Bookmark and Share

Rabu, 13 Januari 2010

ANALISIS DIRI DAN LINGKUNGAN

Pemimpin Terkuat


Analisis diri dan lingkungan merupakan senjata ampuh yang harus dimiliki seorang pemimpin. Dalam buku The Art of War, Sun Tzu berkata “Barang siapa mengenal dirinya sendiri dan mengenal musuhnya, ia senantiasa menang dengan mudah. Barang siapa mengenal langit dan bumi, ia menang atas segalanya.” Charlie Chaplin, aktor film kelahiran Inggris, pernah ikut dalam sebuah kontes Mirip Charlie Chaplin. Ternyata ia hanya menjadi pemenang ketiga. Masalah penting yang dapat diambil dari peristiwa ini adalah seberapa baik Anda mengenal diri sendiri dan membiarkan orang lain mengenal Anda? Dan seberapa trka dan seberapa jujurkah Anda dalam menghormati dan mendengarkan suara hati atau perasaan Anda? Tulis


Sun Tzu

Robert. K Cooper dan Ayman Sawaf dalam Executive EQ. Winston Churchill mengataan “Aku selalu siap belajar, meski aku tidak selalu suka untuk diajari”. Dalam buku CEO Logic, yang ditulis oleh C. Ray Johnson, Oracle dari Delphi mengatakan “Kenalilah diri sendiri. Kenalilah kelebihan dan kelemahan Anda sendiri, tetaplah dekat dengan pelanggan dan pegawai Anda, dan memberi wewenang pada staff lain dalam hal-hal yang Anda rasakan sebagai kekurangan Anda. Tetaplah selalu memikirkan hal-hal tersebut sehingga Anda tidak mempunyai persoalan lagi. Anda memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin yang besar .“



Winston Churchill

Ketika sedang dalam kejayaan dan ketenarannya serta telah bertanding ke seluruh dunia, Muhammad Ali suatu hari berjalan kaki melewati sebuah distrik miskin di Harlem, New York, diikuti kerumunan wartawan. Pada saat sampai di sebuah gang yang penuh sampah, ia melihat seorang gelandangan yang berbaring kecapaian di tepi nselokan. Setelah meminta agar para wartawan dan juru foto menjauh, Ali membungkuk dan berjongkok, untuk berbincang-bincang dengan orang itu. Setelah Ali mengucapkan salam perpisahan dan beranjak, seorang wartawan bertanya kepada gelandangan tadi tentang kesannya kepada “Ali The Greate”. “Dia memang Paling Hebat,” kata gelandangan itu. “Mengapa Anda berpendapat demikian?” tanya wartawan. Gelandangan itu menjawab bahwa Ali menanyakan mengapa ia sampai menjadi gelandangan. Ketika ia menceritakan kisah sedih yang dialaminya, ia melihat air mata menggenang di pelupuk mata Sang Juara. Jadi, memandang Ali sebaai yang paling besar adalah “Ketika aku menangis kepadanya. Ia balik menangis untukku.”



Muhammad Ali

Nabi Isa a.s. berkata kepada Yahya bin Zakarya a.s. “Jika seseorang mengingatkanmu dengan sesuatu dan mengatakan mengenai dirimu dengan benar, maka bersyukurlah kepada Allah. Jika dia berkata dusta mengenai dirimu, maka tambahkanlah rasya syukur itu, karena hal itu telah menambah simpanan amalmu dan engkau menjadi orang yang tenteram. Maksudnya, bahwa kebaikan orang itu akan ditulis atas namamu dalam catatan amalmu.” Dikatakan kepada Rasulullah Muhammad s.a.w. tentang seorang laki-laki, bahwa dia adalah laki-laki yang kuat dan pemberani. Kemudian Rasulullah s.a.w. bertanya “Bagaimana bisa seperti itu?” Orang-orang menjawab ”Dia lebih kuat dari siapapun, dan tidak ada seorangpun yang dia tantang bergulat kecuali dia dapat mengalahkan musuhnya itu.”. Rasulullah bersabda ”Orang kuat yang pemberani adalah orang yang dapat mengalahkan dirinya sendiri, bukan orang yang dapat mengalahkan orang lain”. Peminpin yang terkuat adalah pemimpin yang dapat mengalahkan dirinya sendiri.












3.2. Melakukan Perubahan atau Mati

Organisasi harus melakukan perubahan untuk dapat menyesuaikan dengan lingkungaanya yang kompetitif. Perubahan bersangkut-paut dengan perihal membuat sesuatu dengan lain. Teknologi, persaingan, kejutan ekonomi, perubahan sosial, angkatan kerja dan politik dunia merupakan kekuatan yang merangsang perubahan. Teknologi informasi yang canggih dapat mengubah cara bersaing, sehingga dapat meningkatkan keunggulan bersaing perusahaan. Meskipun demikian CEO Unilever, Floris A. Maljers mengatakan ”Kendala terbesar yang dihadapi perusahaan dalam menghadapi globalisasi adalah terbatasnya sumberdaya manusia, bukan terbatasnya modal”.



