utama yang
dipegang yaitu kepercayaan dan kejujuran berlandaskan syariah sedangkan
pada Bank Konvensional dalam pembiayaan menerapkan 5 prinsip; Penilaian
watak (character), Penilaian kemampuan (capability), Penilaian terhadap
modal (capital), Penilaian agunan (collateral), Penilaian prospek usaha
(condition of economic)'. CEO Muamalat Institute, Amir Rajab Batubara
menyatakan bahwa di Eropa dan di AS, Bank Islam menunjukkan eksistensinya
sebagai bank yang menjadi pilihan masyarakat, bank Islam lebih adil, lebih
bernilai dan hasilnya lebih menjanjikan, karena itu nasabahnya tidak hanya
kelompok Islam tapi juga non muslim.
Perbankan syariah di Indonesia mulai dikembangkan sejak berlakunya
Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan yang istilahnya
dikenal dengan prinsip bagi hasil. Undang-Undang ini telah memberikan
landasan hukum bagi pengoperasian Perbankan Syar;ah secara legal dan
menjadi milestone penting yang menandai pemberlakuan dual banking sytem di
Indonesia, yaitu beroperasinya Bank Konvensional dan Bank Syariah dalam
sistem perbankan nasional.
13
Penyempurnaan landasan hukum keberlakuan Perbankan Syariah terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang
merupakan amandemen dari Undang-Undang NO.7 tahun 1992. Dalam
Undang-Undang NO.10 tahun 1998 dinyatakan dengan jelas mengenai
penggolongan kegiatan usaha bank menjadi 2 (dua) jenis yaitu bank yang
melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melakukan
usahanya berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan hukum Islam. Undang -
Undang ini, memungkinkan pula Bank Konvensional membuka kantor cabang
syariah atau dikenal dengan istilah dual banking system.
Perkembangan Bank Syariah tak bisa dilihat sebelah mata, perkembangan
yang pesat serta pelajaran yang diberikan pada krisis 1997, telah memunculkan
harapan bagi sebagian masyarakat bahwa pengembangan Ekonomi Syariah
merupakan satu solusi bagi peningkatan ketahanan ekonomi nasional,
disamping juga sebagai kebutuhan umat Islam.
Prospek perbankan ke depan, − menurut penelitian bahwa sampai tahun
2011 − Perbankan Syariah akan mengalami pertumbuhan sebesar 15% dari
total aset perbankan nasional(4.218 Triliun) dari market share Perbankan
Syariah sebesar 0.26 % atau sebesar Rp 204 Triliun. Dan secara prinsip ada 3
hal yang membedakan antara Bank Konvensional dengan Bank Syariah:
1. Bank Syariah dijalankan dengan prinsip nisbah (bagi hasil) untuk
menghimpun dana dan pembiayaan.
2. Bank Syariah tidak boleh membiayai proyek yang dilarang oleh Undang-
Undang maupun hukum Islam.
3. Tidak boleh melakukan tindakan spekulatif seperti transaksi valuta asing
(hedging & future trading).
Dasar Pemikiran Bank Syariah
Umar Chapra seorang sarjana muslim yang memiliki konsep tentang
peningkatan perekonomian khususnya perekonomian Islam melihat ternyata sistem
14
Ekonomi Kapitalis dan Sosialis telah gagal rnengemban misi utamanya untuk
mensejahterakan umat manusia secara adil dan dalam prakteknya cendrung sama
sekali tidak berpihak pada kaum lemah sehingga yang tertindas semakin tertindas.
Di tengah kegagalan yang dialami sistem Kapitalis dan sosialis tersebut
muncullah sebuah alternatif sistem ekonomi yang berlandaskan pada ajaran-ajaran
Islam. Sistem Ekonomi Islam lahir sebagai alternatif dan jalan tengah antara sistem
Ekonomi Kapitalis dengan sistem Ekonomi Sosialis. Ekonomi berbasiskan hukum
Islam muncul sebagai penyeimbang dan jalan tengah.
Dalam sistem Ekonomi Islam pengakuan terhadap kepemilikan pribadi atau
individu sangat diakui, namun dijelaskan bahwa dalam milik pribadi yang diakui
secara mutlak terdapat hak orang lain, yang harus diberikan pada yang berhak.
