Bookmark and Share

Senin, 25 Januari 2010

Kebijakan Pembiayaan dan Perbankan

Modal adalah penting tetapi bukan segalanya! Itulah ungkpaan yang selalu dinasehatkan
oleh para ahli yang meneliti pembiayaan bagi para pengusaha. Sebaiknya setiap kali kita melakukan interview kepada pengusaha terutama pengusaha kecil jawabnya pasti
kekurangan modal, sehingga usahanya tidak maju. Gambaran menjadi lain pula ketika
membaca berita di media masa bahwa dana sedang berada di perbankan sangat besar dan
penyediaan kredit bagi pengembangan usaha tersedia. Jika dari biasanya yang sebenarnya terjadi ? Untuk memahami persoalan ini kita perlu melihat pembiayaan usaha bagi para pengusaha.

Pada dasarnya pemberdayaan usaha oleh pelaku ekonomi lapis bawah memang bertumpuh
pada kemandirian dan kekerabatan, kemudian pada tahap berikutnya secara kelembagaan
yang masih bersifat lokal dan imformal. Namun di masa lalu juga terdapat lembaga formal pada tingkat desa yang merupakan bagian penting dari pemberdayaan bagi ekonomi lapis bawah di pedesaan yang melekat pada pemerintahan di desa. Kemudian pada tahap berikutnya masuklah pasar keuangan pedesaan melalui koperasi, program pemerintah dan perbankan.

Mengutip laporan BPS Dibyo Prabowo 17 menegaskan kembali bahwa 35,10% UKM
menyatakan kesulitan permodalan, kemudian diikuti oleh kepastian pasar 25,9% dan
kesulitan bahan baku 15,4%. Jika kita ikuti jawaban tersebut sebenarnya kesulitan
permodalan adalah resultante dari kesulitan mendapatkan kepastian pasar karena
ketidakmampuan menjamin kepastian produksi. Oleh karena itu pemecahan masalah
pembiayaan UKM tidak sebatas masalah kekurangan modal, sehingga diperlukan
pemecahan yang komprehensif. Hal yang mungkin agak kurang dipahami adalah praktek
terbaik dimanapun pembiayaan usaha, terutama pemula, selalu didahului dengan sumber
modal sendiri atau modal keluarga atau jika tidak bersumber dari angle Capital18 yang
dasarnya adalah kepercayaan dan kegigihan si pelaku. Dalam hal demikian sebenarnya
yang harus juga menjadi perhatian kita adalah usaha yang menyediaakan jasa untuk
memecahkan pembiayaan usaha kecil hingga sampai pada perbankan. Pembiayaan bagi
UKM di negara berkembang pada umumnya masih diharapakan dari perbankan.
17 Dibyo Prabowo : Developent of Small and Medium-sized Enterprise, makalah pada seminar The Tokyo
seminar on Indonesia 25-26 Agustus 2004 di Tokyo Jepang
18 Stillman, Robert D ; Equity Financing for Technology, makalah pada Expert meeting on improving the
competitiveness of SME through enhancing productive capacity : financing for technology 28-30 october
2002
49
Di sisi lain perubahan paradigma pemberian dukungan pembiayaan UKM dari kredit
program kepada mekanisme pasar jasa keuangan akibat perubahan UU 23/1999 tentang
Bank Indonesia dan berbagai rencana program pemulihan ekonomi yang tercantum dalam
nota kesepakatan dengan IMF telah memberikan pelajaran baru. Sejak akhir 1999 semua
kredit program dihentikan, sehingga Pemerintah mengubah dukungannya dari
memberikan subsidi dan penjaminan pada kredit program sektoral perbankan (seperti
BIMAS, KKPA dll.) menjadi dukungan perkuatan LKM terutama KSP/USP sejak tahun
2002 sebagai mekanisme fiskal biasa. Hal ini diharapkan relatif tidak menimbulkan
distorsi pasar keuangan mikro kecuali hanya memperkuat para pelaku untuk semakin
kompetitif dan memperluas jangkauan Meskipun stimulan fiskal untuk LKM ini baru
menjangkau sekitar 15-20 persen LKM, namun telah mendorong tumbuh kembangnya
kekuatan kredit mikro non bank. Sebagai pelaku mereka termasuk dalam sektor keuangan.
Apabila perkembangan ini menjadi instrumen perkuatan yang efisien, maka instrumen
fiskal untuk perkuatan LKM akan terbukti lebih efektif disertai dengan tingkat distorsi
yang rendah sehingga dapat menjadi pilihan baru bentuk intervensi yang ramah pasar.
Secara garis besar, kebijakan perbankan terdiri dari: (1) program penyehatan
perbankan, meliputi penjaminan pemerintah bagi bank umum dan BPR, rekapitalisasi
bank umum dan restrukturisasi kredit perbankan; (2) pemantapan ketahanan sistem
perbankan yang meliputi pengembangan infrastruktur perbankan, peningkatan good
corporate governance dan penyempurnaan pengaturan dan pemantapan sistem
pengawasan bank; (3) upaya pengembangan UMKM dalam rangka pemulihan fungsi
intermediasi perbankan.
Berdasarkan Laporan Perekonomian Bank Indonesia tahun 2003, peran Bank Indonesia
dalam pengembangan UMKM dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu: (1) kebijakan
kredit perbankan; (2) pengembangan kelembagaan; dan (3) pemberian bantuan teknis.
