Bookmark and Share

Senin, 25 Januari 2010

EKONOMI KESEJAHTERAAN SYARIAH

M. SUYANTO
www.msuyanto.com

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Pengertian Ekonomi Kesejahteraan Konvensional dan Ekonomi Kesejahteraan Syariah.
1.1.1. Pengertian Ekonomi Kesejahteraan Konvensional
Ekonomi Kesejahteraan merupakan cabang ilmu ekonomi yang menggunakan teknik ekonomi mikro untuk menentukan secara serempak efisiensi alokasi dari ekonomi makro dan akibat distribusi pendapatan yang berhubungan dengan itu (O’Connel, 1982). Ekonomi kesejahteraan adalah kerangka kerja yang digunakan oleh sebagian besar ekonom publik untuk mengevaluasi penghasilan yang diinginkan masyarakat (Rosen, 2005:99). Ekonomi kesejahteraan menyediakan dasar untuk menilai prestasi pasar dan pembuat kebijakan dalam alokasi sumberdaya (Besley, 2002). Definisi ini merupakan seperangkat alokasi nilai guna (utility) yang dapat dicapai dalam suatu subyek masyarakat terhadap kendala dari citarasa dan teknologi.
Ekonomi kesejahteraan mencoba untuk memaksimalkan tingkatan dari kesejahteraan sosial dengan pengujian kegiatan ekonomi dari individu yang ada dalam masyarakat. Kesejahteraan ekonomi mempunyai kaitan dengan kesejahteraan dari individu, sebagai lawan kelompok, komunitas, atau masyarakat sebab ekonomi kesejahteraan berasumsi bahwa individu adalah unit dasar pengukuran. Ekonomi kesejahteraan juga berasumsi bahwa individu merupakan hakim terbaik bagi kesejahteraan mereka sendiri, yaitu orang-orang akan menyukai kesejahteraan lebih besar daripada kesejahteraan lebih kecil, dan kesejahteraan itu dapat diukur baik dalam terminologi yang moneter atau sebagai suatu preferensi yang relatif.
Kesejahteraan sosial mengacu pada keseluruhan status nilai guna bagi masyarakat. Kesejahteraan sosial adalah sering didefinisikan sebagai penjumlahan dari kesejahteraan semua individu di masyarakat. Kesejahteraan dapat diukur baik secara kardinal yang dalam dollar (rupiah) atau “utils”, atau diukur secara ordinal dalam terminology nilai guna yang relatif. Metoda kardinal adalah jarang digunakan sekarang ini oleh karena permasalahan agregat yang membuat ketelitian dari metoda tersebut diragukan. Ada dua sisi dari ekonomi kesejahteraan, yaitu efisiensi ekonomi dan distribusi pendapatan. Efisiensi ekonomi adalah positif lebih luas dan berhadapan dengan " ukuran dari kue". Distribusi Pendapatan adalah jauh lebih normatif dan berhadapan dengan " pembagian atas kue".
1.1.2. Pengertian Ekonomi Kesejahteraan Syariah
Ekonomi kesejahteraan konvensional hanya menekankan pada kesejahteraan material saja, dengan mengabaikan kesejahteraan spiritual dan moral. Ekonomi kesejahteraan syariah bertujuan mencapai kesejahteraan manusia secara menyeluruh, yaitu kesejahteraan material, kesejahteraan spiritual dan moral. Konsep ekonomi kesejahteraan syariah bukan saja berdasarkan manifestasi nilai ekonomi, tetapi juga nilai moral dan spiritual, nilai sosial dan nilai politik Islami. Dengan demikian ekonomi kesejahteraan syariah mempunyai konsep lebih komprehensif (Mannan, 1970:358).
Ekonomi kesejahteraan syariah dapat didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu ekonomi yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama dengan tujuan, tanpa mengekang kebebasan individu, menciptakan keseimbangan makroekonomi dan ekologi yang berkepanjangan, atau melemahkan solidaritas keluarga dan sosial serta jaringan moral masyarakat. Tujuan mendorong kesejahteraan manusia akan membantu menyediakan suatu arah yang tegas baik bagi pembahasan teoritis maupun resep kebijakan (Chapra, 2001:108).
1.2. Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan Konvensional dan Ekonomi Kesejahteraan Syariah.
1.2.1. Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan Konvensional
Ada dua pendekatan yang dapat diambil terhadap ekonomi kesejahteraan, yaitu pendekatan Neo-Klasik dan pendekatan ekonomi kesejahteraan yang baru. Pendekatan Neo-klasik telah dikembangkan oleh Pigou, Bentham, Sidgwich, Edgeworth, dan Marshall. Pendekatan Neo-Klasik berasumsi bahwa nilai guna merupakan kardinal dan konsumsi tambahan itu menyediakan peningkatan yang semakin kecil dalam nilai guna (diminishing marginal utility). Pendekatan Neo-Klasik lebih lanjut berasumsi bahwa semua individu mempunyai fungsi nilai guna yang serupa, oleh karena itu hal tersebut mempunyai makna untuk membandingkan nilai guna individu dengan nilai guna milik orang lain. Oleh karena asumsi ini, hal tersebut memungkinkan untuk membangun suatu fungsi kesejahteraan sosial dengan hanya menjumlahkan seluruh fungsi nilai guna individu.
Pendekatan ekonomi kesejahteraan yang baru didasarkan pada yang dikerjaan oleh Pareto, Hicks, Kaldor, Boulding, Arrow, Robbin, Scitovsky, Galbrairh dan Sen). Pendekatan ekonomi kesejahteraan yang baru dengan tegas mengenalkan perbedaan antara bagian efisiensi dari disiplin dan bagian distribusi serta memperlakukannya dengan cara yang berbeda. Pertanyaan dari efisiensi ditaksir dengan ukuran-ukuran seperti efisiensi Pareto dan uji kompensasi Kaldor-Hicks, sedangkan pertanyaan dari distribusi pendapatan dicakup di dalam spesifikasi fungsi kesejahteraan sosial. Lebih lanjut, efisiensi tidak perlu memerlukan ukuran kardinal nilai guna, nilai guna ordinal adalah cukup untuk analisis ini. Banyak titik-tolak pemikiran ekonomi dapat diambil untuk membahas masalah welfare (kemakmuran) dan welfare economics (ilmu ekonomi yang berorientasi kemakmuran). The American Economics Association yang menempatkan Kenneth Boulding sebagai salah satu pemikir ekonomi konpemtorer pada waktu itu, bersejajaran dengan tokoh-tokoh lain seperti John Kenneth Galbraith, ragnar Nurkse, Paul A. Samuelson, Wassly Lointief, Mozez Abramoritz, Andreas Papandreou, Norman Buchanan, Paul Baran dan Milton Friedman. Lebih dari setengah abad yang lalu, Howard S. Ellis dari University of California, Berkeley selaku editor menerbitkan buku A Survey of Contemporary Economic I (Homewood: Irwin, 1949) yang disponsori oleh The American Economics II terbit pula dengan editor Prof. Bernard F. Haley dari Stanford University (Homewood: Irwin 1952), yang juga disponsori oleh the American Economics Association. Kedua jilid buku ini sebagai kesatuan boleh dibilang merupakan karya monumental dalam pemikiran ekonomi. Setengah abad yang lalu itu masih dengan tegas dikatakan oleh Kenneth Boulding bahwa the subject matter of welfare economic, berbeda dengan lain-lain bentuk welfare, harus didekati dari konsep harta atau “riches” ekonomi. Dengan pendekatannya ini ia lebih lanjut memperkukuhkan konsepsi yang telah dikenal sebagai “social optimum”, yaitu Paretian optimality (optimalitas ala Pareto dan Edgeworth), di mana economics efficiency mencapai social optimum bila tidak seorangpun bisa lagi menjadi lebih beruntung (better-off) tanpa membuat orang lain merugi (worse-off). Dalam pada itu pemborosan (dalam konsepsi social optimum ini) masih terjadi bila seseorng masih bisa menolong orang lain tanpa merugi. Apa yang dikemukakan Boulding ini, dalam kaitan Vilfredo Pareto dan Francis Edgeworth, Alfried Marshall dan A.C. Pigou, pada dasarnya adalah “old utilitarian” dan tidak terlepas dari mekanisme perfect competition dalam pasar. Welfare dan competition menjadi dua sejoli diangkat di sini sebagai paradigma klasikal oleh kaum Smithian. Inilah “old welfare economics” yang berdasar pada utilitas, berorientasi harta atau kekayaan ekonomi individu dan self-interest maximizalition, yang menegaskan tercapainya Pareto efficiency. Dengan demikian “social optimum” semacam ini menggambarkan berlakunya institusi ekonomi berdasar paham individualisme dan liberalisme ekonomi (Swasono,2005).
Efisiensi alokatif (allocative efficiency) sumber-sumber ekonomi ke tingkat optimal yang menjadi titik tolak pemikiran kaum klasik Paretian ini (dan kemudian juga neoklasik) ternyata tidak dengan sendirinya membawakan kesejahteraan sosial (societal welfare). Bagaimanapun juga pareto efficiency tidak membukakan kondisi untuk terbentuknya a good society (Sen, 2002) dan tidak peka terhadap masalah distribusi. Welfare economics setengah abad yang lalu berhenti di situ. Boulding kemudian dalam bukunya Economics as a Science (1970) kurang lebihnya melepaskan pendapat awalnya tentang social optimum yang sempit itu. Apa yang disebut sebagai “new welfare economics” mulai muncul, kemudian menjadi “contemporerary welfare economics” sejak Kenneth Arrow mengajukan “impossibility theorem”-nya, yaitu theorem yang ia kembangkan sebagai upaya menggabungkan preferensi-preferensi masing-masing anggota masyarakat menjadi preferensi sosial (social preference). Dari sini ditunjukkan secara teoritis bagaimana sulitnya menggabung dan mentransformasikan preferensi-preferensi individual menjadi preferensi sosial. sepanjang yang saya ketahui Arrow-lah yang mengawali secara teoritikal proses transformasi ini. Bila proses transformasi ini saya kaitkan dengan paham kebersamaan (mutualisme, bukan individualisme). Kesimpulan saya demikian itu karena dalam berpola interaksi sosial maka individu-individu sebagai makhluk sosial akan berprilaku berdasar pada kaidah-kaidah nonekonomi yang lebih kompleks. Dengan kata lain akan terjadi transformasi perilaku individu-individu dalam pola interaksi sosial, bahkan mungkin terjadi transformasi mind-set, terbentuk suatu coherent collective mind and behavior. Ada suatu possibility teoritikal bila dari preferensi-preferensi individual. Preferensi sosial adal secara independent, sebagai kehendak individu yang hidup bermasyarakat karena “rasa bersama”. Di sinikah barangkali impossibility theorem-nya Arrow mendapatkan sambungan dan bagi saya mengagumkan (Swasono,2005).
Sementara itu John Kenneth Galbraith, dengan mengemukakan pandangan Sraffa (1926), John Robinson (1933) dan Chamberlain (1932) ikut menegaskan bahwa persaingan (competition) patut diasumsikan sebagai tidak sempurna (non perfect). Galbraith bisa memahami karya Arthur R. Burn The Decline of Competition (1936) di mana elemen monopoli tidak lagi dipandang sebagai sekedar kejadian sekali-kali eaktu ataupun deviasi dari persaingan bebas. Ia berkesimpulan bahwa masalah kebijaksanaan monopoli sejak lama merupakan masalah intellectual property of men whose faith is in competition. Sejak awal (1950) Galbraith memprihatinkan bahwa perkembangan monopoli dan konsentrasi merupakan penyalahgunaan (abuse) kekuasaan ekonomi. Dalam bukunya The affluent Society (1958) ia menggambarkan keterdiktean konsumen oleh iklan yang berlebih-lebihan. Iklan semacam itu merupakan pemborosan sosial. selanjutnya secara konsisten ia membela kepentingan masyarakat luas terhadap konsentrasi kekuatan ekonomi swasta, sebagaimana ia kemukakan (1992) “…. The privatization of social services and public enterprises are aimed at altering property relations and hence the distribution of wealrh and political power toward the greater empowerment of the rich, big business, and the rentiers at the cost of the underclass….”. (Privatisasi sarana-sarana dan perusahaan-perusahaan negara bertujuan merubah hubungan-hubungan pemilikan dan selanjutnya pula distribusi kekayaan dan kekuasaan untuk lebih memperkuat posisi kelompok kaya, kalangan bisnis besar dan kaum pemupuk rente ekonomi atas korban masyarakat bawah).
