Bookmark and Share

Rabu, 13 Januari 2010

Pengadilan Agama Dalam Sengketa Syariah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pengadilan Agama sebagai salah satu dari empat lembaga peradilan yang ada di Indonesia. semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, mempunyai wewenang baru sebagai bagian dari yurisdiksi absolutnya, yaitu kewenangan untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan sengketa dibidang ekonomi syari’ah.
Wewenang baru tersebut bisa dikatakan sebagai tantangan dan sekaligus peluang bagi lembaga peradilan agama. Dikatakan sebagai tantangan karena selama ini bagi Pengadilan Agama belum ada pengalaman apa pun dalam menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syari’ah, sehingga kalau pun sekiranya datang suatu perkara tentang sengketa ekonomi syari’ah , maka bagi lembaga peradilan agama ini mesti mencari dan mempersiapkan diri dengan seperangkat peraturan perundangan maupun norma hukum yang terkait dengan persoalan ekonomi syari’ah.
Hukum Islam sebagai sebuah hukum yang hidup di Indonesia menghalami perkembangan yang cukup berarti dalam masa kemerdekaan ini. Perkembangan tersebut antara lain dapat dilihat dari kewenangan yang dimiliki oleh Peradilan Agama (PA) sebagai peradilan Islam di Indonesia. Dulunya, putusan PA murni berdasarkan fiqh para fuqaha', eksekusinya harus dikuatkan oleh Peradilan Umum, Para hakimnya hanya berpendidikan Syari'ah tradisional dan tidak berpendidikan hukum, organisasinya tidak berpuncak ke Mahkamah Agung, dan lain-lain. Sekarang keadaan sudah berubah. Salah satu perubahan mendasar akhir-akhir ini adalah penambahan kewenangan PA dalam Undang-Undang Peradilan Agama yang baru, antara lain bidang ekonomi syari'ah.
Persoalannya sampai saat ini belum ada aturan hukum positive yang secara terperinci mengatur tentang acara penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, namun demikian bukan berarti tidak ada aturan hukumnya atau dengan kata lain telah terjadi “kekosongan hukum” dalam persoalan ini. Karena pada asasnya pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili Oleh karena itu walau pun aturan formal yang berkenaan dengan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah belum ada, pengadilan agama sebagai lembaga yang diberi wewenang oleh negara untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah sudah seharusnya mengerahkan segenap potensinya untuk menjawab tantangan tersebut.
Untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan proses penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah ini kiranya pengadilan agama harus berani dan mampu menggali nilai-nilai maupun norma-norma hukum Islam, baik yang terdapat dalam kitab Al-Qur’an, al-Sunnah maupun kitab-kitab fiqh /ushul fiqh serta fatwa-fatwa Majelis Ulama’ yang dalam hal ini melalui Dewan Syari’ah Nasional yang berkaitan dengan persoalan-persoalan diseputar ekonomi syari’ah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan kepada latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan pokok-pokok masalah sebagai berikut :
1. Mengapa sengketa ekonomi syari’ah mesti diselesaikan melalui Badan Peradilan Agama ?
2. Bagaimana cara-cara dan proses penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama ?
3. Pengadilan Agama mana yang paling berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah (kompetnsi relative) ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian tentang sengketa ekonomi syari’ah dan penyelesaiannya di Pengadilan Agama mengandung maksud dan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui lebih mendalam mengapa Pengadilan Agama lebih berwenang dalam meyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah ?
2. Untuk menganalis lebih jelas bagaimana cara-cara dan proses penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama.
3. Untuk memperoleh informasi yang pasti tentang Pengadilan Agama mana yang paling berwenang (kompetensi relatif) memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara sengketa ekonomi syari’ah.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian tentang penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di lingkungan Pengadilan agama diharapkan memiliki manfaat tertentu.. Manfaat tersebut sekurang-kurangnya meliputi dua aspek, yaitu:
1. Manfaat sosial (social value), yang diharapkan berguna untuk :
a. Memberi gambaran atau pedoman awal bagi lembaga Peradilan Agama tentang bagaimana cara-cara dan proses penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah.
b. Memberi informasi kepada masyarakat muslim Indonesia pada umumnya, khususnya para pelaku bisnis syari’ah tentang cara-cara menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah melalui pengadilan agama.
c. Memberi pedoman praktis kepada para praktisi hukum khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan proses penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
2. Manfaat akademik (academic value)
a. Diharapkan penulisan tesis tentang proses penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di pengadilan agama ini dapat dijadikan sebagai pemenuhan salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Studi Islam pada Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia.
b. Manfaat lain dari penulisan tesis ini diharapkan bisa menambah khazanah keilmuan dalam bidang penyelesaian sengkerta ekonomi syari’ah.

E. Telaah Pustaka
Dari penelusuran referensi yang ada tidak banyak dijumpai karya-karya ilmiyah yang membahas persoalan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di lingkungan Pengadilan Agama . Hal ini bisa dimaklumi karena persoalan ini relatif masih baru. Namun demikian hal-hal yang masih ada relevansinya dengan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dapat dijumpai pada beberapa karya ilmiyah, diantaranya adalah tulisan Dr. Dadan Muttaqien tentang “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah Di Luar Lembaga Peradilan”. Dalam tulisan ini dijelaskan bahwa pada prinsipnya penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di luar lembaga peradilan (non litigasi) ada dua cara yang bisa ditempuh, yaitu melalui lembaga perdamaian (al-Shulh) dan melalui lembaga arbitrase (al-Tahkim).
Di Indonesia, lembaga perdamaian telah diakui keberadaannya melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaaian Sengketa. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa negara memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah sengketa bisnisnya di luar lembaga peradilan, baik melalui konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi, atau penilaian para ahli.
Sedangkan lembaga tahkim disini yang dimaksud adalah penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS ). Sebagai gambaran tentang peraturan dan prosedur Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) adalah sebagai berikut:
1. Penagajuan Permohonan
Proses arbitrase dimulai dengan didaftarkannya surat permohonan untuk mengadakan arbitrase oleh Sekretaris dalam Register Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS). Dalam surat permohonannya tersebut harus memuat sekurang-kurangnya nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan kedua belah pihak, suatu uraian singkat tentang salinan naskah perjanjian Arbitrasenya dan suatu surat kuasa khusus jika diajukan oleh kuasa hukum.
2. Selanjutnya, surat permohonan itu akan diperiksa oleh Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) , untuk menentukan apakah Badan Arbitrase Nasional (BASYARNAS) berwenang memeriksa dan memutuskan sengketa arbitrase yang dimohonkan tadi. Dalam hal perjanjian atau klausula arbitrase dianggap tidak cukup kuat dijadikan dasar kewenangan Badan Arbitrase Nasional (BASYARNAS) untuk memeriksa sengketa yang diajukan, maka Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) akan meyatakan permohonan itu tidak dapat diterima (niet outvankelijk verklaard) yang dituangkan dalam sebuah penetapan yang dikeluarkan oleh Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) sebelum pemeriksaan dimulai atau dapat pula dilakukan oleh arbiter tunggal atau arbiter majelis yang ditunjuk dalam hal pemeriksaan telah dimulai. Sebaliknya, jika perjanjian atau klausula arbitrase dianggap telah mencukupi, maka Ketua Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) segera menetapkan dan menunjuk arbiter tunggal atau majelis yang akan memeriksa dan memutus sengketa berdasarkan berat ringannya sengketa. Arbiter yang ditunjuk tersebut dapat dipilih dari arbiter atau menunjuk seorang ahli dalam bidang khusus yang diperlukan untuk menjadi arbiter, karena pemeriksaanya memerlukan suatu keahlian khusus. Dengan demikian susunan arbiter dapat pula dalam bentuk tunggal atau majelis.
3. Arbiter yang ditunjuk memerintahkan untuk menyampaikan salinan surat permohonan kepada Termohon disertai perintah untuk menanggapi permohonan tersebut dan memberikan jawabannya secara tertulis selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya salinan surat permohonan dan surat panggilan. Segera setelah diterimanya jawaban dari Termohon, atas perintah Arbiter tunggal atau Ketua ArbiterMajelis, salinan dari jawaban tersebut diserahkan kepada Pemohon dan bersamaan dengan itu memerintahkan kepada para pihak untuk menghadap di muka sidang Arbitrase pada tanggal yang ditetapkan, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya perintah itu, dengan pemberitahuan bahwa mereka boleh mewakilkan kepada kuasa hukumnya masing-masing dengan surat kuasa khusus.
4. Pemeriksaan persidangan Arbitrase dialakukan di tempat kedudukan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS), kecuali ada persetujuan dari kedua belah pihak, pemeriksaan dapat dilakukan di tempat lain. Arbiter Tunggal atau Majelis dapat melakukan sidang ditempat untuk memeriksa saksi, barang, atau benda dokumen yang mempunyai hubungan dengan para pihak yang bersengketa. Putusan harus diambil dan dijatuhkan di tempat kedudukan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS).
5. Selama proses dan pada setiap tahap pemeriksaan berlangsung Arbiter tunggaal atau majelis harus memberi perlakuan dan kesempatan yang sama sepenuhnya terhadap para pihak (equality before the law) untuk membela dan mempertahankan kepentingan yang disengketekannya. Arbiter tunggal atau Majelis , baik atas pendapat sendiri atau para pihak dapat melakukan pemeriksaan dengan mendengar keterangan saksi, termasuk saksi ahli dan pemeriksaan secara lisan di antara para pihak, setiap bukti atau dokumen yang disampaikan salah satu pihak kepada Arbiter Tunggal atau Majelis salinannya harus disampaikan kepada pihak lawan. Namun, pemeriksaan dibolehkan secara lisan (oral hearing). Tahap pemeriksaan dimulai dari jawab-menjawab (replik-duplik), pembuktian dan putusan dilakukan berdasarkan kebijakan Arbiter Tunggaal atau Majelis.
6. Dalam jawabannya, atau paling lambat pada sidang pertama pemeriksaan, Termohon dapat mengajukan suatu tuntutan balasan (reconventie). Terhadap bantahan yang diajukan Termohon, Pemohon dapat mengajukan jawaban (replik) yang dibarengi dengan tambahan tuntutan (Additional Claim) asal hal itu mempunyai hubungan yang sangat erat langsung dengan pokok yang disengketekan serta termasuk dalam Yurisdiksi Badaan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS), baik tuntutan konvensi, rekonvensi maupun addional Claim akan diperiksa dan diputus oleh Arbiter atau maajelis terlebih dulu akan mengusahakan tercapainya perdamaian. Apabila usaha tersebut berhasil, maka Arbiter Tunggal akan membuat akta perdamaian dan mewajibkan kedua belah pihak untuk memenuhi dan mentaati perdamaian tersebut masing-masing. Sebaliknya, apabila perdamaian tidak berhasil, maka Arbiter Tunggal atau Majelis akan meneruskan pemeriksaan sengketa yang dimohon. Dalam hal yang diteruskan para pihak dipersilakan untuk memberikan argumentasi dan pendirian masing-masing serta mengajukan bukti-bukti yang dianggap perlu untuk mengatakannya. Seluruh pemeriksaan dilakukan secara tertutup sesuai dengan saran arbitrase yang tertutup.
7. Arbiter tunggal atau Majelis akan menutup pemeriksaan sengketa arbitrase dan menetapkan suatu hari sidang untuk mengucapkan putusan yang diambil, bila menganggap pemeriksaan telah cukup, dengan tidak menutup kemungkinan dapat membuka sekali lagi pemeriksaan (to open) sebelum putusan dijatuhkan bila dianggap perlu.
8. Putusan diambil dan diputuskan dalam suatu sidang yang dihadiri kedua belah pihak. Bila para pihak telah dipanggil secara patut, tetapi jika tidak ada yang hadir, maka putusan tetap diucapkan. Seluruh proses pemeriksaan sampai diucapkannya putusan oleh Arbiter Tunggal atau Majelis akan diselesaikan selambat-lambatnya sebelum jangka waktu 6 (enam) bulan habis, terhitung sejak dipanggilnya pertama kali para pihak untuk menghadiri sidang pertama pemeriksaan.
9. Putusan Arbitrase tersebut harus memuat alasan-alasan, kecuali para pihak menyetujui putusan tidak perlu membuat alasan. Arbiter Tunggal atau Majelis harus memutus berdasar kepatutan dan keahlian sesuai dengan ketentuaan hukum yang berlaku bagi perjanjiaan yang menimbulkan sengketa dan disepakati para pihak. Putusannya bersifat final dan mengikat para pihak yang bersengketa dan para pihak wajib mentaati seta memenuhi secara suka rela seperti yang disebut di atas. Apabila putusan tidak dipenuhi secara suka rela, maka putusan dijalankan menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 637 RV dan Pasal 639 RV.
Walaupun putusan arbiter itu bersifat final , namun Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Syari’ah Nasional memberikan kemungkinan kepada salah satu pihak untuk mengajukan secara tertulis, permintaan pembatalan putusan (annulment of the award) arbitrase tersebut yang disampaikan kepada sekretaris BASYARNAS dan tembusan kepada pihak lawan sebagai pemberitahuan. Pengajuan pembatalan putusan paling lambat dalam waktu 60 (enam puluh) hari dari tanggal putusan diterima, kecuali mengenai alasan penyelewengan dan hal itu berlaku paling lama dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak putusan dijatuhkan. Permintaan pembatalan putusan hanya dapat dilakukan berdasarkan salah satu alasan sebagai berikut:
a. Penunjukan Arbiter Tunggal atau Majelis tidak sesuai dengan ketentuan,
b. Putusan melampaui batas kewenangan BASYARNAS,
c. Putusan melebihi yang diminta para pihak,
d. Terdapat penyelewengan diantara saalah salah seorang arbiter,
e. Putusan jauh menyimpang dari ketentuan pokok dan putusan tidak memuat alasan-alasan yang menjadi landasan pengambilan putusan.
Sementara itu dalam tulisan Dr. Rifyal Ka’bah yang berjudul” Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Sebagai Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama” yang termuat dalam Majalah Hukum Varia Peradilan tahun Ke XXI Nomor 245 April 2006, lebih banyak mambahas tentang pengalaman BASYARNAS dalam menyelesaian sengketa ekonomi syari’ah yang diajukan kepadanya, dimana didalam menyelesaiakan sengketa ekonomi syari’ah BASYARNAS menggunakan dua hukum yang berbeda, yakni hukum Islam seperti yang diformulasikan oleh DSN (Dewan Syari’ah Nasional) dan pasal-pasal dalam KUHPerdata. Hal ini dilakukan karena ketiadaan peraturan perUndang-Undangan tentang perbankan syari’ah secara khusus dan ekonomi syari’ah secara umum.
Selain kedua referensi di atas terdapat satu tesis MSI-UII Yogyakarta yang disusun oleh Yususf Buchori dengan judul “Litigasi Sengketa Perbankan Syari’ah Dalam Persektif Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (Study Kasus Putusan Pada Pengadilan Agama Purbalingga)” , dalam pembahasannya lebih terfokus kepada studi kasus pada sengketa perbankan syari’ah yang diadili dan diselesaikan oleh pengadilan Agama Purbalinga, bukan kepada penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah pada umumnya. Sebaagaimana dalam salah satu kesimpulannya Yusuf Buchori menyatakan, bahwa dalam menyelesaikan sengketa perbankan syari’ah terdapat dua lapangan hukum (two level playing fields) , yaitu syari’ah level dan legal level. Hal ini dikarenakan dalam praktek Bank Syari’ah dalam mengadakan akad secara formal berpedoman kepada KHUPerdata (BW) dan secara materiil atau substansinya berdasarkan prinsip syari’ah.
Dari ketiga referensi di atas secara jelas belum ada yang membahas proses penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dilingkungan Peradilan Agama. Oleh karena itu cukup alasan bagi diri Penyusun untuk menyusun tesis ini dalam rangka untuk menambah khazanah keilmuan dalam hal penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, khususnya bagi lembaga Pengadilan Agama.