Keterbatasan UMKM dalam memperoleh pelayanan kepada sektor perbankan merupakan
salah satu kendala belum optimalnya fungsi intermediasi perbankan. Menyikapai hal
tersebut, selama tahun 2003, upaya yang ditempuh Bank Indonesia dalam pengembangan
UMKM lebih ditekankan pada upaya peningkatan akses UMKM kepada sektor
perbankan. Melalui pendekatan kebijakan kredit, upaya yang dilakukan Bank Indonesia
antara lain dengan senantiasa mendorong bank umum dan BPR untuk meningkatkan
penyaluran kredit UMKM sesuai dengan rencana bisnis masing-masing bank dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Dalam rencana bisnis 2002, 14 bank umum (sekarang 13 bank) yang menguasai 80% aset
perbankan nasional (systemically important banks) dan BPR, menetapkan rencana
penyaluran kredit kepada sektor UMKM sebesar Rp. 30,9 triliun. Dalam realisasinya
dicapai jumlah Rp. 35,9 triliun, atau 116% dari target. Namun pada tahun 2003, kredit
50
baru yang disalurkan perbankan ke sektor UMKM sebesar Rp. 26,9 triliun atau 63,82%
dari total rencana perbankan untuk penyaluran kredit UMKM sebesar Rp. 42,3 triliun.
Selain mendorong perbankan menyalurkan kredit pada UMKM, Bank Indonesia juga
mendukung pembiayaan UMKM melalui penyediaan KLBI relending dalam rangka kredit
program oleh BUMN Koordinator pengelola. Hal ini merupakan tindak lanjut pasal 74
UU No. 23/1999, yang mengamanatkan pengalihan pengelolaan KLBI dalam rangka
kredit program kepada tiga BUMN Koordinator yang ditunjuk pemerintah, yakni BRI,
BTN, dan PT. Permodalan Madani (PNM). Tiga BUMN Koordinator tersebut berwenang
menyalurkan kembali (relending) angsuran KLBI yang diterima oleh bank pelaksana
sampai dengan KLBI dimaksud jatuh tempo. Jumlah angsuran KLBI yang disalurkan
kembali mencapai Rp. 2,3 triliun atau mencapai 56%.
Selain itu, dalam membantu penyediaan dana untuk kredit program, Bank Indonesia
melakukan pembelian Surat Utang Pemerintah (SUP) No. 005 dalam rangka kredit
program dengan plafon Rp. 9,9 triliun pada akhir Desember 1999. Sampai dengan akhir
Desember 2003, dana yang tersedia adalah Rp. 3,1 triliun, dan telah ditarik oleh
pemerintah sebesar Rp. 850 milyar, sehingga dana yang masih ditarik sebesar Rp. 2,2
triliun. SUP dimaksud berjangka waktu 10 tahun yang akan berakhir pada 10 Desember
2009 dan dikenakan suku bunga SBI 3 bulan.
Pada pendekatan kelembagaan, salah satu upaya BI dalam mencari solusi bagi
peningkatan fungsi intermediasi perbankan dan pemulihan sektor riil dilakukan dengan
menyelenggarakan Forum Dialogis Kawasan Barat Indonesia (FD-KBI) pada 21-23
Pebruari 2003 di Sumatera Barat. Forum tersebut merupakan pertemuan tripartit antara
pemerintah, perbankan dan pelaku usaha, serta merupakan rangkaian kegiatan yang
diselenggarakan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada 8-11 November 2002 di
Sulawesi Selatan.
Salah satu rekomendasi dan solusi yang dihasilkan dalam FD-KBI adalah upaya
pemanfaatan dan pengembangan lembaga penjaminan kredit untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi nasabah UMKM yang relatif tidak atau kurang bankable,
meskipun memiliki usaha yang layak. Kemudian di ikuti dengan seminar dan diskusi
terfokus mengenai lembaga penjamin kredit, dan dihasilkan rumusan penting
yaitu ”pemberdayaan dan penguatan lembaga penjamin kredit yang telah ada, yang
didukung oleh perangkat hukum yang memadai.
Disamping itu, Bank Indonesia juga terus menyelenggarakan bazar intermediasi yang
bertujuan untuk mempertemukan bank dengan UKM. Untuk mendukung pengembangan
UMK, BI memperluas perannya dalam pemberian bantuan teknis yang selama ini hanya
diberikan kepada bank. Upaya tersebut dirumuskan dalam PBI No. 5/18/PBI/2003 tentang
pemberian bantuan teknis dalam rangka pengembangan UMK yang menekankan pada
51
upaya mengatasi keterbatasan kemampuan aksesabilitas UMK ke lembaga keuangan,
khususnya perbankan.
5.2. Lembaga Keuangan Mikro
Selama ini berbagai upaya untuk mendorong produktivitas oleh kelompok ini, nilai
tambahnya terbang dan dinikmati para pelepas uang. Adanya pasar keuangan yang sehat
tidak terlepas dari keberadaan Lembaga Keuangan yang hadir ditengah masyarakat.
Lingkaran setan yang melahirkan jebakan ketidak berdayaan inilah yang menjadikan
alasan penting mengapa lembaga keuangan mikro yang menyediakan pembiayaan bagi
usaha mikro menempati tempat yang sangat strategis. Oleh karena itu kita perlu
memahami secara baik berbagai aspek lembaga keuangan mikro dengan segmen-segmen
pasar yang masih sangat beragam disamping juga masing-masing terkotak-kotak.
Usaha mikro sering digambarkan sebagai kelompok yang kemampuan permodalan UKM
rendah. Rendahnya akses UKM terhadap lembaga keuangan formal, sehingga hanya 12 %
UKM akses terhadap kredit bank karena :
a. Produk bank komersial tidak atau kurang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi UKM
b. Adanya anggapan berlebihan terhadap besarnya resiko kredit UKM
c. Biaya transaksi kredit UKM relatif tinggi
d. Persyaratan bank teknis kurang dipenuhi (agunan, proposal, dll)
e. Terbatasnya akses UKM terhadap pembiayaan equity
f. Monitoring dan koleksi kredit UKM tidak efisien
g. Bantuan teknis belum efektif dan masih harus disediakan oleh bank sendiri sehingga
biaya pelayanan UKM mahal
h. Bank pada umumnya belum terbiasa dengan pembiayaan kepada UKM.