Setelah dengan sangat brilian dan teliti menggambarkan hubungan antara welfare and competition (dianggap sebagi dua sejoli) akhirnya Tibor Scitovsky mengemukakan melalui bukunya yang terkenal Welfare and Competition (1951), bahwa competition memiliki berbagai kelemahan (shortcomings). Bila kaum ekonom mengaggap peran kebijaksanaan ekonomi adalah mempertahankan pekerjaan (employment) dan stabilitas harga (price stability), tugas negara adalah mengobati kelemahan-kelemahan yang ada pada diri competition demi menjamin welfare. Negara, menurut Scitovsky, harus menyediakan jasa-jasa yang masyarakat secara kolektif dapat mengambil manfaat. Ia mendukung antitrust legislation dan menolak aggressive competition yang bertujuan menegakkan monopoli. Namun ia pada dasarnya tetap berkecenderungan memihak orde kompetisi dan menghendaki pembatasan terhadap kontrol oleh negara.
Setelah Reder dan Samuelson melemparkan kritik terhadap welfare economics-nya Boulding, Paul A. Baran lima tahun kemudian (1957) menegaskan bahwa welfare economics barunya Reder dan Samuelson itu pun masih terbatas pada masalah perlu tidaknya makna dan dimensi welfare di luar ekonomi an sich perlu diperhitungkan. Baran secara kritis menunjukkan bahwa efisiensi ekonomi memang memberikan kontribusi kepada human welfare berdasar kriteria bahwa pada dirinya efisiensi ekonomi merupakan suatu orde sosial ekonomi yang hidup di dalam masyarakat. Namun bagi Prof. Baran, posisi welfare economics yang mengundang perdebatan teoritikal dan moral sesungguhnya terletak pada melencengnya orde sosial ekonomi dari tujuan kehidupan ekonomi yang lebih utuh dan mulia, dimana hubungan lembaga-lembaga ekonomi dan sosial pada masyarakat kapitalis (yang mendewakan self interest, perfect individual liberty, consumers’ sovereignty dan stelsel laissez faire itu) telah menghalangi tercapainya well being masyarakat sebagai tujuan kehidupan ekonomi masyarakat yang utuh, yaitu “… suatu masyarakat yang bebas dari keapatisan mental dan psikis (mental and psychic stupor) yang diakibatkan oleh ideology kapitalis yang melumpuhkan masyarakat miskin….”. Pada kesempatan ini Baran sempat mengungkit keheranannya terhadap sikap John Stuart Mill, Alfred Marshall, K. Wicksell dan A.C. Pigou yang terganggu oleh munculnya keraguan terhadap “the visible hand”. Baran memuji F. Bastiat dan J.B. Clark yang menempatkan welfare berdasar stelsel laissez faire sebagai “iron low” yang mengabaikan noble sentiments dan high ethical standards para protagon yang menghendaki prinsip-prinsip ekonomi yang sehat dalam orde ekonomi. Paretian optimum, kata Baran, mengundang suatu pemikiran untuk reformasi sosial. sedang “The new economics”-nya Keynes, meskipun dilihat oleh Baran (1952) sebagai dasar-dasar perencanaan untuk mencapai full employment dalam sistem kapitalisme, telah menegaskan tidak terjadinya otomatisme pasar atau tidak adanya mekanisme built in untuk menjaga aggregate effective demand dalam mempertahankan full employment. Namun Keynes tidak melihat kemerosotan aggregate demand itu sebagai masalah struktural dalam alokasi sumber-sumber ekonomi.
Kita perlu pula mencatat apa yang dikemukakan oleh Abramovitz (1952), bahwa “….Our interest in economic growth stems from, and is relevant to, our interest in long term changes in economics welfare. But the two subjects are not equivalents….” (Kepentingan kita pada pertumbuhan ekonomi bermula dari, dan relevan dengan, kepentingan kita pada perubahan kesejahteraan ekonomi dalam jangka panjang. Tetapi kedua subjek itu tidaklah sama). Dengan penegasannya ini ia sepaham dengan Clark. Sampai saat ini kiranya masih berlaku, yaitu bahkan saat ini banyak di antara kita yang berbicara mengenai growth namun mengabaikan economic welfare pada tataran sosialnya (dalam dimensi societal welfare).
Pandangan mengenai welfare economics, substansi dan dimensinya terus makin berkembang, diawali antara lain oleh Robert A. Dahl dan Charles A. Lindblom dalam buku Politics, Political Economics and Welfare (1963). Sementara itu, Oscar Lange melepaskan diri dari percaturan mengenai apakah welfare economics hanya berdasar kriteria ekonomi sempit ataukah harus mengandung nilai-nilai etikal, apakah welfare economics berlandaskan pada ilmu ekonomi “positif” atau “normatif”, apakah berdasar pada proposisi “what there is” atau “what there ought to be “. Lange menegaskan bahwa lingkup ilmu ekonomi adalah menentukan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan ekonomi yang telah ditentukan secara politik. Tujuan ekonomi yang ia maksudkan itu adalah dalam tatarannya sebagai social preference dan social choice.
Dahl dan Lindblom menyayangkan bahwa istilah “political economy” tidak bisa digunakan saat ini tanpa memainkan trik-trik mistik rohnya Adam Smith, David Ricardo dan Stuart Mill. Berikut ini ia kemukakan dalam mengawali bukunya yang terkenal itu : Dalam teori formal, ilmu politik dan ilmu ekonomi acapkali dianggap sebagai kerabat jauh dan tidak begitu bicara satu sama lain. Dahl dan Lindblom berusaha mencari jalan untuk menyatukan aspek-aspek tertentu dari politik dan ekonomi ke dalam teori utuh yang konsisten. Pada ujud pertamanya, pertanyaannya terpusat ke dalam masalah etika daripada masalah ilmu. Kedua tokoh ini menegaskan bahwa tidak akan ada teori yang dapat menyatukan ilmu politik dan ilmu ekonomi kecuali teori ini mengeksplisitkan premis-premis sosiologi dan psikologi yang dikandung oleh masing-masing ilmu politik dan ilmu ekonomi. Akhirnya dari situ perlu dapat ditarik suatu “rational sosial action” untuk mencapai maksimisasi tujuan-tujuan good life, yang harus dicapai dengan perjuangan melalui kalkulasi rasional dan control demokratis, yaitu untuk meraih nilai-nilai dasar “freedom”, “equality” dan “progress”.
Makna welfare akhirnya bukan lagi sekedar tercapainya economic gain secara optimal belaka. Efisiensi berdimensi sosial, politik, psikologi dan filosofi, menjangkau tujuan humanisasi dan humanisme. Akhirnya dahl dan Lindblom membuka jalan untuk suatu diskusi public yang lebih pelik, suatu yang open ending dan mungkin akan makin membingungkan kaum ekonom konvensional. Selanjutnya masalah welfare, lebih mengemuka lagi, setelah Amartya Sen mengedepankan masalah etika dalam bukunya On Ethics and Economics (Oxford : Basel Blakwell, 1987) dan demikian pula Amitai Etziomi, seorang sosiolog terkemuka, dengan buku monumentalnya The Moral Dimensions: Toward a New Economics (New York : Free Press, 1988).
Dalam relevansi dengan Orasi ini barangkali Hatta (negarawan), Baran (idelog), Galbraith (reformis), Myrdal (reformis), Sen (ekonom), dan Etzioni (sosilog) yang melihat bahwa preferensi sosial itu ada secara indpenden, di mana individu-individu hidup di dalam suatu masyarakat sebagai kenyataan yang given.
Amartya Sen a.l. dalam bukunya Rationality and Freedom (Cambride: Berknap of Harvard University Press, 2002), bertitik tolak dari social preference, social choice dan impossibility theorem-nya Kenneth Arrow, menuju social welfare judgements dan mekanisme social decision. Selanjutnya theorem-nya Arrow makin berkembang canggih (memerlukan ketekunan dan kedalaman teoritikal serta subtilitas nilai-nilai untuk memahaminya) berkat pencerahan lebih lanjut oleh Sen, yang memberi makna lebih pada well being (kesejahteraan dalam arti luas) dengan freedom (kebebasan) sebagai lawan dari unfreedom.
Welfare economic-nya Sen menjadi suatu gambaran dan proses rasional ke arah melepaskan masyarakat dari hambatan untuk memperoleh kemajuan (unfreedom) selanjutnya dengan mencari kriteria yang lebih luas (ecletic) diharapkan dapat lebih memberi makna well being yang lebih mapan, dengan ukuran-ukuran (performance criteria) barunya seperti “tingkat kehidupan” (levels of living), “pemenuhan kebutuhan pokok” (basic needs fulfillment), “kualitas kehidupan” (quality of life) atau “pembangunan manusia” (human development). Sedangkan Bornstein secara normatif (“The Comparations of Economics System”, 1994) mengajukan “performance criteria” untuk social welfare yang makin luas, sekaligus makin sulit menentukan batasannya, meliputi output, growth, efficiency, stability, security, inequality dan freedom yang harus dikaitkan dengan suatu social preference (Swasono,2005).
1.2.2. Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan Konvensional
Karena penekanan pada keadilan inilah, para fuqaha telah meletakkan sejumlah qaidah ushul (legal maxim) yang dapat membantu merealisasikan kesejahteraan untuk semua dalam cara yang seimbang dan adil. Diantara kaidah-kaidah ini adalah sebagai berikut :
• Suatu kerugian atau pengorbanan privat dapat ditimpakan untuk menyelamatkan pengorbanan atau kerugian publik, dan suatu maslahat yang lebih kecil dapat dikorbankan untuk merealisasikan maslahat yang lebih besar
• Suatu kerugian yang lebih besar dapt digantikan oleh kerugian yang lebih kecil. Kemaslahatan mayoritas yang lebih besar harus didahulukan daripada kemaslahatan minoritas yang lebih sempit; kemaslahatan publik harus dikedepankan daripada kemaslahatan privat.
• Penghapusan kesulitan dan bahaya harus didahulukan daripada mendapatkan kemaslahatan.
• Bahaya harus dihilangkan sejauh mungkin.
Semua qaidah ushul di atas jelas bertentangan dengan konsep Pareto Optimal yang tidak mengakui solusi apapun yang menuntut pengorbanan dari sekelompok kecil (orang-orang kaya) untuk meningkatkan kesejahteraan yang lebih banyak (orang-orang miskin). Karena itu, konsep ini dalam keadaan apapun, tidak mungkin mendapatkan kedudukan tinggi dalam paradigma ilmu ekonomi kesejahteraan syariah, seperti yang didapatkannya dalam ekonomi kesejahteraan konvensional (Chapra, 2001:59).
1.3. Pengertian Efisiensi Ekonomi Konvensional dan Efisiensi Ekonomi Syariah
1.3.1. Pengertian Efisiensi Ekonomi Konvensional
Kebanyakan ahli ekonomi menggunakan efisiensi Pareto, sebagai tujuan efisiensi mereka. Menurut ukuran ini dari kesejahteraan sosial, suatu situasi adalah optimal hanya jika tidak ada individu dapat dibuat lebih baik tanpa membuat orang lain lebih buruk. Kondisi ideal ini hanya dapat dicapai jika empat kriteria dipenuhi. Rata-rata marginal substitusi dalam konsumsi harus identik untuk semua konsumen ( tidak ada konsumen dapat dibuat lebih baik tanpa membuat konsumen yang lain lebih buruk). Rata-rata transformasi di dalam produksi harus identik untuk semua produk ( adalah mustahil meningkatkan produksi setiap barang baik tanpa mengurangi produksi dari barang-barang yang lain) Biaya sumber daya marginal harus sama dengan produk pendapatan marginal untuk semua proses produksi (produk fisik marginal dari suatu faktor harus sama dengan semua perusahaan yang memproduksi suatu barang) Rata-rata marginal substitusi konsumsi harus sama dengan rata-rata marginal transformasi dalam produksi. (proses produksi harus sesuai dengan keinginan konsumen) Ada sejumlah kondisi-kondisi yang, kebanyakan ahli ekonomi setuju, boleh tidak efisien meliputi: struktur pasar yang tidak sempurna ( seperti monopoli, monopsoni, oligopoli, oligopsoni, dan persaingan monopolistik) alokasi faktor tidak efisien ( lihat dasar-dasar teori produksi), kegagalan pasar dan eksternalitas ( lihat juga biaya sosial), diskriminasi harga (lihat juga skimming harga), penuruanan biaya rata-rata jangka panjang (lihat monopoli alami), beberapa jenis pajak dan tariff. Untuk menentukan apakah suatu aktivitas sedang menggerakkan ekonomi ke arah efisiensi Pareto, dua uji kompensasi yang telah dikembangkan, setiap perubahan pada umumnya membuat sebagian orang lebih baik selagi membuat orang yang lain tidak lebih buruk, maka uji ini menanyakan apa yang akan terjadi jika pemenang mengganti kompensasi kepada yang kalah. Menggunakan kriteria Kaldor suatu aktivitas akan memberi kontribusi untuk Pareto optimal jika jumlah maksimum pemenang siap membayar lebih besar dari jumlah minimum yang siap diterima oleh yang kalah.