Floris A Maljers
Dalam buku Why Companies Fail, Mark Ingebretsen mengatakan “Perusahaan harus memprediksi masa depan untuk mendeteksi tren-tren yang harus mereka hadapi jika ingin terus menghasilkan laba. Perusahaan juga harus merancang cara untuk mengadapsi produk-produk dan layanan-layanan mereka demi menjangkau grup-grup konsumen yang belum terdefinisikan. Yang paling penting dari semua ini, perusahaan harus menyadari kenyataan bahwa perubahan berskala besar adalah kelaziman, sementara perubahan-perubahan yang mengguncang dunia adalah bagian dari kelaziman baru. Karenanya mereka harus mengarahkan strategi untuk menghadapi perubahan. Serangan 11 September dengan tragis memperlihatkan bagaimana kejadian mengubah segalanya, kadang-kadang hanya dalam waktu semalam.” Pemimpin yang sukses bertindak luwes dan luwes dalam menghadapi perubahan. Bahkan, ia merasa senang akan perubahan yang menyentuh dirinya yang paling dalam.
Kebanyakan perusahaan mati, karena bawahan harus selalu mengikuti pemimpinnya yang tidak pernah berubah. Ahli sejarah, Alfred D. Chandler, Jr, didalam bukunya berjudul Strategy and structure kemajuan perusahaan-perusahan Amerika, karena mau melakukan perubahan, khususnya dalam sistem manajemennya. Chandler meneliti empat perusahaan besar Amerika, yaitu General Electric, Du-Pont, Standard Oil company dan Exxon. Kesediaan berubah dari CEO keempat perusahaan tersebut yang menjadikan perusahaan tersebut hingga kini tetap bertahan.
Karyawan adalah nasi, sedangkan gaya manajemen adalah lauknya. Jack Welch, CEO dari General Electric ketika itu mengatakan “Kita sedang mempertaruhkan sesuatu hal kepada orang-orang kita, maka kita perlu memberdayakan mereka, memberi mereka sumber-sumber dan keluar dari kesulitan dengan menggunakan cara mereka”. Jack Welch menginvestasikan separuh waktunya bersama karyawannya, maka ia mengenal mereka, berbicara dengan mereka tentang masalah-masalah perusahaan, memuji mereka jikan kinerjanya baik, tetapi mencaci mereka jika kinerjanya turun. Ia mengenal sekitar 1000 karyawannya yang mempunyai ide bagus dan mempunyai tanggungjawab atas pekerjaan mereka. Pendekatan pribadi yang dilakukan Jack Welch kepada karyawannya membuahkan kasil yang luar biasa pada peningkatan kinerja. “Jika Anda menang, kita semua menang” demikianlah kata Welch. Itulah sebabya 27.000 karyawan General Electric memiliki saham. Pada 2001, General Electric terpilih sebagai ”The Most Admired Company in The World” peringkat pertama versi Fortune.
“Dua pemimpin korporat terbesar abad ini adalah Alfred Sloan dari General motors dan Jack Welch dari General Electric. Dan Welch akan jadi lebih besar dari keduanya, karena merencanakan paradigma baru, kontemporer, bagi korporasi yang modelnya dipakai untuk abad 21,” ujar Noel Tichy, dari Universitas Machigan, pengamat lama gaya manajerial Wech. Dengan demikian, apakah kita akan melakukan perubahan atau mati ?