Perkembangan Bank Syariah di Indonesia
Perkembangan Bank Syariah di negara-negara Islam
berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode tahun 1960-an, diskusi mengenai Bank
Syariah sebagai pilar Ekonomi Islam mulai dilakukan.
Prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan
pada tahun 1990, yaitu saat Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20
Agustus 1990 menyelenggarakan lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua
Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam· pada
Musyawarah Nasional IV MUI di Hotel Sahid Jaya Jakarta, pada tanggal 22-25
Agustus 1990. Dan berdasarkan amanat Munas MUI IV, dibentuk kelompok kerja
untuk mendirikan bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja diberi nama Tim
Perbankan MUI, yang bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan
berbagai pihak terkait untuk menggali ide dan dukungan guna pendirian perbankan
yang bercirikan Islam.
Perkembangan industri keuangan syariah secara informal telah dimulai sebelum
dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai landasan operasional Perbankan
Syariah di Indonesia. Sebelum tahun 1992, telah didirikan beberapa badan usaha
15
pembiayaan non-bank yang telah menerapkan konsep bagi hasil dalam kegiatan
operasionalnya.
Arah Perbankan Syariah ke depan selanjutnya dirumuskan dalam sebuah
gagasan besar yang tertuang dalam Cetak Biru Perbankan Syariah. Yang memuat visi
dan misi pengembangan Perbankan Syariah nasional yang disusun dengan
mengelaborasi nilai-nilai dasar Ekonomi Syariah yang perlu dijiwai dalam
pengembangan Perbankan Syariah baik dari perspektif mikro maupun makro,
Apa yang dikemukakan di atas, memberi. angin segar bagi implementasi
hukum Islam di Indonesia. Adanya kewenangan dan kepercayaan kepada Pengadilan
Agama untuk memproses sengketa ekonomi syari'ah termasuk perbankan syari'ah
seperti yang diamanatkan dalam UU NO.3 tahun 2006 harus ditanggapi serius oleh
komponen Pengadilan Agama. Seperti yang dikemukakan Andi Syamsu Alam.23
Perkembangan ini berimplikasi luas di lingkungan Peradilan Agama. misalnya saja:
• Penyiapan sumber daya manusia (SDM) menghadapi
kewenangan barunya. ;
• Penyiapan anggaran yang besar untuk pelaksanaan Diklat ;
• Pengadaan buku-buku menyangkut Ekonomi Syariah dan lain-lain ;
• Penyiapan konsep "Pendidikan dan Pelatihan" yang efektif bagi para Hakim
Pengadilan Agama. ;
• Tersedianya Calon Hakim dari kalangan Sarjana Syariah dan Sarjana Hukum yang
siap pakai. ;
• Orientasi dengan kalangan pakar ekonomi pada umumnya dan pakar ekonorni
Syariah pada khususnya ;
• Orientasi dengan para praktisi perbankan, terutama perbankan Syariah.
Dari beberapa undang-undang di atas semuanya telah rnendukung dan
memperkokoh keberadaan hukum Islam di Indonesia. Hanya saja kepercayaan yang
diberikan kepada lembaga-Iembaga Islam tersebut harus dilaksanakan secara baik,
supaya tidak mengecewakan berbagai pihak termasuk umat Islam sendiri. Oleeh
23Andi SyamsuAlam, Makalah disampaikan padaSeminar Nasional "Implementasi Ekonomi
Syari'ah di Indonesia, PPS Universitas 17 Agustus 45, Jakarta 3 Juni 2006.
16
karena itu, upaya yang harus dilakukannya adalah kewajiban / keharusan menerapkan
tata kelola yang baik, yang mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas,
pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran dalam menjalankan kegiatan
usahanya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 34 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, serta keharusan menerapkan prinsip kehati-hatian seperti
disebutkan dalam Pasal 35 ayat (1) undang-undang yang sama.
Kepercayaan besar yang diberikan kepada umat Islam dengan pemberlakuan
kaidah-kaidah yang Islami haruslah disadari bahwa sebenarnya hal itu
mempertaruhkan nama baik Islam sendiri, karena orang akan melihat wujud dan
bentuk Islam lewat pelaksanaan hukum tersebut, baik atau tidaknya pelaksanaan
kaidah-kaidah tersebut tentunya akan sangat terkait dan berimbas kepada umat Islam.