Di bawah kriteria Hick, suatu aktivitas akan memberi kontribusi untuk Pareto optimal jika sejumlah maksimum yang kalah disiapkan untuk menawarkan kepada pemenang dalam rangka mencegah perubahan yang kurang dari sejumlah minimum pemenang disiapkan untuk menerima sebagai uang suap untuk membatalkan perubahan. Uji kompensasi Hick melihat dari sudut pandang yang kalah, sedangkan uji kompensasi Kaldor melihat dari sudut pandang pemenang. Jika kedua kondisi dapat memuaskan yang kalah maupun yang menang maka baik pemenang maupun yang kalah akan setuju bahwa aktivitas yang diusulkan akan menggerakkan ekonomi ke arah Pareto optimal. Ini adalah dikenal sebagai efisiensi Kaldor-Hicks atau kriteria Scitovsky.
1.3.2. Pengertian Efisiensi Ekonomi Syariah
Efisiensi dalam pengertian Optimum Pareto yang netral nilai dan ekuilibrium modern juga tidak muncul dalam literatur Islam. Ini tidak berarti bahwa konsep efisiensi tidak dikenal. Konsep ini telah diidentifikasi dalam beberapa pengertian. Salah satunya adalah dalam pengertian usaha untuk melakukannya yang terbaik. Rasulullah saw. Menjunjung tinggi kualitas dengan menekankan ihsan kebaikan) dan itqan (kesempurnaan). Beliau mengatakan,”Allah telah mewajibkan kamu untuk berbuat baik (ihsan) dalam segala hal,” dan bahwa “Allah menyukai orang yang melakukan pekerjaan, ia melakukannya dengan sempurna”. Upaya untuk merealisasikan ihsan dapat melengkapi usaha melakukan itqan, dan keduanya bersama-sama dapat membantu mewujudkan penggunaan sumber-sumber daya manusia dan alam dengan cara yang paling efisien dan adil. Efisiensi juga perlu dalam berbagai konteks sementara sumber-sumber daya tidak boleh disia-siakan atau disalahgunakan karena adanya pertanggungjawaban kepada Tuhan. Menurut salah satu nasihat Abu Yusuf kepada Harun ar-Rasyid, yang didasarkan pada hadits, pertanggungjawaban ini berlaku bagi semua sumber daya, termasuk usia manusia, ilmu, kekayaan, dan semua kemampuan fisiknya. Pertanggungjawaban ini menuntut bahwa sumber-sumber daya dipergunakan untuk membantu memaksimalkan kesejahteraan manusia. Pertanggungjawaban ini berlaku bagi sumber-sumber daya, tidak pandang apakah itu SDM atau SDA, langka atau melimpah, mengandung biaya atau gratis (Zarqa,1980:4).
Dengan demikian, penggunaan sumber-sumber daya yang paling efisien dalam ilmu ekonomi konvensioanl dapat didefinisikan menurut Optimum Pareto, sementara dalam suatu perekonomian Islam akan ditentukan berdasarkan maqashid. Setiap penggunaan yang menggagalkan realisasi maqashid harus dipandang sebagai kesia-siaan dan inefisiensi (Faridi,1983:40). Sebagai contohnya, dalam ilmu ekonomi konvensional, konsep Optimum Pareto membolehkan penghancuran kelebihan output jika hal ini memungkinkan pelaku bisnis menahan penurunan labanya tanpa membuat konsumen menjadi lebih buruk (kondisinya) karena naiknya harga. Namun, cara seperti ini tidak dapat diterima dalam paradigma Islam karena perilaku seperti ini tidak hanya akan merusak sumber-sumber daya yang telah disediakan oleh Allah sebagai suatu bentuk amanah melainkan juga menimbulkan ketidakadilan kepada para konsumen. Meskipun usaha mempertahankan harga pada tingkat sekarang tidak dapat dibuat menjadi lebih bermanfaat jika kelebihan output tersebut tidak dihancurkan, harga akan turun atau kelebihan itu dapat dibagikan kepada orang-orang miskin. Begitu juga, waktu dan energi yang dipergunakan untuk shalat dan berpuasa akan tampak sia-sia jika dipandang menurut kerangka materialisme, karena hal itu akan menyebabkan, meskipun tidak selalu, penurunan output sehingga menghambat maksimalisasi output dan laba. Namun, jika dipandang dari sudut kontribusi si kaya yang akan dapat menciptakan character building dan peningkatan spiritual serta kesejahteraan manusia, maka shalat dan puasa sesungguhnya memiliki keunggulan positif. Barangkali karena alasan ini, dan alasan lain, seperti yang ditunjukkan sebelumnya bahwa salah satu qaidah ushul membolehkan penetapan suatu pengorbanan privat yang lebih sempit untuk mendapatkan kemaslahatan public yang lebih besar. Umumnya para ulama memandang bahwa syariat, dengan strategi dan nilai-nilai moral yang disediakan untuk menanamkan nilai-nilai ini secara efektif dalam masyarakat, bukan saja akan membantu menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi semua, melainkan juga mendorong kemajuan manusia. Al-Mawardi mengindikasikan bahwa ajaran-ajaran Islam telah terbukti menjadi fondasi yang solid bagi peningkatan dan stabilitas di dunia. Ibnu Khaldun juga menekankan bahwa sebuah negara tidak dapat mencapai kemajuan dan kekuatan kecuali dengan menerapkan syariat (Chapra, 2001:61).
1.4. Distribusi Pendapatan Konvensional dan Dstribusi Pendapatan Syariah
1.4.1. Distribusi Pendapatan Konvensional
Ada banyak kombinasi dari nilai guna konsumen, dagan produksi, dan kombinasi konsisten dari faktor input dengan efisiensi. Sesungguhnya, ada suatu ketidak terbatasan dari konsumen dan keseimbangan produksi yang menghasilkan Pareto optimal. Ada banyak optima yang merupakan titik batas berbagai kemungkinan agregat produksi. Karenanya, efisiensi Pareto adalah dibutuhkan, tetapi tak satu pun kondisi yang memenuhi untuk kesejahteraan sosial. Masing-masing Pareto optimal berhubungan dengan distribusi pendapatan yang berbeda dalam ekonomi. Beberapa mungkin melibatkan ketidakseimbangan yang besar dari pendapatan. Maka bagaimana cara kita memutuskan Pareto optimal yang mana yang paling diinginkan? Keputusan ini dibuat, baik secara diam-diam maupun secara terbuka, ketika kita menetapkan fungsi kesejahteraan sosial. Fungsi ini berwujud keputusan nilai tentang nilai guna yang hubungan antar pribadi. Fungsi kesejahteraan sosial adalah suatu cara secara matematika yang menyatakan kepentingan relative individu-individu yang ada dalam masyarakat.
Suatu fungsi kesejahteraan nilai guna (juga disebut suatu fungsi kesejahteraan Benthamite) menjumlahkan nilai guna dari tiap individu dalam rangka memperoleh kesejahteraan keseluruhan masyarakat. Semua orang diperlakukan yang sama, bukan masalah pada tingkat awal nilai guna mereka. Satu unit nilai guna tambahan untuk seorang yang miskin tidaklah dilihat untuk segala nilai lebih besar dibanding suatu unit tambahan dari nilai guna untuk seorang jutawan yang mempunyai semua kekayaan yang ia pernah belanjakan.
Pada ekstrim yang lain adalah fungsi Max-Min yang diusulkan oleh John Rawls. Menurut kriteria Max-Min, kesejahteraan maksimalkan jika nilai guna anggota masyarakat itu yang mempunyai nilai guna paling kecil adalah yang terbesar. Tidak ada kegiatan ekonomi akan meningkatkan kesejahteraan sosial kecuali jika kegiatan itu meningkatkan posisi dari anggota masyarakat yang lebih buruk (merugi). Kebanyakan ahli ekonomi menetapkan fungsi kesejahteraan sosial itu adalah pertengahan antara dua ekstrim tersebut.
Fungsi kesejahteraan sosial adalah secara khas diterjemahkan ke dalam kurva indiferens sedemikian rupa sehingga dapat digunakan di dalam ruang grafis yang sama sebagai fungsi yang lain yang saling berhubungan. Suatu kurva indiferens sosial nilai guna adalah linier dan garis miring ke bawah yang mengarah ke kanan. Kurva indiferens sosial Max-Min mengambil bentuk dari dua garis lurus yang berpotongan sehingga membentuk suatu sudut 90 derajat. Suatu kurva indiferens sosial yang digambar dari suatu fungsi kesejahteraan sosial antara adalah suatu garis miring ke bawah yang mengarah ke kanan.
Bentuk antara dari kurva indiferensi sosial dapat ditafsirkan sebagai peningkatan ketidakseimbangan, suatu peningkatan semakin besar nilai guna dari individu yang secara relatif kaya diperlukan untuk mengganti kerugian nilai guna dari individu yang secara relatif miskin. Suatu fungsi kesejahteraan sosial yang kasar dapat dibangun dengan mengukur nilai dolar subyektif dari barang dan jasa yang didistribusikan ke pemain di dalam ekonomi ( lihat juga surplus konsumen).
1.4.2. Distribusi Pendapatan Syariah
Beberapa alasan yang menjadi dasar pemikiran distribusi pendapatan diantara berbagai faktor produksi. Pertama, pembayaran sewa, umumnya pengacu pada pengertian surplus yang diperoleh suatu unit tertentu dari suatu factor produksi melebihi jumlah minimum yang diperlukan untuk mempertahankan factor itu dalam posisi yang sekarang, tampaknya hal ini tidaklah bertentangan dengan jiwa Islam. Dijelaskan bahwa sewa dan bunga sangatlah berbeda.
Kedua, perbedaan upah akibat perbedaan bakat dan kesanggupan diakui oleh Islam. Syarat-syarat pokonya ialah para majikan tidak akan mengisap para pekerja dan dia harus membayar hak mereka sedangkan para pekerja tidak akan mengeksploitir majikan mereka melalui serikat buruh, dan mereka juga harus melaksanakan tugasnya dengan tulus dan jujur.
Ketiga, terdapat kontroversi antara riba dan bunga. Tapi bila arti riba dipandang dalam perspektif sejarahnya tepat, tampaknya tidak ada perbedaan antara riba dan bunga. Suatu survai singkat tentang semua teori modern mengenai bunga mengungkapkan bahwa para ahli ekonomi tidak berhasil menemukan jawaban yang jelas mengapa bunga harus dibayar. Di pihak lain teori Islam tentang modal mengakui bahwa bagian modal dalam kekayaan nasional hanyalah sejauh sumbangan yang akan ditentukan sebagai persentase berubah dari laba daripada suatu persentase yang ditetapkan dari modal itu sendiri. Penulis cukup yakin bila para pemimpin kaum Muslimin melakukan upaya yang tulus, maka sangatlah mungkin untuk memiliki perekonimian yang bebas bunga. Tidak dapat disangkal lagi bahwa karena bungalah tumbuh kapitalisme dengan segala kejahatan yang menyertainya dalam masyarakat. Bunga menimbulkan masalah pengangguran, memperlambat proses kepulihan depresi menyebabkan masalah pelunasan utang bagi negeri-negeri terbelakang, juga menghancurkan prinsip pokok kerja sama, saling bantu, dan menjadikan orang mementingkan diri sendiri.
Keempat, Islam memperkenankan laba biasa – bukan laba monopoli atau laba yang timbul dari spekulasi. Akhirnya, telah kami jelaskan beberapa prinsip yang umumnya diterima dari hukum waris Islam, yang dewasa ini merupakan suatu system tetap, ilmiah dan indah lagi harmonis. Sumbangan paling positif dari hukum waris Islam ialah bahwa ia mengakui peran serta wanita dalam proses kegiatan ekonomi yang rumit.