F. Kerangka Teori
Ekonomi atau ilmu ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi atau ilmu ekonomi konvensional yang berkembang di dunia dewasa ini, karena yang pertama terikat kepada nilai-nilai Islam dan yang kedua memisahkan diri dari agama semenjak negara-negara Barat berpegang kepada sekularisme dan menjalankan politik sekularisasi. Sungguh pun demikian, tidak ada ekonomi yang terpisah dari nilai atau tingkah laku manusia, tetapi pada ekonomi konvensional, nilai yang digunakan adalah nilai duniawi semata (profane, mundane).
Yang dimaksud dengan kata syari'ah dalam ekonomi syari'ah sebenarnya adalah fiqh para fuqaha'. Hal itu karena salah satu pengertian syari'ah yang berkembang dalam sejarah adalah fiqh dan bukan ayat-ayat dan/atau hadits-hadits semata sebagai inti agama Islam atau ayat-ayat dan/atau hadts-hadits hukum saja secara khusus. Pemakaian kata syari'ah sebagai fiqh tampak secara khusus pada pencantuman syari'ah Islam sebagai sumber legislasi di beberapa negara muslim (dan juga pada 7 kata dalam Piagam Jakarta), perbankan syari'ah, asuransi syari'ah, ekonomi dan keuangan syari'ah secara umum di Indonesia, serta Pengadilan Syari'ah (Mahkamah Syar'iyah) di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Inilah yang diistilahkan dalam bahasa Barat sebagai Islamic Law, de Mohammadan wet/recht, la loi islamique, dan lain-lain.
Ada pun pengertian ekonomi Islam adalah merupakan suatu ilmu yang mempelajari perilaku muslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti Al-Qur’an, hadits Nabi Muhammad SAW., ijma’ dan qiyas.
Islam memang sebagai suatu sistem nilai yang sedemikian lengkap dan menyeluruh dalam mengatur kehidupan umat manusia di dunia ini, tak terkecuali di dalam persoalan perekonomian. Dalam hal ini Islam telah mengatur bagaimana nilai-nilai yang terkandung di dalam sistem perekonomian Islam tersebut. Untuk ini Muhammad Syafi'i Antonio dalam bukunya Bank Syari'ah, dari Teori ke Praktek, telah menguraikan :
1. Perekonomian masyarakat luas – bukan hanya masyarakat Muslim – akan menjadi baik bila menggunakan kerangka kerja atau acuan norma-norma Islami.
Banyak ayat Al-Qur'an yang menyerukan penggunaan kerangka kerja perekonomian Islam, diantaranya adalah :
       •                   •      
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah Telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”

Semua ayat tersebut merupakan penentuan dasar pikiran dari pesan Al-Qur'an dalam bidang ekonomi. Dari ayat-ayat tersebut dapat difahami bahwa Islam mendorong penganutnya untukmenikmati karunia yang telah diberikan oleh Allah. Karunia tersebut harus didayagunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ,baik materi maupun non materi.
Islam juga mendorong penganutnya berjuang untuk mendapatkan materi/harta dengan berbagai cara, asalkan mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan.
Salah satu hadits Rasulullah SAW menegaskan :
االمســلمون على شروطـهم الا حرم حلالا اواحل حـــرامـا
Artinya :"Kaum Muslimin (dalam kebebasan) sesuai dengan syarat dan kesepakatan mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

Rambu-rambu tersebut di antaranya: carilah yang halal lagi baik; tidak menggunakan cara batil; tidak berlebih-lebihan/melampaui batas; tidak di zhalimi maupun menzhalimi; menjauhkan diri dari unsur riba; maisir (perjudian dan intended speculation); dan gharar (ketidak-jelasan dan manipulatif ) serta tidak melupakan tanggung jawab sosial berupa zakat, infak dan sedekah. Ini yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan perekonomian konvensional yang menggunakan prinsip self interest (kepentingan pribadi) sebagai dasar perumusan konsepnya.
2. Keadilan dan Persaudaraan Menyeluruh.
Islam bertujuan untuk membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid. Dalam tatanan itu setiap individu diikat oleh persaudaraan dan kasih sayang bagai satu keluarga. Sebuah persaudaraan yang universal dan tak diikat batas geografis.
Keadilan dalam Islam memiliki implikasi sebagai berikut :
a. Keadilan Sosial;
b. Keadilan Ekonomi;
3. Keadilan Distribusi Pendapatan.
Kesenjangan pendapatan dan kekayaan alam yang ada dalam masyarakat, berlawanan dengan semangat dan komitmen Islam terhadap persaudaraan dan keadilan sosial-ekonomi. Kesenjangan harus diatasi dengan menggunakan cara yang ditekankan Islam.
4. Kebebasan Individu dalam Konteks Kesejahteraan Sosial.
Konsep Islam amat jelas. Manusia dilahirkan merdeka. Karenanya tidak ada seorang pun – bahkan negara mana pun – yang berhak mencabut kemerdekaan tersebut dan membuat hidup manusia menjadi terikat. Dalam konsep ini setiap individu berhak menggunakan kemerdekaannya tersebut sepanjang tetap berada dalam kerangka norma-norma Islami. Dengan kata lain, sepanjang kebebasan tersebut dapat dipertanggung-jawabkan, baik secara sosial maupun dihadapan Allah.
Sedangkan yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah” perbuatan atau kegiatan usaha yang dilakukan menurut prinsip syari’ah,” antara lain meliputi :
a. bank syari’ah;
b. asuransi syari’ah;
c. reasuransi syari’ah;
d. reksadana syari’ah;
e. lembaga keuangan mikro syari’ah;
f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g. sekuritas syari’ah;
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah;
k. bisnis syari’ah.
Menegenai sendi-sendi Islam, menurut catatan Abu A’la Al-Maududi terdapat tujuh hal sebagai berikut :
a. Adanya prinsip perbedaan antara yang halal dan yang haram mengenai jalan-jalan mencari kekayaan. Dalam hal ini Islam tidak membenarkan bagi umatnya untuk mencari kekayaan semau-mau mereka, tetapi Islam menegaskan perbedaan antara mereka dalam mencari penghidupan melalui jalan-jalan yang sah dan yang tidak sah. Prinsip ini diterangkan oleh Allah dalam firman-Nya :
                    •                  • 
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu ; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

Ayat ini telah menetapkan dua perkara sebagai syarat bagi sahnya perdagangan. Pertama, hendaklah perdagangan itu dilakukan dengan suka sama suka diantara kedua belah pihak. Kedua, hendaklah keuntungan satu pihak, tidak berdiri di atas dasar kerugian pihak yang lain. Maksudnya adalah bahwa tiap-tiap orang yang merugikan orang lain untuk membela kepentingan pribadinya, maka seolah-olah ia menumpahkan darahnya dan membukakan jalan kebinasaan bagi dirinya akhir kesudahannya. Pencurian, penyuapan, perjudian, jual beli secara gharar , penipuan, pemalsuan, membungakan uang dan lain-lain jalan mencari kekayaan, apabila terdapat di dalamnya kedua sebab ini menjadikan dia tidak sah. Dan jika hanya terdapat sebagian syarat , misalnya “suka sama suka”, diantara kedua belah pihak, maka ia masih membutuhkan satu syarat lagi, yaitu sebagaimana yang dimaksud dalam ayat :
  
Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri.”

b. Larangan menumpuk / mengumpulkan harta.
Bahwa seyogyanya seseorang yang baik tidak mengumpulkan harta yang didapatnya dengan jalan yang sah, karena yang demikian itu menghambat perputaran kekayaan dan merusak keseimbangan dalam pembagiannya dikalangan masyarakat ramai. Orang yang mengumpulkan harta dan tidak membelanjakannya, tidak hanya mencampakkan dirinya ke dalam berbagai penyakit moril saja, tetapi juga melakukan sesuatu kejahatan yang besar terhadap masyarakat seluruhnya, dimana madharatnya dan keburukannya akan kembali menimpa dirinya juga. Oleh karena itu Islam sangat mencela dan memerangi sifat kebakhilan, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
 •                                 
Artinya :” Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”


c. Perintah untuk membelanjakan harta. Tetapi walaupun demikian Islam tidak membenarkan umatnya membelanjakan hartanya dengan jalan boros, semata-mata untuk memuaskan hawa nafsu. Akan tetapi didalam membelanjakan harta tersebut haruslah didasari “fi sabilillah”. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :
             
Artinya : “…. dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.”

    •    
Artinya : “ Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).”

                                
Artinya : “ Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan Karena mencari keridhaan Allah. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).”

d. Zakat.
Kewajiban zakat dimaksudkan agar supaya kekayaan tidak dibiarkan terkumpul disalah satu tempat dalam masyarakat.
e. Hukum Waris.
Yang dikehendaki dalam aturan ini adalah apabila seseorang meninggalkan harta benda, maka harta bendanya tersebut dibagi-bagikan kepada sanak kerabatnya yang terdekat, dan apabila tidak meninggalkan sanak kerabat semua harta peninggalannya harus diserahkan ke Baitul Mal kaum muslimin, supaya dapat dinikmati manfaatnya oleh seluruh umat.
f. Pembagian rampasan perang.
Islam telah mengatur harta-harta yang diperoleh dari hasil rampasan perang, secara lebih adil dan lebih bermanfaat bagi sesama pihak.
g. Perintah untuk berhemat dalam perbelanjaan.
Islam menghendaki, bahwa tidak seyogyanya seseorang membelanjakan hartanya kecuali dalam batas-batas kemampuan ekonominya

Berangkat dari uraian di atas, dapat dimunculkan kerangka teori sebagai berikut :“Bahwa ikatan antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat adalah erat-semata-mata karena fitrah keduanya. Antara keduanya harus ada keselarasan dan keserasian, bukan persaingan dan pertarungan.”
Sementara itu, untuk menyelesaikan sengketa ekonomi/bisnis syari’ah pada umumnya pihak penggugat menuntut ganti rugi dari pihak tergugat atas tidak terpenuhinya “prestasi” yang telah disepakati bersama dalam suatu akad perjanjian yang telah dibuat oleh mereka. Oleh karena itu disini perlu dijelaskan beberapa teori ganti rugi (ta’wid, daman).
Berkaitan dengan hal tersebut definisi .daman mengandung makna-makna sebagai berikut:
1. Objek wajib ̣ḍaman terletak pada zimmah (perjanjian). Kewajiban .daman tidak akan gugur kecuali dengan memenuhi atau dibebaskan oleh pihak yang berhak menerima ganti rugi tersebut. Pihak yang dirugikan (mutadarrar) berhak mengadukan ke pengadilan untuk memaksa pihak yang menyebabkan terjadinya kerugian (mutasabbib) agar memenuhi kewajibannya. Hal ini berbeda dengan kewajiban yang bersifat moral atau keagamaan di mana Syari’ hanya mendorong untuk memenuhinya tanpa implikasi hukuman keduniaan atas pelenggaran itu. Hal ini termasuk katagori khitab al-targib yang meliputi, dalam istilah kaum ushuli, makruhat dan mandubat. Zimmah menurut bahasa adalah al-aqdu (perjanjian). Menurut tradisi fuqaha’ zimmah adalah suatau sifat yang menjadikan seseorang mempunyai kompetensi untuk menerima hak atau melakukan kewajiban.
2. Hak yang dibebankan kepada seseorang berdasarkan .daman berbeda dengan kewajiban seseorang berdasarkan ‘uqubah baik pada karakter maupun tujuannya. Wajib karena .daman disyariatkan untuk melindungi hak-hak individu. Pada saat yang sama ‘uqubah disyariatkan karena adanya unsur pelanggaran (al-ta’addi) terhadap hak-hak Allah SWT. Wajib pada .daman disyariatkan untuk mengganti atau menutupi (al-ajru) kerugian yang terjadi pada seseorang. Sementara ‘uqubah ditetapkan untuk menghukum pelaku agar jera dan tidak melakukan perbuatan itu kembali (al-zajru).
3. Sebab-sebab .daman adalah adanya unsur al-ta’adi , yaitu melakukan perbuatan terlarang dan atau tidak melakukan suatu kewajiban menurut hukum. Ta’addi dapat terjadi karena melanggar perjanjian dalam akad yang semestinya harus dipenuhi. Misalnya, tempat penitipan barang (al-muda) tidak memelihara barang sebagaimana mestinya, seorang al-ajir (buruh upahan, orang sewaan) dengan al-musta’jir (penyewa) sama-sama meyalahi akad. Ta’addi juga dapat terjadi karena melanggar hukum syari’ah (mukhalafatu ahkam syari’ah) seperti pada kasus perusakan barang (al-itlaf), perampasan(al-gash), maupun kelalaian atau penyia-nyiaan barang secara sengaja (al-ihmal).
4. Ta’addi yang mewajibkan .daman benar-benar menimbulkan ..darar (kerugian). Jika tidak menimbulkan kerugian, maka tidak ada .daman, karena secara fatual tidak ada .darar yang harus digantirugikan. Itulah sebabnya jika seorang pengendara yang lalai menabrak barang orang lain tetapi tidak menimbulkan kerusakan, tidak diwajibkan untuk memberikan .daman. Namun demikian, tedapat suatu perbuatan dengan sendirinya mewajibkan .daman seperti al-gasbu (perampasan) . Menurut jumhur ulama, pelaku perampasan harus mengganti manfaat barang yang dirampas walaupun tidak memanfaatkannya. Ini adalah bagian dari adanya asumsi bahwa kerugian akan selalu ada pada kasus-kasus perampasan. Damikian pula diduga kuat akan terjadi kerugian (.darar) bagi seseorang yang dibatasi kebebasannya atau seseorang yang ditahan secara ilegal menurut fuqaha’ Hanabilah. Hal ini mirip dengan Strict Liability dalam hukum Inggris. Pengecualian ini memperkuat kaidah bahwa al-.darar syarthum liwujubi .daman (kerugian adalah syarat terhadap keharusan ganti rugi).
5. Antara ta’addi (pelanggaran) dengan .darar (kerugian) harus memiliki hubungan kausalitas. Artinya, .darar dapat dinisbatkan kepada pelaku pelanggaran secara langsung. Jika .darar dinisbatkan kepada sebab-sebab lain, bukan perbuatan pelaku pelanggaran (muta’addi) sendiri, maka .daman tidak dapat diberlakukan , karena seseorang tiadak dapat dibebani tanggungjawab atas akibat perbuatan orang lain. Kaidah syariah mengenai masalah ini adalah:
لاتزر وازرة وزر اخر ؛ لا يؤاخذ احد بجريرة غيره.
6. .darar harus bersifat umum sesuai dengan keumuman hadit Nabi: laa .darara wa la .dirara (tidak boleh merugikan diri sendiri dan merugikan orang lain). Tingkat .darar diukur berdasarkan ‘urf (kebiasaan) yang berlaku. Hal ini sejalan dengan kaidah ushul: yajibu hamlu al-laf.zi ‘ala ma’nahu al-muhaddah fi as-syar’i in wujida, wa illa wajaba hamluhu ‘ala ma’nahu al-‘urfi (suatu keharusan membawa kata kepada maknanya yang definitif secara syara’ jika ditemukan, tetapi kalau tidak ada harus dialihkan kepada makna definitif berdasarkan ‘urf). Karena Syari’ tidak menetapkan makna .darar , sehingga ukurannya, baik kualitas maupun kuantitas, mengaju kepada ‘urf. Dengan demikian, .darar yang diganti rugi berkaitan dengan harta benda, manfaat harta benda, jiwa, dan hak-hak yang berkaitan dengan keharta-bendaan jika selaras dengan ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat.
7. Kualitas dan kuantitas .daman harus seimbang dengan .darar. Hal ini sejalan dengan filosofi .daman, yaitu untuk mengganti dan menutupi kerugian yang diderita pihak korban, bukan membuat pelakunya agar jera. Kendati demikian, tujuan ini selalu ada dalam berbagai sanksi, walau hanya bersifat konvensional.

G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Oleh karena penelitian ini bersifat penelitian pustaka ( Library Research), maka metode yang dipergunakan untuk memperoleh data yang dikehendaki adalah dengan jalan menggali/mengeksplorasi nilai-nilai maupun norma-norma hukum Islam yang berkaitan dengan persoalan yang sedang diteliti, baik yang terdapat di dalam kitab suci Al-Qur’an, kitab-kitab hadis, kitab-kitab fiqh/ushul fiqh, peraturan perUndang-Undangan, fatwa Majelis Ulama Indonesia maupun sumber-sumber lain yang berkaitan.

2. Jenis Penelitian
Dari segi kegunaan atau manfaatnya, penelitian ini lebih tepat dikategorikan sebagai jenis penelitian terapan (Applied Research), yakni jenis penelitian yang dilakukan dalam rangka menjawab kebutuhan dan memecahkan masalah-masalah praktis, sehingga jenis penelitian ini dapat juga di sebut dengan operational research (penelitian operasi) atau action research (penelitian kerja).

3. Pendekatan
Sedangkan pendekatan yang dipakai dalam menjawab persoalan yang telah dirumuskan adalah menggunakan pendekatan perUndang-Undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) dan sekiranya dalam proses penulisan tesis ini muncul kasus tentang sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama, maka tidak menutup kemungkinan juga akan dipergunakan pendekatan kasus (case approach).
Pendekatan Undang-Undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan Undang-Undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu Undang-Undang dengan Undang-Undang lainnya atau antara Undang-Undang dengan Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan Undang-Undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan suatu isu yang dihadapi.
Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam suatu ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.
Sedangkan pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Kasus bisa berupa kasus yang terjadi di Indonesia maupun di negara lain. Yang menjadi kajian pokok dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan. Baik untuk keperluan praktik maupuin untuk kajian akademis, ractio decidendi atau reasonimg tersebut merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum. Perlu dikekmukakan di sini bahwa pendekatan kasus tidak sama dengan studi kasus (case study). Didalam pendekatan kasus (case approach), beberapa kasus ditelaah untuk referensi bagi suatu isu hukum. Studi kasus merupakan suatu studi terhadap kasus tertentu dari berbagi aspek hukum, …

4. Metode Analisis Data
Lebih lanjut untuk menganalisis data yang diperoleh dipergunakan metode induktif, yakni berusaha mencari aturan-aturan, nilai-nilai maupun norma-norma hukum yang terdapat dalam pustaka yang terkait untuk dirumuskan sebagai suatu kaidah hukum tertentu yang bisa diberlakukan untuk menyelesaikan kasus sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama.

H. Sistematika Pembahasan
Untuk memperoleh gambaran awal tentang isi, pembahasan tesis ini disusun berdasaarkan sisitematika sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan; dalam bab ini dibahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka dan kerangka teori serta metode penelitian dan sisitematika pembahasan.
BAB II : Tinjauan Umum tantang Ekonomi Syariah; dalam bab ini dibahas tentang konsep dan sistem ekonomi syari’ah, macam-macam aktivitas ekonomi syari’ah, sumber-sumber hukum ekonomi syari’ah dan ragam konflik ekonomi syari’ah, bab ini dimaksudkan untuk menjawab persoalan hal-hal apa saja yang rawan terjadinya konflik atau sengketa dalam aktivitas perekonomian yang berbasis syari'ah, serta prinsip-prinsip ekonomi syari’ah.
BAB III : Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah; dalam bab ini dibahas tentang penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dengan jalan musyawarah, melalui badan arbitrase dan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah melalui Badan Peradilan Agama. Dalam bab ini dimaksudkan untuk menjelaskan dan menjawab persoalan bagaimana mestinya sengketa dibidang perekonomian syari'ah tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan nilai-nilai yang Islami yang menjunjung tinggi rasa keadilan serta Pengadilan Agama mana yang berwenang menyelesaikan sengketa dimaksud .
BAB IV : Analisis Data; Dalam bab ini dimaksudkan untuk menganalisis data yang diperoleh sepanjang penelusuran pustaka yang relevan mapun dari hasil wawancara dengan praktisi hukum yang berkompeten dalam penyelesaian perkara sengketa ekonom syari'ah.
BAB V : Penutup; pada bab ini dideskripsikan kesimpulan penyusun hasil analisis pembahasan dan saran/rekomendasi yang dipandang perlu.
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG EKONOMI SYARI'AH


A. Konsep dan Sistem Ekonomi Syari'ah.
Gagalnya kapitalisme maupun sosialisme dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat, mengharuskan adanya pemecahan. Karena itu, negara-negara muslim sangat membutuhkan suatu sistem yang lebih baik yang mampu memberikan semua elemen berperan dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia sejati. Sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an :
                     .
Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu , Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan Sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan “.

Sistem Ekonomi Islam yang dilandasi dan bersumber pada ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah berisi tentang nilai persaudaraan, rasa cinta, penghargaan kepada waktu, dan kebersamaan. Adapun sistem ekonomi Islam meliputi antara lain :
1. Mengakui hak milik individu sepanjang tidak merugikan masyarakat.
2. Individu mempunyai perbedaan yang dapat dikembangkan berdasarkan potensi masing-masing.
3. Adanya jaminan sosial dari negara untuk masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuihan pokok manusia .
4. Mencegah konsentrasi kekayaan pada sekelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan lebih.
5. Melarang praktek penimbunan barang sehingga mengganggu distribusi dan stabilitas harga.
6. Melarang praktek asosial (mal-bisnis).