Noel Tichy






3.3. Mengubah Mindset Globalisasi

Menurut Sri Edi Swasono, globalisasi dan pasar-bebas memang diimajinasikan sebagai upaya meningkatkan efisiensi global. Saat ini imajinasi dan upaya itu ditumpahkan kepeda organisasi dunia WTO, pengganti GATT, yang mematok pakem-pakem ekonomi pasar bebas untuk mencapai efisiensi golal. Namun dari kenyataan empirik yang ada, membuat banyak diantara kita harus bersikap menolak dan reaksioner. Tentulah dalam prakteknya si lemah harus membiayai efisiensi dunia demi kesejahteraan di kuat. Selatan membiayai efisiensi global demi keuntungan dan kemajuan Utara. Oleh karena itu pasar ramah terhadap rakyat dan terhadap kepentingan nasional. Market failures atau kegagalan-kegagalan pasar terjadi dimana-mana, tidak saja disebabkan oleh tuntutan kondisional untuk dapat terwujudnya pasar yang self – requlating tidak terpenuhi (karena asumsi terwujudnya persaingan-bebas yang valid untuk terbentuknya pasar bebas terbukti tidak empirik-realistik), tetapi juga karena adanya kepentingan-kepentingan ekonomi dan nonekonomi yang harus diraih dan dipertahankan untuk melalui upaya mendistorsi pasar secara nyata. Yang dikemukakan diatas bukanlah suatu ekstremitas, tetapi merupakan suatu upaya untuk menunjukkan polarisasi dikotomis demi mempertajam pembandingan analitikal. Sri Edi Swasono juga mengatakan bahwa, globalisasi mulai banyak dikecam karena menyandang adu kekuatan dan peragaan dominasi ekonomi, tak terkecuali oleh orang-orang Barat dan Utara sendiri yang peduli akan pentingnya mewujudkan keadilan ini datang dari kalangan akademisi kelas dunia, NGO’s, mantan praktisi Bank Dunia dan IMF, tak terkecuali para pemenang hadiah Nobel Ekonomi. Bahkan telah lahir buku tentang perlunya “mewujudkan demokrasi ekonomi global sebagai perjuangan politik abad ke 21”. Namun para market fundamentalists Indonesia tetap membelenggu diri dalam orthodoxy dan servility. Bahkan Stiglitz menyampaikan beberapa pokok pemikiran sebagai berikut:
Pertama, ia menekankan pentingnya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam perumusan kebijakan ekonomi. Hal ini tidak hanya berlaku pada tingkat nasional tetapi juga internasional. Pada tingkat internasional, perubahan hak-suara perlu dilakukan di IMF dan Bank Dunia. Sesuai dengan anggaran dasar IMF, keputusan dapat diambil jika didukung sekurang-kurangnya 85% suara. Padahal AS memiliki 18% hak suara sesuai dengan kontribusi modalnya di IMF. Ini berarti tak akan pernah ada keputusan IMF yang tanpa persetujuan AS. Cina yang berusaha menambah setoran modalnya ditolak mentah-mentah oleh AS dengan berbagai alasan. Pada tingkat nasional, terlepas dari pilihan ideologi, nilai-nilai dan selera dari masing-masing negara, pengambilan keputusan yang demokratis diperlukan dalam kaitan memposisikan peran pemerintah dan pasar. Ia telah belajar banyak dari kegagalan pasar maupun pemerintah. Pasar tidak dapat dengan sendirinya mengatasi semua persoalan kemasyarakatan. Demikian pun, pemerintah tidak dapat mengatasi semua kegagalan pasar. Bagaimanapun, pemerintah harus memainkan peran penting dalam mengatasi isu-isu pokok seperti ketimpangan, pengangguran, dan polusi. Dalam kaitan negara kita, jauh-jauh hari, Pasal 33 UUD 1945 telah mengamanatkan perekonomian yang demokratis itu. Pada pasal itulah tercantum dasar demokrasi ekonomi kita.
Kedua, IMF dilahirkan untuk memenuhi kebutuhan guna menggalang aksi kolektif dalam menciptakan stabilitas ekonomi global, tetapi kini cenderung bekerja sebagai kepanjangan tangan komunitas keuangan di AS. Buktinya adalah bahwa IMF telah “memaksakan” pelaksanaan paket kebijakan ekonomi yang dikenal sebagai kebijakan Konsensus Washington kepada seluruh negara di dunia. Padahal konsensus yang disusun oleh IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan AS itu semula merupakan paket kebijakan untuk mengatasi persoalan defisit anggaran dan hiperinflasi negara-negara Amerika Latin, tetapi kemudian oleh IMF dijadikan model baku yang harus diikuti oleh seluruh negara di dunia. Bagi Stiglitz, kebijakan yang dipaksakan IMF itu, yang antara lain adalah pengetatan ikat-pinggang, privatisasi BUMN, dan liberalisasi, selain bertentangan dengan pengambilan keputusan yang demokratik juga melecehkan kedaulatan negara, serta mengandung banyak hal yang membahayakan. Misal dengan pencabutan subsidi BBM di tengah-tengah situasi krisis yang ditandakan dengan maraknya pengangguran dan kemiskinan, maka dapat merusak tatanan sosial yang ada yang bermuara pada pecahnya kerusuhan. Contoh lain adalah privatisasi BUMN yang bermakna mereka tidak perlu lagi membatasi bagian laba tahunannya, dan dengan menjual perusahaan itu di bawah harga pasar, maka mereka dapat menerima bagian yang cukup besar dari nilai asset tersebut untuk diri mereka sendiri.
Ketiga, perhatian Stiglitz yang besar terhadap perekonomian Indonesia dan peranan IMF di negara kita yang pada intinya, IMF telah melakukan “malpraktek” di sini. Pertama, Stiglitz menunjukkan watak kolonial IMF dengan memperlihatkan photo Michael Camdessus tahun 1998 yang posisi bersidekap menyaksikan Soeharto membungkuk menandatangani LoI. Photo ini bermakna ribuan kata teristimewa bagi negara-negara bekas-jajahan. Malpraktek kedua, ketika IMF memerintahkan penutupan sejumlah bank. Malapetaka pun terjadi. Para deposan ramai-ramai menarik tabungan mereka untuk menyelamatkan diri, dan memindahkannya ke bank pemerintah, sehingga terjadilah depresi. Ketiga, kegagalan IMF memahami makna transformasi sosial yang seharusnya diperhitungkannya pada setiap proses pembangunan, bahkan mengabaikannya. Pencabutan subsidi bermuara pada kerusuhan sosial, dan tidak hanya merusak tatanan sosial tetapi juga membangkrutkan ekonomi. Jadi, menurut Stiglitz, penghapusan subsidi tidak hanya merupakan kebijakan sosial yang buruk, tetapi juga kebijakan ekonomi yang buruk.