1.5. Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial Konvensional dan Kesejahteraan Sosial Syariah
1.5.1. Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial Konvensional
Masalah ekonomi kesejahteraan dasar adalah untuk menemukan suatu fungsi kesejahteraan sosial maksimum secara teoritis, tunduk kepada berbagai kendala seperti status dari teknologi dalam produksi, sumber alam yang yang tersedia, infrastruktur nasional, dan kendala perilaku seperti maksimalisasi nilai guna konsumen dan maksimalisasi keuntungan produsen. Di ekonomi kemungkinan yang paling sederhana ini bisa dilakukan dengan memecahkan tujuh penyamaan secara serempak. Dalam persamaan Ekonomi yang sederhana ini misalnya hanya mempunyai dua konsumen ( konsumen 1 dan konsumen 2), hanya dua produk ( produk X dan produk Y), dan hanya dua faktor-faktor produksi yaitu tenaga kerja (L) dan modal (K)). Model dapat dinyatakan sebagai berikut :
Memaksimalkan kesejahteraan sosial: W=F(U1 U2) tunduk kepada terhadap kendala : K= Kx+ Ky (Jumlah modal yang digunakan untuk produksi dari barang
X dan Y)
L= Lx+ Ly (Jumlah tenaga kerja yang digunakan di produksi barang X dan Y)
X= X(Kx Lx) ( Fungsi produksi untuk produk X)
Y= Y(Ky Ly) ( Fungsi produksi untuk produk Y)
U1= U1(X1 Y1) ( Preferensi (pilihan) dari konsumen 1)
U2= U2(X2 Y2) ( Preferensi dari konsumen 2)
Solusi masalah tersebut menggunakan Pareto Optimum. Contoh yang realistis adalah menggunakan jutaan konsumen, jutaan produk dan beberapa faktor produksi, tetapi persamaan matematiknya sangat kompleks. Juga, menemukan sebuah solusi terhadap sebuah fungsi abstrak yang tidak secara langsung menghasilkan sebuah rekomendasi kebijakan. Dengan kata lain, pemecahan sebuah persamaan tidak memecahkan permasalahan sosial. Meskipun demikian, sebuah model seperti yang telah disebutkan di atas dapat dipandang sebagai sebuah argumen yang memecahkan sebuah persoalan sosial (seperti pencapaian distribusi pareto optimal dari kekayaan) merupakan paling tidak dapat memungkinkan secara teori.
Hubungan antara Produksi dan Konsumsi dalam sebuah model 7 persamaan sederhana (model 2x2x2) dapat ditunjukkan secara grafik. Dalam Gambar 1.1, batas yang mungkin produksi agregat, diberi label PQ menunjukkan seluruh titik dari efisiensi dalam produksi barang X dan Y. Jika ekonomi menghasilkan kombinasi barang X dan Y ditunjukkan di titik A, kemudian rata-rata marginal transformasi (MRT), X funtuk Y sama dengan 2.


Gambar 1.1.
Efisiensi Produksi dan Konsumsi

Titik A mendefinisikan sebuah diagram kotak Edgeworth dari konsumsi. Itu merupakan kombinasi yang sama dari produk yang diproduksi di titik A, dapat dikonsumsi oleh dua konsumen dalam ekonomi yang sederhana. Preferensi relatif konsumen ditunjukkan oleh kurva indeferen di dalam kotak Edgeworth. Di titik B rata-rata narginal substitusi (MRS) sama dengan 2, sementara di titik C rata-rata marginal substitusi sama dengan 3. Hanya di titik B konsumsi seimbang dengan produksi (MRS=MRT). Kurva 0BCA di dalam kotak Edgeworth (kadangkala disebut sebuah kurva kontrak) mendefinisikan tempat titik-titik efisiensi dalam konsumsi (MRS1=MRS2). Sebagaimana yang kita bergerak sepanjang kurva, kita mengubah kobinasi barang X dan Y yang individu 1 dan individu 2 memilih untuk mengkonsumsi. Data nilai guna yang menghubungkan dengan masing-masing titik pada kurva ini dapat digunakan untuk membuat fungsi nilai guna. Fungsi nilai guna (utility function) dapat diturunkan dari titik-titik pada kurva kontrak (contract curve). Beberapa fungsi nilai guna dapat diturunkan, satu untuk masing-masing titik pada garis batas kemungkinan produksi (pada diagram di atas PQ). Sebuah garis batas nilai guna (juga disebut sebuah garis batas nilai guna utama) dapat diperoleh dari selubung luar seluruh fungsi nilai guna ini. Masing-masing titik pada sebuah garis batas nilai guna sosial menggambarkan suatu alokasi efisiensi sumberdaya ekonomi yang merupakan Pareto optimal dalam alokasi faktor produksi, konsumsi dan interaksi produksi dan konsumsi (permintaan dan penawaran).
Pada Gambar 1.2, kurva MN merupakan sebuah garis batas nilai guna sosial. Ttitik D berhubungan dengan titik B dari diagram sebelumnya. Titik D ada pada garis batas nilai guna sosial karena rata-rata marginal substitusi pada titik B sama dengan rata-rata marginal transformasi di titik A. Titik E berhubungan dengan titik C dalam diagram sebelumnya dan terletak di dalam garis batas nilai guna sosial (menunjukkan inefisien) karena MRS pada titik C tidak sama dengan MRT pada titik A. Meskipun seluruh titik pada garis batas nilai guna sosial utama merupakan efisiensi Pareto, hanya satu titik yang menunjukkan kesejahteraan sosial maksimum. Titik tersebut adalah titik Z (kadangkala disebut titik kebahagiaan) dimana garis batas nilai guna sosial MN menrupakan tangent terhadap kurna indiferen sosial yang mungkin yang tertinggi yang diberi label SI.


Gambar 1.2.
Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial

1.5.2. Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial Syariah
Banyak yang meragukan apakah sebuah fungsi nilai guna kardinal (atau fungsi kesejahteraan social kardinal) adalah sembarang nilai. Bagaimana Anda menjumlahkan nilai guna beberapa orang yang mempunyai nilai guna marginal uang yang berbeda (kaya dan miskin)? Beberapa tetap meragunak nilai dari fungsi nilai guna ordinal. Mereka telah mengusulkan pengertian lain dari pengukuran “well-being” sebagai suatu alternative untuk menetan indeks harga, fungsi “ketidakmauan untuk membayar” dan ukuran yang berorientasi pada harga lain. Ukuran yang berbasis pada harga ini terlihat sebagai peningkatan konsumerisme dan produktivisme dengan banyak. Ukuran yang berbasis pada harga akan dicatat bahwa itu mungkin untuk melaksanakan ekonomi kesejahteraan tanpa menggunakan harga , meskipun ini tidak selalu dilaksanakan.
Secara eksplisit asumsi nilai dalam fungsi kesejahteraan dan seca implicit dalam pemilihan criteria efisiensi, membuat ekonomi kesejahteraan bidang yang sangat subyektif dan normatif. Ini dapat membuat controversial. Jika asumsi-asumsi nilai ini tersembunyi atau diterima secara tidak kritis, ekonomi kesejahtn akan menjadi berbahaya. Teknik ekonomi kesejahteraan merupakan pegangan untuk posisi awal permulaan. Maksimalisasi kesejahteraan merupakan optimum secara relatif terhadap posisi awal permulaan.
Dalam salah satu doanya, Rasulullah saw. Memohon perlindungan kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaaat. Mengacu kepada doa ini, tes untuk menentukan keberhasilan dan kegagalan suatu cabang ilmu pengetahuan adalah sejauh mana konmtribusi langsung atau tidak langsung dari sains tersebut terhadap realisasi kesejahteraan manusia yang secara jelas merupakan target maqashidusy syariah yang akan dibahas dalam bab ini. Ilmu ekonomi pun tidak dikecualikan. Sekalipun ilmu ekonomi Islam akan tetap berkonsentrasi pada aspek alokasi dan distribusi sumber-sumber daya, persis seperti ilmu ekonomi konvensional, namun tujuan utamnya hatus merealisasikan maqashid. Hal ini akan mengesampingkan kemungkinan melihat tiap-tiap ekulibrium pasar sebagai keadaan optimum. Hanya ekuilibrium pasar yang harmoni, atau apaling tidak mengandung konflik dengan maqashid yang dapat dipandang sebagai optimum dan bisa diterima. Mengingat optimum Pareto selalu dikaitkan dengan tiap-tiap ekulibrium pasar, maka perlu menggantikannya dengan konsep optimum Islam, yang berarti bahwa ekulibrium pasar yang merefleksikan realisasi serentak tingkat optimalitas aspek efisiensi dan pemerataan yang selaras dengan maqashid.
Suatu perekonomian dapat dikatakan telah mencapai tingkat efisiensi optimum jika telah mampu menggunakan keseluruhan potensi sumberdaya material dan manusianya dalam suatu cara di mana barang dan jasa yang memenuhi kebutuhan dapat diproduksi dalam jumlah maksimal dengan tingkat stabilitas ekonomi yang masuk akal dan dengan laju pertumbuhan masa depan yang berkesinambungan. Uji untuk efisiensi demikian terletak dalam ketidakmampuan untuk mencapai suatu keadaan yang secara sosial lebih dapat diterima tanpa menciptakan ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi yang berkepanjangan atau tanpa merusak institusi keluarga dan keharmonisan sosial atau jaringan moral masyarakat. Suatu perekonomian dapat dikatakan telah mencapai pemerataan (keadilan) optimal jika barang dan jasa yang diproduksi dapat didistribusikan dalam suatu cara di mana kebutuhan individu (tanpa memandang apakah mereka kaya atau miskin, pria atau wanita, muslim atau nonmuslim) dapat dipenuhi secara memadahi dan juga terdapat distribusi kekayaan dan pendapatan yang adil tanpa berdampak buruk pada motivasi kerja, menabung, investasi dan melakukan usaha (Chapra, 2001:100).
1.6. Mengukur Kesejahteraan Sosial Konvensional dan Kesejahteraan Sosial Syariah
1.6.1. Mengukur Kesejahteraan Sosial Konvensional
Bagaimana kesejahteraan diukur ? Ini tidak adak jawaban yang telah disepakati terhadap pertanyaan tersebut baik dalam disiplin ataupun lintas disiplin tersebut. Meskipun demikian ada dua pendekatan untuk mengukur kesejahteraan tersebut, yaitu pendekatan pengukuran secara obyektif dan pendekatan pengukuran secara obyektif.
Sebagian besar yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan ekonomi adalah pendapatan nyata rumah tangga yang dimiliki orang, yang disesuaikan dengan perbedaan ukuran rumah tanggga dan komposisi demografi (Ravallion dan Lokshin, 2000). Ini dapat didefinisikan sebagai pendapatan total rumah tangga dibagi dengan sebuah garis kemiskinan yang memberikan biaya dari tingkat nilai guna (utility) beberapa referensi pada harga yang berlaku dan demografi rumah tangga. Di bawah kondisi tertentu, rasio ini dapat diintepretasikan sebagai metrik uang yang nyata dari nilai guna yang mendefinisikan konsumsi yang lebih (Blackorby dan Donaldson, 1987).
Praktek yang standar adalah mengkalibrasi fungsi biaya dari perilaku permintaan konsumen. Parameter-parameter fungsi biaya adalah dapat dikenali secara umum dari perilaku permintaan pada saat atribut-atribut rumah tangga berubah (Pollack dan Wales, 1979). Masalah ini masih mengganggu jika diaplikasikan dalam dunia nyata dan intepretasi kebijakan data pada kesejahteraan ekonomi meliputi profil kemiskinan mengarahkan untuk memberikan ukuran kemiskinan yang konsisten melwati subkelompok dari masyara.
Organisasi-organisasi internasional menggunakan indikator kualitas hidup untuk mengevaluasi dan membandingkan kinerja sosio-ekonomi negara Misalnya yang terkenal adalah Human Development Index dari United Nations. Untuk membangun masing-masing indeks, membutuhkan subindikator untuk dipilih. Pilihan ini bergantung pada dimensi yang dipertimbangkan relevan, misalnya pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan pendapatan (Carbonell,2002).