Secara singkat kredit perbankan diselenggarakan atas pertimbangan komersial membuat
UKM sulit memenuhi persyaratan teknis perbankan, terutama soal agunan dan persyaratan
administratif lainnya.
Indonesia memiliki sejarah panjang dan kaya akan ragam model pembiayaan mikro.
Pengalaman dan kekayaan ini meliputi jenis produk pembiayaan mikro maupun lembaga
pelaksananya, bahkan juga sejarah pengenalannya kepada masyarakat. Oleh karena itu
kekayaan ini tidak bakal dibiarkan begitu saja dan disia-siakan untuk tidak diberikan
tempat terhormat untuk dikembangkan. Desakan akan pentingnya pengembangan ini akan
semakin terasa setelah krisis perbankan melanda Indonesia, sehingga perbankan lumpuh
dan tidak dapat menjadi lembaga yang efektif lagi.
52
Memang disadari bahwa pengertian kredit mikro dapat diartikan bermacam-macam,
karena memang produk kredit mikro sendiri tidak homogen dan lembaga pelaksanaannya
juga bermacam-macam ditinjau dari segi sifat dan status legalnya. Perbedaan-perbedaan
ini juga merupakan ciri segmentasi pasar yang perlu dipahami dan bahkan dapat dilihat
sebagai mekanisme fungsional dalam pembagian pasar dan target sasaran. Pemahaman ini
diperlukan bagi penetapan kebijakan sesuai kelompok sasaran yang hendak dituju.
Demikian latar belakang program pengenalannya juga sangat terkait dengan munculnya
tantangan yang dihadapi masyarakat ketika itu, namun demikian pembiayaan mikro tetap
mempunyai unipersatitas sebagai penyedia jasa keuangan bagai usaha mikro dan kecil.
Perkreditan mikro selain dilihat dari segi produk dan kelembagaannya juga dapat dilihat
dari segi “permintaan dan penawaran” atau dari sudut sumber dan penggunaan. Gambaran
ini akan menjelaskan pembagian kerja fungsional antar lembaga perkreditan mikro dengan
berbagai kelompok sasaran berdasarkan tingkat pendapatan dan bahkan dapat sangat
terkait dengan penggunaan kredit. Pendekatan ini sekaligus untuk memahami dinamika
perkembangan lembaga perkreditan mikro bagi pengembangan ekonomi rakyat.
Pada dasarnya kredit dapat dibedakan dalam dua sifat penggunaan yaitu kredit produktif
dan kredit konsumtif. Untuk melihat sejauh mana sektor-sektor ekonomi produktif
memberikan tanda adanya permintaan pasar yang kuat perlu dikaji struktur ekonomi
masing-masing sektor berdasarkan atas pelaku usaha, disamping itu juga kaitan dengan
sasaran ekspor dan tersedianya dana sendiri oleh para pelaku usaha. Ciri pasar kredit
mikro adalah kecepatan pelayanan dan kesesuaian dengan kebutuhan pengusaha mikro.
Berdasarkan nilai kredit maka besarnya kredit yang tergolong ke dalam kredit mikro
lazimnya disepakati oleh perbankan untuk pinjaman sampai dengan Rp. 50 juta/nasabah
dapat digolongkan kedalam kredit mikro. Ada yang berpendapat bahwa dalam masyarakat
perbankan internasional kredit mikro dapat mencapai maksimum US $ 1000,-. Di
Thailand baru dalam taraf pilot project oleh Bank for Agriculture and Agricultural
Cooperative (BAAC) menetapkan kredit mikro adalah kredit dengan jumlah maksimum
Bath 100.000/nasabah atau setara dengan US $ 2.500,-. Dengan demikian kredit mikro
pada dasarnya menjangkau pada pengusaha kecil lapis bawah yang memiliki usaha
dengan perputaran yang cepat.
Lembaga perkreditan mikro di Indonesia pada dasarnya ada dua kelompok besar yakni
Pertama, Bank terutama BRI unit dan BPR yang beroperasi sampai ke pelosok tanah air;
dan kelompok yang Kedua adalah koperasi, baik koperasi simpan pinjam yang khusus
melayani jasa keuangan maupun unit usaha simpan pinjam dalam berbagai macam
koperasi. Disamping itu terdapat LKM lain yang diperkenalkan oleh berbagai lembaga
baik pemerintah seperti Lembaga Kredit Desa, Badan Kredit Kecamatan dan lain-lain,
maupun swasta/lembaga non pemerintah seperti yayasan, LSM, dan LKM lainnya
termasuk lembaga keagamaan.
53
Pada gambar 1 dapat diperlihatkan pada bagian atas adalah sumber dana atau modal yang
dapat diakses oleh usaha kecil dan sekaligus lembaga yang menanganinya. Dari gambar
tersebut secara fungsional memang terlihat bahwa masing-masing lembaga perkreditan
mempunyai segmen-segmen pasar tersendiri. Pada garis ke kanan menggambarkan, bahwa
untuk mencapai tujuan peningkatan investasi atau penggunaan modal untuk proses nilai
tambah, ada dua jenis langkah yang harus ditempuh yaitu pada lembaga keuangan modern
maka yang terpenting adalah bagaimana memperbaiki akses oleh UKM terhadap fasilitas
pembiayaan yang telah disediakan. Sementara pada kelompok penyedia kredit mikro yang
berskala sangat kecil perlu pengembangan jaringan kelembagaannya agar efektif dalam
pelayanan.