B. Macam-Macam Aktivitas Ekonomi Syari’ah
Aktivitas ekonomi syari’ah atau ekonomi Islam sangatlah luas dan banyak sebanyak aktivitas kehidupan manusia didalam memperoleh kesejahteraan kehidupan di dunia ini, sebab menusia memang diperintahkan untuk memenuhi kesejahteraannya di dunia ini tanpa melupakan kebahagiannya di akhirat kelak. Sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Qoshosh ayat 77 :
                         •     

Artinya :” Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”


Namun dalam hal ini akan dibatasi pada aktivitas-aktivitas ekonomi syari’ah yang sudah populer dan melembaga di Indonesia, sebagaimana yang tercantum didalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Untuk itu berikut ini akan diuraiakan beberapa aktivitas ekonomi syari’ah yang berkembang di Indonesia , diantaranya :
1. Bank Syari’ah
a. Pengertian
Bank Islam atau bank syari’ah secara teknis mempunyai persamaan pengertian. Para Pakar pebankan Islam memberikan beberapa definisi.
Menurut Karnaen A. Perwaatmadja, bank syari’ah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, yakni bank dengan tata cara dan operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam. Salah satu unsur yang harus dijauhi dalam muamalah Islam adalah praktik-praktik yang mengandung unsur riba.
Sedangkan Warkum Sumitro mengatakan bahwa bank Islam berarti bank yang tata cara operasinya didasarkan pada tata cara bermuamalah secara Islami, yakni mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan hadits. Dalam operasionalisasinya, bank Islam harus mengikuti atau berpedoman kepada praktik-praktik usaha yang dilakukan pada zaman Rasulullah SAW, bentuk-bentuk yang sudah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh Rasulullah bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad para ulama atau cendekiawan muslim yang tidak menyimpang dari ketentuan Al-Qur’an dan hadits.
Senada dengan pengertian di atas, Amin Azis juga berpendapat bahwa bank Islam adalah lembaga perbankan yang menggunakan sistem dan operasi berdasarkan syariah Islam. Hal ini berarti, operasional bank syari ’ah harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an maupun hadits, yaitu menggunakan sistem bagi hasil dan imbalan lainnya sesuai dengan syari’ah Islam.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan bank Islam adalah sebuah lembaga keuangan yang berfungsi sebagai penghimpun dana dan menyalurkannya kepada masyarakat. Di mana sistem, tata cara, dan mekanisme kegiatan usahanya berdasarkan pada syariat Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadits.
Dalam Al-Qur’an, istilah bank tidak pernah disebutkan secara eksplisit, tetapi menurut Arifin, jika yang dimaksud merujuk pada sesuatu yang memiliki unsur-unsur seperti struktur, manajemen, fungsi, hak dan kewajiban, maka semua itu disebutkan dengan jelas seperti zakat, shodaqoh, ghanimah, bai’, dan sebagainya., atau segala sesuatu yang memiliki fungsi atau peran tertentu yang dilaksanakan dalam kegiatan ekonomi.
Sedangkan dilihat dari sisi ahlak, Al-Qu’an juga menyebutkan sebuah konsep yang secara eksplisit disebutkan dalam bentuk kisah maupun perintah. Konsep accountability merupakan contoh kongkrit yang tertera dalam beberapa ayat, misalnya QS al-Baqarah(2):282-283,
                                           •       •                      •                 •  •                                           •          
         •                            

Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. Surat Al-Baqarah: 282-283)

Konsep trust (amanah) dalam QS al-Baqarah (2): 283, dan masih banyak ayat lain yang berkaitan dengan konsep keadilan, amar ma’ruf nahi mungkar, menegakkan kebenaran, dan berlaku sabar dalam rangka menjaga stabilitas lembaga tersebut.

b.Prinsip-Prinsip Prilaku Bisnis Syari’ah
Untuk menyesuaikan dengan aturan dan norma-norma Islam, sudah semestinya diterapkan dalam perilaku bisnis termasuk dalam hal ini praktek perbankan Islam, lima prinsip sebagai berikut :
1). Tidak ada transaksi keuangan berbasis bunga (riba);
2). Pengenalan pajak religius atau pemberian sedekah, zakat;
3). Pelarangan produksi barang dan jasa yang bertentangan dengan sistem nilai Islam (haram);
4). Penghindaran aktivitas ekonomi yang melibatkan maisir (judi) dan gharar (ketidakpastian);
5). Penyediaan Takaful (asuransi Islam).

2. Reksadana Syari’ah
a. Memahami Reksadana Syari’ah
Menurut Undang-Undang Pasar Modal Nomor8 Tahun 1995, Pasal 1 ayat 27, Reksadana adalah suatu wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi yang telah mendapat izin dari Bapepam. Reksadana dapat terdiri dari berbagai macam instrumen surat berharga seperti saham, obligasi, instrumen pasar uang, atau campuran dari instrumen-instrumen di atas.
Dengan demikian, sebuah reksadana merupakan hubungan trilateral karena melibatkan beberapa pihak yang terikat sebuah kontrak atau trust deed secara legal. Mereka adalah pemilik modal, manajer investasi, dan bank kustodian.
Manajer investasi biasanya berbentuk perusahaan yang kegiatan usahanya mengelola portofolio efek. Perusahaan pengelola disebut dengan fund management company. Di samping sebagai pengelola investasi, fund management company juga menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan pemasaran dan adaministrasi dana. Portofolio efek adalah kumpulan (kombinasi) sekuritas, atau surat berharga atau efek, atau instrumen yang dikelola.
Reksadana Syari’ah (Islamic Investment Funds) dalam hal ini memiliki pengertian yang sama dengan reksadana konvensional, hanya saja cara pengelolaan dan kebijakan investasinya harus berdasarkan pada syariat Islam, baik dari segi akad, pelaksanaan investasi, maupun dari segi pembagian keuntungan.
Islamic Investment Fund merupakan lembaga intermediaris yang membantu surplus unit melakukan penempatan dan untuk diinvestasikan. Salah satu tujuan dari Reksadana Syari’ah adalah memenuhi kebutuhan kelompok investor yang ingin memperoleh pendapatan investasi dari sumber dan cara yang bersih dan dapat dipertanggungjawabkan secara religius, serta sejalan dengan prinsip-prinsip syari’ah.
Dengan demikian, Reksadana Syari’ah adalah suatu wadah yang -digunakan oleh masyarakat untuk berinvestasi secara kolektif, di mana pengelolaan dan kebijakan investasinya mengacu pada syri’at Islam.
Reksadana merupakan jalan keluar bagi para pemodal kecil yang ingin ikut serta dalam pasar modal dengan modal minimal yang relatif kecil dan kemampuan menanggung resiko yang sedikit. Reksadana memiliki andil yang amat besar dalam perekonomian nasional karena dapat memobilisasi dana untuk pertumbuhan dan pengembangan perusahaan-perusahaan nasional, baik BUMN maupun swasta. Di sisi lain, reksadana memberikan keuntungan kepada masyarakat berupa keamanan dan keuntungan materi yang meningkatkan kesejahteraan material.
Dari sisi tujuan Reksadana Syari’ah dapat disejajarkan dengan Sosial Responsible Investment (SRI) atau Etical Investment , Sosially Aware Investment, dan Value-based investment. Tujuan utama Reksadana Syari’ah bukan semata-mata mencari keuntungan, tetapi juga memiliki tanggungjawab sosial terhadap lingkungan, komitmen terhadap nilai-nilai yang diyakini tanpa harus mengabaikan keinginan investornya.
Oleh karena itu, Reksadana Syari’ah tidak boleh menginvestasikan dananya pada bidang-bidang yang bertentangan dengan Syariat Islam, misalnya saham-saham atau obligasi-obligasi dari perusahaan yang pengelolaan dan produknya bertentangan dengan syariat islam; pabrik makanan atau minuman yang mengandung alkohol, daging babi, rokok, tembakau, jasa keuangan konvensional, pornografi, pelacuran, serta bisnis hiburan yang berbau maksiat.
Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001, Reksadana Syari’ah adalah :
“ Reksadana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip syari’ah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (shahibul maal/rabb al maal) dengan manajer investasi sebagai wakil shahibul maal, maupun antara manajer investasi sebagai wakil shahibul maal dengan pengguna investasi.”


b. Ciri-Ciri dan Mekanisme Operasional Reksadana Syari’ah
Ciri-Ciri Operasional Reksadana Syari’ah :
1). Mempunyai Dewan Syariah yang bertugas memberikan arahan kegiatan Manajer Investasi (MI) agar senantiasa sesuai dengan syariah Islam.
2). Hubungan antara investor dari perusahaan didasarkan pada sistem mudharabah, di mana satu pihak menyediakan 100% modal (investor), sedangkan satu pihak lagi sebagai pengelola (manajer investasi).
3). Kegiatan usaha atau investasinya diarahkan pada hal-hal yang tidak bertentangan dengan syariah Islam.

Mekanisme Operasional Reksadana Syari’ah
Perbedaan paling mendasar antara reksadana konvensional dan reksadana syari’ah adalah terletak tada proses screening dalam mengkonstruksi portofolio. Filterisasi menurut prinsip syariah adalah mengeluarkan saham-saham yang memiliki aktifitas haram seperti riba, gharar, minuman keras, judi, daging babi, rokok dan lain sebagainya. Di samping itu, proses filterisasi juga dilakukan dengan cara membersihkan pendapatan yang dianggap diperoleh dari kegiatan haram dan membersihkannya dengan cara charity.
Dalam mekanisme kerja yang terjadi di reksadana ada tiga pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan, yaitu:
1). Manajer investasi sebagai pengelola investasi. Manajer investasi ini bertanggungjawab atas kegiatan investasi, yang meliputi analisa dan pemilihan jenis investasi, mengambil keputusan-keputusan investasi, memonitor pasar investasi, dan melakukan tindakan-tindakan yang dibutuhkan untuk kepentingan investor,. Manajer investasi (perusahaan pengelola) dapat berupa:
a). Perusahaan efek, dimana umumnya berbentuk devisi tersendiri atau PT yang khusus menangani reksa dana.
b). Perusahaan yang secara khusus bergerak sebagai perusahaan manajemen investasi (PMI) atau investment manajemen company.
2). Bank kustodian adalah bagian dari kegiatan usaha suatu bank yang bertindak sebagai penyimpan kekayaan (safe keeper) serta administrator reksadana. Dana yang terkumpul dari sekian banyak investor bukan merupakan bagian kekayaan manajer investasi maupun bank kustodian, tetapi milik para investor yang disimpan atas nama reksadana dari bank kustodian. Baik manajer investasi maupun bank kustodian yang akan melakukan kegiatan ini terlabih dahulu harus mendapat ijin dari Bapepam.
3). Pelaku (perantara) di pasar modal (broker, underwriter) maupun di pasar uang (bank) dan pengawas yang dilakukan oleh Bapepam.

c. Jenis dan Instrumen Investasi
Investasi hanya dapat dilakukan pada instrumen keuangan yang sesuai dengan syari’ah Islam, yaitu :
1).Instrumen saham yang sudah melalui penawaran umum dan pembagian deviden didasarkan atas tingkat laba usaha.
2).Penempatan dalam deposito pada Bank Umum Syari’ah.
3) Surat hutang jangka panjang dan jangka pendek yang sesuai dengan prinsip syari’ah.
Berikut ini adalah kaidah-kaidah syari’ah yang telah dipenuhi dalam instrumen saham :

1). Kaidah syar’iah untuk saham :
a). Bersifat musyarakah jika saham ditawarkan secara terbatas;
b). Bersifat mudharabah jika saham ditawarkan secara terbatas.
c).Tidak boleh ada perbedaan jenis saham karena resiko harus ditanggung oleh semua pihak.
d).Seluruh keuntungan akan dibagi hasil, dan jika terjadi kerugian akan dibagi rugi bila perusahaan dilikuidasi.
e). Investasi pada saham tidak dapat dicairkan kecuali setelah likuidasi.
2). Kaidah syari’ah untuk emiten :
a). Produk/jasa yang dihasilkan dikategorikan halal. Dalam hal ini, JII (Jakarta Islamic Index) telah melakukan penyaringan terhadap saham yang listing. Berdasarkan fatwa DSN, BEJ memilih emiten yang unit usahanya sesuai dengan syari’ah.
b). Hasil usaha tidak mengandung unsur riba dan tidak bersifat zalim.
c). Tidak menempatkan investor dalam kondisi gharar atau maysir.
_ Memberi informasi yang transparan
_ Resiko usaha yang wajar dan memenuhi ketentuan.
_ Manajemen Islami
_ Menghormati HAM
_ Menjaga sumber daya alam dan lingkungan hidup.
3). Kaidah syariah untuk pasar perdana :
a). Semua akad harus berbasis pada transaksi yang riil (dengan penyerahan) atas produk dan jasa yang halal dan bermanfaat.
b). Tidak boleh menertibkan efek hutang untuk membayar kembali hutang.
c). Dana hasil penjualan efek yang diterbitkan akan dietrima oleh perusahaan.
d). Hasil investasi yang akan diterima pemodal merupakan fungsi dan manfaat yang diterima emiten dari modal yang diperoleh dari dana hasil penjualan efek dan tidak boleh semata-mata merupakan fungsi dari waktu..
4). Kaidah syariah untuk pasar sekunder :
a). Semua efek harus berbasis pada transaksi riil (dengan penyerahan)
atas produk dan jasa yang halal.
b). Tidak boleh membeli efek hutang dengan dana dari hutang atau menerbitkan surat hutang.
c). Tidak boleh membeli berdasarkan tren atau indek.
d). Tidak boleh memperjual belikan hasil yang diperoleh dari suatu efek (misalnya kupon, dividen) walaupun efeknya sendiri dapat diperjualbelikan.
e). Tidak boleh melakukan transaksi murabahah dengan menjadikan objek transaksi sebagai jaminan.
f). Transaksi tidak menyesatkan, seperti penawaran palsu dan cornering
Salah satu faktor utama yang menyebabkan gerakan yang tidak stabil dalam harga saham adalah spekulasi dalam pembayaran uang muka atau obral saham dengan harga marjinal. Para spekulan mencari keuntungan perbedaan harga dalam transaksi jangka pendek.
Spekulan berbeda kontras dengan investor. Tujuan investor yang sungguh-sungguh adalah mencari jalan keluar dari tabungan saham yang mereka miliki jika mereka benar-benar mau menjual di kemudian hari. Investor yang sesungguhnya tidak tertarik pada transaksi berjangka pendek dan tujuan mereka, setidaknya saat pembelian, adalah memegang saham dalam jangka panjang. Oleh karena itu, ada tiga hal yang mencirikan suatu inventasi di pasar modal yaitu ;
a). Mengambil saham yang telah dibeli,
b) Melakukan pembayaran penuh,
c) Keinginan pada saat membeli untuk memegang saham dalam jangka waktu yang tidak tertentu.

3. Gadai Syari’ah
a. Rukun dan Syarat Transaksi Gadai
Setiap akad harus memenuhi syarat syah dan rukun yang telah ditetapkan oleh para ulama fiqih. Walaupun terdapat perbedaan mengenai hal ini, namun secara syarat syah dan rukun dalam menjalankan pegadaian sebagai berikut:
Rukun Gadai :
1). Shigat adalah ucapan berupa ijab dan qabul.
2). Orang yang berakad, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan orang yang menerima gadai (murtahin).
3). Harta / barang yang dijadikan jaminan (marhun).
4). Hutang (Marhun bih)

Syarat Sah Gadai :
1). Shigat
Syarat shigat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan dengan masa yang akan datang. Misalnya; rahin mensyaratkan apabila tenggang waktu marhunbih habis dan marhunbih belum terbayar, maka rahin dapat diperpanjang satu bulan. Kecuali jika syarat tersebut mendukung kelancaran akad maka diperbolehkan seperti pihak murtahin minta agar akad itu disaksikan oleh dua orang.
2). Orang yang berakad. Baik rahin maupun martahin harus cakap dalam melakukan tindakan hukum, baligh dan berakal sehat, serta mampu melakukan akad. Bahkan menurut ulama Hanafiyah, anak kecil yang mumayyis dapat melakukan akad, karena ia dapat membedakan yang baik dan yang buruk.
3). Marhun bih
a). Harus merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin.
b).Merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, jika tidak dapat dimanfaatkan, maka tidak syah.
c). Barang tersebut dapat dihitung jumlahnya.