Joseph Stiglitz

Dari pemaparan pemikiran Stiglitz itu maka ia menganjurkan agar setiap bangsa, dan memang wajib, mencari jalan sendiri di luar kebijakan Konsensus Washington. Kedua, perlunya mentransformasikan globalisasi ala Konsensus Washington itu menuju ke sebuah globalisasi berwajah kemanusiaan. Ia memandang globalisasi sebagai alat dan bukan tujuan. Dalam kaitan ini maka Stiglitz mengakhiri buku ini dengan menyatakan : “Negara-negara maju sepatutnya ambil bagian dalam mereformasi lembaga-lembaga internasional yang memandu globalisasi. Kita membentuk lembaga-lembaga tersebut, dan kita patut bekerja untuk membenahinya”.
Demikian juga, Petras dan Velmeyer mengatakan bahwa, globalisasi, adalah the new imperialism, dalam bentuknya sebagai the new system of “global internasional capitalist class, yaitu TNCs (transnational corporations yang saat ini mencapai jumlah 37.000), Bank Dunia, IMF, IFIs (international financial institutions sebagai “the global financial network), G-7,TC (Trilateral Commission dan WEF (the World Economic Forum) Lebih lanjut Petrans dan Veltmeyer menyatakan :
“…the dynamics of globalization in Asia, the ex USSR, Africa and Latin America are creating tremendous hardships but also provide an historic opportunity to transcend capitalism. It would be a failure of nerve of historic proposition to settle for anything less than a ‘new’ socialist society, the new nation as an integral whole, a new culture of participants and not spectators a new internalism of equals…”.
Dalam pandangan Bung Hatta, hubungan antara krisis ekonomi dan kapitalisme dapat diibaratkan seperti dua sisi sekeping mata uang yang sama. Artinya, baik dalam era kapitalisme muda (kapitalisme perniagaan) maupun kapitalisme raja (kapitalisme industri), krisis ekonomi adalah sesuatu yang melekat dalam tubuh kapitalisme. Penyebab utamanya adalah sifat keserakahan yang bermuara pada berkembangnya kecenderungan untuk melakukan spekulasi dalam melakukan kegiatan ekonomi. Dalam era kapitalisme perniagaan, spekulasi dimotori oleh para pedagang. Hal ini terutama didorong oleh terjadinya perluasan pasar yang disebabkan oleh dihapuskannya batas-batas perkotaan. Karena kuatnya ambisi para pedagang untuk memperluas jangkauan pasarnya, sifat produksi kemudian berubah dari produksi berdasarkan pesanan menjadi produksi untuk menguasai pasar. Keserakahan dan spekulasi para pedagang inilah yang bermuara pada terjadinya kelebihan produksi. Akibatnya, harga-harga merosot, dan sejumlah pedagang mengalami kebangkrutan. Dalam era kapitalisme industri, yang ditandai oleh terjadinya pembagian fungsi antara para produsen dengan para pedagang, perluasan pasar mulai menembus batas-batas kenegaraan. Akibatnya, sifat produksi cenderung bergeser dari untuk memuaskan permintaan dalam negeri menjadi untuk menguasai pasar dunia. Pertalian (interdependency) antar satu cabang produksi dan perekonomian dengan cabang produksi dan perekonomian yang lain, cenderung meningkat.



Bung Hatta

Bung Karno mengatakan, “Didalam salah satu rapat umum saya pernah berkata, bahwa kita bukan sahaja harus menentang kapitalisme asing, tetapi harus menentang kapitalisme bangsa sendiri......Apakah kapitalisme itu? .... Kapitalisme adalah stelsel pergaulan hidup, yang timbul daripada cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme adalah timbul dari ini cara produksi, yang karenanya menjadi sebabnya meerwarde tidak jatuh didalam tangannya kaum buruh melainkan jatuh didalam tangannya kaum majikan. Kapitalisme oleh karenanya pula, adalah menyebabkan kapitaalaccumulatie, kapitaalconcentratie, kapitaalcentralisatie, dan industrial reserve armee. Kapitalisme mempunyai arah kepada Verelendung, yakni menyebarkan kesengsaraan,” (Sukarno, op.cit. hal 181).