Pada bagian lain dapat dilihat kelompok pengguna dana dan jumlah unit usaha / nasabah
potensial yang dapat dilayani oleh masing-masing Lembaga Keuangan. Gambar ini
memberikan penjelasan secara rinci segmen besaran pinjaman dan khalayah sasaran yang
dapat dijadikan nasabah, sehingga setiap pengembang program akan secara mudah
mengenali kearah mana mereka akan membawa program dan dukungan LKM yang
diperlukan sesuai dengan kelembagaan. Dari sini juga sekaligus akan menjelaskan jumlah
sasaran potensial sehingga secara mudah kita akan mampu mengenali kelompok mana
yang paling terpinggirkan dari pelayanan kredit.
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia telah membuktikan bahwa :
a. Tumbuh dan berkembang di masyarakat serta melayani usaha mikro dan kecil (UKM)
b. Diterima sebagai sumber pembiayaan anggotanya (UKM)
c. Mandiri dan mengakar di masyarakat
d. Jumlah cukup banyak dan penyebaran nya meluas
e. Berada dekat dengan masyarakat, dapat menjangkau (melayani) anggota dan
masyarakat
f. Memiliki prosedur dan persyaratan peminjaman dana yang dapat dipenuhi anggotanya
(tanpa agunan)
g. Membantu memecahkan masalah kebutuhan dana yang selama ini tidak bisa dijangkau
oleh kelompok miskin
h. Mengurangi berkembangnya pelepas uang (money lenders)
i. Membantu menggerakkan usaha produktif masyarakat dan
j. LKM dimiliki sendiri oleh masyarakat sehingga setiap surplus yang dihasilkan oleh
LKM bukan bank dapat kembali dinikmati oleh para nasabah sebagai pemilik.
Keunggulan diatas menyebabkan LKM sangat penting dalam pengembangan usaha kecil
karena merupakan sumber pembiayaan yang mudah diakses oleh UKM (terutama usaha
mikro). Pelajaran BRI-Unit sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM) telah memberikan
54
pelayanannya sampai ke pelosok tanah air dengan tingkat bunga pasar dan tidak ada
memerlukan subsidi. Disamping itu secara empiris tingkat pengembalian baik, mutu
pelayanan lebih penting dan mengenal orang dan memahami nasabah serta cash flow
sebagai pengganti kollateral phisik. Pendekatan kelompok juga terbukti efektif sebagai
pressure group dan mengurangi biaya dan resiko dalam penyaluran.
Lembaga keuangan mikro lainnya yang akhir-akhir ini tumbuh pesat adalah lembaga
keuangan syariah yang penyelenggaraannya sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.
Lembaga keuangan syariah terdiri dari bank khusus (bank muamalat) dan bank lain serta
BPR-S, sedangkan yang berbentuk bukan bank terdiri dari Baitul Mal Wa Tamwil (BMT)
dibawah pembinaan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), Baitul Tamwil (BTM)
yang dikembangkan oleh Baitul Mal Muhammadiyah dan Koperasi Syirkah Muawanah
yang digairahkan oleh pesantren-pesantren. Status legalnya ada yang berbentuk koperasi,
tetapi tidak jarang masih dalam pembinaan yayasan atau sama sekali tidak terkait dengan
institusi pengembang.
Bentuk lain kredit mikro yang diakui keberhasilannya oleh dunia adalah pola Grameen
Bank yang dirancang untuk memecahkan Perkreditan bagi keluarga miskin. Modal ini
terbukti telah berhasil membangkitkan kegiatan ekonomi bagi kelompok penduduk miskin
di Bangladesh, sehingga dianggap sangat sesuai untuk memecahkan penyediaan modal
bagi penciptaan kegiatan produktif untuk penduduk miskin. Mat Syukur (2001) dalam
hasil studinya mengemukakan bahwa Karya Usaha Mandiri (KUM) yang merupakan
reflikasi gremeen bank sangat efektif sebagai instrumen delivery untuk kelompok sasaran,
namun sustainability dari program ini tanpa dukungan dari luar yang terus menerus masih
dipertanyakan, demikian juga daya saing terhadap produk kredit mikro lain belum secara
nyata menunjukan keunggulannya. Di dunia memang diakui bahwa Grameen Bank adalah
sistem perbankan sosial yang terbaik dan paling berhasil, sehingga menjadi model yang
tepat sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi kelompok penduduk miskin.
Jika BRI unit telah diakui sebagai The Biggest and The Best Micro Banking System in the
world, maka Grameen Bank adalah The Best Social Banking System, perbedaannya
terletak pada kemampuan untuk memobilisasi dana masyarakat dan kegiatan usaha secara
komersial yang sehat tanpa subsidi untuk perbankan mikro seperti yang telah ditunjukkan
BRI-Unit. Sementara Grameen Bank terletak pada kemampuannya untuk menjangkau
masyarakat miskin menjadi produktif dan siap masuk dalam arus kegiatan ekonomi biasa
serta memanfaatkan mekanisme perbankan yang biasa, meskipun akhirnya juga
dikerjakan oleh Grameen Bank sendiri tapi tidak tertutup untuk menjadi nasabah bank lain.
Di Indonesia yang memiliki kekuatan koperasi sebagai sumber pembiayaan mikro terbesar
kedua setelah BRI-Unit, struktur kelembagaannya masih sangat terfragmentasi dan belum
bergerak sebagai sistem lembaga keuangan yang efisien, oleh karena itu daya dobraknya
tidak dapat kelihatan meluas dan terkesan kurang produktif. Di negara seperti Kanada,
India, Korea, dan lain-lain lembaga keuangan mikro yang diselenggarakan koperasi
55
menjadi kekuatan efektif untuk pembiayaan anggota koperasi baik para petani, peternak,
produsen, maupun konsumen.