Sikap akomodatif yang selama ini diberikan oleh negara kepada umat Islam
seharusnya memacu umat Islam untuk membuktikan bahwa hukum Isiam tidaklah
seperti yang dikhawatirkan banyak orang tentang kekejaman dan pengingkaran
kepada hak asasi manusia, tetapi hukum Islam itu rahmatan lil ׳alamin,
menciptakan kedamaian dan kesejahteraan kepada umat manusia, tidak hanya
bagi umat Islam sendiri, tetapi juga untuk umat lainnya, seperti yang pernah
dipraktekkan Nabi Muhammad sewaktu membentuk negara Madinah. Pasal 14
undang-undang di atas menyebutkan " Warga Negara Indonesia, Warga Negara
Asing, Badan Hukum Indonesia, atau Badan Hukum Asing dapat memiliki atau
membeli saham Bank Umum Syariah secara langsung atau melalui bursa efek,
menunjukkan bahwa Bank Umum Syariah berusaha mewujudkan rahmatan li al-
׳Âlamîn.
Di samping beberapa undang-undang di atas ada tiga faktor yang
menyebabkan hukum Islam masih memiliki peran besar dalam kehidupan bangsa
kita. Pertama, hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur
kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik
dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenan, dan larangan agama.
Kedua, banyak keputusan hukum dan unsur yurisprudensial dari hukum Islam telah
17
diserap menjadi bagian dari hukum positif yang berlaku. Ketiga, adanya golongan
yang masih memiliki aspirasi teokratis di kalangan umat Islam dari berbagai negeri
sehingga penerapan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan
yang masih mempunyai appeal cukup besar.24
Terkait dengan upaya tersebut − dalam tulisan ini − penulis ingin lebih fokus
melihat sumbangan tradisi hukum Islam atau hukum fiqh dalam rangka
pembangunan hukum nasional. Karena, hukum Islam (hukum fiqh) itu sendiri
secara umum memang diakui sebagai salah satu sumber dalam rangka pembaruan
hukum di Indonesia, selain hukum adat dan hukum barat. Bagaimana pun, hukum
barat, hukum adat, maupun hukum Islam itu, mempunyai kedudukan yang sama
sebagai sumber norma bagi upaya pembentukan hukum nasional.
Selain itu, secara sosiologis, kedudukan hukum Islam (hukum fiqh) itu sendiri
di Indonesia, melibatkan kesadaran keagamaan mayoritas penduduk yang sedikit
banyak berkaitan pula dengan masalah kesadaran hukum. Baik norma agama maupun
norma hukum selalu sama-sama menuntut ketaatan. Apalagi, jika norma hukum itu
disebandingkan dengan aspek hukum dari norma agama itu, akan semakin jelaslah
keeratan hubungan antara keduanya. Keduanya sama-sama menuntut ketaatan dan
kepatuhan dari warga masyarakatnya. Tahir Azhari mengatakan bahwa hukum Islam
mengikat setiap individu yang beragama Islam untuk melaksanakannya, yang
implementasinya terbagi dalam 2 perspektif, yaitu : 1) ibadah mahdlah, dan tanpa
campur tangan penguasa kecuali untuk fasilitasnya 2) muamalah, baik yang bersifat
perdata maupun publik, yang melibatkan kekuasaan negara.25
Kontribusi baru dari hukum Islam terhadap hukum nasional adalah berupa
24Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia (Kata Pengantar), Bandung: Remaja Rosdakarya eeL ke-2
1994, hal. XV
25Tahir Azhari, Posisi Peradilan Agama dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 :
Perspektif Hukum Masa Datang, dalam Ditbitbapera Islam-afakultas Hukum UI-Pusat Pengkajian Hukum
Islam dan Masyarakat, Jakarta : Chasindo, 1999), hal. 121.
18
kehadiran Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah melalui PERMA Nomor 02
Tahun 2008. Pasal 1 Perma tersebut menyatakan bahwa Kitab ini menjadi pedoman
prinsip syari'ah bagi para Hakim dengan tidak mengurangi tanggung jawab Hakim
untuk menggali dan menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan
benar.
Selain karena alasan sosiologis dan alasan praktis-pragmatis di atas, keeratan
hubungan antara ulama dan umara26 serta agama dan hukum, termasuk dalam dan
untuk Hukum Pidana yang hendak diperbaharui itu, dapat pula dilihat secara
filosofis-politis dan yuridis.