Bung Karno

Sebagaimana dikemukakan Dillard, “Persaingan antara perusahaan-perusahaan kapitalis cenderung membuat semuanya tersisih, kecuali sejumlah kecil perusahaan besar. Karena lemahnya daya beli massa, perusahaan-perusahaan besar ini tidak mampu menggunakan kapasitas produksi yang telah mereka bangun. Maka mereka pun terdorong untuk menyerbu pasar-pasar asing dan menolak barang-barang asing dari pasar mereka sendiri melalui tarif-tarif protektif. Situasi ini menimbulkan kebijakan-kebijakan luar negeri yang kolonial agresif dan perang-perang imperialis.” Dari penjelasan Dillard itu dapat disaksikan dengan jelas betapa penjajahan selama 3,5 abad yang pernah dialami bangsa Indonesia, secara substansial memang tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan ekspansionis yang melekat dalam tubuh kapitalisme. Dengan demikian, mudah dimengerti bila penjajahan selama 3,5 abad yang pernah dialami bangsa Indonesia, diawali oleh penjajahan yang dilakukan oleh VOC. VOC jelas bukan sebuah institusi politik, tetapi sebuah institusi ekonomi. Dengan demikian, motif penjajahan yang dilakukannya, dengan sendirinya lebih sarat dengan orientasi ekonomi daripada politik.
Oleh karena itu, Sri Edi Swasono mengatakan bahwa dalam WTO kita harus tetap reaksioner, kita harus berani merevisi dan terus menerus membuat kesepakatan-kesepakatan baru yang tidak merugikan kepentingan nasional dengan tetap menghormati tanggung jawab global kita. Sekalipun sebagai ekonom, kita sekali lagi harus mampu menghayati relaita yang ditegaskan baik oleh Joan Robinson, tentang ilmu ekonomi yang memiliki akar ke dalam nasionalisme, maupun oleh Leah Greenfeld seperti telah dikemukan diatas. Artinya pengembangan pemikiran ekonomi nasional dalam konteks global pun perlu mengacu kepada histori, ideologi, institusi dan aspirasi nasional, yang selanjutnya harus memberi warna terhadap theory building and modeling ; dengan kata lain menolak paham the neutrality of theory.
Saat ini kesadaran global itu telah memunculkan berbagai global common interest , seperti pembangunan sosial, pembrantasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, memperkokoh solidaritas global, mempererat integrasi sosail, proteksi dan pemeliharaan lingkungan dll, bahkan sampai pada penangkalan bersama terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia dan terorisme dalam berbagai bentuknya (sebagaimana yang telah ditetapkan dalam berbagai konvensi dan keputusan PBB). Tanggung jawab global ini harus secara bersama-sama digalang oleh seluruh negara didunia.
Akibat-akibat sosial ekonomi, sosial politik dan sosial kultural yang ditimbulkan oleh persaingan bebas dan pasar bebas telah saya gambarkan, jelas banyak bertentangan dengan global interests diatas.
Globalisasi dan wujud globalisasi masih dalam proses mencari bentunknya. Seperti dikatakan diatas, we need global sociaty to support a global economy. Tak seorang pun tahu format dan hubungan antar keduanya, terlalu kompleks dan masih sulit dirumuskan. Thurow memberikan gambaran menarik tentang globalisasi dari segi proses sebagai berikut :
“…learning how make this new global economy work will take a substantial amount of time, with lots of surprises and mistakes along the way. But the transition from national to global is going to be far more turbulent than the transition from local to national. When the world was moving from local to national economies, it already had national governments ready to learn how to manage the process. In contrast, there is no global government to learn how the new global economy should be managed…Nothing is more disliked in the U.S. Congress than word ‘super national’ :no one is going to set up a global government in the foreseeable future-regardless of whether it is or is not needed. As a result, the world is going to have a global economy without a global government. This means a global economy with no enforceable, agreed-upon set of rules anda regulations, no sheriff to appeal to if one fels that justice is not beiang done…”





Lester Thurow

Sementara itu Presiden George W Bush di Monterrey, Mexico tanggal 22 Maret 2002, dalam rangka National Security Strategy Amerika Serikat terus menegaskan semangat persaingan bebas, yang dikemas dalam suatu prinsip moral berdasar kebebasan, tanpa mempertimbangkan kemampuan berbeda-beda dari yang bersaing atau tersaingi. Inilah globalisasi, suatu market ideology kaum neoliberal Anglo-Amerika, yang sesuai dengan makna globalisasi sebagaimana dikemukakan oleh Henry Kissinger dan Thomas L.Friedman. Mengenai American domination dan proses Americanization. pidato Presiden Geroge W Bush sebagi berikut :
“…The concept of “free trade’aorase as a moral principle even before it become a pillar of economic. If you can make something that others value, you should be able to sell it to them. If ohers make something that you value, you should be able to buy it. This is real freedom, the freedom for a person or a nation to make a living…”
Menurut Sri Edi Swasono, dalam masa transisi (proses globalisasi) ini yang menonjol adalah dominasi ekonomi hegemonik, baik ekslusif ekonomi maupun kelanjutannya yang berupa dominasi politik dan kultural, harus kita hadapi melalui empat fronts :
Pertama, melalui uasaha masing-masing negara untuk bebenah diri sendiri guna meningkatkan kemampuan domestik dan kinerja nasionalnya, antara lain melalui rencana dan tindakan-tindakan terfokus untuk membentuk konsolidasi ekonomi nasional ke arah mengurangi ketergantungan pada pihak luar secara tandas.
Kedua, menggalang kerjasama regional, diawali denga kerjsama ekonomi dan kemandirian ASEAN, disertai dengan upaya mengembalikan posisi Indoensia sebagai the leader of ASEAN, dengan segala justifikasi yang relevan diadalammnya. Kalau perlu kita memimpin untuk bersama-sama mendirikan “ASEAN IMF”, dst.
Ketiga, bergabung dan meningkatkan keterlibatan Indonesia dengan gerakan-gerakan di for a internasional yang menentang ketidakadilan inheren dari globalisasi sebagaimana yang terjadi saat ini, disertai kesadaran tentang perlunya berbagai koreksi harus kita lakukan terhadap proses perkembangan globalisasi yang menudutkan negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Keempat, semangat kerjsama dan kesadaran global ini harus dapat kita manfaatkan untuk melindungi kepentingan nasional kita.
Bab ini saya maksudkan untuk mengajak kita semua agar mewaspadai globalisasi. Namun untuk globalisasi yang berwacana ataupun berselimut kapitalisme impereliastik, tentu harus sepenuhnya kita tolak. Ini merupakan platform ideologi yang harus kita pertahankan.
Dalam platform ini, sebagai kecenderungan alamiah, kita harus mampu memanfaatkan proses globalisasi, yang menyediakan penuh peluang dan prospek kemajuan. Marilah kita go global dengan local specifics. Go global artinya ikut proaktif menyusun global rules of the game, ikut membentuk mekanisme (dan wujud) globalisasi. Merencanakan dan membentuk keunggulan komparatif domestik adalah tugas memperkukuh local specifics. Ini harus menjadi sikap budaya kita. Dengan demikian kepemimpinan yang digunakan juga gaya kepemimpinan yang spesifik, yaitu kepemimpinan gaya Indonesia.