Beberapa ekonom telah mengubah data pada persepsi kesejahteraan itu sendiri sebagai sumber informasi tambahan untuk merlakukan idendifikasi. Ada beberapa pendekatan, Van Praag (1968,1971) memperkenalkan the Income Evaluation Question (IEQ) yang bertanya apakah pendapatan dianggap “sangat jelek”,”jelek”, “tidak baik”, “tidak jelek”,”baik”, dan “sangat baik”. Metode yang lain didasarkan pada the Minimum Income Question (MIQ) yang bertanya apakah pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar mencukupi.
Garis kemiskinan subyektif dapat dikalibrasikan terhadap jawaban (Kapteyn, 1988). Dengan pendekatan ini, indikator kesejahteraan masih diambil untuk mengukur pendapatan secara obyektif atau pengeluaran yang dinormalisasi dengan (subyektif) garis kemiskinan. Carbonell (2000), menggunakan Subjective Well-Being (SWB) atau General Satisfaction (GS) individu untuk menjawab pertanyaan kesejahteraan subyektif. Welfare menggambarkan kepuasan individu dalam arti yang sempit, yaitu kepuasan financial, sedangkan well-being merupakan kepuasan individu dalam arti yang luas, yaitu kepuasan individu dalam kehidupan. Tanggapan terhadap pertanyaan subyektif mengenai kepuasan dengan domain yang kongkrit dari kehidupan merujuk pada Domain Satisfactions (DS), yang dalam literature ekonomi terdiri dari Financial Satisfaction (FS), Job Satisfaction (JS) dan Health Satisfaction (HS).
1.6.2. Mengukur Kesejahteraan Sosial Ekonomi Syariah
Kelemahan dari konsep Pareto Optimal adalah tidak dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah soial yang mendasar dari distribusi dan redistribusi. Islam sangat memperhatikan masalah-masalah social ini. Ekonomi kesejahteraan konvensional pada saat mempunyai masalah dalam alokasi dan mencoba memecahkan masalah alokasi tersebut berdasarkan pada pertimbangan nilai yang berubah-ubah dari alokasi tersebut. Pertimbangan nilai yang berubah-ubah tersebut berlaku pada fungsi kesejahteraan konvensional. Pengertian ini bukan dasar yang kokoh dari ilmu ekonomi kesejahteraan (Chowdhury,1999). Tetapi pertimbangan moral dan sosial dalam Islam yang saling berhubungan harus mencakup pertimbangan nilai yang dikandung Al-Qur’an. Fungsi kesejahteraan semacam ini hanya dibatasi pada masyarakat Islam. Jika para ekonom tidak mengetahui bagaimana membedakan antara berkembang dan kurang berkembang yang dihasilkan dari sebuah perubahan kebijakan yang seharusnya terhadap keputusan investasi baru, maka keputusan tersebut tidak dapat memberikan setiap rekomendasi mengenai setiap alokasi sumberdaya. Ini tidak ada cara yang mempertimbangkan hasil bersih yang berdasarkan prioritas obyektif meskipun masalah perbandingan antar personal. Hanya merupakan jalan keluar berupa rumusan dari seperangkat pertimbangan nilai secara eksplisit yang memungkinkan para analis untuk mengevaluasi keputusan investasi yang berdasarkan pada kriteria kesejahteraan. Prinsip syariah akan menyediakan dasar untuk membuat alokasi, produksi dan distribusi secara adil dan sah. Oleh karena itu, prinsip syariah merupakan penting sekali untuk mengelompokkan kriteria umum yang akan membantu untuk membangun peringkat nilai guna (utility) dari kombinasi yang berbeda dari barang yang dikonsumsi oleh anggota masyarakat Islam. Peta indeference pada keputusan individu didasarkan barangkali dianggap sebagai fungsi kesejahteraan social dan moral Islam (Manna, 1984).
Konsep nilai guna dalam Islam merupakan sebuah konsep yang lebih luas daripada konsep nilai guna dalam ekonomi kesejahteraan konvensional. (maslahah-al-Ibad). Bentuk maslahah merujuk pada kesejahteraan yang luas dari manusia. Menurut Al-Shatibi, maslahah merupakan kepenilikan atau kekuatan barang atau jasa yang menguasai elemen dasar dan sasaran kehidupan manusia di dunia. Ada lima elemen dasar kehidupan di dunia, yaitu kehidupan (al-nafs), kepemilikan (al-mal), kebenaran (ad-din), kecerdasan (al-aql) dan keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mempunyai kekuatan untuk menaikkan lima elemen dasar ini yang dikatakan mempunyai maslahah dan barang dan jasa yang mempunyai maslahah akan dinyatakan sebagai kebutuhan. Keinginan dalam ekonomi konvensional ditentukan oleh konsep nilai guna sementara kebutuhan dalam Islam ditentukan oleh konsep maslahah (Khan, 1989).
Konsep barang juga berbeda dalam Islam. Dalam Islam barang merupakan karunia yang terbaik dari Tuhan pada manusia. Menurut Al-Qur’an barang konsumsi adalah barang yang melambangkan nilai moral dan ideologi mereka (manusia). Dalam Al-Qur’an, barang dinyatakan dalam dua istilah, yaitu al-tayyibat dan al-rizq. Kata al-tayyibat digunakan 18 kali, sedangkan kata al-rizq digunakan 120 kali dalan Al-Qur’an. Al-tayyibat merujuk pada suatu yang bail, suatu yang murni dan baik, sesuatu yang bersih dan murni, sesuatu yang baik dan menyeluruh serta makanan yang terbaik. Al-rizq merujuk pada makanan yang diberkahi Tuhan, pemberian yang menyenangkan dan ketetapan Tuhan (Ali, 1975). Menurut Islam, barang konsumen adalah berdaya guna, materi yang dapat dikonsumsi yang bermanfaat yang bernilai guna yang menghasilkan perbaikan material, moral, spiritual bagi konsumen. Sesuatu yang tidak berdaya guna dan dilarang dalam Islam bukan merupakan barang dalam pengertian Islam. Dalam barang ekonomi konvensional adalah barang yang dapat dipertukarkan. Tetapi barang dalam Islam adalah barang yang dapat dipertukarkan dan berdaya guna secara moral (Choudhury, 1991).
Kriteria kesejahteraan akan bekerja dalam kondisi untuk memilih di antara proyek-proyek investasi yang berbeda untuk mengalokasikan sumberdaya dengan dasar Syariah secara Islam. Memanglah, sebagian besar kriteria ini tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Meskipun, kriteria yang disebutkan tersebut merupakan kriteria yang hanya indikatif, tetapi tidak yang mendalam. Kriteria kesejahteran tersebut, antara lain peningkatan ideologi, efisien penggunaan sumberdaya, keadilan dalam distribusi pendapatan, baik secara kolektif, prioritas terhadap kebutuhan yang mendesak, stabilitas, kepastian, keberlangsungan, produktivitas, pertimbangan manusia, universal, etikan dan moral (Choudhury, 1991).
1.7. Keadilan Konvensional dan Keadilan Syariah
1.7.1. Keadilan Konvensional dan Keadilan Syariah
Penelitian organisasional dewasa ini menitik beratkan pada perbedaan antara keadilan distributif dan keadilan prosedural. Kemajuan-kemajuan tersebut digambarkan dalam bagian ini dan diringkas dalam GAMBAR 1.3. Satu dari kebanyakan tugas-tugas dasar yang dihadapi oleh para peneliti keadilan organisasional saat ini telah menetapkan bahwa perbedaan antara keadilan distributif dan keadilan prosedural tidak sesederhana sebagai sebuah teori semata, tetapi lebih sebagai sesuatu yang nyata dari perspektif fenomenologi pekerja. Meskipun beberapa penelitian telah menentukan bahwa daftar pertanyaan (item) dari ukuran-ukuran keadilan prosedural dan keadilan distributif secara statistik bebas satu sama lain (Alexander dan Ruderman, 1987, Tyler dan Caine, 1981 dikutip oleh Greenberg, 1996:30), adalah penting untuk menentukan apakah para pekerja secara intuitif sadar atas perbedaan tersebut. Dua penyelidikan telah diarahkan pada persoalan-persoalan ini (Greenberg, 1986a: 6, Sheppard dan Lewicki, 1987 dikutip Greenberg,1996:30). Masih dalam Greenberg (1996:30), Sheppard dan Lewicki (1987) meminta sebuah sampel atas para manajer yang menggambarkan kejadian-kejadian kritikal dari perlakuan adil dan tidak adil yag dilakukan para bos mereka sendiri, dan prinsip yang membuat tindakan-tindakan adil atau tidak adil ini.


























Sumber: Greenberg,1996:31
GAMBAR 1.3.
KEADILAN DISTRIBUTIF VERSUS KEADILAN PROSEDURAL
Terdapat enambelas prinsip yang diidentifikasi, termasuk di antaranya prinsip yang sesuai dengan kategori-kategori Leventhal dan gagasan Thibaut dan Walker tentang pengendalian proses, selain prinsip keadilan Adam. Berdasarkan konteks manajerial umum, bagaimanapun penelitian ini dilakukan, adalah hal yang wajar jika beberapa prinsip tambahan telah muncul. Sebagai contoh, aturan yang berkenaan dengan “menyediakan informasi yang cukup memadai” dan “memberikan kerja yang menarik dan bermakna” berada di antara prinsip-prinsip yang dilaporkan oleh para responden, tetapi tidak terdapat dalam tulisan-tulisan tentang keadilan sebelumnya. Faktor-faktor distributif dan prosedural secara bebas dapat dikenali oleh para manajer. Mereka peduli dengan distribusi penempatan kerja yang pantas dan adil serta imbalan-imbalan jabatan selain prosedur-prosedur pengumpulan masukan mereka, penekanan/pengurangan prasangka individual, dan diperbolehkan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan.
Menitikberatkan pada konteks performa penilaian/penaksiran yang lebih spesifik, diperlukan sampel atas para manajer dari beberapa industri untuk menggambarkan peristiwa-peristiwa yang secara khusus adil atau tidak berdasarkan performa penilaian-penilaian (Greenberg, 1986a : 6). Tujuh buah kategori yang dapat dipercaya muncul, yang mana kelompok manajer yang lain kemudian diminta menanggapi atas arti penting yang mereka terima sebagai determinan/faktor penentu atas penilaian-penilaian adil. Analisis-analisis faktor atas penilaian-penilaian ini memunculkan dua faktor (yaitu, faktor-faktor penentu prosedural dan faktor-faktor penentu distributif) yang diperhitungkan hampir 95 % dari nilai varian.
Faktor keadilan distributif terdiri dari dua determinan yang diteorisasikan untuk mencerminkan alokasi hasil-hasil organisasional yang adil dalam sebuah konteks performa penilaian-penilaian (Greenberg, 1987b : 7), yaitu menerima penilaian-penilaian atas dasar performa yang dicapai dan membuat rekomendasi-rekomendasi bagi gaji dan promosi atas dasar penilaian-penilaian. Temuan-temuan ini secara kuat menunjukkan bahwa para manajer sadar dan peduli terhadap determinan-determinan keadilan distributif dan prosedural. Hal itu juga mendukung tuntutan teoritis yang berkenaan dengan keberadaan berbagai elemen yang beragam dari keadilan prosedural (misalnya, Leventhal, 1980; Thibaut dan Walker, 1975 dalam Greenberg, 1996:32).
Dalam salah satu dari penelitian-penelitian pertama pada wilayah ini, Alexander dan Ruderman pada tahun 1987 menggunakan sebuah daftar pertanyaan terhadap kira-kira 2.800 orang pegawai pemerintah federal. Mereka menemukan bahwa indeks-indeks dari penilaian-penilaian keadilan prosedural para pegawai ini secara signifikan berhubungan dengan ukuran-ukuran kunci semacam itu sebagai kepercayaan mereka terhadap manajemen, maksud dan tujuan untuk pergantian, penilaian/evaluasi terhadap pengawas mereka, pertentangan/keselarasan, dan kepuasan terhadap pekerjaan. Lagipula, dengan pengecualian pamrih pergantian, keputusan-keputusan keadilan prosedural dalam ukuran-ukuran tidak bebas ini diperhitungkan secara signifikan berbeda dibanding keadilan distributif. Rupanya, baik keputusan-keputusan keadilan distributif maupun prosedural adalah penting, meskipun masing-masing mungkin menjadi penduga bagi tindakan-tindakan yang berbeda. Gagasan ini sesuai dengan hasil penelitian Tyler yang dilakukan tahun 1984 terhadap evaluasi-evaluasi para terdakwa terhadap pengalaman-pengalaman ruang pengadilan mereka. Temuan-temuan dari penelitian ini mengungkapkan bahwa keadilan prosedural secara kuat berhubungan dengan tindakan-tindakan terdakwa terhadap sistem pengadilan, sedangkan keadilan distributif secara kuat berhubungan dengan kepuasan terdakwa terhadap putusan-putusan. Meramalkan kemungkinan dari temuan-temuan semacam itu, beberapa ahli menyimpulkan bahwa “keadilan prosedural secara khusus mempunyai pengaruh-pengaruh yang kuat terhadap tindakan-tindakan yang berkaitan dengan institusi atau otoritas sebagai yang berlawanan dengan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan hasil-hasil khusus”. Gagasan bahwa kepuasan sistem berhubungan dengan keadilan prosedural, sedangkan kepuasan hasil berhubungan dengan keadilan distributif adalah logis, sepanjang ini adalah sistem yang mempergunakan prosedur-prosedur dan hasil-hasil yang membentuk dasar bagi distribusi.