4). Marhun
a). Harus berupa harta yang bisa dijual dan nilainya seimbang dengan marhun bih.
b). Marhun harus mempunyai nilai dan dapat dimanfaatkan.
c). Harus jelas dan spesifik.
d). Marhun itu secara sah dimiliki oleh rahin.
e). Merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat.

b. Hak dan Kewajiban pihak Penerima Gadai (Murtahin)
1). Hak Murtahin ( Penerima Gadai ) :
(a).Pemegang gadai berhak menjual marhun apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada sat jatuh tempo. Hasil penjualan barang gadai (marhun) dapat digunakan untuk melunasi pinjaman (marhun bih) dan sisanya dikembalikan kepada rahin.
(b).Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marhun.
(c).Selama pinjaman belum dilunasi, pemegang gadai berhak menahan barang gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).
2.) Adapun kewajiban penerima gadai (murtahin) adalah :
(a) Penerima gadai bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya barang gadai, apabila hal itu disebabkan oleh kelalaiannya.
(b) Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan sendiri.
(c) Penerima gadai wajib memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum diadakan pelelangan barang gadai.

c. Hak dan Kewajiban Rahin (Pemberi Gadai)
1). Hak pemberi gadai adalah:
(a). Pemberi gadai berhak mendapatkan kembali barang gadai, setelah ia melunasi pinjaman.
(b). Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan hilangnya barang gadai, apabila hal itu disebabkan kelalaian penerima gadai.
(c). Pembari gadai berhak menerima sisa hasil penjualan barang gadai setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.
(d). Pemberi gadai berhak meminta kembali barang gadai apabila penerima gadai diketahui menyalahgunakan barang gadai.
2). Kewajiban pembari gadai:
(a) Pemberi gadai wajib melunasi pinjaman yang telah diterimanya dalam tenggang waktu yang ditentukan, termasuk biaya-biaya yang ditentukan oleh penerima gadai.
(b) Pemberi gadai wajib merelakan penjualan atas barang gadai miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi pinjamannya.
d. Akad Perjanjian Transaksi Gadai
Untuk mempermudah mekanisme perjanjian gadai antara rahin (pemberi gadai) dan murtahin (penerima gadai), maka dapat menggunakan tiga akad perjanjian, antara lain:
1). Akad Qard al-Hasan
Akad ini biasanya dilakukan pada nasabah yang ingin menggadaikan barangnya untuk tujuan konsumtif. Untuk itu, nasabah (rahin) dikenakan biaya berupa upah / fee kepada pihak pegadaian (murtahin) karena telah menjaga dan merawat barang gadaian (marhun).
Sebenarnya, dalam akad qard al-hasan tidak diperbolehkan memungut biaya kecuali biaya administrasi. Namun demikian, ketentuan untuk biaya administrasi pada pinjaman dengan cara:
• Harus dinyatakan dalam nominal, bukan persentase.
• Sifatnya harus jelas, nyata dan pasti serta terbatas pada hal-hal yang mutlak diperlukan dalam kontrak.
Mekanisme pelaksanaan akad qard al-hasan:
(a). Barang gadai (marhun) berupa barang yang tidak dapat dimanfaatkan, kecuali dengan jalan menjualnya dan berupa barang bergerak saja, seperti emas, barang elektronik, dan sebagainya.
(b). Tidak ada pembagian bagi hasil, karena akad ini bersifat sosial. Tetap diperkenankan menerima fee sebagai pengganti biaya administrasi yang biasanya diberikan pihak pemberi gadai (rahin) kepada penerima gadai.
.
2). Akad Mudharabah
Akad mudharabah adalah akad yang dilakukan oleh nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha atau pembiayaan yang bersifat produktif. Dengan akad ini, nasabah (rahin) akan memberikan bagi hasil berdasarkan keuntungan yang didapat nasabah kepada pegadaian (marhum) sesuai dengan kesepakatan, sampai modal yang dipinjam dilunasi.
Jika barang gadai (marhun) dapat dimanfaatkan, maka dapat diadakan kesepakatan baru mengenai pemanfaatan barang gadai, dengan jenis akad yang dapat disesuaikan dengan jenis barangnya. Jika pemilik barang gadai tidak berniat memanfaatkan barang gadai tersebut, penerima gadai dapat mengelola dan mengambil manfaat dari barang itu. Akan tetapi hasilnya harus diserahkan kepada pemilik barang gadai sebagian.
Ketentuan akad mudharabah:
.(a). Jenis barang gadai dalam akad ini adalah semua jenis barang asal bisa dimanfaatkan, baik berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Seperti kendaraan bermotor, barang elektronik, tanah, rumah, bangunan dan lain sebagainya.
(b). Keuntungan yang dibagikan kepada pemilik barang gadai adalah keuntungan setelah dikurangi biaya pengelolaan. Adapun ketentuan persentase nisbah bagi hasil sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak.
3). Akad Ba’i Muqayyadah
Akad Ba’i Muqayyadah adalah akad yang dilakukan apabila nasabah (rahin) ingin menggadaikan barangnya untuk keperluan produktif. Seperti pembelian peralatan untuk modal kerja. Untuk memperoleh pinjaman, nasabah harus menyerahkan barang sebagai jaminan berupa barang-barang yang dapat dimanfaatkan, baik oleh rahin maupun murtahin. Dalam hal ini, nasabah dapat memberi keuntungan berupa mark up atas barang yang dibelikan oleh murtahin. Atau dengan kata lain, murtahin (pihak pegadaian) dapat memberikan barang yang dibutuhkan oleh nasabah dengan akad jual beli, sehingga murtahin dapat mengambil keuntungan berupa margin dari penjualan barang tersebut sesuai dengan kesepakatan antara keduanya.
4). Akad Ijarah
Akad Ijarah adalah akad yang objeknya adalah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat. Dalam kontrak ini ada kebolehan untuk menggunakan manfaat atau jasa dengan ganti berupa kompensasi.
Dalam gadai syariah, penerima gadai (murtahin) dapat menyewakan tempat penyimpanan barang (deposit box) kepada nasabahnya. Barang titipan dapat berupa barang yang menghasilkan manfaat maupun tidak menghasilkan manfaat. Pemilik yang menyewakan disebut muajjir (pegadaian), sementara nasabah (penyewa) disebut mustajir, dan sesuatu yang diambil manfaatnya disebut major, sedangkan kompensasi atau balas jasa disebut ajron atau ujrah.

4. Asuransi Syari’ah
a. Pengertian Asuransi Syari’ah
Sebagaimana telah diterangkan pada bab terdahulu, dalam konsep agama Islam terdapat suatu terminologi yang membedakan hubungan manusia dengan Tuhan (hablum minallah) di satu sisi dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablum minannas) dan lingkungan sekitarnya (hablum minal alam) di sisi lainnya. Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan seperti peribadatan misalnya adalah bersifat limitatif (ta’abudi) artinya tidak dimungkinkan bagi manusia untuk mengembangkannya. Sedangkan hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan lingkungan alam di sekitarnya adalah bersifat terbuka, artinya Allah SWT dalam Al-qur’an hanya memberikan aturan yang bersifat garis besarnya saja. Selebihnya adalah terbuka bagi mujtahid untuk mengembangkan melalui pemikirannya.
Lapangan kehidupan ekonomi termasuk di dalamnya usaha perasuransian, digolongkan di dalam hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya yang disebut dengan hukum muamalah, oleh karena itu bersifat terbuka dalam pengembangannya.
Pengertian kehidupan ekonomi dalam konteks perusahaan asuransi menurut syari’ah atau asuransi Islam secara umum sebenarnya tidak jauh berbeda dengan asuransi konvensional. Di antara keduanya, baik asuransi konvensional maupun asuransi syari’ah mempunyai persamaan yaitu perusahaan asuransi hanya berfungsi sebagai fasilitator hubungan struktural antara peserta penyetor premi (penanggung) dengan peserta penerima pembayaran klaim (tertanggung). Secara umum asuransi Islam atau sering diistilahkan dengan takaful dapat digambarkan sebagai asuransi yang prinsip operasionalnya didasarkan pada syarat Islam dengan mengacu kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam menerjemahkan istilah asuransi ke dalam konteks asuransi Islam terdapat beberapa istilah, antara lain takaful (bahsa Arab), ta’min (bahasa arab) dan Islamic insurance (bahasa Inggris). Istilah-istilah tersebut pada dasarnya tidak berbeda satu sama lain yang mengandung makna pertanggungan atau menanggung. Namun dalam prakteknya istilah yang paling populer digunakan sebagai istilah lain dari asuransi dan juga paling banyak digunakan di beberapa negara termasuk Indonesia adalah istilah tafakul. Istilah tafakul ini pertama kali digunakan oleh Dar Al Mal Islami , sebuah perusahaan asuransi Islam di Genewa yang berdiri pada tahun 1983.
Istilah tafakul dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar kafala-yakfulu-takafala-yatakafalu-takaful yang berarti saling menanggung atau menanggung bersama. Kata takaful tidak dijumpai dalam Al-Qur’an namun demikian ada sejumlah kata yang seakar dengan kata takaful, seperti misalnya dalam QS. Thaha (20) : 40 :
     
Artinya :"Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?" ِ

Apabila kita memasukkan asuransi tafakul ke dalam lapangan kehidupan muamalah, maka tafakul dalam pengertian muamalah mengandung arti yaitu saling menanggung resiko di antara sesama manusia sehingga di antara satu dengan lainnya menjadi penanggung atas resiko masing-masing. Dengan demikian, gagasan mengenai asuransi tafakul berkaitan dengan unsur saling menanggung resiko di antara para peserta asuransi, di mana peserta yang satu menjadi penanggung peserta yang lainnya. Tanggung menanggung resiko tersebut dilakukan atas dasar saling tolong-menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana yang ditujukan untuk menanggung resiko tersebut. Perusahaan asuransi takaful hanya bertindak sebagai fasilitator saling menanggung di antara para peserta asuransi. Hal inilah salah satu yang membedakan antara asuransi tafakul dengan asuransi konvensional, di mana dalam asuransi konvensional terjadi saling menanggung antara perusahaan asuransi dengan peserta asuransi.

b. Prinsip-prinsip Asuransi Syari’ah
Prinsip utama dalam asuransi syari’ah adalah ta’awanu ‘ala al birr wa al-taqwa (tolong –menolong kamu sekalian dalam kebaikan dan takwa) dan al-ta’min (rasa aman). Prinsip ini menjadikan para anggota atau peserta asuransi sebagai sebuah keluarga besar yang satu dengan yang lainnya saling menjamin dan menanggung resiko. Hal ini disebabkan transaksi yang dibuat dalam asuransi tafakul adalah akad takafuli (saling menanggung), bukan akad tabaduli (saling menukar) yang selama ini digunakan oleh asuransi konvensional, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan.
Para pakar ekonomi Islam mengemukakan bahwa asuransi syari’ah atau asuransi tafakul ditegakkan atas tiga prinsip utama, yaitu:
1). Saling bertanggung jawab, yang berarti para peserta asuransi takaful memiliki rasa tanggung jawab bersama untuk membantu dan menolong peserta lain yang mengalami musibah atau kerugian dengan ikhlas, karena memikul tanggung jawab dengan niat akhlas adalah ibadah.
Rasa tanggung jawab terhadap sesama merupakan kewajiban setiap muslim. Rasa tanggung jawab ini tentu lahir dari sifat saling menyayangi, mencintai, saling membantu dan merasa mementingkan kebersamaan untuk mendapatkan kemakmuran bersama dalam mewujudkan masyarakat yang beriman, bertakwa dan harmonis.
Dengan prinsip ini, maka asuransi tafakul merealisir perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam As-Sunnah tentang kewajiban untuk tidak memerhatikan kepentingan diri sendiri semata tetapi juga mesti mementingkan orang lain atau masyarakat.
2). Saling bekerjasama atau saling membantu, yang berarti di antara peserta asuransi tafakul yang satu dengan yang lainnya saling bekerja sama dan saling tolong menolong dalam mengatasi kesulitan yang dialami karena sebab musibah yang diderita. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 2 :
           •   •    
Artinya :”... dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

Dengan prinsip ini maka asuransi takaful merealisir perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam As-Sunnah tentang kewajiban hidap bersama dan saling menolong di antara sesama unat manusia.
3). Saling melindungi penderitaan satu sama lain, yang berarti bahwa para peserta asuransi takaful akan berperan sebagai pelindung bagi musibah yang di deritanya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Quraisy (106) ayat 4:
       
Artinya :”Yang Telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”

Dengan begitu maka asuransi takaful merealisir perintah Allah SWT tentang kewajiban saling melindungi di antara sesama warga masyarakat.
Karnaen A. Perwataatmadja mengemukakan prinsip-prinsip asuransi takaful yang sama, namun beliau menambahkan satu prinsip dari prinsip yang telah ada yakni prinsip menghindari unsur-unsur gharar, maisir dan riba. Sehingga terdapat 4 prinsip asuransi syariah yaitu:
1. Saling bertanggung jawab;
2. Saling bekerja sama atau saling membantu;
3. Saling melindungi penderitaan satu sama lain, dan
4. Menghindari unsur gharar, maisir dan riba.
Terdapat beberapa solusi untuk menyiasati agar bentuk usaha asuransi dapat terhindar dari unsur gharar, maisir dan riba.
1. Gharar (uncertainty) atau ketidakpastian ada dua bentuk:
a. Bentuk akad syari’ah yang melandasi penutupan polis. Secara konvensional, kontrak dan perjanjian dalam asuransi jiwa dapat dikatagorikan sebagai akad tabaduli atau akad pertukaran yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara harfiah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang dibayarkan dan berapa yang diterima. Keadaan ini menjadi rancu (gharar) karena kita tahu berapa yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan), tetapi tiadak tahu berapa yang akan dibayarkan (sejumlah seluruh premi) karena hanya Allah yang tahu kapan seseorang akan meninggal. Dalam konsep syari’ah keadaan ini akan lain karena akad yang digunakan adalah akad takafuli atau tolong menolong dan saling menjamin di mana semua peserta asuransi menjadi penolong dan penjamin satu sama lainnya.
b. Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syar’i penerima uang klaim itu sendiri. Dalam konsep asuransi konvensional, peserta tidak mengetahui dari dana pertanggungan ysng diberikan perusahaan asuransi berasal. Peserta hanya tahu jumlah pembayaran klaim yang akan diterimanya. Dalam konsep takaful, setiap pembayaran premi sejak awal akan dibagi dua, masuk ke rekening pemegang polis dan satu lagi di masukkan ke rekening khusus peserta yang harus di niatkan tabarru’ atau derma untuk membantu saudaranya yang lain. Dengan kata lain, dana klaim dalam konsep takaful diambil dari dana tabarru’ yang merupakan kumpulan dana shadaqah yang di berikan oleh para peserta.
2. Maisir (gambling) artinya ada salah satu pihak yang untung namun di pihak lain justru mengalami kerugian. Unsur ini dalam asuransi konvensional terlihat apabila selama masa perjanjian peserta tidak mengalami musibah atau kecelakaan, maka peserta tidak berhak mendapatkan apa-apa termasuk premi yang disetornya. Sedangkan, keuntungan diperoleh ketika peserta yang belum lama menjadi anggota (jumlah premi yang disetor sedikit) menerima dana pembayaran klaim yang jauh lebih besar.
Dalam konsep takaful, apabila peserta tidak mengalami kecelakaan atau musibah selama menjadi peserta, maka ia tetap berhak mendapatkan premi yang disetor kecuali dana yang di masukkan ke dalam dana tabarru’.
3. Unsur riba tercermin dalam cara perusahaan asuransi konvensional melakukan usaha dan investasi di mana meminjamkan dana premi yang terkumpul atas dasar bunga. Dalam konsep takaful dana premi yang terkumpul diinvestasikan dengan prinsip bagi hasil, terutama mudharabah dan musyarakah.

4. Baitul Mal Wa at-Tamwil (BMT)
a. Pengertian
Baitul Maal Wat at Tamwil (BMT) atau Balai Usaha Mandiri Terpadu, adalah lembaga keuangan mikro yang di oprasikan dengan prinsip bagai hasil, menumbuh-kembangkan bisnis usaha mikro dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan pada sistem ekonomi yang salam : keselamatan (berintikan keadilan), kedamaian, dan kesejahteraan.
b. Asas dan prinsip dasar
BMT didirikan dengan berasaskan pada masyarakat yang salam, yaitu penuh keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan.
Prinsip Dasar BMT, adalah :
1). Ahsan (mutu hasil kerja terbaik), thayyiban (terindah), ahsanu ‘amala (memuaskan semua pihak), dan sesuai dengan nilai-nilai salam: keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan
2). Barokah, artinya berdayaguna, berhasil guna, adanya penguatan jaringan, transparan (keterbukaan), dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada masyarakat.
3). Spiritual communication (penguatan nilai ruhiyah).
4). Demokratis, partisipatif, dan inklusif.
5). Keadilan sosial dan kesetaran jender, non-diskriminatif.
6). Ramah lingkungan.
7). Peka dan bijak terhadap pengetahuan dan budaya lokal, serta keanekaragaman budaya.
8). Keberlanjutan, memberdayakan masyarakat dengan meningkatkan kemampuan diri dan lembaga masyarakat lokal.
c. Sifat, peran dan fungsi
BMT bersifat terbuka, tidak partisan, berorientasi pada pengembangan tabungan dan pembiayaan untuk mendukung bisnis ekonomi yang produktif bagi anggota dan kesejahteraan sosial masyarakat sekitar, terutama usaha mikro dan fakir miskin.
Peran BMT di masyarakat, adalah sebagai berikut:
1). Motor penggerak ekonomi dan sosial masyarakat banyak.
2). Ujung tombak pelaksanaan sitem ekonomi syari’ah.
3). Penghubung antara kaum aghnia (kaya) dan kaum dhu’afa (miskin).
4).Sarana pendidikan informal untuk mewujudkan prinsip hidup yang berkah, ahsanu ‘amala, dan salam melalui spiritual communication dan dzikir qalbiyah ilahiah.
Fungsi BMT di masyarakat adalah untuk:
1). Meningkatkan kualitas SDM anggota, pengurus, dan pengelola menjadi lebih profesional, salam (selamat, damai dan sejahtera), dan amanah sehingga semakin utuh dan tangguh dalam berjuang dan berusaha (beribadah) menghadapi tantangan hidup.
2). Mengorganir dan memobilisasi dana sehingga dana yang dimiliki oleh masyarakat dapat termanfaatkan secara optimal di dalam dan di luar organisasi untuk kepentingan rakyat banyak.
3). Mengembangkan kesempatan kerja.
4). Mengukuhkan dan meningkatkan kualitas usaha dan pasar produk-produk anggota.
5). Memperkuat dan meningkatkan kualitas lembaga-lembaga ekonomi dan sosial masyarakat banyak.
d. Pendiri BMT
BMT dapat didirikan oleh :
1). Sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang.
2. Satu pendiri dengan yang lainnya tidak memiliki hubungan keluarga vertikal dan horisontal satu kali.
3). Sekurang-kurangnya 70% anggota pendiri bertempat tinggal di sekitar daerah kerja BMT.
4). Pendiri dapat bertambah dalam tahun-tahun kemudian jika disepakati oleh rapat para pendiri.
e. Permodalan BMT
Modal BMT, terdiri dari:
1). Simpanan Pokok (SP) yang ditentukan besarnya sama besar untuk semua anggota.
2) Simpanan Pokok Khusus (SPK) , yaitu simpanan pokok yang khusus diperuntukkan untuk mendapatkan sejumlah modal awal sehingga memungkinkan BMT melakukan persiapan-persiapan pendirian dan memulai operasinya. Jumlahnya dapat berbeda antar anggota pendiri. Pada pendirian BMT, para pendiri dapat bersepakat agar dalam waktu 4 (empat) bulan sejak disepakati dapat berkumpul uang sejumlah:
(a). Minimal Rp 75 juta untuk wilayah JABOTABEK.
(b). Minimal Rp 50 juta untuk wilayah ibukota propinsi.
(c). Minimal Rp 30 juta untuk wilayah ibukota kabupaten / kota.
(d). Minimal Rp 20 juta untuk wilayah ibukota kecamatan
(e). Minimal Rp 15 juta untuk daerah pedesaan.
f. Status BMT
Status BMT ditentukan oleh jumlah aset yang dimiliki sebagai berikut:
1). Pada awal pendiriannya hingga mencapai aset lebih kecil dari Rp 100 juta BMT adalah Kelompok Swadaya masyarakat yang berhak meminta /mendapakan Sertifikat Kemitran dari PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil).
2). Jika BMT telah memiliki aset Rp 100 juta atau lebih, maka BMT diharuskan melakukan proses pengajuan Badan Hukum kepada notaris setempat, antara lain dapat berbentuk:
a). Koperasi Syari’ah (KOPSYAH).
b).Unit Usaha Otonomi Syari’ah dari KSP (koperasi Simpan Pinjam), KSU (Koperasi Serba Usaha), KUD (Koperasi Unit Desa), Kopontren (Koperasi Pondok Pesantren), atau Koperasi lainnya yang beroperasi otonom termasuk pelaporan dan pertanggung jawabannya.
g. Anggota BMT
Anggota BMT, terdiri dari :
1). Anggota pendiri BMT, yaitu anggota yang membayar simpanan pokok, simpanan wajib, dan simpanan-simpanan pokok khusus minimal 4% dari jumlah modal awal BMT yang direncanakan.
2). Anggota biasa, yaitu anggota yang membayar simpanan pokok dan simpanan wajib.
3). Calon anggota, yaitu mereka yang memanfaatkan jasa BMT tetapi belum melunasi simpanan wajib.
4). Anggota kehormatan, Yaitu anggota yang mempunyai kepedulian untuk ikut serta memajukan BMT baik moral amupun materiil tetapi tidak bisa ikut serta secara penuh sebagai anggota BMT.