3.4. Ekonomi Alternatif Penyelesai Krisis

“Dunia ekonomi telah memasuki suatu fase ketidakstabilan yang luar biasa dan masa depannya benar-benar tidak pasti “tulis Helmut Schmidt.



Helmut Schmidt.

Ketidakstabilan terus berlangsung dan ketidakpastian terus berlanjut. Sesudah melalui masa-masa inflasi tingkat tinggi yang menyakitkan, perekonomian dunia telah mengalami suatu resesi yang mendalam dan laju pengangguran yang belum pernah terjadi sebelumnya, dibarengi dengan laju suku bunga riil tetap tinggi dan fluktuasi valuta asing yang tidak sehat. Krisis ini juga diperburuk oleh adanya kemiskinan di tengah orang-orang kaya di semua negara, termasuk Indonesia. Berbag bentuk ketidakadilan sosial-ekonomi, defisit neraca pembayaran yang besar dan ketidakmampuan negara-negara berkembang untuk mencicil utang mereka. Krisis ekonomi terbesar dimulai dengan terjadinya krisis perbankan di Amerika Serikat pada 1930-an, yaitu 9.106 ditutup / dibantu. Para ekonom tentu cenderung setuju dengan pandangan bahwa tidak ada teori ekonomi terdahulu yang tampaknya mampu menjelaskan krisis ekonomi dunia saat ini. Mulailah para ekonom berpikir kembali untuk menyelesaikan krisis tersebut. Salah satu alternatif tersebut adalah Ekonomi berbasis Syariah.
Secara etimologi, syariah berarti peraturan atau ketetapan yang Allah perintahkan kepada hamba-hamba-Nya, seperti shoum, shalat, haji zakat dan seluruh kebajikan. Allah SWT berfirman, Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariah (aturan) dari urusan (agama) itu (Qardhawi, 1990). Syari’ah berasal dari akar kata syara’a yang berarti memperkenalkan atau mengedepankan atau menetapkan atau menerangkan atau menjelaskan sesuatu. Syaria’ah merupakan sistem hukum yang didasarkan pada wahyu, atau juga disebut syara’ atau syir’ah. Syari’ah juga berarti hukum Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis dan dikembangkan melalui prinsip-prinsip analisis empat mazhab fiqh Islam, yaitu mazhab Syafi’i, Hambali, Hanafi dan Maliki, bersama mazhab Ja’fari untuk kalangan Syi’ah. (Cyril Glasse,1996). Dasar Syariah adalah kebijaksanaan dan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Kemaslahatan ini terletak pada keadilan, kasih sayang, kesejahteraan dan kebijaksanaan yang sempurna. Apapun yang menyimpang dari keadilan pada penindasan, dari kasih sayang pada kekerasan, dari kesejahteraan pada kemiskinan, dan dari kebijaksanaan pada kebodohan adalah sama sekali tidak ada kaitannya dengan syariah (Ibnul Qayyim, 1955).
Dengan demikian Ekonomi Syariah adalah ekonomi yang beroperasi dengan menggunakan hukum Islam, yang dasarnya keadilan, kasih sayang, kesejahteraan dan kebijaksanaan atau anti penindasan, anti kekerasan, anti kemiskinan dan anti kebodohan. Hal ini sesuai dengan Pasal 33 UUD 1943, yaitu kebersamaan dan kekeluargaan (mutuality & brotherhood) serta partisipatory and emansipatory (Swasono, 2004). Bank dan Keuangan Syariah pada sepuluh tahun terakhir tumbuh 15 % setiap tahun yang melebih pertumbuhan Bank maupun institusi keuangan yang ada di pasar modal global, berada di lebih dari 75 negara dengan asset sekitar 200 milyar dolar Amerika (Yawer, 2002).