Gagasan ini telah menemukan dukungan dalam beberapa penelitian organisasional. Sebagai contoh, penelitian yang pernah dilakukan oleh Folger dan Konovsky pada tahun 1989, menemukan ukuran-ukuran keadilan prosedural dan keadilan distributif dipolakan setelah laporan-laporan diri yang menerima perlakuan adil yang diperoleh dalam penelitian survei open-ended saya (Greenberg, 1986a : 6). Ukuran-ukuran ini ditemukan berbeda dalam kaitannya dengan beragam kerja yang berhubungan dengan hasil-hasil dalam suatu cara yang serupa dengan data Tyler 1984. Tegasnya, persepsi-persepsi penggunaan prosedur-prosedur untuk menentukan upah menaikkan secara khas kontribusinya terhadap faktor-faktor semacam itu sebagai komitmen organisasional dan kepercayaan terhadap pengawasan, sedangkan persepsi-persepsi keadilan distributif secara unik berkaitan dengan kepuasan upah miik seseorang.
Hasil-hasil yang sejalan diperoleh dalam penelitian Fryxell dan Gordon pada 1989 tentang reaksi para pekerja terhadap sistem keluhan organisasional. Menggunakan sampel yang bermacam-macam, mereka menemukan bahwa ukuran-ukuran keadilan prosedural yang diterima dapat meramalkan kepuasan dengan sistem keluhan yang secara signifikan lebih baik dibanding ukuran-ukuran keadilan distributif. Lagipula, kepuasan terhadap kesatuan (yang membantu memberikan hasil-hasil yang diinginkan) secara lebih kuat berhubungan dengan persepsi-persepsi keadilan distributif dibanding kepuasan tehadap manajemen (yang menghalangi hasil-hasil yang diinginkan). Kecenderungan bagi keadilan prosedural untuk berhubungan dengan kepuasan sistem keluhan didorong oleh derajat yang mana hubungan-hubungan dengan kesatuan ditentukan dan dipaksakan. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Tyler pada 1986 dalam wilayah non-organisasional, Gordon dan Fryxell pada tahun 1989 melaporkan bahwa hubungan-hubungan antara keadilan prosedural dan kepuasan institusional (kepuasan sistem keluhan dalam kasus ini) meningkat ketika hubungan-hubungan organisasional ditetapkan (seperti sebagaimana di antara para pegawai di perusahaan agensi, yang mewajibkan pembayaran hak-hak secara seragam). Diambil bersama-sama, penelitian-penelitian ini membuat sebuah kasus yang kuat bagi peran-peran relatif keadilan distributif dan keadilan prosedural dalam meramalkan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan kerja. Meskipun persepsi-persespsi keadilan prosedural cenderung dihubungkan dengan penilaian-penilaian sistem organisasioal (khususnya di antara para pegawai yang secara tidak sengaja berhubungan dengan sistem), persepsi-persepsi keadilan distributif cenderung dihubungkan dengan hasil-hasil yang diterima.
1.7.2. Keadilan Syariah
Jika sumber-sumber daya merupakan suatu bentuk amanah dari Allah dan manusia akan mempertanggungjawabkannya di hadapan-Nya , maka tak ada opsi, kecuali menggunakannya dengan keadilan. Al-Qur’an dan as-Sunnah menempatkan penekanan tegas terhadap keadilan, menjadikannya salah satu tujuan pokok syariat. Persaudaraan, salah satu tujuan syariat pokok lainnya akan hampa sekiranya tidak diperkuat oleh keadilan dalam alokasi dan distribusi sumber-sumber daya yang telah diberikannya. Menurut Al-Qur’an, penegakan keadilan merupakan salah satu tujuan pokok Allah menurunjan para rasul (al-Hadiid:25). Al-Qur’an menempatkan posisi keadilan paling dekat kepada ketakwaan. Ketakwaan, dengan demikian, merupakan hal yang paling penting karena berfungsi sebagai batu loncatan bagi semua amal saleh, termasuk keadilan. Rasulullah saw. Menyamakan ketiadaan keadilan dengan “kegelapan mutlak” dan memperingatkan “takutlah kepada kezaliman karena kezaliman akan menyebabkan kegelapan pada hari kiamat”. Ini merupakan keniscayaan karena merupakan kezaliman menghapuskan persaudaraan dan solidaritas, mempertajam konflik, ketegangan dan kejahatan, memperburuk problem kemanusiaan, dan pada gilirannya akan mengantarkan kepada kegelapan di dunia dan azab di akhirat (Chapra,2001:56).
Islam memerintahkan keadilan dalam seluruh persoalan yang berhubungan dengan masyarakat manusia. Ajaran-ajaran Islam yang mendasar terkandung di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Pada masa Rasulullah dan Kulafaur Rasyidin, memberikan gambaran hidup mengenai pelaksanaan ajaran-ajarannya secara praktis. Pandangan Islam terhadap sebuah tatanan sosio-ekonomi dapat disimpulkan berkenan dengan ajaran-ajaran dasar tersebut dan catatan sejarah dari periode Islam yang pertama.
Menurut Al-Qur’an, tujuan utama Tuhan memberikan petunjuk melalui utusan-Nya adalah agar umat manusia mampu mendirikan keadilan, seperti firman Allah :
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan” (QS. 57:25).
Tuhan telah menciptakan manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi, seperti dalam firmanNya :
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS. 2:30)
Allah memerintahkan manusia untuk berlaku adil pada setiap orang, seperti dalam firman-Nya :
“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.5:8).
Tidak ada permasalahan yang lebih dekat hubungannya dengan konsep keadilan daripada ‘hak-hak asasi manusia’. Sumber hukum Islam yang pertama (syariah), yaitu Al-Qur’an, meletakkan elemen-elemen yang fundamental dari sebuah piagam hak-hak asasi manusia yang mana memiliki kekuatan mengikat, baik tanggungjawab moral maupun sistem hukum. Dan lebih lanjut, dilengkapi dengan sumber hukum Islam yang kedua, yaitu perkataan dan perbuatan Nabi SAW, yang biasa dikenal dengan sebutan Sunnah. Dengan menggabungkan keduanya, mereka menjanjikan penghilangan segala bentuk eksploitasi, penindasan, dan ketidakadilan (Iqbal, 1994).
Seluruh hak-hak asasi manusia yang diberikan oleh Islam didasarkan pada prinsip ‘kemaslahatan umum’ (al-maslahah-al-‘ammah). Hak-hak asasi manusia yang diberikan oleh Islam didasarkan pada prinsip ‘Kemaslahatan umum’ (al-maslahah al-‘ammah). Hak-hak asasi tersebut yang memiliki hubungan khusus dengan permasalahan kajian ini adalah sebagai berikut :
a. Hak untuk hidup. Kehidupan manusia adalah suci dan tidak dapat diganggu gugat, serta setiap usaha (karya) diciptakan untuk melindungi kehidupan manusia itu sendiri.
b. Kebebasan profesi (pekerjaan). Ada kebebasan untuk memasuki semua profesi yang diperkenankan oleh Islam.
c. Semua orang adalah sama di hadapan hukum dan berhak terlindungi oleh hukum sesuai dengan syariah.
d. Setiap orang berhak untuk memiliki harta kekayaan baik secara pribadi ataupun bekerjasama dengan pihak lain. Negara memiliki kekuasaan yang sah terhadap sumber-sumber daya ekonomi tertentu bagi kepentingan umum.
e. Kaum miskin berhak atas kekayaan kaum kaya sedemikian sehingga kebutuhan dasar setiap orang dalam masyarakat dapat dipenuhi.
f. Eksploitasi manusia pada tingkat tertentu, atau bentuk tertentu, ataupun dalam keadaan bagaimanapun juga adalah anti Islam dan harus diakhiri.
Kesejahteraan yang berkeadilan adalah komponen yang terpenting dalam tatanan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah.. Segi yang paling patut diperhatikan dalam skema kesejahteraan yang berkeadilan sebagaimana dipertimbangkan oleh Islam adalah adanya jaminan pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat, terlepas dari tahapan pembangunan sebuah negara. Hal ini menyiratkan secara tidak langsung pemberantasan yang sempurna terhadap apa yang disebut dalam literatur perekonomian mutakhir sebagai ‘kemiskinan absolut’. Aspek yang kedua dari kesejahteraan yang berkeadilan yang adalah berkaitan dengan pola umum pemerataan pendapatan di dalam masyarakat. Dalam hal ini, tinjauan Islam lebih fleksibel di mana garis pedoman untuk pola pemerataan pendapatan dan kekayaan yang diharapkan terkandung dalam AL Qur’an dan Sunnah, yang tertulis dalam ketentuan-ketentuan umum dan memperkenankan banyak sekali kebijaksanaan dalam menghadapi persoalan ini.
Desakan Islam terhadap pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh umat manusia harus dilihat dalam segi pandangan Islam mengenai tempat manusia di alam semesta. AlQur’an mengumumkan bahwa Tuhan telah memberi kehormatan pada anak cucu Adam dan telah membuat ketetapan hal-hal yang baik untuk mereka. Manusia merupakan wakil-Nya di muka bumi, dan adalah tugas manusia untuk menata urusan-urusan dunia dimana semua orang memiliki kewajiban untuk berbagi ‘hal-hal yang baik’ dari kehidupan. Tuhan telah menyediakan seluruh sumber-sumber daya yang diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan dasar umat manusia, apapun yang diciptakan di surga dan bumi, telah diciptakan untuk tunduk pada manusia. Sumber-sumber daya tersebut diciptakan oleh-Nya sebagai hadiah untuk seluruh umat manusia dan apa saja yang menjadi milik seorang individu akan diperlukan sebagai ’titipan’. Titipan ini tidak dapat dikatakan untuk dilepas kecuali jika masing-masing atau setiap orang cukup mendapatkan kepuasan sedikitnya kebutuhan dasarnya.
Kepercayaan agama Islam memberi tekanan pada sifat tidak kekalnya kehidupan manusia di bumi dan mendorong manusia untuk melakukan perbuatan yang baik demi keselamatannya di Akhirat. Namun demikian, amatlah ditentang penolakan terhadap dunia ini demi memperoleh kebahagiaan di Akhirat. Dengan jelas Al Qur’an menyatakan bahwa Tuhan menginginkan kemudahan bagi umat manusia dan bukannya kesukaran. Demikian sabda Nabi SAW dengan jelas menyatakan bahwa kemiskinan dan deprivasi (perampasan) bukanlah merupakan suatu kebaikan yang patut dihargai oleh Islam, dan setiap usaha mesti dilakukan untuk menghilangkan kemiskinan dan deprivasi tersebut.
Untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar bagi seluruh masyarakat, Islam menetapkan suatu prinsip bahwa kaum miskin memiliki ‘hak’ (haqq) atas pendapatan dan kekayaan para anggota masyarakat yang mampu. Menurut Islam, umat manusia adalah satu-satunya ciptaan Tuhan, dan seluruh manusia mempunyai hak yang sama untuk memperoleh makanan dari sumber-sumber daya pemberian Tuhan. Betapapun, untuk alasan tertentu, jika ada beberapa anggota persaudaraan manusia yang gagal memperoleh persediaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka dengan melalui usaha mereka sendiri, maka mereka berhak atas penghasilan dan kekayaan anggota-anggota lain.