Pada dasarnya potensi pengembangan LKM masih cukup luas karena :
a. Usaha mikro dan kecil belum seluruhnya dapat dilayani atau dijangkau oleh LKM
yang ada
b. LKM berada di tengah masyarakat
c. Ada potensi menabung oleh masyarakat karena rendahnya penyerapan investasi
didaerah, terutama di pedesaan
d. Dukungan dari lembaga dalam negeri dan internasional cukup kuat.
Segmentasi pasar lembaga keuangan mikro pada umumnya adalah kelompok usaha mikro
yang dianggap oleh bank :
a. Tidak memiliki persyaratan yang memadai
b. Tidak memiliki agunan yang cukup
c. Biaya transaksinya mahal / tinggi
d. Lokasi kelompok miskin tidak berada dalam jangkauan kantor cabangnya
Permintaan kredit bagi Lembaga Keuangan Mikro dapat diperhitungkan masih sangat luas
dan segmennya bermacam-macam. Hal ini mengingat sebagian besar kelompok usaha
mikro belum dapat dilayani oleh bank. Kelompok peminjam tersebut meliputi usaha
produktif masyarakat yang memiliki perputaran usaha tinggi dan dipergunakan untuk
memenuhi kebutuhan modal kerja.
Tabel 14
Peta Lembaga Keuangan Mikro
Jenis LKM
Total
Peminjam
(Ribu orang)
Peminjaman
(Juta rupiah)
Rata-rata
Pinjaman
(Rp. Ribu)
Jumlah
Deposit
(Rp. Juta)
LDR
BRI Unit 3.694 2.518 6.141.400 2.439 17.477.868 0,36
BPR Non BKD 2.427 1.889 3.066.078 1.623 2.621.709 1,89
Badan Kredit Desa 5.345 726 147.648 203 24.003 6,15
KSP 1.097 655 530.814 810 166.625 3,19
USP 35.218 10.141 3.629.053 359 1.156.804 3,14
Lembaga Dana
Kredit Pedesaan
2.272 1.326 358.000 270 334.000 1,07
Lembaga
Pengadaian
685 10.000 793.000 793 --- ---
Sumber: Bank Indonesia 2001
56
Dilihat dari besarnya kredit yang disalurkan maka dua kekuatan besar penyelenggara
kredit mikro adalah BRI-unit dan koperasi (KSP dan USP) yang masing-masing
menyumbang sebesar 46 % dan 31 % terhadap total kredit mikro. Ditinjau dari jangkauan
pelayanan memang koperasi yang paling doniman baik dari segi titik pelayanan (unit
lembaga) maupun nasabah (peminjam), kemudian BRI menempati urutan kedua dalam
jumlah nasabah dan BKD dalam titik pelayanan. Jika diamati lebih lanjut segmen kredit
mikro papan atas memang sebagian terbesar ditangani BRI meskipun rata-rata
peminjamnya hanya Rp. 2.439.000 jauh dibawah batas maksimum Rp. 50 Juta. Sementara
BPR masih merupakan lembaga yang meminjamkan dananya dibawah BRI. Koperasi dan
perkreditan lain nampaknya benar-benar melayani lapisan paling bawah dari pelaku
kegiatan produktif karena secara rata-rata menangani peminjam dibawah Rp. 1 Juta.
Ditinjau dari kemampuan memobilisasi dana masyarakat hampir semua LKM, kecuali
BRI unit sangat lemah sebagaimana ditunjukkan oleh angka LDR diatas 1. BRI unit yang
berhasil memobilisasi tabungan mencapai Rp. 17 triliun lebih hanya meminjamkan sekitar
Rp. 6,1 triliun, LDKP meskipun kecil sangat lokal dan terbatas mempunyai kemampuan
mobilisasi tabungan masyarakat yang cukup bagus. Dalam kaitan dengan koperasi ketidak
mampuan mobilisasi tabungan ini bersumber dari dua hal :
a. Koperasi memungkinkan menggunakan “modal penyertaan” sesuai ketentuan UU
25/1992 yang dapat memberikan konsesi pada keikutsertaan pengelolaan sebagai
pengganti jaminan bagi deposito yang tidak dimiliki oleh koperasi, tapi hanya ada
pada bank
b. Istilah deposito tidak dikenal dalam koperasi yang ada adalah tabungan dan biasanya
tabungan sering diperlakukan sebagai modal luar saja. Hal ini menyebabkan data
deposito menjadi “under recorded” atau tidak tercatat pada posnya. Jika modal
penyertaan dan tabungan lain dicatat sebagai deposit pasti angka LDR setidaktidaknya
mendekati LKDP, karena sifat koperasi yang selalu mengutamakan prinsip
pelayanan dari, oleh dan untuk anggota.