3.5. Kepemimpinan Yang Indah

Kepemimpinan Gaya Indonesia merupakan bagian dari Ekonomi Indonesia. Ekonomi Indonesia berbasiskan pada moral. Sebenarnya gugatan moral terhadap ilmu ekonomi neoklasikal telah dikemukakan oleh Muhammad Hatta sejak di Perhimpunana Indonesia ketika ia masih di Negeri Belanda. Kemudian Hatta merenungkannya di pembuanagan Boven Digoel dan Banda Neira (1935-1942) untuk memepersiapkan suatu sistem ekonomi Indonesia, yang kemudian kita kenal sebagai Pasal 33 UUD 1945, yang bertumpu pada paham Kesejahteraan Sosial. Selanjutnya di pendidikan tinggi kita, gugatan moral itu diajukan oleh Mubyarto dkk. pada tahun 1981 dan juga oleh Sri-Edi Swasono dkk, juga pada tahun 1981, ketika mereka menganjurkan Sistem Ekonomi Pancasila dalam rangka transformasi ekonomi dan transformasi sosial. Sementara itu Emil Salim tercatat sebagai ekonom pertama yang menggunakan istilah “Ekonomi Pancasila”. Dengan demikian Kepemimpinan gaya Indonesia juga berlandaskan moral.
Mubyarto (1981) menyatakan ciri-ciri Sistem Ekonomi Pancasila adalah (1) Roda Perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral; (2) Kehendak kuat dari seluruh masyarakat kea rah kemerataan sosial (egalitarianisme), sesuai asas-asas kemanusiaan; (3) Prioritas kebijakan ekonomi adalah penciptaan perekonomian nasional yang tangguh, yang berarti nasionalisme menjiwai tiap-tiap kebijaksanaan ekonomi; (4) Koperasi merupakan sokoguru perekonomian dan merupakan bentuk yang paling konkret dari usaha bersama; (5) Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan di tingkat nasional dengan desentralisasi dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi untuk menjamin keadilan ekonomi dan sosial. Dari ciri-ciri ini selama 20 tahun mubyarto telah banyak menulis buku yang mengembangkan pemikiran dasarnya secara konsisten, emperikal dan teoritikal. Maka Kepemimpinan gaya Indonesia harus bercirikan rangsangan ekonomi, social dan moral, pemerataan sosial, tangguh, mempunyai nasionalisme dalam mengambil kebijakan, kebersamaan, keseimbangan perencanaan pusat dan cabang.
Sedangkan Sri-Edi Swasono (1981) mengungkapkan moralitas agama dan menggambarkan Sistem Ekonomi Pancasila sebagai sistem ekonomi yang berorientasi (atau berwawasan) pada sila-sila Pancasila, yaitu berorientasi kepada (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (adanya atau berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme); (2) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab (tidak Mengenal pemerasan, pengisapan dan subordinasi ekonomi modern); (3) Persatuan (kekeluargaan, kebersamaan, gotong royong, tidak saling mematikan nasionalisme); (4) Kerakyatan (demokrasi ekonomi, rakyat mengutamakan hajat hidup orang banyak); (5) Keadilan Sosial (persamaan, pemerataan, kemakmuran rakyat yang utama bukan kemakmuran orang seorang). Manajemen Indonesia juga harus berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa (adanya atau berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme), Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab (tidak Mengenal pemerasan, pengisapan dan subordinasi ekonomi modern), Persatuan (kekeluargaan, kebersamaan, gotong royong, tidak saling mematikan nasionalisme), Kerakyatan (demokrasi ekonomi, rakyat mengutamakan hajat hidup orang banyak) dan Keadilan Sosial (persamaan, pemerataan, kemakmuran rakyat yang utama bukan kemakmuran orang seorang). Kalau setiap pelaku manajemen menggunakan dengan landasan Pancasila, maka Indonesia akan menjadi Negara yang sangat indah.











3.6. Kepemimpinan Gaya Bung Hatta


Ilmu ekonomi neoklasikal maupun manajemen konvensional, bagaimanapun juga adalah ilmu ekonomi dan manajemen yang solid. Ilmu ekonomi neoklasikal dan manajemen konvensional telah dengan utuh mewujudkan diri dalam buku-buku teks yang hebat dan sistematik, yang telah tersebar luas serta mendominasi pengajaran dan pendidikan ilmu ekonomi dan kepemimpinan hampir di seluruh dunia dan telah menjadi “bahasa dunia”. Ini telah berlangsung dalam waktu yang cukup lama, katakanlah sejak edisi pertama buku pengantar ekonomi yang diluncurkan oleh Paul A.Samuelson hampir setengah abad yang lalu. Buku ini hingga edisi kedelapan belasnya saat ini, berikut buku-buku teks sejenisnya, dengan kukuhnya telah memasyarakat di seluruh kampus kita. Maka terbentuklah mindset liberalisme ekonomi dan competitive (belaka) pada sarjana-sarjana ekonomi lulusan kampus-kampus kita. Leiberalisme berdasar individualisme atau “asas perorangan” yang melahirkan akhlak dan perilaku bersaing dan bertarung telah membudaya sebagai pola pikir pada ahli-ahli ekonomi kita. Sedangkan berdasar ideologi negara kita, berdasar undang-undang dasar kita, kita telah berketetapan untuk lebih menganut paham kolektivitas dan kooperativesme, atau “kebersamaan dan asas kekeluargaan” (mutuality and brotherhood) berikut segala aspek kelembagaan yang hidup menyertainya.
Kooperativisme teleh berkembang sebagai gerakan koperasi yang mengglobal yang diwakili oleh the International Cooperative Alliance (ICA) sebagai organisasi puncak bagi gerakannya sejak lebih dari 100 tahun yang lalu. Sugden, telah memberi angin bagi kooperativisme untuk di kenal oleh kaum ekonom maupun kepemimpinan mainstream yang berorientasi dasar kompetitivisme. Pandangannya yang disinggung oleh Amartya Sen dalam kerangka rasionalitas ekonomi, , telah mengingatkan kelompok mainstream itu bahwa paham kooperativisme memiliki legitimasi mendasar dalam pemikiran ekonomi maupun kepemimpinan.
Dengan menyadari perbedaan mendasar dari dua paradigma dan moralitas ekonomi yang dikandung oleh masing-masing, yaitu asas perorangan vs asas kekeluargaan, maka kita dituntut untuk dapat melahirkan koreksi-koreksi kreatif, pembaruan-pembaruan dan terobosan-terobosan inovatif dalam pengajaran ilmu ekonomi dan kepemimpinan. Menurut Sri Edi Swasono, ibaratnya paragraf demi paragraf dan bab demi bab harus kita kritisi secara mendasar. Hal ini harus kita lakukan sambil menunggu hadirnya uku teks baru yang lebih lengkap dan solid untuk menggantikan buku-buku teks neoklasikal konservatif-konvensional yang saat ini mendominasi kampus-kampus kita dan secara tidak sadar sudah masuk ke dalam jiwa kita. Kita semua bertanggungjawab untuk membentukkan suatu mindset baru (normative ideologis) pada diri para anak didik kita agar ilmu ekonomi maupun kepemimpinan benar-benar utuh sebagai ilmu moral. Ini merupakan tugas reformatif bagi kampus-kampus kita. Asas kebersamaan dan kekeluargaan yang diluluhlantakkan oleh kapitalisme (neoklasik), perlu dibangun kembali untuk menemukan kepemimpinan yang ampuh untuk perusahaan-perusahaan Indonesia. Kepemimpinan harus berdasarkan moral dan itulah kepemimpinan yang dikehendaki oleh Muhammad Hatta.