Islam menggunakan baik peringatan moral maupun aturan hukum untuk menghilangkan kemiskinan dan deprivasi, sehingga kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat dapat dipenuhi sebagaimana mestinya. Sejumlah ayat dalam Al Qur’an menekankan kebaikan infaq, yaitu pemberian sukarela untuk kesejahteraan kaum miskin. Sebagai contoh, telah dinyatakan bahwa tidak ada perkara dimana manusia akan mencapai kesalehan kecuali jika ia dengan rela mengeluarkan kekayaannya dengan cara yang diatur oleh Tuhan untuk mereka yang melarat dan kaum fakir miskin. Bagi mereka yang melakukan infaq telah dijanjikan menjadi orang-orang pilihan yang memperoleh kenikmatan di surga. Nabi SAW sendiri menjadikan dirinya sebagai contoh teladan dalam banyak memberi untuk kesejahteraan kaum miskin. Beliau mendesak para pengikutnya agar saling mengungguli dalam memberi pertolongan kepada kaum miskin. Beliau juga tiada henti-hentinya mengingatkan para pengikutnya bahwa sebuah masyarakat yang gagal memelihara kebutuhan kaum fakir miskin tidak dapat dipandang Islami. Demikian beliau pun memberi peringatan kepada para pengikutnya apabila ada suatu tempat dimana seorang masih kelaparan di malam hari maka Tuhan akan meninggalkan mereka.
Islam sangat peduli bahwa kaum miskin mesti ditolong dengan cara tertentu yang tidak membuat harga diri mereka terluka. Cara yang terbaik untuk menolong orang miskin, maka seorang pengangguran disumbang dengan bantuan tertentu yang mampu membuat drinya berdiri sendiri. Al Qur’an memerintahkan orang untuk pergi dan mencari orang-ornag tertentu yang membutuhkan tetapi tidak membiarkan mereka mengulurkan tangan untuk meminta. Al Qur’an juga memberi peringatan bahwa derma menjadi kurang bernilai di hadapan Tuhan apabila derma tersebut diikuti dengan suatu tindakan yang melukai perasaan si penerima.
Islam mengakui bahwa masyarakat tidak berperilaku seragam dalam berbuat sesuai dengan ajaran moral untuk menolong kaum fakir miskin melalui sebuah sistem jaminan sosial yang sangat kuat. Islam memerintahkan negara bertugas menghimpun retribusi wajib yang dikenal dengan zakat dari hasil pendapatan bagian masyarakat yang mampu diperuntukkan bagi tujuan-tujuan tertentu dalam rangka menolong kaum fakir miskin yang dapat diperhitungkan secara jelas. Sistem jaminan sosial ini diatur dijaman Nabi SAW. dan berfungsi secara efektif pada periode Islam pertama dan dalam beberapa waktu tertentu pada periode berikutnya. Pada kenyataannya, catatan sejarah memperlihatkan bahwa terdapat beberapa contoh dalam periode ini dimana pada daerah-daerah tertentu tidak ditemukan seorang fakir miskin yang dipandang bisa memperoleh derma.
Para penguasa pada periode islam yang pertama sangat menyadari tanggungjawab mereka terhadap pemenuhan kebutuhan dasar seluruh warga negara. Keempat khalifah pertama yang berkuasa memerintah negara-negara Islam setelah wafatnya Nabi SAW. telah menganggap pemenuhan kebutuhan sebagai salah satu tujuan dasar dari kebijaksanaan negara. Dalam periode khalifah pertama, Abu Bakar, ada segolongan penduduk yang telah menolak untuk membayarkan zakat. Penolakan mereka untuk membayar zakat dipandang sebagai sebuah tindakan pemberontakan yang menentang negara sehingga tindakan yang bersenjata dilakukan untuk melawan mereka sampai mereka sependapat untuk membayar zakat. Khalifah kedua, Umar, juga sangat menyadari tanggungjawab ini sehingga ia mengumumkan: ‘Jika seekor unta mati tanpa perawatan di tepi sungai Eufrat, saya takut Allah akan meminta pertanggungjawaban saya terhadap hal itu. Para ahli fiqh Islam telah menulis secara mendalam mengenai prinsip pemenuhan kebutuhan. Mereka semua setuju bahwa secara umum pemenuhan kebutuhan merupakan kewajiban masyarakat bersama sehingga tak seorangpun yang dijumpai masih merasa kehilangan keperluan hidup yang mendasar. Sejumlah ahli fiqh Islam mempunyai suatu pandangan bahwa perlindungan hukum harus diberikan sesuai dengan prinsip pemenuhan kebutuhan sehingga setiap warga negara bisa melapor ke pengadilan agar mendapat jaminan pelaksanaan atas prinsip tersebut.
Para ahli fiqh juga telah membahas pertanyaan penting mengenai identifikasi kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi bagi seluruh warga negara. Al Qur’an dan sunnah telah berulang kali menekankan pemberian makanan kepada mereka yang sedang kelaparan, demikian pemenuhan kebutuhan gizi bagi setiap oarng harus diperhitungkan secara jelas untuk meringankan penderitaan kaum miskin. Adapun pemenuhan kebutuhan dasar lainnya yang menempati prioritas tinggi adalah pakaian dan perumahan. Para ahli fiqh Islam telah menjelaskan bahwa selain makanan, pakaian dan perumahan yang diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup, maka ada beberapa kebutuhan tertentu lainnya yang harus diperhatikan oleh masyarakat Islam. Literatur para ahli hukum membatasi perbedaan antara tiga jenis kebutuhan manusia dan diklasifikasikan sebagai daruriyyat (kebutuhan), hajiyyat (kesenangan) dan tahsiniyyat (kehalusan budi). Kebutuhan tidak saja termasuk hal-hal yang berkaitan dengan usaha untuk menjaga nafs (fisik luar manusia) melainkan juga hal-hal yang dapat melindungi din (agama), ‘Aql (intelek atau pikiran), nas (keturunan) dan mal (harta kekayaan). Hajiyyat meningkatkan kualitas kehidupan dan menghilangkan, baik penderitaan maupun kesukaran sementara tahsiniyyat menambah keindahan dan kecantikan hidup tanpa melampaui batas-batas yang berlebihan. Adalah pandangan para ahli hukum Islam bahwa merupakan tanggung jawab masyarakat bersama untuk menjamin pemenuhan daruriyyat dalam perkara apapun dan juga hajiyyat apabila sumber-sumber dayanya memungkinkan. Telah diakui bahwa karena perubahan-perubahan keadaan maka pembatasan terhadap tiga jenia kebutuhan yang disebutkan tadi tidak dapat berlaku secara terus menerus dari waktu ke waktu. Yang terpenting adalah jaminan pemenuhan kebutuhan dasar harus tersedia bagi setiap individu, bahkan ketentuan yang jelas terhadap kebutuhan dasar tersebut dan unsure-unsur pokok dim luar itu yang beragam dapat dipuaskan dalam waktu kapan saja, harus diputuskan sesuai dengan kondisi yang nyata dan standar hidup rata-rata sebuah Negara.
Terlepas dari usaha pembrantasan kemiskinan absulot dan uapaya pemenuhan kebutuhan dasari bagi seluruh umat manusia, maka pandangan islam terhadap sebuah tatanan sosio-ekonomi yang adil juga mempertimbangkan pola pemerataan pendapatan dan kekayaan. Al Qur’an dan Sunnah membuat penjelasan lebih lanjut bahwa Islam tidaklah mencari upaya pelenyapan semua bentuk ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan. Pada kenyataannya, hal tersebut memperlihatkan kehadiran perbedaan pendapatan tertentu sebagai bagian dari rencana Tuhan atas segala sesuatu. Al Qur’an mengemukakan bahwa Tuhan meninggikan kehidupan dan derajat social beberapa orang di atas orang-orang lain sedemikian sehingga ‘beberapa orang tersebut dapat menggunakan jasa orang-orang lain dalam pekerjaan mereka. Dalam perkataan lain, Islam menghargai perbedaan pendapatan tertentu sebagaimana mestinya demi kepentingan laju ekonomi yang lancar.
Islam secara tegas mencela ketidak merataan pendapatan yang ditimbulkan dari praktek – praktek yang eksploitatif. Akan tetapi, bukan berarti Islam menetang perbedaab pendapatan, selama pendapatan itu secara umum merupakan usaha yang jujur dari jenis kegiatan ekonomi yang beragam dan dibolehkan. Al Qur’an memerintahkan : ‘Berilah takaran yang penuh, dan janganlah menjadi orang-orang yang suka memberi sedikit (dari yang seharusnya), menunjukkan bahwa orang seharusnya mendapatkan kompensasi yang adil atas pekerjaan mereka sepadan dengan kecakapan dan usaha mereka. Walaupun Islam tidak menentang kebedaraan perbedaan pendapatan dan kekayaan tertentu di dalam masyarakat, Islam tetap tidak menyetujui kelaziman ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan yang menyolok. Al Qur’an berhati-hati terhadao ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan yang menyolok dimana dalam ayat 59 : 7 menyebutkan bahwa kekayaan diperbolehkan menjadi barang dagangan yang beredar diantara kaum kaya saja di antara kamu’ Ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan perilaku pribadi atau kebijaksanaan Negara, mempunyai orientasi redistribusi yang tegas. Keadilan social adalah salah satu aspek yang tidak dapat dicabut dari keimanan Islam, dan demikian pula ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan yang menyolok kecuali malah mengotori jiwa keimanan.
Patut diperhatikan bahwa bertentangan dengan desakan yang tetap terhadap pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh umat manusia dalam setiap keadaan dan waktu, maka Isalam tidak menetapkan standar yang kaku terhadap pemerataan pendapatan dimana seluruh masyarakat dalam semua umur harus menyesuaikan diri sebagaimana mestinya. Tidak ada konsep tentang batas-batas jumlah kekayaan individu meski norma-norma mengenai penghasilan dan pengeluaran kekayaan secara jelas telah ditetapkan. Tampaknya adalah tujuan Islam agar tingkat ketidak merataan pendapatan yang dapat diterima ditentukan oleh masyarakat mengingat hal ini berkaitan dengan keadaan mereka sendiri. Islam berupaya untuk meningkatkan sepenuhnya pemikiran saling ketergantungan fungsi pemanfaatan. Islam juga sama sekali mengutuk pemakaian kekayaan yang dibelanjakan secara berlebih-lebihan dan komsumsi yang menyolok. Kedua hal ini mencerminkan adapt istiadat sosial sebuah masyarakat dan memiliki hubungan yang penting dengan tingkat ketidakmerataan yang dapat diterima. Tidak ada cara apapun untuk menetapkan pemerataan pendapatan yang optimal kecuali jika cukup diketahui oleh adat istiadat social dari sebuah masyarakat. Betapapun, memang dapat dinyatakan secara umum bahwa adapt istiadat suatu masyarakat yang didasari oleh semangat al – ‘adl dan al – ihsan, yang diperintahkan oleh Al Qur’an dan Sunnah, dan sedikit bagian penduduk yang kaya memperturutkan konsumsi menyolok, maka semakin tinggi toleransi masyarakat terhadap ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan. Di lain pihak, semakin jelasnya deprivasi dipandang relative oleh sebagian penduduk sebagai hasil dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan konsumsi menyolok yang dilakukan oleh kaum kaya, maka semakin rendahlah toleransi masyarakat terhadap ketidakmerataan. Dengan memperlihatkan sepenuhnya kepedulian terhadap lesejahteraan para kaum miskin melalui pembrantasan kemiskinan absolute dan dengan memelihara ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan dalam batas-batas yang dapat diterima, maka periode Islam yang pertama memberikan demostrasi yang praktis mengenai tatanan ekonomi kesejahteraaan keadilan syariah (Ahmad, 1998 : 9).

















BAB 2
IMPLIKASI EKONOMI KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN SYARIAH DALAM EKONOMI GLOBAL
2.1. Kemiskinan dan Ketidakadilan
Setiap masyarakat manusia menggunakan sumber daya yang tersedia untuk menghasilkan sejumlah produksi yang akan didistribusikan dalam berbagai cara diantara para anggota. Kesejahteraan yang berkeadilan dalam ketetapan pemerintah terhadap produksi barang-barang dan jasa serta pemerataan hasil kotor nasional menjadi pusat perhatian sepanjang sejarah manusia. Meskipun teratur, namun kurang lebih pemerataan pendapatan yang tidak adil, dapat diamati diseluruh bagian masyarakat setiap waktu. Uraian gagasan dan kebijakan terhadap pemecahan masalah kemiskinan dan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan menempati sebuah spektrum besar. Uraian ini tersusun mulai dari dukungan perizinan untuk berperan secara penuh dalam kekuatan pasar bebas dengan sedikit campur tangan terhadap perusahaan swasta sampai pada pengawasan pemerintah yang sempurna terhadap produksi dan distribusi. Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah menguraikan keunggulan pendekatan yang menyolok terhadap permasalahan kemiskinan dan pemerataan pendapatan di masa lalu dan masa sekarang, dan bab ini diakhiri dengan sebuah identifikasi mengenai keunggulan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah terhadap masalah tersebut.