5.3. Arah dan Strategi Pengembangan LKM
Permasalahan yang dihadapi oleh LKM terutama LKM bukan bank pada dasarnya dapat
digolongkan ke dalam hal-hal yang bersifat internal dan eksternal. Yang bersifat internal
meliputi keterbatasan sumberdaya manusia, manajemen yang belum efektif sehingga
kurang efisien serta keterbatasan modal. Sementara faktor yang bersifat eksternal meliputi
kemampuan monitoring yang belum efektif, pengalaman yang lemah serta infrastruktur
yang kurang mendukung. Kondisi inilah yang mengakibatkan jangkauan pelayanan LKM
terhadap usaha mikro masih belum mampu menjangkau secara luas, sehingga
pengembangan LKM yang luas akan sangat penting perannya dalam membantu investasi
57
bagi usaha mikro dan kecil. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperkuat LKM dapat
dilakukan melalui :
a. Perkuatan permodalan dan manajemen lembaga keuangan masyarakat (KSP/USP dan
LKM)
b. Penggalangan dukungan dan fasilitasi pembiayaan UKMK dengan lembaga keuangan
c. Penggalangan partisipasi berbagai pihak dalam pembiayaan UKMK (Pemda, Laur
Negeri, dll)
d. Optimalisasi pendayagunaan potensi pembiayaan UKMK di daerah (Bagian Laba
BUMN, Dana Bergulir, Yayasan, Bantuan Luar Negeri)
e. Peningkatan Capacity Building LKM
f. Training bagi pengelola LKM, untuk meningkatkan kapasitas pengelola LKM
g. Perlu adanya lembaga penjamin untuk menjamin kredit LKM dan tabungan nasabah
LKM dan
h. BDS yang mampu memberikan fasilitasi manajemen, keuangan, dll.
Pengembangan KSP dan LKM kedepan harus diarahkan untuk menjadikan KSP dan LKM
sehat, kuat, merata dan mampu menyediakan kebutuhan pembiayaan usaha mikro dan
kecil agar mampu menghadapi tantangan untuk melaksanakan otonomi daerah.
Pengendalian dan pembinaan/fasilitasi, serta pengembangan kelembagaan (organisasi dan
manajemen), meningkatkan kompetensi dan profesionalisme pengelola KSP/USP-LKM
melalui diklat terus menerus sangat diperlukan. Pengembangan kemampuan layanan bagi
anggota, meningkatkan jumlah produk keuangan yang didukung dengan pengembangan
jejaring. Pengembangan jejaring antara lain meliputi jejaring :
a. Antar KSP/LKM, mendayagunakan lembaga simpan pinjam sekunder yang berperan
mengatur interlending diantara KSP/USP Koperasi dan LKM
b. Antara KSP/USP dan LKM dengan lembaga keuangan lain, meningkatkan akses untuk
dana pinjaman maupun equity.
Dalam memperkuat USP/KSP ke depan paling tidak ada tiga langka yang harus
dilakukan : Pertama, harus dilakukan pemisahan koperasi simpan pinjam dan tidak boleh
dicampur/dilaksanakan sebagai bagian dari koperasi serba usaha, terutama bila USP sudah
menjadi besar dan sangat dominan; Kedua, harus segera diorganisir kedalam kelompokkelompok
KSP sejenis untuk melaksanakan integrasi secara utuh, sehingga peminjaman
dan penyaluran dana antar KSP dapat terjadi dan berjalan efektif; Ketiga, perlu
dikembangkan sistem asuransi tabungan anggota, asuransi resiko kredit serta lembaga
keuangan pendukung lainnya. Disamping itu mekanisme pengawasan yang baik dan
efektif akan menjamin bekerjanya mekanisme mobilisasi dana dan pemanfaatannya secara
efektif.
58
Pengalaman keberhasilan Bank Bukopin yang mengembangkan supervisi dan sistem online
pada pola Swamitra juga telah membuktikan, bahwa integrasi KSP dengan Lembaga
Keuangan Modern/berpengalaman dalam hal ini bank akan memperkuat kedudukan
koperasi. Model ini harus menjadi pelengkap cara memajukan KSP ditanah air.
Berbagai dukungan perkuatan seperti perkuatan permodalan : P2KER (Proyek
Pengembangan Kemandirian Ekonomi Rakyat), PUK (Pengembangan Usaha Kecil), Dana
Penghematan Subsidi BBM, MAP (Modal Awal dan Padanan) akan terus diupayakan,
pengendalian (monitoring, evaluasi, pengawasan, penilaian kesehatan) LKM juga akan
terus dikembangkan, pengembangan pola dan lembaga penjaminan lokal serta
pengembangan biro kredit, informasi kinerja UMK di masa lalu (track record). Arah
Lembaga Keuangan Mikro ke Depan :
a. Mengatasi status legal agar jelas, diarahkan menjadi Bank, Koperasi atau LKM yang
saat ini sedang disiapkan RUU LKM;
b. Pengawasan lebih intensif untuk melindungi pihak ketiga (penabung);
c. Pengembangan jaringan melalui penumbuhan lembaga keuangan sekunder, jaringan
on line untuk peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat lokal.
Dengan demikian pelayanan yang luas serta menjangkau lapisan usaha mikro yang luas
akan membawa pasar keuangan lebih bersaing, sehingga ketergantungan usaha mikro
terhadap pelepas uang dapat ditekan atau ditiadakan. Pola pengembangan LKM juga harus
memberikan pilihan yang luas bagi masyarakat nasabah apakah melalui pola konvensional
atau pola bagi hasil (pola syariah). Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) sebagai model tertua
LKM syariah saat ini telah memiliki 3.000 unit dibawah pembinaan Pusat Inkubasi Bisnis
Usaha Kecil (PINBUK), serta model Baitul Tamwil Muhamadiyah (BTM), Koperasi
Pondok Pesantren, Koperasi Syirqoh Mu’awanah dan Lembaga Pengelolah Zakat yang
mengembangkan program ekonomi produktif bagi penerima zakat ini akan berkembang
dan tumbuh lebih banyak LKM karena sudah ada perlindungan hukum tetapi untuk LKM
binaan memerlukan perlindungan tersendiri.
Posisi LKM dalam pemberdayaan UKM, terutama usaha mikro sangat strategis karena
97% usaha kecil adalah usaha mikro yang belum terjangkau pelayanan perbankan.