h. Cara Kerja BMT
Cara kerja BMT adalah sebagai berikukt:
1). Pendamping atau beberapa pemrakarsa yang mengetahui tentang BMT, menyampaikan dan menjelaskan ide atau gagasan ini kepada rekan-rekannya sebagai upaya untuk menarik beberapa orang sebagai pemrakarsa awal hingga mencapai lebih dari 20 (dua puluh) orang.
2). Dua puluh orang atau lebih tersebut kemudian menyepakati pendirian BMT di desa, kecamatan, pasar, atau masjid dan bersepakat mengumpulkan modal awal pendirian BMT.
3). Modal awal kemudian ditentukan sesuai dengan kesepakatan bersama, tidak harus sama jumlahnya antara pemrakarsa, hingga mencapai jumlah yang telah ditentukan untuk pendirian sebuah BMT.
4). Pemrakarsa membuat rapat untuk memilih pengurus BMT.
5). Pengurus BMT kemudian merapatkan dan merekrut pengelola / manajeman BMT dari lingkungan tersebut yang memiliki sifat siddiq, amanah, tabligh, fatonah dan benar-benar menguasai visi, misi, tujuan, dan usaha-usaha BMT, serta memiliki keinginan keras dan dengan sepenuh hati untuk mengembangkan BMT.
6). Pengurus BMT menghubungi PINBUK setempat untuk memberikan pelatihan kepada calon pengelola / manajemen BMT tersebut (umumnya 2 minggu pelatihan dan magang).
7). Pengelola yang telah diberi pelatihan kemudian membuka kantor dan menjalankan BMT, dengan giat menggalakkan simpanan masyarakat dan memberikan pembiayaan pada usaha mikro dan kecil di sekitarnya.
8). Pembiayaan pada usaha mikro dilakukan dengan menerapkan sistem bagi hasil yang disampaikan sesuai dengan akad yang telah disepakati.
9). Hasil bagi hasil ini kemudian digunakan oleh para pengelola untuk membayar honor para pengelola dan membayar kegiatan operasional BMT.
10).Hasil bagi hasil juga digunakan untuk membayar bagi hasil kepada penyimpan dana, diupayakan agar nilai bagi hasil yang diperoleh para penyimpan dana busa kebih besar dari bunga konvensional.

C. Sumber-Sumber Hukum Ekonomi Syari’ah
Ajaran Islam memberikan jalan tengah yang adil untuk berbagai pasangan , antara dunia dan akhirat, antara rasio dan hati, antara rasio dan norma, antara idialisme dan fakta, antara individu dan masyarakat, dan lain sebagainya. Ajaran Islam mengacu pada berbagai sumber yang telah ditetapkan
Al-Qur’an adalah sumber utama pengetahuan sekaligus sumber hukum yang memberi inspirasi pengaturan segala aspek kehidupan.
         
Artinya: “Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.

  ••    
Artinya : “ (Al Quran) Ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.

Dengan menggunakan Al-Qur’an berarti manusia menjalani hidup dengan mengacu pada buku pedoman dari yang menciptakan manusia karena yang paling tahu tentang manusia .
Sunnah Rasul, berarti, kebiasaan yang merujuk pada perintah (fi’il), ucapan (qaul), dan ketetapan (taqrirat) dari Rasulullah Muhammad SAW. Sunnah Rasul merupakan sumber hukum yang berisi banyak tentang penjelas yang disampaikan dalam Al-Qur’an disamping pedoman hidup manusia yang belum diatur dalam Al-Qur’an.
Ijma’ adalah konsensus opini dari sahabat dan atau ahli hukum Islam (fuqoha’, mufti) atas masalah tertentu yang tidak secara eksplisit dijelaskan Al-Qur’an dan Sunnah. Salah satu contoh adalah ijma’ tentang keabsahan kontrak jual beli komoditi yang belum diproduksi (aqad Al-Istisna).
Ijtihad, adalah penggunaan alasan logika rasional dalam melakukan interpretasi atas teks Al-Qur’an dan Hadits. Dalam Al-Qur’an disebutkan tentang kedudukan dan fungsi akal sebagai berikut :
       •                         • 

Artinya :” Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

Dengan terbukanya kembali pintu ijtihad maka akan semakin meningkatkan keeratan Ilmu Ekonomi Islam dengan fiqh, karena disebabkan adanya ilmu ekonomi konvensional yang banyak dianut negara-negara muslim dan kekuatan fiqh. Analisis ekonomi akan memberikan berbagai cara menyelesaikan permasalahan yang selalu berkembang, sementara fiqh akan merespon dengan ikut memberikan solusi yang merekomendasikan perkembangan zaman. Apabila ini dapat terbentuk akan mendorong interaksi antara para ekonom dengan fuqaha yang selanjutnya akan memberikan pemahaman pada masing-masing untuk dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul saat ini. Pada tahapan yang lebih jauh akan terwujud yang sering disebut saintifikasi ilmu agama dan Islamisasi ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ekonomi.

D. Ragam Konflik Aktivitas Ekonomi Syari’ah
Walaupun dalam kontrak atau akad bisnis syari’ah telah diatur sedemikian rupa guna menjamin terpenuhinya rasa keadilan bagi semua pihak yang terkait, namun dalam perjalanannya tidak menutup kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak memuaskan bagi sebagian pihak yang lain. Hal ini dikarenakan salah satu pihak atau sebagian pihak yang lain telah melakukan ingkar janji atau wan prestasi terhadap perjanjian atau kontrak yang telah dibuatnya sehingga pihak yang lain merasa dirugikan hak-haknya.
Berdasarkan informasi dari hasil penelitian di Pengadilan Agama Purbalingga baik melalui wawancara dengan Ketua Pengadilan Agama maupun dari penelusuran putusan atas perkara sengketa ekonomi syari:ah dapat dinformasikan bahwa ragam konflik yang terjadi dalam aktivitas ekonomi syari:ah adalah berpangkal dari adanya perbuatan ingkar janji atau wan prestasi dari pihak-pihak yang terkait, sehingga akibatnya pihak yang lainnya akan merasa dirugikan hak-haknya akibat dari perbuatan ingkar janji tersebut .
Ragam dari perbuatan ingkar janji atau wan prestasi tersebut bisa berupa kridit macet, penyalahgunaan dana pembiayaan, seperti dalam akad disebutkan pembiayaan untuk usaha perdagangan, tetapi pada kenyataannya dipergunakan untuk membiayai konser musik dangdut, dan lain-lain.


BAB III


PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH

Apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan sengketa ekonomi syari’ah itu ?
Dalam kosa kata Inggris terdapat 2 (dua) istilah, yakni “conflict”dan “dispute”yang kedua-duanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan di antara kedua pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Kosa kata conflict sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “konflik”, sedangkan kosa kata dispute”dapat diterjemahkan dengan kosa kata “sengketa.” Sebuah konflik, yakni sebuah situasi di mana 2 (dua) pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keprihatiannya. Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain.
Ini berarti sengketa merupakan kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik akan berubah menjadi sengketa bila tidak dapat terselesaikan. Konflik akan diartikan “pertentangan” di antara para pihak untuk menyelesaikan masalah yang kalau tidak terselesaikan dengan baik dapat mengganggu hubungan di antara mereka. Sepanjang para pihak tersebut dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik, maka sengketa tidak akan terjadi. Namun, bila terjadi sebaliknya, para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai solusi pemecahan masalahnya, maka sengketalah yang timbul. Penyelesaian sengkata dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni melalui badan Peradilan (Litigasi) dan di luar badan Peradilan (Non Litigasi).
Pada dasarnya keberadaan cara penyelesaian sengketa setua keberadaan manusia itu sendiri. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia, membawa manusia itu ke dalam bermacam-macam konflik, baik dengan manusia lain, alam lingkungannya, bahkan dengan dirinya sendiri. Namun, karena kodrat manusia juga,maka manusia selalu berusaha mencari cara penyelesaian konflik dalam rangka untuk selalu mencapai posisi keseimbangan dan agar tetap dapat berusaha hidup. Sejarah menunjukkan bahwa peradaban manusia berkembang sesuai dengan alam lingkungannya, kebutuhannya, serta nilai-nilai baru yang berkembang kemudian. Demikian pula konflik dan cara-cara penyelesaiannya pun berkembang sejajar dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Pada saat posisi individualitas manusia masih tenggelam dalam kepentingan kelompok, konflik individu, baik ia dengan individu dalam kelompok yang sama maupun antara ia dengan individu lain dari kelompok yang berbeda, akan ditransformasi manjadi konflik kelompok dan penyelesaiannya pun menjadi penyelesaian kelompok. Peradaban manusia yang berkembang semakin komplek membawa serta perubahan posisi manusia dari ketertenggelamannya dalam kepentingan kelompok menjadi individu-individu yang mandiri, yang memiliki kepentingan-kepentingan yang tidak dapat begitu saja ia korbankan pada kepentingan kelompok, maka konflik, cara penyelesaiannya, serta nilai yang ingin dicapai dengan penyelesaian itu pun ikut mengalami perkembangan.
Pada saat kepentingan manusia masih bertumpu pada kekuasaan atau kekuatan fisik, nilai yang ingin dicapai dengan penyelesaian itu menang atau kalah, jaya atau hancur, tanpa kompromi. Setelah kekuasaan atau kekuatan fisik itu mulai ditransformasiakan ka dalam hukum, nilai menang atau kalah masih kuat melekat pada tujuan menyelesaikan konflik tersebut, meskipun cara penyelesaiannya tidak lagi mengandalkan pada kekuatan atau kekuasaan fisik, tetapi dengan mengadu pembuktian di depan hukum. Ekses perkembangan hukum yang semakin memberikan perlindungan atas hak-hak yang dimiliki oleh seseorang dari perbuatan orang lain yang merugikannya, tata pergaulan dunia baru pasca Perang Dunia 11, semakin langkanya sumber daya alam, pandangan sustainable business relationship, telah memberikan sumbangan bagi munculnya cara-cara penyelesaian sengketa yang tidak melulu bertumpu pada nilai-nilai menang atau kalah, jaya atau hancur sama sekali.
Penyelesain sengketa dapat dilakukan melalui 2 (dua) proses. Proses penyelesaian sengketa tertua melalui proses litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerja sama (kooperatif) di luar pengadilan. Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan di antara pihak yang bersengketa. Sebaliknya, melalui proses di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan yang bersifat “ win-win solution” , dijamin kerahasiaan sengketa para pihak, dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal proseduraldan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik. Akan tetapi, di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat. Satu-satunya kelebihan proses nonlitigasi ini sifat kerahasiaannya, karena proses persidangan dan bahkan hasil keputusannya pun tidak dipublikasikan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini umumnya dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR).
Ada yang mengatakan kalau Alternative Dispute Resolution (ADR) ini merupakan siklus gelombang ketiga penyelesaian sengketa bisnis. Penyelesaian sengketa bisnis pada era globalisasi dengan ciri “moving quickly”, menuntut cara-cara yang “informal procedure and be put in motion quickly” . Sejak tahun 1980, di berbagai negara Alternative Dispute Resolution (ADR) ini dikembangkan sebagai jalan terobosan alternatif atas kelemahan penyelesaian litigasi dan arbitrase, mengakibatkan terkuras sumberdaya, dana, waktu dan pikiran dan tenaga eksekutif, malahan menjerumuskan usaha ke arah kehancuran. Atas dasar itulah dicarikan pilihan lainnya dalam menyelesaiakan sengketa di luar proses litigasi.

Sengketa berarti terjadinya perbedaan kepentingan antara dua pihak atau lebih yang saling terkait. Baik antara pihak Bank dengan Nasabah atau antara mudharib dengan baitul mal maupun antara rahin dengan murtahin. Hal ini dikarenakan tidak terpenuhinya hak dan kewajiban secara wajar dan semestinya oleh pihak-pihak yang terkait. Sungguh pun aktivitas ekonomi syari’ah telah dilaksanakan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip syari’ah, namun dalam proses perjalanannya tidak menutup kemungkinan terjadinya sengketa antara pihak-pihak yang bersangkutan. Jadi yang dimaksudkan dengan sengketa dalam bidang ekonomi syari’ah adalah sengketa didalam pemenuhan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang terikat dalam akad aktivitas ekonomi syari’ah.
Menurut Hakim Agung Habiburrahman, sengketa di bidang ekonomi syariah yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah meliputi :
1. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya;
2. Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara sesama lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah;
3. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang dalam akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa perbuatan/kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah.
Oleh karena itulah dalam hal ini diperlukan suatu konsep penyelesaian sengketa yang menjamin rasa keadilan bagi pihak-pihak yang bersengketa. Uraian berikut ini dicoba untuk memaparkan beberapa alternatif penyelesaian sengketa dalam bidang perekonomian syari’ah.

A. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah Melalui Musyawarah
Jalan musyawarah adalah merupakan jalan yang paling aman, tanpa resiko didalam menyelesaian setiap persoalan kehidupan. Tak terkecuali dalam persoalan sengketa ekonomi syari'ah. Walau pun akad atau kontrak bisnis telah dibuat atau dirumuskan sedemikian rupa, lengkap, cermat dan sempurna, namun dalam perjalanannya sering mengalami kendala-kendala maupun hambatan-hambatan yang pada akhirnya akan membawa kerugian bagi salah satu atau bahkan kedua pihak yang terikat dalam akad tersebut. Kendala-kendala yang muncul tersebut tidak jarang meruncing menjadi sebuah sengketa antar pihak-pihak yang bersangkutan. Setiap sengketa atau konflik selalu meminta penyelesaian. Dan penyelesaian sengketa dengan jalan musyawarah merupakan jalan yang terbaik dan pasti menguntungkan bagi semua pihak, sehingga boleh dikatakan jalan musyawarah merupakan "mahkota" bagi setiap penyelesaian sengketa.
Konsep shulh (perdamaian) merupakan doktrin utama dalam Hukum Islam di bidang muamalat untuk menyelesaian suatu sengketa, dan itu sudah merupakan conditio sine qua non dalam kehidupan masyarakat manapun, karena pada hakekatnya perdamaian bukanlah suatu pranata positif belaka, melainkan berupa fitrah dari manusia.
Musyawarah atau perdamaian selalu menjadi target pertama dan utama dalam setiap menyelesaikan sengketa. Hal ini telah lama diatur baik dalam kitab suci Al-Qur'an maupun peraturan perundangan yang berlaku.
Kitab suci Al-Qur'an telah mengisyaratkan supaya menempuh jalan musyawarah untuk menyelesaikan setiap persoalan yang ada. Sebagaimana teruraikan dalam beberapa ayat berikut ini :
                             •            •    

Artinya: “ Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”(Q.S. Al-Hujurat ayat :9-10)


           

Artinya : “ Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.(Q.S.Asy-Syuraa ayat: 38)

Dari ayat-ayat tersebut di atas dapat difahami, bahwa penyelesaian sengketa melalui jalan musyawarah dan perdamaian adalah merupakan cara-cara yang terbaik yang dikehendaki oleh Allah SWT. Karena cara-cara/jalan tersebut lebih mendatangkan manfaat dan ketenangan bagi pihak-phak yang bersengketa (win-win solution). Bahkan Kholifah Umar ibn Khottob telah memberikan pengarahan dalam persoalan ini dengan menyatakan :
الصُلْحُ جـَائزٌ بَيْنَ اْلمُسْلِمِينَ اِلاَصلحًاآحــلَ حَرامـًا آََوْ حَـرٌمَ حَـلاََلاً
Artinya : Perdamaian itu diperbolehkan diantara orang-orang Muslim, kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Penyelesaian sengketa dengan melalui jalan musyawarah dan perdamaian ini dalam dunia hukum positif sering disebut dengan istilah “mediasi”. Trend dunia masa kini adalah "effective judiciary" atau badan peradilan yang efektif. Maksudnya adalah bagaimana kita menjadikan pengadilan efektif. Hanya sengketa perdata yang benar-benar memerlukan suatu putusan pengadilan saja yang diajukan ke Pengadilan, sedangkan sengketa lainnya diupayakan perdamaian sehingga Pengadilan lebih fokus kepada sengketa tertentu tersebut.
Sebagai perbandingan dapat kita lihat bahwa di Singapura lebih dari 90% perkara perdata yang diajukan ke Pengadilan tingkat pertama dapat diselesaikan melalui perdamaian, begitupula di Filipina sekitar 75% dan di Jepang lebih kurang 33%.
Selain Pengadilan, lembaga-lembaga seperti Bar Association di Jepang ataupun Advokat. Tokoh masyarakat dapat juga mengupayakan perdamaian (Alternative Dispute Resolution).
Bagaimana keadaannya di Indonesia?
Berbeda dengan hukum acara perdata di negara-negara lain, HIR/R.Bg yang merupakan hukum acara perdata di Pengadilan Negeri mewajibkan Hakim pada hari sidang pertama yang dihadiri oleh kedua belah pihak yang berperkara, untuk mendamaikannya (Pasal 130 ayat (1) HIR/Pasal 154 R.Bg). Jika perdamaian tercapai, maka dibuatlah perjanjian perdamaian yang diajukan ke sidang Pengadilan, di mana para pihak yang wajib mentaati/memenuhi perjanjian tersebut yang berkekuatan sebagai putusan Hakim yang tidak dapat dimintakan banding, maka sesuai dengan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang nomor 14 tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 juga tidak dapat dimintakan kasasi. Secara tidak langsung putusan perdamaian dapat membatasi perkara-perkara kasasi.
Di samping itu, oleh karena putusan perdamaian bersumber peda kesepakatan para pihak yang bersengketa (win-win solusion) maka diharapkan akan dapat mengurangi fitnah tentang putusan direkayasa. Keuntungan lain, khusus bagi pencari keadilan, adalah bahwa putusan perdamaian tersebut langsung berkekuatan hukum tetap dan karenanya jika ada pihak yang lalai atau tidak bersedia melaksanakan perjanjian yang telah disepakatinya itu, maka atas permohonan pihak lainnya putusan perdamaian tersebut dapat dieksekusi oleh Pengadilan Negeri.
Pasal 130 ayat (1) HIR hanya mewajibkan Hakim untuk mendamaikan para pihak, namun tidak ada ketentuan lain tentang apa dan bagaimana perdamaian tersebut. Karena itu Mahkamah Agung berdasarkan kewenangan yang ada padanya, yang salah satunya "Membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan" telah membuat Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang ditanda tangani oleh Ketua Mahkamah Agung pada tanggal 11 September 2003. Dalam PERMA tersebut diatur prosedur pada tahap pra mediasi dan tahap mediasi sehingga memudahkan Mediator (bukan Hakim litigasi) untuk melaksanakannya. Pasal 18 PERMA tersebut menegaskan bahwa PERMA tersebut berlaku sejak tanggal ditetapkan, karenanya para Ketua Pengadilan Negeri ( jika diperlukan juga Ketua Pengadilan Agama sesuai dengan pasal 16 PERMA) melaksanakan PERMA tersebut dengan penuh tanggung jawab. Sediakanlah suatu ruangan kecil dan ditata agar nyaman sebagai suatu ruangan mediasi. Mahkamah Agung menyadari bahwa banyak sekali Hakim yang belum memperoleh pelatihan mediator mengingat keterbatasan biaya, namun janganlah hal tersebut menjadi penghalang pelaksanaan PERMA . Tentunya para Hakim yang telah mengikuti pelatihan mediasi membagi pengetahuannya kepada teman-temannya.

B. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah Melalui Badan Arbitrase
1. Pengertian Arbitrase
Arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa. Sengketa yang harus diselesaikan tersebut berasal dari sengketa atas sebuah kontrak dalam bentuk sebagai berikut :
a. Perbedaan Penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian,
berupa :
1). Kontraversi pendapat (controversy);
2). Kesalahan pengertian (misunderstanding);
3). Ketidaksepakatan (disagreement).
b. Pelanggaran perjanjian (breach of contract), termasuk di dalamnya adalah :
1). Sah atau tidaknya kontrak;
2). Berlaku atau tidaknya kontrak.
c. Pengakhiran kontrak (termination of contract);
d. Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
Sedangkan menurut Nomor 30 Tahun 1999, yang dimaksud dengan arbitrase adalah, cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa .
Dalam literatur lain dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “arbitrase” adalah “submission of controversies by agreement of the parties there to persons chosen by themselves for determination.”
Dari beberapa definisi tersebut di atas, dapat ditarik beberapa karakteristik yurudis dari arbitrase, sebagai berikut :
• Adanya kontroversi di antara para pihak;
• Kontroversi tersebut diajukan kepada arbiter;
• Arbiter diajukan oleh para pihak atau ditunjuk oleh badan tertentu;
• Arbiter adalah pihak di luar badan peradilan umum;
• Dasar pengajuan sengketa ke arbitrase adalah perjanjian;
• Arbiter melakukan pemeriksaan perkara;
• Setelah memeriksa perkara, arbiter akan memberikan putusan arbitrase tersebut dan mengikat para pihak.



2. Prinsip-prinsip Arbitrase
Agar dapat menjadi badan penyelesaian yang ampuh, Arbitrase seharusnya menganut beberapa prinsip sebagai berikut :
a. Efisien
Dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui badan-badang peradilan umum, penyelesaian sengketa lewat arbitrase lebih efisien, yakni efisien dalam hubungannya dengan waktu dan biaya.
b. Accessibilitas
Arbitrase harus terjangkau dalam arti biaya, waktu dan tempat.
c. Proteksi Hak Para Pihak
Terutama pihak yang tidak mampu, misalnya untuk mendatangkan saksi ahli atau untuk menyewa pengacara terkenal , harus mendapatkan perlindungan yang wajar.
d. Final and Binding
Keputusan arbitrase haruslah final and binding, kecuali memang para pihak tidak menghendaki demikian atau jika ada alasan-alasan yang berhubungan dengan “due proses”.
e. Fair and Just
Tepat dan adil untuk pihak bersengketa, sifat sengketa dan sebagainya.
f. Sesuai Dengan Sence Of Justice Dari Masyarakat.
Dengan demikian akan lebih terjamin unsur “deterrant” dari si pelanggar, dan sengketa akan dapat dicegah.
g. Credibilitas
Para arbiter dan badan Arbitrase yang bersangkutan haruslah orang-orang yang diakui kredibilitasnya, sehingga keputusannya akan lebih dihormati.

3. Kelebihan – Kelebihan Arbitrase
Dibandingkan dengan pengadilan konvensional, maka arbitrase mempunyai kelebihan atau keuntungan, antara lain :
a. Prosedur tidak berbelit dan keputusan keputusan dapat dicapai dalam waktu relatif singkat
b. Biaya lebih murah.
c. Dapat dihindari expose dari keputusan di depan umum.
d. Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih relaks.
e. Para pihak dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan oleh arbitrase.
f. Para pihak bisa memilih sendiri para arbiter.
g. Dapat memilih para arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya.
h. Keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi.
i. Keputusannya umumnya final dan binding (tanpa harus naik banding atau kasasi).
j. Keputusan arbitrase pada umumnya dapat diberlakukan dan dieksekusi oleh pengadilan dengan sedikit atau tanpa review sama sekali.
k. Proses/prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luas.
l. Menutup kemungkinan untuk dilakukan “Forum Shopping”.


4. Kekurangan-kekurangan Arbitrase
Bila dibandingkan dengan pengadilan konvensional kelebihan-kelebihan, kelemahan dan kritikan terhadap arbitrase sering diajukan, antara lain sebagai beikut :
a. Hanya baik dan tersedia dengan baik terhadap perusahaan-perusahaan bonafide.
b. Due prosess kurang terpenuhi.
c. Kurangnya unsur finality.
d. Kurangnya power untuk menggiring para pihak ke settlement.
e. Kurangnya power untuk menghadirkan barang bukti, saksi dan lain-lain.
f. Kurangnya power untuk hak law enforcement dan eksekusi keputusan.
g. Dapat menyembunyikan dispute dari “Public Scrutiny”.
h. Tidak dapat menghasikan solusi yang bersifat preventif.
i. Kemungkinan timbulnya keputusan yang saling bertentangan satu sama lain karena tidak ada sistem “presedent” terhadap keputusan sebelumnya, dan juga karena unsur fleksibelitas dari arbiter. Karena itu keputusan arbitrase tidak predektif.
j. Kualitas keputusannya sangat bergantung pada kualitas para arbiter itu sendiri, tanpa ada norma yang cukup untuk menjaga standar mutu keputusan arbitrase. Oleh karena itu sering dikatakan “An arbitration is as good as arbitrators”.
k. Berakibat kurangnya upaya untuk mengubah sistem pengadilan konvensional yang ada.
l. Berakibat semakin tinggi rasa permusuhan kepada pengadilan.
Penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase sesungguhnya telah diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, dimana dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan kemungkinan diselesaikannya suatu sengketa melalui badan arbitrase.
Meskipun Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah diundangkan dan karenanya mulai berlaku mulai pada tanggal 12 Agustus 1999, namun dibeberapa Pengadilan Negeri masih saja ada Hakim yang kurang memahaminya. Pasal 3 Undang-Undang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Bahkan menurut pasal 11 Undang-Undang tersebut, adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

5. Upaya Hukum Putusan Arbitrase
Terhadap suatu putusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut mengandung unsur-unsur sebagaimana yang tertera pada pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Meskipun dalam paal 70 tersebut tertera permohonan pembatalan, namun oleh karena suatu putusan arbitrase mengikat baik Pemohon maupun Termohon Arbitrase, maka permohonan pembatalan putusan tersebut harus dalam bentuk gugatan yang pihak-pihaknya adalah pihak-pihak dalam putusan arbitrase. Selain dari permohonan pembatalan putusan arbitrase, Undang-Undang juga menentukan bahwa tuntutan ingkar terhadap Arbiter yang diangkat oleh KETUA Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud oleh Pasal 23 ayat (1) dan dalam hal yang seperti tertera dalam pasal 25 ayat (1) harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan upaya ini dilakukan sebelum adanya putusan arbitrase.
Ketentuan dalam Undang-Undang Arbitrase tersebut jelas, tetapi masih saja ada Hakim yang dalam memeriksa gugatan perbuatan melawan hukum antara para pihak dalam putusan arbitrase mengabulkan tuntutan provisi dengan "Menangguhkan berlakunya putusan arbitrase". Bahkan Arbiter Tunggal yang memutus arbitrase juga digugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya iktikad tidak baik dari tindakan tersebut.

6. Beberapa Hal Yang Berkaitan Dengan Acara Arbitrase

Berikut ini penjelasan dari masing-masing masalah dalam acara bagi arbitrase sesuai dengan Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999, yaitu sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Tertutup
Pemeriksaan perkara arbitrase dilakukan secara tertutup. Hal ini berbeda dengan perkara perdata biasa di Pengadilan Negeri yang dilakukan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Keharusan sidang pemeriksaan perkara arbitrase yang tertutup ini merupakan salah satu ciri dari prosedur arbitrase. Dengan demikian kerahasiaan perkara dari para pihak tetap terjamin. Hal ini disebabkan anggapan masyarakat bernada miring terhadap suatu sengketa hukum, sehingga menyebabkan cukup banyak pihak yang merasa tidak enak jika ada orang lain mengetahui bahwa dia sedang terlibat dalam suatu sengketa.
Pasal 27 dari Undang-Undang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999 tidak memberikan kekecualian terhadap sifat tertutupnya sidang pemeriksaan dalam proses arbitrase. Bahkan, para pihak juga tidak boleh mengenyampingkan ketentuan ketertutupan ini. Hal ini disebabkan formulasi dari Pasal 27 tersebut memberikan indikasi akan sifat memaksa dari ketentuan ketertutupan tersebut, dengan menyatakan bahwa “semua” pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup. Jadi, menutup kemungkinan adanya penyimpangan. Artinya, jika para pihak menghendaki agar putusan tersebut dipublikasikan, maka kewajiban para pihak sendirilah untuk mempublikasikan.
b. Bahasa Yang Digunakan
Bahasa yang digunakan dalam proses pemeriksaan oleh arbiter adalah bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa lain selain bahasa Indonesia dapat dilakukan jika:
1). Para pihak bersengketa menghendaki penggunaan bahasa lain dan hal tersebut disetujui oleh para arbiter, atau
2). Terhadap arbitrase yang tidak berlaku Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, misalnya terhadap arbitrase Internasional, di mana bahasa Inggris sering digunakan.
c. Keterlibatan Para Pihak
Pihak-pihak yang bersengketa mempunyai hak untuk diperlakukan secara sama satu sama lain. Mereka diberi kesempatan yang sama untuk didengar oleh para arbiter. Di samping itu, mereka juga dapat diwakili oleh pihak pengacaranya ( dengan kuasa khusus) jika hal tersebut diinginkannya.
d. Keterlibatan Pihak Ketiga.
Selain dari keterlibatan para pihak kuasanya, pihak ketiga diluar perjanjian arbitrase juga dapat ikut serta dan menggabungkan diri dalam suatu proses arbitrase. Keterlibatan pihak ketiga dalam suatu perkara perdata sebenarnya juga merupakan hal yang lazim dalam proses peradilan umum di Pengadilan Negeri. Undang-Undang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999 memberikan beberapa syarat agar pihak ketiga dapat ikut serta dan menggabungkan diri dalam suatu proses arbitrase. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1). Terdapat unsur kepentingan yang terkait dengan perkara yang bersangkutan;
2). Keikutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa;
3). Keikutsertaannya disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang bersangkutan.


e. Penggunaan Acara Arbitrase
Sesuai dengan praktek arbitrase dan ketentuan dalam Undang-Undang tentang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999, maka pemilihan acara untuk arbitrase adalah sebagai berikut;
1). Dengan suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, para pihak bebas menentukan sendiri secara arbitrase yang digunakan dalam proses penyelesaian sengketa yang bersangkutan.
2). Para pihak dapat juga memilih acara yang berlaku dari suatu lembaga arbitrase yang ada untuk menjadi acara arbitrase dalam penyelesaian sengketanya.
3). Jika para pihak tidak menentukan sendiri acara arbitrase maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
(a).Berlaku ketentuan dari lembaga arbitrase (nasional atau internasional) yang dipilih oleh para pihak;
(b).Jika tidak dipilih arbitrase lembaga (seperti BANI), maka para arbiter sendiri yang akan menentukan acara arbiter tersebut dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999dan peraturan yang berlaku lainnya. Lihat Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.
4). Khusus tentang jangka dan tempat arbitrase juga ditentukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa..
5). Apabila para pihak tidak menentukan sendiri jangka waktu dan tempat arbitrase, maka arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan tempat dan waktunya, dengan ketentuan bahwa pemeriksaan atas sengketa tersebut harus sudah selesai dalam waktu maksimal 180 (seratus delapan puluh) hari.
Namun demikian, jangka waktu tugas dari arbitrase dapat diperpanjang jika memenuhi salah satu dari syarat-syarat sebagaimana disebut dalam Pasal 33 Undang-Undang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999, yaitu sebagai berikut:
(a). Apabila diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu. Hal khusus tertentu ini, misalnya karena adanya gugatan atau gugatan insidentil di luar pokok sengketa, seperti permohonan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Perdata.
(b).Sebagai akibat ditetapkannya putusan provisional atau putusan selainnya.
(c)Untuk kepentingan pemeriksaan, apabila dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase.
.f. Putusan Provisi
Seperti juga badan pengadilan (konvensional), maka arbitrase di samping dapat menjatuhkan putusan final, dapat juga menjatuhkan putusan provisional atau putusan sela untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa. Termasuk ke dalam putusan sela tersebut adalah perintah penitipan barang kepada pihak ketiga, menjual barang yang mudah rusak dan lain-lain. Karena pelaksanaan putusan sela memerlukan jangka waktu tertentu, maka jangka waktu pelaksanaan putusan sela ini di luar dari jangka waktu arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Undang-Undang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999.
g. Terjemahan Alat Bukti
Apabila terdapat kesulitan masalah bahasa, maka arbiter atau majelis arbitrase dapat menginstruksikan agar terhadap setiap dokumen alat bukti dibuat juga terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
h. Pemeriksaan Lisan / Tertulis
Pada prinsipnya, suatu pemeriksaan arbitrase haruslah dilakukan secara tertulis. Maksudnya adalah bahwa pihak pemohon harus mengajukan permohonan pemeriksaan arbitrase secara tertulis. Demikian pula pihak termohon harus mengajukan bantahannya secara tertulis pula. Keterangan saksi ahli pun dilakukan secara tertulis (Pasal 50 ayat (1)), kecuali dianggap perlu oleh arbiter untuk didengar saksi ahli secara lisan. Sedangkan pemeriksaan saksi lainnya dapat dilakukan secara tertulis, tetapi dapat juga secara lisan, bila dianggap perlu oleh arbiter atau bila disetujui oleh para pihak.
Pemeriksaan seluruh acara arbitrase secara lisan ( tanpa perlu surat permohonan atau surat tuntutan tertulis misalnya) dapat saja dilakukan jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Jika disetujui oleh para pihak yang bersengketa, atau
2) Jika dianggap perlu oleh pihak arbiter.
i. Penentuan Tempat Arbitrase
Mengenai tempat dilangsungkannya pemeriksaan arbitrase, berlaku ketentuan sebagai berikut:
1). Tempat yang ditentukan oleh para pihak, jika para pihak ada yang menentukannya , atau jika para pihak tidak menentukannya.
2). Berlaku tempat yang dilakukan oleh para arbiter;
3). Atau jika yang dipilih adalah arbitrase kelembagaan, berlaku tempat sebagaimana berlaku untuk lembaga arbiotrase yang bersangkutan.
4). Bila perlu, pemeriksaan saksi dan saksi ahli dapat dilakukan di tempat tertentu di luar tempat arbitrase.
5). Bila perlu, pemeriksaan setempat dapat dilakukan, yakni di tempat lokasi objek yang bersangkutan.
( vide Pasal 37 Undang-Undang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999)
j. Pemeriksaan Setempat
Seperti telah disebutkan bahwa pemeriksaan setempat (site visit) dapat saja dilakukan jika dianggap perlu oleh arbiter dan hal tersebut memang dimungkinkan oleh Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999. Dalam hal ini, bahkan bila dianggap perlu, para arbiter dapat juga memanggil para pihak untuk datang dan hadir ke lokasi pemeriksaan. Yakni ke lokasi di mana objek yang akan diperiksa terletak.
k. Surat Tuntutan oleh Pemohon.
Apabila permohonan dari pihak pemohon untuk dilakukan pemeriksaan arbitrase disetujui oleh pihak arbiter dan arbiter atau majelis arbitrase sudah dibentuk, pemeriksaan ditingkatkan ke fase pengajuan surat tuntutan oleh pemohon. Surat tuntutan (Statement of claim) tersebut diajukan kepada pihak arbiter dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Syarat minimal dari isi surat tuntutan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Nama lengkap dan tempat tinggal/kedudukan para pihak;
2. Uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti pendukung.
3. Isi tuntutan yang jelas.
l. Jawaban dari Termohon
Atas surat tuntutan yang diajukan oleh pemohon, termohon dapat mengajukan bantahan tertulisnya. Bantahan tertulis ini diajukan oleh termohon dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah termohon menerima salinan Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999).tuntutan tersebut dari arbiter atau dari ketua majelis arbitrase.
m. Penetapan Hari Sidang
Setelah diterimanya jawaban atas tuntutan dari pemohon arbitrase, maka satu salinan dari jawaban tersebut diserahkan kepada pemohon oleh arbiter atau oleh ketua majelis arbitrase. Setelah itu pihak arbiter baru menentukan hari sidang dan memerintahkan agar para pihak atau kuasanya menghadap di depan sidang. Hari sidang harus ditetapkan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak dikeluarkannya perintah itu.
n. Tuntutan Balasan
Disamping memberikan jawaban atas tuntutan dari pihak pemohon, pihak termohon dapat juga mengajukan tuntutan balasan (counter claim, rekonvensi) jika memang ada sesuatu yang dituntut kepada pihak pemohon arbitrase. Pengajuan tuntutan balasan oleh pihak termohon ini dapat dilakukan dengan dua cara sebagai berikut :
1). Diajukan dalam jawabannya, atau
2). Diajukan selambat-lambatnya pada sidang arbitrase yang pertama.
Terhadap tuntutan balasan ini , oleh pihak pemohon arbitrase dapat mengajukan tanggapan. Ditentukan juga, bahwa tuntutan balasan dari pihak termohon bersama dengan tanggapan pemohon atas tuntutan balasan tersebut haruslah diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok sengketa.
o. Usaha Perdamaian oleh Arbiter
Seperti untuk proses peradilan biasa, maka pada sidang pertama dari Arbiter juga diusahakan dan ditawarkan perdamaian kepada para pihak yang bersengketa oleh pihak arbiter. Apabila usaha perdamaian tersebut tercapai, maka oleh pihak arbiter atau mahelis arbitrase dibuat suatu akta perdamaian yang berkekuatan final dan mengikat (final and bindang). Selanjutnya, pihak arbiter memerintahkan kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan isi perdamaian tersebut.
p. Jika Perdamaian Tidak Tercapai
Bagaimana halnya jika perdamaian di muka arbiter tidak tercapai. Untuk itu, pemeriksaan terhadap pokok perkara dilanjutkan oleh arbiter Dalam hal ini mulailah dilakukan hal-halk sebagai berikut :
1). Para pihak dalam suatu jangka waktu tertentu diberikan kesempatan lagi untuk terakhir kalinya menjelaskan secara tertulis pendirian masing-masing disertai dengan pengajuan bukti-bukti.
2). Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta kepada para pihak dokumen tambahan, bukti lain atau penjelasan secara tertulis dalam jangka waktu tertentu.