3.7. Kepemimpinan DJITU

Perusahaan yang menggunakan gaya kepemimpinan Indonesia adalah Grup Martha Tilaar. Perusahaan tersebut menggunakan gaya kepemimpinan dengan filosofi moral., yaitu DJITU (Disiplin, Jujur, Iman / Inovatif, Tekun, Ulet) bagi segenap karyawan untuk mencapai visi / misi yang telah digariuskan oleh perusahaan Rahasia pertama sukses dalam bisnis adalah berkata jujur dan selalu begitu, menurut Hendricks dan Ludeman (Penulis buku The Corporate Mystic). Selain itu meningkatkan net working dengan para mitra usaha, baik di dalam maupun di luar negeri. Juga hindari AIDS, (ANGKUH, IRI, DENGKI, SERAKAH).
Martha Tilaar mengatakan “Budaya di perusahaan kami adalah KEKELUARGAAN. Peran atasan khususnya saya, adalah juga sebagai Ibu. Tegur sapa,. Keakraban dan saling mengenal antar karyawan MTG yang kini jumlahnyua 6.000 orang, adalah suatu keharusan. Tentu saja kami pun menerapkan system REWARD dan PUNSIHMENT bagi karyawan yang berprestasi dan tidak disiplin”.
Kalau ada perempuan yang mengagungkan pesona Timur dalam jagat tata rias dan kecantikan dialah Martha Tilaar. Kalau ada perermpuan yang kemudian memperjuangkan pesona ketimuran jagat tata rias dan kosmetik itu dalam pergaulannya dengan dunia internasional, dialah Martha Tilar Dan kalau ada perempuan yang begitu besar memperoleh manfaat secara bisnis, image, maupun nama besar dari itu semua, juga dialah Martha Tilar.
Martha Tilar adalah Timur dan Timur adalah Martha Tilaar, Image itulah yang sekarang telah terpatri dan coba terus ditumbuh-kembangkan oleh manajemen Grup Martha Tilaar (DMT). Kesungguhan perempuan kelahiran Kebumen yang pada 4 September merayakan hari ulang tahun ke 65 itu dalam mengangkat pesona ketimuran dalam tat arias dan kosmetik, tersurat dalam visi GMT. Bunyinya : “Menjadi Perusahaan kosmetik terkemuka di dunia yang bernuansa ketimuran dan alami, melalui pemnafaatan teknologi modern dan menempatkan penelitian dan pengembangan sebagai sarana peningkatan nilai tambah bagi pelanggan.” Kini terbukti, produk kosmetik tradisonal GMT telah menembus pasar Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei,Vietnam, Belanda, AS, Amerika Utara, dan Nigeria.
Agustus lalu, selain menjadi bulan “keramat” bagi bangsa Indoensia, menjadi bulan yang istimewa pula bagi Martha Tilaar. Dalam rangka hari Kebangkitan Teknologi Nasional ke 7, Martha Tilaar menerima Anugerah Teknologi Siddhakretya 2002 dari Kementrian Riset dan Teknologi. Anugerah itu diserahkan oleh Presiden RI Megawati Soekarnoputri pada 12 Agustus lalu di Istana Negara. Pengahargaan itu diberikan atas keberhasilan PT Martina Bertho berinovasi, peduli pada lingkungan dan menerapkan riset dan pengembangan (research and development) terhadap kosmetik dan jamu tradisional. Ini adalah penghargaan terbaru yang diraih perusahaan itu setelah Indonesian Brand Award pada Juli 2002, The Indonesian Customer satistisfaction Award (September 2001) The Best CEO 2001 (Maret 2001), The Most Valuable Brand (Maret 2001), dan belasan penghargaan lain dari dalam danluar negeri yang ditujukan baik Martha Tilaar sebagai pribadi dan grup perusahaannya. Dengan rendah hati dia mengakui, semua keberhasilan itu semata-mata hasil Team work seluruh karyawan dan sumber daya manusia (SDM) di lingkungan GMT, Martha memang tak segan-segan mengirim tim riset dan pengembangan serta kreatif dan marketing ke luar negeri. Mereka terdiri dari disiplin ilmu biologi, farmasi, kimia, ekonomi, dan psikologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download Lagu Gratis, MP3 Gratis