Perkuatan LKM selain menyangkut dengan lemahnya SDM juga tidak adanya jaringan
yang memungkinkan terjadinya inter lending. Disamping itu pengembangan UKM
memerlukan kehadiran lembaga pendukung agar posisi LKM, penabung dan peminjam
terlindungi dari berbagai resiko. Lembaga keuangan mikro dapat didudukkan sebagai
energi pemberdayaan UKM, terutama untuk pembentukan proses nilai tambah dan
peningkatan taraf hidup lapisan masyarakat bawah.
59
5.4. Lembaga Keuangan Syariah
Pada dasarnya perbuatan muamalat yang ditujukan untuk kebaikan hubungan berekonomi
sesama manusia harus mengandung ciri untuk kemaslahatan umum. Oleh karena itu
seharusnya kita melihat kehadiran sistem syariah dalam transaksi antar individu dan
lembaga harus kita tempatkan dalam kontek pasar, yaitu karena adanya kebutuhan dan
ketersediaan serta dipilih atas dasar pertimbangan rasional dan moral untuk mencapai
kehidupan yang lebih sejahtera lahir dan batin. Karena perekonomian syariah dilandasi atas
prinsip kesempurnaan kehidupan diantara kebutuhan lahiriah dan rohaniah dalam
bertransaksi sesama hamba Allah maupun lembaga yang mereka buat, maka kerelaan atau
“ridho” menjadi fundamen dasar setiap transaksi dua pihak atau lebih.
Perdebatan ekonomi syariah sering dipersempit dalam konteks pada “bunga bank” sebagai
riba atau bukan, sementara dimensi lain selain “riba” kurang diberikan pembahasan secara
seimbang. Selain “riba” terdapat dua aspek penting yakni unsur ada tidaknya judi atau
“maisir” yang sangat berkaitan dengan aspek resiko dan ketidakpastian serta ada tidaknya
unsur kecohan (tipuan) yang dikenal sebagai hal yang mengandung unsur “gharar”. Ketiga
unsur yang menjadi dasar perbuatan transaksi atau “baia” mempunyai arti yang penting
untuk menilai subtansi suatu transaksi dapat digolongkan memenuhi syarat syariah atau
tidak.
Pengkajian ekonomi syariah secara umum masih didominasi oleh kupasan dari dimensi
“fiqih” dan ”administrasi pembangunan” bukan kupasan ilmu ekonomi dan nilai subtansi
ajaran islam dalam menjelaskan perilaku individu muslim sebagai pelaku ekonomi. Padahal
beberapa kajian empiris oleh para ahli ekonomi juga telah banyak menemukan adanya
perbedaan perilaku masyarakat muslim yang tercermin dalam tingkah laku ekonominya
(Metwali). Tantangan besar bagi para ekonom adalah terus mengkaji kedudukan moral
ekonomi islam atau sistem ekonomi syariah dan bagaimana interaksi dengan sistem yang
lain dalam dunia global.
Apabila kita simak secara mendalam ajaran berekonomi dalam Al-qur’an dilandasi oleh
suatu sikap bahwa tiada pemisahan antara ekonomi dan keberagamaan seseorang. Mencari
nafkah adalah bagian dari ibadah dan tiada pemisahan antara agama dan kehidupan dunia.
Dari titik tolak ini akan melahirkan dua konsekuensi yaitu : pertama, perlunya pembentukan
sikap oleh seorang individu akan penguatan hidup dan pencarian kebaikan di dunia atau
dalam hubungannya dengan bumi dan alam; kedua, soal pemilihan pribadi, sampai dimana
batas dan tujuannya. Konsekuensi dasar pertama memerlukan pada sikap keharusan hidup
bersahaja yang menjadi dasar hidup seorang muslim untuk menghindari sikap hidup yang
boros dan bermewah-mewahan. Dengan demikian prinsip kemanfaatan didasarkan atas
pemenuhan kesejahteraan lahiriyah dan rohhaniah.
Jika prinsip ekonomi syariah sebagai dasar muamalat, maka seharusnya kita jangan buruburu
terpaku pada institusi. Institusi dengan berbagai karakter dan prinsip yang mengawal
60
prakteknya pada akhirnya akan memberikan pilihan kepada masyarakat selaku pengguna
untuk memilihnya. Dalam jual beli seorang calon pembeli mempunyai kesempatan untuk
melakukan “khiyar” atau memilih. Pilihan dalam hal jasa institusi sudah barang tentu
selain pertimbangan rasional juga atas dasar kaidah-kaidah syariah yang bersumber dari
Wahyu Illahi yang ditujukan bagi kebaikan umat manusia.
Dalam kontek institusi, kita posisi penting perbankan dan LKM syariah dalam
pengembangan UKM di Indonesia. Sebagaimana dimaklumi sektor usaha UKM pada
umumnya berada di sektor tradisional dengan perkiraan resiko yag tidak lazim tersedia pada
pengalaman perbankan konvensional. Sementara sistem bagi hasil justru menghindari
prinsip mendapatkan untung atas kerjasama orang lain. Maka amatlah tepat jika format
pengembangan lembaga keuangan dan Perbankan Syariah dapat diarahkan untuk
mendukung pengembangan UKM. Dilihat dari pelakunya sistem perbankan syariah
memberikan keyakinan lain akan terjaminya keamanan batin mereka. Hal yang terakhir ini
sudah barang tentu memperkuat tingkat pengharapan dan keyakinan mereka akan
keberhasilan usahanya.
Ekonomi syariah sangat pas untuk bisnis yang mempunyai ketidakpastian tinggi dan
keterbatasan informasi pasar, apalagi apabila berhasil dibangun keterpaduan antara fungsi
jaminan dan usaha yang memiliki resiko. Oleh karena itu berbagai dukungan untuk
mendekatkan UKM dengan perbankan syariah adalah sangat penting dan salah satu
strateginya adalah bagimana kita mampu menjalin keterpaduan sistem keuangan syariah.