q. Jika Pemohon Tidak Datang Menghadap
Bagaimana seandainya pada hari sidang pihak pemohon tidak datang untuk menghadap sidang, padahal yang bersangkutan sudah dipanggil secara patut. Dalam hal ini berlaku ketentuan dalam pasal 43 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, dimana tuntutan dinyatakan gugur, dan tugas arbiter atau majelis arbutrase dianggap seleai ampai disitu.
r. Jika Termohon Tidak Datang Menghadap
Bagaimana pula seandainya pihak termohon yang tidak datang untuk menghadap pada sidang pertama padahal yang bersangkutan sudah dipanggil secara patut. Dalam hal pihak termohon haruslah dipanggil sekali lagi secara patut. Apabila 10 (sepuluh) hari setelah pemannggilan kedua pihak termohon belum juga datang menghadap tanpa alasan yang jelas, maka pemeriksaan akan dilanjutkan tanpa hadirnya pihak termohon (verstek) dan tuntutan akan diterima seluruhnya. Tuntutan akan ditolak oleh arbiter atau majelis arbitrase jika tuntutannya tidak beralasan atau tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.
s. Pencabutan surat Permohonan Arbitrase
Pada prinsipnya pemohon arbitrase dapat mencabut surat permohonan, menambah atau mengubah surat tuntutan untuk penyelesaian sengketa tersebut. Hanya saja, bagaimana tata cara pencabutan, penambahan atau perubahan tersebut sangat bergantung pada waktunya dilakukan. Prosesnya adalah sebagai berikut:
1). Jika diajukan sebelum ada jawaban dari termohon, pemohon dapat mencabut surat permohonan arbitrase tanpa perlu persetujuan dari pihak termohon.
2). Jika sudah ada jawaban dari pemohon, maka perubahan atau penambahan atas urat tuntutan arbitrase hanya dapat dilakukan jika a). Ada persetujuan dari termohon; dan
b). Perubahan atau penambahan tersebut hanya bersangkutan dengan hal-hal yang bersifat fakta, tidak bersangkutan dengan dasar-dasar hukum dari permohonan.
t. Batas Waktu Penyelesaian Pemeriksaan Oleh Arbiter
Pemeriksaan sengketa di depan arbitrase harus dituntaskan dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis arbitrase dibentuk. Lihat Pasal 48 Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999. Namun demikian, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang jika memenuhi ketentuan sebagai berikut :
1). Diajukan permohonan perpanjangan pemeriksaan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu.Contoh dari “hal khusus tertentu” misalnya karena gugatan insidentil di luar pokok sengketa, seperti permohonan jaminan sebagaimana dimaksud dalam hukum acara perdata. Lihat penjelasan atas pasal 33 huruf (a) dari Undang-Undang arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.
2). Apabila hal tersebut sebagai akibat ditetapkannya putusan provisional atau putusan sela lainnya.
3). Apabila hal tersebut dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan.

C. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah Melalui Badan Peradilan Agama
Mengapa mesti ke Pengadilan Agama ?
Hal ini didasarkan atas beberapa alasan sebagai berikut :
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan :

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”

Pasal 2 jo Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

Bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.

Dalam Penjelasan Pasal 49 dinyatakan :

“Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai ketentuan pasal ini.”

Dari penjelasan Pasal 49 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah, atau bank konvensional yang membuka unit usaha syari’ah (seperti Bank Syari’ah Mandiri, BNI Syari’ah, dan lain-lain) dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syari’ah, baik dalam pelaksanaan akad maupun dalam penyelesaian perselisihan.
Setelah diuraikan secukupnya tentang penyelesaian sengketa ekonomi syari'ah secara non-litigasi sebagaimana telah dijelaskan di atas, berikut ini adalah sebuah tawaran penyelesaian sengketa ekonomi syari'ah secara litigasi yang dalam hal ini adalah melalui Badan Peradilan Agama.
Apa dan bagaimana penyelesaian sengketa ekonomi syari'ah melalui Pengadilan Agama itu ?
Sebelum sampai kepada jawaban atas pertanyaan diatas ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu sekilas tentang kedudukan Peradilan Agama sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
1. Kedudukan Peradilan Agama Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Perbedaan yang sangat mendasar pada kedudukan Peradilan Agama sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, adalah terletak pada kewenangan absolutnya. Ketika masih diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 sebagai payung hukum terakhir bagi tugas-tugas Peradilan Agama, kewenangan Pengadilan Agama hanya sebatas menyelesaian perkara-perkara sebagai berikut:
a. Perkara di bidang perkawinan; yang meliputi :
1). Izin beristeri lebih dari seorang;
2). Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3). Dispensasi kawin;
4). Pencegahan perkawinan;
5). Penolakan Perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6). Pembatalan perkawinan;
7). Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
8). Perceraian karena talak;
9). Gugatan perceraian;
10). Penyelesaian harta bersama;
11). Mengenai penguasaan anak-anak;
12). Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;
13). Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;
14). Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15). Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16). Pencabutan kekuasaan wali;
17). Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
18). Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan delas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak adanya penunjukan wali oleh orang tuanya;
19). Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya;
20). Penetapan asal usul seorang anak;
21). Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22). Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
b. Perkara dibidang kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, yang dimaksud dengan perkara dibidang kewarisan adalah meliputi penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melakanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
c. Perkara dibidang wakaf dan shadaqah.

2. Kedudukan Peradilan Agama Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 kedudukan Badan Peradilan Agama semakin eksis. Hal ini seiring bertambahnya kewenangan absolut peradilan agama dalam menangani perkara-perkara tertentu. Lebih jelasnya, perbedaan mendasar tersebut adalah peradilan agama semakin mendapatkan kepercayaan masyarakat dan negara Indonesia untuk mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara selain yang telah diuraikan di atas juga terhadap perkara-perkara sebagai berikut :
a. Perkara zakat;
b. Perkara infaq;
c. Perkara dibidang ekonomi syari’ah; dan
d. Perkara Penetapan Pengangkatan Anak berdasarkan Hukum Islam.
Selain perkara-perkara tersebut dengan berlakunya Undang-Undang tentang peradilan agama yang terbaru tersebut, pengadian agama juga diberi tugas khusus terkait dengan penetapan kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah. Pengadilan Agama juga dapat memberikan keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.
Kewenangan untuk melaksanakan tugas pokok pengadilan tersebut dibagi dua yaitu:
1. Kewenangan relatif.
Kewenangan relatif atau kompetensi relatif yaitu kewenangan untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya, didasarkan kepada wilayah hukum pengadilan mana tergugat bertempat tinggal. Kewenangan relatif ini mengatur pembagian kekuasaan pengadilan yang sama, misalnya antara Pengadilan Agama Banjarnegara dengan Pengadilan Agama Purbalingga, sehingga untuk menjawab apakah perkara ini menjadi kewenangan Pengadilan Agama Banjarnegara ataukah Pengadilan Agama Purbalingga, didasarkan kepada wilayah hukum mana Tergugat bertempat tinggal. Dalam bahasa Belanda kewenangan relatif ini disebut dengan “distributie van rechtsmacht” . Atas dasar ini maka berlakulah asas “actor sequitur forum rei”.
Berdasarkan ketentuan pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, menyatakan bahwa wilayah hukum Pengadilan Agama adalah meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, sedangkan untuk Pengadilan Tinggi Agama wilayah hukumnya meliputi wilayah Propinsi.
Namun demikian ada penyimpangan dari asas tersebut di atas, yaitu khusus perkara gugat cerai bagi yang beragama Islam, maka gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama di mana Penggugat bertempat tinggal. Hal ini adalah hukum acara khusus yang diatur dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sehingga berlaku asas “lex specialis derogat legi generalis” artinya aturan yang khusus dapat mengalahkan aturan yang umum.
2. Kewenangan mutlak
Kewenangan mutlak atau kompensasi absolut adalah wewenang badan peradilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain. Kewenangan mutlak ini untuk menjawab pertanyaan, apakah perkara tertentu, misalnya sengketa ekonomi syari’ah, menjadi kewenangan Pengadilan Negeri ataukah Pengadilan Agama. Dalam bahasa Belanda kewenangan mutlak disebut “atribute van rechtsmacht” atau atribut kekuasaan kehakiman.
Setelah reformasi bergulir dan dilakukan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 24 yang mengukuhkan Badan Peradilan Agama masuk dalam dalam sistem hukum nasional, maka politik hukum Indonesia mulai merespon kepentingan dan kebutuhan hukum umat Islam dalam menjalankan syariatnya., kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Perubahan yang terpenting dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah sebagimana telah diuraikan di atas.
Kegiatan-kegiatan usaha ekonomi syari’ah sebagaiman tersebut di atas, pada dasarnya lahir karena adanya akad atau perjanjian yang didasarkan kepada prinsip syari’ah. Sedangkan makna prinsip syari’ah adalah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Dalam kaitannya menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, Pengadilan Agama berwenang pula mengadili tentang tuntutan ganti rugi (ta’wid, .daman) baik yang disebabkan oleh adanya wanprestasi ataupun karena adanya perbuatan melawan hukum. Acuan untuk mengadili ganti rugi ini adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 19 jo Peraturan Bank Indonesia Nomor7/46/PBI/2005 dan Fatwa DSN Nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004. Dalam Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia tersebut ditentukan hal-hal sebagai berikut:
a. Pada dasarnya pihak bank dapat mengenakan ganti kerugian (ta’wid) hanya atas kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas kepada nasabah yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan mengakibatkan kerugian pada pihak bank.
b. Besarnya ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan bank adalah sesuai dengan nilai kerugian riil yang berkaitan dengan upaya bank untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi karena adanya peluang yang hilang.;
c. Ganti rugi hanya boleh dikenakan pada akad ijarah dan akad yang menimbulkan utang-piutang seperti: salam, istishna’, serta murabahah yang pembayarannya tidak dilakukan secara tunai;
d. Ganti rugi dalam akad mudharabah dan musyarakah, hanya boleh dikenakan bank sebagai shahibul mal apabila bagian keuntungan bank yang sudah jelas tidak dibayarkan oleh nasabah sebagai mudharib;
e. Mengenai ganti rugi atas sesuatu kerugian harus ditetapkan secara jelas dalam klausula akad yang dipahami secara jelas pula oleh nasabah;
f. Besarnya ganti rugi atas suatu kerugian riil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara bank dan nasabah.

Sumber Hukum Dalam menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syari’ah
Sebagai pedoman dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah di lingkungan Pengadilan Agama, perlu dicermati sumber-sumber hukum yang berkaitan. Sumber-sumber hukum tersebut meliputi sumberber hukum formil (acara) dan sumber hukum materiil.
1. Sumber Hukum Acara (Hukum Formil)
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 pada pokoknya menyatakan bahwa Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama adalah Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersebut. Untuk mengadili sengketa ekonomi syari’ah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 belum mengatur secara khusus, sehingga berpedoman kepada Hukum Acara yang sekarang berlaku di Peradilan Umum. Pada dasarnya hukum acara yang dipergunakan mengacu kepada hukum acara perdata yang berlaku bagi Peradilan Umum, selain itu juga dipedomani kaidah-kaidah fiqhiyah yang berkaitan.
Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Umum (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Niaga) adalah antara lain:
a. Herzeine Inlandsch Reglement (HIR) untuk daerah Jawa-Madura;
b. Rechtsrglement Voor De Buittengewesten (R.Bg) untuk daerah luar Jawa-Madura;
c. Burgerlijk Wetboek (BW), dikenal dengan KUHP Perdata khususnya buku IV tentang Pembuktian;
d. Reglement op de Bourgerlijke Rechtsvordering (Rv);
e. Wetboek Van Koophandel (WvK) dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, khususnya tentang Acara Kepailitan;
f. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.
Selain itu perlu diperhatikan pula asas-asas yang berlaku dalam hukum acara perdata, sehingga seorang hakim maupun para pihak pencari keadilan didalam beracara tidak perlu harus melanggar asas yang berlaku yang oleh karenanya putusan hakim bisa dinyatakan batal demi hukum.
Asas-asas tersebut adalah denagai berikut :
1. Hakim Bersifat Menunggu
Nemo Yudek Sine Aktore : Tak ada tuntutan hak, tak ada hakim
Ius curia novit : Hakim dianggap tahu
2. Hakim Pasif
Verharlungs maxime : Para pihak yang wajib membuktikan
Unterlungs maxime : Hakim wajib mengumpulkan bahan.
3. Sifat Terbuka Persidangan: Terbuka untuk umum, tujuan memberi perlindungan hak asasi manusia, menjamin obyektifitas, pemeriksaan fair, tidak memihak, putusan yang adil.
4. Mendengar Kedua Belah Pihak (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970)
5. Tidak memihak (audi et alteram partem) : Tidak boleh menerima keterangan satu pihak sebagai benar, pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri kedua pihak (Pasal 132a,121 ayat (2) HIR, 145 ayat(2), 157 RBg., Pasal. 47 Rv).
6. Beracara Dengan Biaya : (Pasal 4 ayat(2) ,Pasal 5 ayat(2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 , Pasal 121 ayat ( 4 ) ,182,183, HIR).
7. Putusan Harus Disertai Alasan (Pasal 23. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 184 ayat (1), 319 HIR) : Sebagai pertanggungjawaban hakim, nilai obyektif.
8. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan : yang bersangkutan yang tahu persoalan
9. Sederhana, Cepat, Biaya Ringan:
Sederhana : Acara yang jelas, mudah difahami, tidak berbelit-belit, sederhana formalitasnya.
Cepat : Jalannya peradilan, baik di muka sidang, penyelesaian berita acara sampai dengan penandatanganan putusan hakim.
Biaya ringan: terpikul oleh rakyat.
10. Obyetifitas, Fair Trial : (Pasal. 5 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970) : dikenal hak ingkar, susunan majelis, 2 tingkat pemeriksaan, tingkat pertama dan tingkat banding sebagai yudex facti.
Nemo yudex idoneus in propria causa : tak seorang pun dapat menjadi hakim dalam perkaranya sendiri.
Wraking : Penolakan memimpin persidangan sampai derajat tertentu oleh hakim dengan alasan sebagai berikut:
a. Punya kepentingan secara pribadi.
b. Karena hubungan suami istri, keluarga derajat dengan pihak-pihak yang berperkara.
Tingkat pertama : Pengadilan Agama : Original yuridiction  Segi peristiwa dan hukum.
Tingkat banding : Pengadilan Tinggi Agama : Apellate yurisdiction mengulangi.
Tingkat Kasasi : M.A  terakhir: penerepan hukum : sebagai yudex yuris.
11. Bebas dari campur tangan diluar kekuasaan Kehakiman.

2. Sumber Hukum Materiil
a. Al-Qur’an dan As-Sunnah khususnya yang berkaitan dengan muamalat atau ekonomi Islam;
b. Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku terdiri dari:
1).Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan beserta aturan pelaksanaannya baik peraturan Bank Indonesia maupun Surat Edaran Bank Indonesia;
2 ). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria ;
3 ). Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang BUMN;
4 ).Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
5 ).Undang-Undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Perasuransian
6 ).Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
7 ).Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah;
8 ).Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia;
9 ).Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
10 ).Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS;
11 ).Beberapa peraturan pemerintah yang erat kaitannya dengan pertanahan, perusahaan, perseroan terbatas dan pasar modal;
12 ).Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia (Fatwa DSN-MUI ) yang hingga tahun 2006 sudah mencapai 53 buah;

c. Aqad/Perjanjian (Kontrak)
Salah satu asas dari akad / perjanjian adalah keridhaan kedua belah pihak, konsekwensinya apa yang telah disepakati bersama dalam akad harus dilaksanakan.
Menurut Taufiq, dalam mengadili perkara sengketa ekonomi syari’ah, termasuk di dalamnya perbankan syari’ah, sumber hukum utamanya adalah perjanjian, kedudukan perjanjian sama dengan Undang-Undang. Isi perjanjian lebih khusus jika dibanding dengan Undang-Undang. Sesuai kaidah lex specialis derogat legi generalis, maka isi perjanjian didahulukan daripada Undang-Undang. Dalam hubungan ini berlaku asas “Pacta Sunt Servanda” yaitu perjanjian yang sah merupakan Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.
Dalam hukum bisnis, perjanjian sering disebut dengan nama “kontrak” , sedangkan dalam hukum perikatan Islam, perjanjian dikenal dengan nama “akad”. Akad adalah pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya. Akad merupakan salah satu bentuk perbuatan hukum yang disebut “tasharruf” . Sedangkan tasharruf adalah segala sesuatu (perbuatan) yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara’ menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum yaitu hak dan kewajiban.

d. Yurisprudensi
Yurisprudensi mengandung banyak arti, di antaranya adalah:
1). Putusan hakim mengenai kasus tertentu (judge’s decesion in aparticular case).
2). Putusan yang dijatuhkan merupakan kasus yang berhubungan dengan perkembangan hukum, sehingga pada hakekatnya kasus yang diputuskan berkaitan erat dengan perubahan sosial;
3). Putusan terhadap kasus yang kemungkinan besar belum diatur dalam Perundang-Undangan, sehingga diperlukan penciptaan hukum baru.
Di Indonesia, Yurisprudensi diartikan sebagai putusan pengadilan atau hukum pengadilan (rechterrechts/judge made law). Menurut Subekti, yurisprudensi adalah putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai peradilan negara tertinggi.
Sampai saat ini belum ada yurisprudensi yang berhubungan dengan sengketa ekonomi syari’ah atau khususnya perbankan syari’ah. Yurisprudensi yang ada hanya putusan dari lingkungan Peradilan Umum termasuk di dalamnya putusan Pengadilan Niaga tentang perbankan konvensional atau ekonomi konvensional. Yurisprudensi ini dapat dipergunakan sebagai bahan perbandingan dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara niaga syari’ah atau perbankan syari’ah.

e. Fiqh dan Ushul Fiqh
Fiqh merupakan sumber hukum yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah termasuk perbankan syari’ah. Demikian pula kaidah-kaidah fiqh dan ushul fiqh, sebab kaidah-kaidah ini sangat berguna dalam menyelesaikan sengketa perkara muamalat. Kitab-kitab fiqh yang dapat dipedomani antara lain :
• Fiqhul Islam Waadillatuhu oleh Wahbah Zuhaili Juz IV dan V;
• Fiqhus-Sunnah oleh Sayyid Sabiq Juz II;
• Al-Milkiyah wa Nadhariyyatul Uqud oleh Abu Zahroh;
• Hukum Muamalat oleh Ahmad Azhar Basyir;
• Kitab Hukum Perdata Islam, terjemahan dari Majallah al-‘Adliyyah oleh Prof. Djazuli.
• Fiqh Ekonomi Keuangan Islam oleh Prof. Dr. Abdullah al-Muslih;
• Pertumbuhan Hukum Bisnis Syari’ah Indonesia oleh Prof.Dr. Sholah as-Shawi.

f. Perjanjian Internasional.