Secara filosofis-politis, keeratan hubungan keduanya dapat dilihat dari
perspektif Pancasila yang menurut doktrin ilmu hukum di Indonesia merupakan
sumber dari segala sumber hukum. Di dalam Pancasila itu sendiri, agama
mempunyai posisi yang sentral. Di dalamnya, terkandung prinsip yang
menempatkan agama dan ke-Tuhanan Yang Maha Esa dalam posisi yang
pertama dan utama.
Demikian juga dengan tinjauan juridis, kedudukan agama dalam konteks
hukum dan keeratan hubungan antara keduanya dijamin menurut Pembukaan
UUD 1945 dan Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan:
1."Atas berkat Rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorong oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia,
menyatakan dengan ini kemerdekaannya."
2. Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa."
3. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
Untuk mewujudkan Hukum Islam dapat menjadi lebih prospektif dalam
kodifikasi hukum nasional pada masa datang political will para legislator di tingkat
pusat dan daerah rnerupakan prasyarat utama. Putusan-putusan Pengadilan/Hakim yang
26secara personal dan dilambangkan pula dengan keberadaan mesjid di kantor-kantor pemerintah
provinsi dan Kabupaten/Kota yang sering disebut dengan mesjid agung Gubernur/Bupati/Walikota.
19
sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat yang islami turut berperan pula.
Demikian pula halnya dengan peran akademisi dalam pengembangan dan penelitian
yang dapat menunjang perkembangan hukum Islam di Indonesia. Dan yang juga
tidak kalah pentingnya adalah peran para ulama, kyai yang mengajarkan dan tetap
menyiarkan materi-materi hukum Islam kepada para santri serta jamaahnya yang
tersebar di berbagai pelosok tanah air. Dalam buku-buku Tafsir disebutkan bahwa para
legislator, yuris, pemerintah, dan ulama/akademisi, termasuk dalam makna uli al-amr,
yang termasuk untuk ditaati sebagaimana perintah Allah dalam surat al-Nisa, ayat : 59.
Demikian beberapa argumen yang memberikan peluang kepada hukum Islam
untuk berkembang dan layak dijadikan bahan pertimbangan dalam pcmbangunan hukum
nasional, karena bangsa Indonesia perlu menformulasikan hukum sesuai dengan filsafat
hukum Indonesia, sebab aturan hukum yang ada sekarang ini masih banyak yang
merupakan warisan bangsa Belanda. Contohnya sistem Hukurn Pidana yang kita
berlakukan sampai saat ini merupakan warlsan Belanda yang diperuntukkan
berlakunya terutama bagi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terjajah. Pada
waktu itu sistem hukum demikian sesuai dengan keadilan menurut versi penjajah.
Setelah Indonesia merdeka tentu perlu ditinjau kembali dan kalau tidak sesuai
dengan kebutuhan bangsa serta rasa keadilan kiranya tidak perlu dan tidak akan
dipertahankan.27
III. Penutup
Perkembangan hukum Islam di Indonesia memiliki peluang yang sangat
cerah dalam pembangunan hukum nasional, karena secara sosioantropologis dan
emosional, hukum Islam sangat dekat dengan rnasyarakat Indonesia yang
mayoritas penduduknya beragama Islam. Se!ain itu secara historis hukum Islam
telah dikenal jauh sebelum penjajah masuk ke Indonesia.
Peluang bagi masa depan hukum Islam di Indonesia juga terbuka karena
27Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2003, cet.
Kedelapan, hal. 170.
20
telah banyak aturan dalam hukum Islam yang disahkan menjadi hukum
nasional, dan hal ini memperlihatkan bagaimana politicall will pemerintah yang
memberikan respon dan peluang yang baik bagi hukum Islam. Dengan melihat
realitas kedekatan, kompleksitas materi hukum Islam pada masa datang,
peluang hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional akan lebih luas lagi.
Demikian juga peran akademisi yang melakukan pengembangan dan
penelitian yang konstruktif dapat menunjang perkembangan hukum Islam di
Indonesia. Yang tidak kalah pentingnya adalah peran para ulama, kyai yang
secara ikhlas mengajarkan dan tetap menyiarkan materi-materi hukum Islam
kepada para santri serta jamaahnya yang tersebar di berbagai pelosok tanah air.
Semua itu secara alami akan tetap menjaga keberadaan hukum Islam di
Indonesia.
21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download Lagu Gratis, MP3 Gratis