Hal inilah yang harus kita cari jawabnya. Keterpaduan sistem keuangan syariah menjadi
unsur penting dalam menjadikan LK-syariah menjadi efektif, memiliki kemaslahatan tinggi
terutama dalam kontek globalisasi dan otonomi daerah.
Sebagaimana sistem konvensional dalam sistem keuangan syariah juga terdapat pelaku kecil
dan menengah, termasuk perbankan. Dengan demikian kerjasama dan keterkaitan antara
perbankan syariah skala besar dan bank syariah skala kecil dan menengah harus
mendapatkan perhatian. Lebih jauh akan menjadi semakin produktif apabila peran lembaga
keuangan Syariah Non-Bank juga mendapat perhatian yang sama. Dari berbagai data yang
disajikan oleh BPS, sektor jasa keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, adalah sektor
yang paling produktif disbanding sektor lainnya, bahkan tidak ada perbedaan nilai
tambah/tenaga kerja antara LK kecil dan besar.
Dalam sejarah perkembangannya di Indonesia sudah dapat mengembangkan berbagai
macam LK-syariah yaitu bank syariah; “LKM”-syariah, Gadai syariah, Asuransi syariah,
dan Koperasi syariah. Dalam rumpun LKM-syariah yang non bank telah berkembang tiga
model : BMT (Baitulmal Wa Tamwil) yang menyatukan Baitul Mal dan Baitul Tamwil;
BTM (Baitul Tamwil) yang menyempurnakan “Sponsored Financial Institution” dan
“sirhkah”. Ketiga model ini ada telah berkembang dan kebanyakan sudah mengambil
bentuk “Badan Hukum” koperasi dan hanya sebagai kecil yang tidak terdaftar dalam format
perijinan dan pendaftaran institusi keuangan di Indonesia.
61
LK-syariah sekarang sudah menjadi nama dari institusi keuangan, sehingga secara legal
sudah terbuka untuk dijalankan oleh setiap warga negara Indonesia, bahkan perusahaan
asing. Jika syariah menjadi “Brand” dan orang yang percaya kepada Brand menjadikan
konsumen fanatik, maka LK-syariah adalah ladang investasi sektor keuangan yang
menjanjikan. Maka sebentar lagi perdebatan format LKS berubah menjadi kancah
perdebatan pasar biasa. Sangat boleh jadi akan muncul pertanyaan mengapa lembaga yang
bukan berbasis islam juga menjual produk syariah ? Sehingga sebenarnya LK-syariah saja
belum menyelesaikan persoalan membangun sistem ekonomi yang islami.
Meskipun Fatwa MUI sudah dikeluarkan tugas pencerahan tentang kedudukan moral islam
dalam berekonomi masih akan semakin diperlukan. Pertanyaan dasar apakah konsep bunga
sebagai harga uang juga berlaku bagi “nisbah bagi hasil” dalam sistem syariah. Bagaimana
jika nisbah bagi hasil secara mengejutkan berlipat dibanding bunga komensional ?. Apa
masih memenuhi kaidah “Baia” yang dapat dicerna oleh akal sehat (tiada agama tanpa akal).
Harus dipikirkan pula jika dalam perebutan pasar LK-konvensional dapat merubah
persyaratan akad semakin dekat dengan moral islam. Sehingga unsur “ridho” menonjol dan
prinsip tidak boleh mengambil keuntungan atas kerugian orang lain dikembangkan. Apakah
dalam kedudukan seperti itu fatwa masih mempunyai kedudukan yang sama ? Inilah
pekerjaan berat para ekonom untuk ikut menyumbangkan pikirannya agar tidak terjadi jalan
buntu. Pada dasarnya ilmu ekonomi juga berkembang diluar batas neo classic yang relevan
dengan prinsip-prinsip berekonomi secara islami. Mengenai kritik terhadap ekonomi neo
classic di Indonesia sudah sering kita dengar 19 , namun penjelasan cara pandang dan
pengembangan kerangka analisa baru yang dianggap sesuai juga masih terbatas.
Format pengembangan LKM syariah ke depan harus bertumpu pada basis kewilayahan
atau daerah otonom, karena tanpa itu tidak akan ada sumbangan yang besar dalam
membangun keadilan melalui pencegahan pengurasan sumberdaya dari suatu tempat
secara terpusat pada “the capitalist sector”. Bentuk LKM menurut hemat penulis harus
berjenjang, pada basis paling bawah kita butuh LKM-informal yang hak hidupnya dapat
diatur oleh PERDA. Pada skala ekonomi kaum yang layak berusaha, baru membangun
format koperasi dan pemusatan pada tingkat daerah otonom dalam bentuk bank khusus,
sehingga secara hirarki dapat dilihat seperti bangunan pyramid. Pada skala yang lebih
tinggi BPRS dan kaum pemilik modal dapat bersatu dalam bank umum syariah yang
berfungsi sebagai APPEX Bank.
Dukungan pengaturan kearah itu sudah sangat terbuka dan sebagian sedang dipersiapkan.
Secara umum pada saat ini tidak ada halangan untuk mengembangkan LKM-syariah. Dan
pilihan kelembagaan yang sesuai tergantung pada keputusan para pemodal dan prinsip
akan pengembangannya.
19 Perhatikan pidato pengukuhan Guru Besar Prof. A.R. Karseno di depan Senat Guru Besar Universitas
Gadjah Mada yang berjudul “Pengaruh 3 Pranata (Institusi) pada penerapan teori economic Neo-klasik,
tanggal 7 Pebruari 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download Lagu Gratis, MP3 Gratis