Adanya perjanjian antara Indonesia dengan negara lain, misalnya kesepakatan mengadakan kerjasama dalam menyampaikan dokumen-dokumen pengadilan dan memperoleh bukti-bukti dalam perkara hukum perdata dan dagang. Warga negara kedua belah pihak akan mendapat keleluasaan berperkara dan menghadap pengadilan di wilayah pihak lainnya dengan syarat-syarat yang sama seperti warga negara pihak itu.

g. Ilmu Pengetahuan atau Doktrin.
Kewibawaan ilmu pengetahuan yang dikemukakan oleh para ahlinya, dan didukung oleh para pengikutnya, dan juga karena sifatnya yang obyektif dari ilmu pengetahuan itu sendiri menyebabkan putusan hakim bernilai obyektif juga. Doktrin bukanlah hukum, melainkan menjadi sumber hukum di mana hakim dapat menggali hukum dari doktrin atau pendapat para ahli hukum.




BAB IV
ANALISIS DATA

A. Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa Syari’ah
Kewenangan Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah didasarkan atas ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan; dst i. Ekonomi syari’ah”. Berdasarkan ketentuan Pasal 49 tersebut, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah . Oleh karena itu, terhitung mulai tanggal 20 Maret 2006 penyelesaian perkara ekonomi syari’ah menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama. Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tersebut memang belum pernah ada peraturan Perundang-Undangan yang secara khusus melimpahkan kewenangan kepada pengadilan tertentu untuk memeriksa daan mengadili perkara ekonomi syari’ah.
Namun demikian, meskipun Pengadilan Agama telah diberi kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah, ternyata hal tersebut tidak dibarengi pula dengan perangkat hukum yang mengaturnya lebih lamjut, baik perangkat hukum materiil maupun perangkat hukum formil. Oleh sebab itu dalam rangka pelayanan kepada masyarakat dan supaya Pengadilan Agama dapat segera melakukan tugas-tugas barunya, maka harus dilakukan terobosan hukum guna memenuhi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat.
Terobosan tersebut adalah :
1. Dengan melakukan penafsiran argumentum per-analogian (analogi), yakni dengan memperluas berlakunya peraturan perUndang-Undangan yang mengatur tentang kegiatan ekonomi pada umumnya terhadap kegiatan ekonomi syari’ah karena adanya persamaan-persamaan antara keduanya.
2. Dengan menerapkan asas lex posterior derogat legi apriori, yakni bahwa hukum yang baru mengalahkan hukum yang lama. Dengan demikian, maka ketentuan-ketentuan hukum yang lama yang dahulu tidak berlaku pada Pengadilan Agama menjadi berlaku karena adanya kesamaan-kesamaan antara keduanya dan atauran-aturan yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah yang dahulu bukan menjadi kewenangan Pengadilan Agama maka sekarang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, sepanjang berkenaan dengan ekonomi syari’ah.
Diantara peraturan Perundang-Undangan yang mengatur kegiatan ekonomi adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang. Melalui penafsiran argumentum per analogian (analogi), maka ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tersebut diberlakukaan pada Pengadilan Agama. Kata-kata “Pengadilan Negeri” atau “Pengadilan Umum” dalam Undang-Undang tersebut dapat diberlakukan pada “Pengadilan Agama” atau “Peradilan Agama” sepanjang menyangkut ekonomi syari’ah. Berbagai ketentuan tentang badan arbitrase dalam Undang-Undang tersebut secara mutatis mutandis diterapkan pada Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) sebagai satu-satunya badan arbitrase dalam ekonomi syari’ah yang ada di Indonesia. Demikian juga halnya tentang kepailitaan. Dengan mengadopsi dua Undang-Undang tersebut maka dapat dipakai sebagai pedoman dalam menyelesaikan perkara yang berkaitaaan dengan alternatif penyalesaian sengketa, arbitrase, dan kepailitan di bidang ekonomi syari’ah pada Pengadilan Agama.
Berdasarkan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, maka kewenangan Pengadilaan Agama dalam menangani perkara ekonomi syari’ah ini meliputi:
1. Menunjuk arbiter dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuaan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter (Pasal 13-14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).
2. Memutus hak ingkar yang diajukan oleh para pihak atau salah satu dari mereka terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Agama (Pasal 22-25 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).
3. Membatalkan keputusan BASYARNAS manakala dalam putusan BASYARNAS terdapat hal-hal yang menjadikan keputusan itu tidak valid lagi karena: (1). Adanya surat (dokumen) palsu yang menjadi dasar keputusan, (2). Ada dokumen yang ternyata disembunyikan oleh pihak lawan sehinggaa merugikan pihak lain, atau (3) Karena keputusaan didasarkan atas tipu muslihat dari pihak lawan sehingga merugikan pihak lainnya (Pasal 70 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999);
4. Melaksanakan keputusan badan alternatif penyelesaian sengketa (ADR) dan keeputusan BASYARNAS melalui eksekussi paksa manakala diperlukan (Pasal 59-63 Undang-Undang Nomor30 Tahun 1999). Keputusan tersebut dapat dieksekusi oleh Pengadilan Agama selambat-lambatnyaa 30 hari setelaah penandatanganan keputusan tersebut (Pasal 6 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999). Apabila ketentuan ini tidak diindahkan maka keputusan tersebut tidak dapat dieksekusi (Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor30 Tahun 1999);
5. Menyatakan pailit debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor4 Tahun 1998);
6. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah (Pasal 49 Undang-Undang Nomor3 Tahun 2006).
Uraian di atas telah menjelaskan tentang hal ihwal yang terkait dengan kewenangan absolut Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Sedangkan mengenai Pengadilan Agama mana yang paling berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah apabila ternyata antara pihak penggugat dan pihak tergugat berbeda alamat tempat tinggal bahkan obyek sengketa juga berada di tempat yang berlainan dengan kedua belah pihak yang berperkara. Mengenai hal ini berdasarkan ketentuan pasal 118 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg., Pengadilan Agama yang berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat, sesuai asas actor sequitur forum rei. Sedangkan apabila obyek gugatannya itu mengenai benda tetap berlaku aturan sebagaimana diatur dalam pasal 118 ayat (3) HIR/pasal 142 ayat (5) RBg., yakni gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Agama dimana letak atau lokasi obyek sengketa tersebut berada di wilayah hukumnya, sesuai dengan asas forum rei sitae. Atau dapat juga diajukan gugatan ke Pengadilan Agama tertentu yang telah menjadi kesepakatan kedua belah pihak yang tertuang didalam akta perjanjian yang telah dibuat sebelumnya ( Pasal 118 ayat (4) HIR/pasal 142 ayat (4) RBg.).
Apabila ternyata para tergugat berada pada tempat tinggal yang berlain-lainan, maka gugatan bisa diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal salah seorang tergugat yang ada (Pasal 118 ayat (2) HIR/Pasal 142 ayat (3) RBg.).


B. Tatacara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Pada Pengadilan Agama
Apabila perkara ekonomi syari’ah diajukan ke Pengadilan Agama, maka Pengadilan Agama wajib memeriksa, memutus dan menyelesaikannya secara profesional, yakni pertama: dengan proses yang sederhana, cepat, dan biaya ringan; kedua: dengan pelayanan yang prima, yaitu pelayanan secara resmi, adil, ramah, rapi, akomodatif, manusiawi, dan tertib; dan ketiga: dengan hasil (keputusan) yang tuntas, final dan memuaskan.
Dalam menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah, maka Pengadilan Agama harus menjalankan fungsi holistik pengadilan, yaitu sebagai pelayaan hukum dan keadilan kepada para pencari keadilan, sebagai penegak hukum dan keadilan terhadap perkara yang dihadapi, dan sebagai pemulih kedamaian antara pihak-pihak yang bersengketa.
Tugas pokok hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan serta memulihkan hubungan sosial antara pihak-pihak yang bersengketa melalui proses peradilan. Sebagai penegak hukum, hakim berkewajiban untuk memeriksa (mengkonstatir) apakah akad (perjanjian) antara para pihak telah dilakukan sesuai dengan ketentuan syari’ah Islam, yakni memenuhi syarat dan rukun sahnya suatu perjanjian yang berupa: 1. asas kebebasan berkontrak, 2. asas persamaan dan kesetaraan, 3. asas keadilan, 4. asas kejujuran dan kebenaran, 5. asas tidak mengandung unsur riba dengan segala bentuknya, 6. asas tidak ada unsur gharar atau tipu daya, 7. asas tidak ada unsur maisir atau spekulasi, 8. asas tidak ada unsur dhulm atau ketidak- adilan, 9. asas tertulis, dan lain sebagainya sesuai dengan obyek (jenis) kegiatan ekonomi syari’ah tertentu. Apabila perjanjian (akad) tersebut telah memenuhi syarat dan rukunnya maka perjanjian (akad) tersebut adalah syah dan mempunyai kekuataan hukum. Namun jika ternyata tidak memenuhi syarat dan rukunnyaa, maka akad tersebut tidak sah dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak mengikat kedua belah pihak. Dalam hal ini, maka hakim karena jabatannya berwenang untuk mengesampingkan bagian-bagian yang tidak sesuai (menyimpang) dari syarat rukunnya tersebut untuk kemudian mengambil langkah-langkah yang sejalan dengan ketentuan syari’ah Islam dan mengembalikan kepada asas-asas tersebut. Asas-asas yang bersifat dwangen recht ditegakkan secara imperatif, sedangkan asas-asas yang bersifat anvullen recht ditegakkan secara fakultatif.
Sebagai penegak keadilan, hakim wajib memeriksa pokok gugatan dengan membuktikan (mengkonstatir) dalil-dalil gugatan yang dijadikan dasar tuntutan (petitum). Hakim harus membuktikan fakta-fakta yang dijadikan dasar gugatan, menetapkan siapa-siapa yang terbukti melakukan wanprestasi untuk kemudian menghukum yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang seharusnya ia lakukan agar pihak lain tidak dirugikan dan terciptalah rasa keadilan antara kedua belah pihak.
Sebagai pemulih hubungan sosial (kedamaian), maka hakim wajib menemukan apa yang menjadi penyebab timbulnya sengketa antara kedua belah pihak. Suatu sengketa dapat saja timbul karena: kesahpahaman, perbedaan penafsiran, ketidakjelasan perjanjian (akad), kecurangan/ketidakjujuran/ketidakpatutan, ketersinggungan, kesewenang-wenangan atau ketidakadilan, ketidakpuasan, kejadian tak terduga, prestasi tidak sesuai dengan penawaran, prestasi tidak sesuai dengan spesifikasinya, prestasi tidak sesuai dengan waktunya, prestasi tidak sesuai dengan aturan main yang diperjanjikan, prestasi tidak sesuai dengan layanan atau birokrasi yang tidak masuk dalam akad, lambatnya proses kerja, atau wanprestasi sepenuhnya, dan lain sebagainya. Dengan mengetahui apa penyebab timbulnya sengketa maka hakim akan apat memilih dan menemukan cara yang tepat untuk menyelesaikan sengketa antara kedua belah pihak.
Tugas Pengadilan Agama bukan sekedar memutus perkara melainkan menyelesaikan sengketa sehingga terwujud pulihnya kedamaian antara pihak-pihak yang bersengketa, tercipta adanya rasa keadilan pada masing-masing pihak yang berperkara dan terwujud pula tegaknya hukum pada perkara yang diperiksa dan diputus tersebut.
Dengan berpegang pada asas-asas proses penyelesaian perkara yang baik, hakim menyelesaikan perkara dengan berpedoman pada hukum acara perdata yang ada dengan penyesuaian pada karakteristik sengketa ekonomi syari’ah. Proses peradilannya dilakukan sesuai dengan hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan Agama.
Proses penyelesaian perkara sengketa ekonomi syari’ah dilakukan hakim dengan tata urutan sebagai berikut :
1. Hakim memeriksa apakah syarat administrasi telah tercukupi atau belum . Administrasi perkara ini meliputi berkas perkara yang didalamnya telah dilengkapi dengan kuitansi panjar biaya perkara, nomor perkara, penetapan majelis hakim, dan penunjukan panitera sidang. Apabila syarat tersebut belum lengkap maka berkas dikembalikan ke paniteraan untuk dilengkapi, apabila sudah lengkap maka hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan kepada juru sita agar para pihak dipanggil untuk hadir dalam sidang yang waktunya telah ditetapkan oleh hakim dalam surat Penetapan Hari Sidang (PHS).
2. Hakim memeriksa syarat formil perkara yang meliputi kompetensi dan kecakapan penggugat, kompetensi (kewenangan) Pengadilan Agama baik secara absolut maupun relatif, ketepatan penggugat menentukan tergugat (tidak salah menentukan tergugat), surat gugatan tidak obscuur, perkara yang akan diperiksa belum pernah diputus oleh pengadilan dengan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (tidak ne bis in idem), tidak terlalu dini, tidak terlambat, dan tidak dilarang oleh Undang-Undang untuk diperiksa dan diadili oleh Pengadilan. Apabila ternyata para pihak telah terikat dengan perjanjian arbitrase, maka Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadilinya (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).
3. Apabila syarat formil telah terpenuhi berarti hakim dapat melanjutkan untuk memeriksaa pokok perkara. Dalam persidangan ini, tugas pertama dan utama hakim adalah berusaha mendamaikan kedua belaah pihak sesuai dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 dan PERMA Nomor 1 Tahun 2002.
Apabila tercapai perdamaian, maka hakim membuat akta perdamaian. Apabila tidak dapat dicapai perdamaian maka pemeriksaan dilanjutkan ke tahap berikutnya.
4. Hakim melakukan konstatiring terhadaap dalil-dalil gugat dan bantahannya melalui tahap-tahap pembacaan surat gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik, dan pembuktian.
5. Hakim melakukan kualifisiring melalui kesimpulan para pihak dan musyawarah hakim.
6. Hakim melakukan konstituiring yang dituangkan dalam surat putusan.

C. Hukum Acara Yang Berlaku Pada Pengadilan Agama
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menyebutkan : “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.
Dengan demikian maka pada dasarnya tehnis peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan tehnis peradilan dalam perkara perdata dari Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Oleh karenanya Pedoman Pelaksanaan tugas Bidang tehnis Peradilan Angka I Peradilan Umum huruf A. Perdata dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II dapat pula dipedomani, kecuali hal-hal yang secara telah diatur di dalam dan atas dasar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan peraturan perundangan yang lainnya.












BAB IV
P E N U TU P

A. Kesimpulan
Berdasarkan data dan hasil analisa di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaian perkara sengketa ekonomi syari’ah karena sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24 ayat (2) joncto pasal 2 dan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan agama.
2. Bahwa hukum acara yang berlaku bagi Peradilan Agama didalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah sebelum diberlakukannya atau diundangkannya peraturan perundangan yang khusus untuk itu adalah hukum acara perdata yang berlaku bagi Peradilan Umum.
3. Bahwa Peradilan Agama yang paling berhak menyelesaikan suatu sengketa ekonomi syari’ah adalah Peradilan Agama yang wilayah hukumnya mewilayahi tempat tinggal tergugat dan/atau tempat obyek sengketa berada.




B. Saran dan rekomendasi
1. Untuk lembaga Eksekutif dan Legislatif :
a. Bahwa mengingat penting dan mendesaknya perangkat peraturan perundangan yang mengatur tentang cara-cara penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah melalui badan Peradilan Agama, maka dipandang perlu dan mendesak untuk segera diatur dan diundangkannya Peraturan Perundangan yang mengatur Acara Pemeriksaan dan Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah melalui Pengadilan Agama.
b. Bahwa untuk segera merealisir maksud di atas perlu dibentuk tim khusus yang terdiri dari pakar-pakar hukum acara baik dari kalangan akademisi maupun para praktisi hukum.
2. Untuk lembaga Peradilan Agama dan Perguruan Tinggi :
a. Mengingat latar belakang akademis para hakim Peradilan Agama pada umumnya adalah sarjana syari’ah dan sarjana hukum, maka untuk lebih memantapkan profesionalitas Hakim dibidang penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dipandang perlu untuk membekali setiap Hakim ilmu-ilmu ekonomi Islam, baik melalui pendidikan formal maupun kursus-kursus dan pelatihan singkat tentang penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah.
b. Untuk memudahkan para Hakim didalam mencari dan menemukan referensi hukum-hukum ekonomi syari’ah, disarankan setiap kantor Pengadilan Agama melengkapi diri dengan perpustakaan yang memadai, khususnya referensi yang terkait dengan bidang penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah.
c. Bagi Perguruan Tinggi yang mencetak sarjana hukum (fakultas syari’ah dan/atau fakultas hukum) hendaknya memasukkan mata kuliah hukum bisnis syari’ah sebagai mata kuliah inti, sehingga diharapkan nantinya akan melahirkan praktisi-praktisi hukum maupun akademisi hukum yang handal dan mumpuni dalam melaksanakan tugasnya, khususnya yang berkaitan dengan persoalan ekonomi syari’ah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download Lagu Gratis, MP3 Gratis