Sejak lama dalam sejarah manusia, sebagian besar proses produksi dan distribusi diatur oleh tradisi. Dalam masyarakat masa lalu yang terikat tradisi, adat istiadat dan keturunan merupakan faktor utama yang menentukan pembagian kerja masyarakat berkelompok terpaksa menjadi yang terpaksa menjadi masyarakat yang egalitar dikarenakan mereka harus memeperbaiki keadaan hidup sehari-hari dengan susah payah dan melalui usaha sendiri, dan mereka tidak mempunyai kemampuan memproduksi pertambahan ekonomi yang cukup besar sebagaimana yang tersedia oleh kelompok tertentu. Keadaan ini kemudian diikuti dengan masyarakat hortikultura sederhana yang sebagian besar berkembang di bagian Eropa, Timur Tengah, dan Asia tenggara. Kelompok mereka biasanya lebih besar, lebih produktif dan kurang egaliter (Lenski, 1966). Namun demikian, ketidakadilan jauh dari kenyataan jauh dari kenyataan karena tanah yang tersedia berlimpah-limpah dan sebagian besar materi yang diperlukan denagn mudah tersedia bagi semua.
Fakta pertama yang menandai ketidakadilan pendapatan dan kekayaan ditemukan dalam masyarakat holtikultura maju dimana awal perkembangan mereka dimulai di Timur Tengah sejak lebih dari enam ribu tahun yang lalu dan kemudian menyebar di lima benua terbesar. Karena kemajuan teknologi dalam holtikultura, maka besar kemungkinan untuk memproduksi lebih dari kebutuhan nafkah hidup seseorang. Pertambahan ini sebagian besar diambil oleh kepala suku yang secara relatif hidup dalam kesenangan yang lebih besar dan juga untuk membiayai sejumlah pegawai yang bergantung padanya. Lembaga perbudakan juga muncul dalam periode ini. Pelaksanaan pemberian hadiah istimewa oleh para kepala suku atau raja membangkitkan hak-hak yang istimewa bagi kaum bangsawan. Adapun di lapisan bawah terdapat kelompok terbesar yang merupakan masyarakat biasa, yang memproduksi pertambahan itu, dimana kelas-kelas yang diistimewakan bergantung untuk memperoleh kemudahan dan kesenangan hidup. Uang, yang pada saat itu dalam bentuk kulit kerang, dan ternak merupakan jenis-jenis baru dari berbagai aset nyata yang memudahkan penimbunan harta kekayaan dan perpindahannya dari generasi ke generasi berikutnya.
Masyarakat agraris, yang merupakan masyarakat yang lebih maju dari masyarakat holtikultura maju, bercirikan peningkatan yang lebih besar pada spesialisasi diperlukan untuk menunjukan secara tidak langsung adanya perkembangan perdagangan dan perniagaan, serta munculnya kelas pedagang yang khas. Masyarakat agraris di kebanyakan daerah banyak sekali memperlihatkan dengan jelas ketidakadilan sosial. Penguasa agraria kenyataanya menikmati hak-hak properti terhadap seluruh tanah dan bisnis yang berada dalam wilayahnya. Pelaksanaan hak-hak properti ini, melalui pengumpulan pajak, uang upeti, sewa dan jasa pelayanan, menjadi sumber penghasilan utama bagi kebanyakan penguasa agraria. Diperkirakan oleh berbagai cendekiawan bahwa sekelompok kecil penduduk yaitu tidak lebih dari 2 persen dari jumlah penduduk berbagi tanggung jawab pemerintah dengan mereka. Seringkali para penguasa menghadiahi anggota-anggota kelas pemerintahan sejumlah tanah milik yang luas atau pendapatan yang sesungguhnya diambil dari sekelompok kecil penduduk itu. Menurut barbagai kajian penelitian tertentu, ‘Keliahatan bahwa kelas-kelas pemerintahan di masyarakat agraria sedikitnya menerima seperempat pendapatan nasional negara –negara agraria, dan biasanya kelas pemerintah dan penguasa sama-sama menerima tidak kurang dari separoh. Dalam keadaan tertentu, gabungan pendapatan antara keduanya bisa mendekati dua pertiga dari jumlah keseluruhan (Lenski, 1966). Para petani, yang membentuk kelompok terbesar dari jumlah penduduk, hidup hampir mendekati tingkat yang cukup untuk menyambung hidup. Mereka juga menjadi sasaran dari kerja rodi atau kerja paksa. Di berbagai daerah tertentu, para petani dibatasi tanah oleh hukum dan adat kebiasaan. Para bangsawan feodal mengikat mereka dalam batasan-batasan yang menyeluruh, dalam sejarah ekonomi keadaan ini dikenal dengan perbudakan.
Keadaan ekonomi kaum miskin yang menyedihkan didalam masyarakat agraria menimbulkan berbagai protes dari para pembaharu sosial pada saat itu (Heilbroner, 1975:32). Ajaran agama-agama samawi seperti Yahudi, Nasrani dan Islam menyediakan dasar kritikan moral yang tegas terhadap keberadaan tatanan perekonomian. Pengaruh kemanusiaan yang kuat dari agama bervariasi dari abad ke abad dan dari daerah ke daerah. Implementasi pelaksanaan ajaran-ajaran Islam di jazirah Arab dan di antara wilayahnya pada periode Islam pertama, yang termasuk di dalamnya pengenalan sistem jaminan sosial Islam, telah menghasilkan perubahan yang menyolok terhadap nasib kaum miskin. Masyarakat Muslim memelihara bias egalitarian yang tegas untuk beberapa waktu tertentu (Taleqani, 1983:76-77), tetapi kemudian sehubungan dengan pengabaian ajaran Islam yang dilakukan oleh kedua kelompok baik penguasa maupun yang dikuasai, maka tanggungjawab pertama terhadap perbaikan penderitaan kaum miskin sangat berkurang dan sistem jaminan sosial yang diatur oleh negara menjadi tidak bermanfaat (Ahmad, 1998:68).
Zaman pertengahan memperlihatkan peningkatan ketidakpuasan para petani atas nasibnya dan perjuangan yang terus menerus untuk membebaskan mereka dari genggaman perbudakan. Para ahli sejarah mencatat ribuan pemberontakan petani pada periode ini di negara-negara Eropa dan daerah lainnya dimana mereka mendapat perlakuan penindasan yang kejam (Braudel, 1982:251-255).
Pada mulanya Revolusi Industri yang terjadi di negara-negara Eropa diiringi dengan keyakinan yang besar terhadap sifat baik perekonomian pasar bebas sebagaimana yang dicontohkan dalam filosofi laisses-faire. Inti dari filosofi ini adalah bahwa peranan kekuatan bersaing yang bebas dalam komoditi dan komponen pasar, tidak dirintangi oleh pengaruh hak masyarakat untuk bertindak, merupakan resep yang terbaik untuk kemajuan ekonomi. Pertumbuhan pasar kapitalis yang bersaing dalam fase-fase pertamanya ditandai oleh penderitaan masyarakat yang dahsyat. Nasib orang-orang tidak bekerja bahkan lebih buruk lagi. Dominasi laisses-faire meningkatkan sikap acuh tak acuh yang tidak berperasaan terhadap keadaan kaum miskin yang menyedihkan (Samuelson dan Nordhaus, 1985:49). Para ahli ekonomi terkemuka masa itu memperlakukan buruh dalam pandangan mereka sebagai bentuk komoditi lain yang harganya (upahnya) ditentukan oleh peranan kekuatan pasar yang bebas terhadap persediaan dan permintaan. Sikap umum terhadap kemiskinan pada masa-masa itu digambarkan dalam kata-kata sebagai berikut:
…kaum miskin dipandang sebagai obyek yang memalukan atau hina, bergantung pada kemanusiaan si pengamal, tetapi tidak pernah dipandang sebagai subyek peningkatan ekonomi melalui tindakan sosial. Beberapa orang memandang kaum miskinsebagai penderita yang tak disengaja dan dikarenakan nasib buruk...Yanglainnya berpendapat bahwa kaum miskin hanya dapat mempermasalahkan diri mereka sendiri terhadap tingkat kehidupan mereka yang rendah…Malthus (seorang ahli ekonomi terkemuka) bahkan mengusulkan penghapusan bentuk keringanan kaum miskin yang terbatas (yang muncul pada masa itu) dan menganjurkan agar kepala keluarga dididik…bahwasanya ia tidak mempunyai hak untuk menuntut porsi makanan terkecil dari masyarakat, kecuali untuk membayarkan usaha (kerja)nya secara adil. Sementara Malthus berkeinginan untuk menghentikan keringanan kaum miskin sehingga bisa menghapuskan jalan menuju kelaparan dan dengan demikian mengesahkan cara berpikirnya bahwa kaum miskin tak berguna, maka ahli lainnya melihat kemiskinan sebagai pemacu efisiensi buruh dan rangsangan untuk konformitas sosial…Sikap negatif yang sama diimpor oleh negara Amerika Serikat dimana para pengamat memandang kemiskinan sebagai hasil dari perbuatan jahat atau kemalangan individu, dan tidak pernah dipandang sebagai penderitaan ekonomi yang tersebar luas yang dihasilkan dari pelaksanaan sistem sosio-ekonomi itu sendiri sehingga diperlukan tindakan-tindakan sosial untuk menanggulanginya (Perlman, 1976:4-5).
Meskipun terdapat dominasi filosofi laisseez-faire pada periode itu namun beberapa suara bangkit menentang ketidakadilan sistem yang berdasarkan filosofi ini, dan terhitung berbagai reformasi sporadis terjadi dari waktu ke waktu. Di Inggris, misalnya, seorang tokoh pembangunan di tahun 1795 menyusun Hukum Speenhamland yang memberikan jaminan bahwa subsidi bantuan upah harus diberikan sesuai dengan skala harga roti, sehingga pendapatan minimum kaum miskin terjamin, terlepas dari penghasilan mereka (Polanyi, 1957:77-80). Namun demikian, hukum ini tidak lama bertahan dan telah dihapus pada tahun 1834.
Abad ke 20 menampilkan batasan yang besar dalam sejarah manusia sehingga masalah kemiskinan dan pemerataan pendapatan merupakan permasalahan terpenting yang menjadi perhatian di seluruh dunia. Abad ke 19 menjadi saksi ketidakpuasan pertumbuhan akibat kebijakan laisseez-faire gagal memberikan pemecahan yang efektif terhadap masalah kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Filosofi laisseez-faire hampir ditinggalkan secara menyeluruh di seluruh dunia selama abad 20. dan memberikan jalan pada dua pendekatan besar terhadap pembuatan kebijakan perekonomian yang digambarkan sebagai ‘sosialisme’ dan ‘kapitalisme yang dikelola’ dalam literatur ekonomi terakhir. Meski kedua pendekatan ini memiliki perbedaan yang substantif akan tetapi keduanya mewakili usaha perbaikan sosial melalui intervensi negara yang aktif (Ahmad, 1998:71).
Tujuan-tujuan sosialisme yang terkenal adalah menghapuskan kemiskinan dan mencipatakan sebuah negara yang melayani masyarakat, mengurangi ketidakadilan pendapatan dan kekayaan secara tegas serta perencanaan ekonomi yang memberi kesempatan kerja penuh dan stabilitas. Menurut Karl Marx, seseorang yang mempunyai reputasi baik dalam menjabarkan doktrin sosialis, tujuan-tujuan ini hanya dapat dicapai jika kapitalisme telah dirobohkan. Marx percaya bahwa sistem kapitalisme memiliki sifat kontradiksi yang berbelit-belit yang tak dapat dielakkan akan mengakibatkan kematiannya. Marx tidak meragukan kemampuan sistem kapitalis memprodksi peningkatan jumlah barang-barang dan jasa tetapi merasa bahwa akibat exploitasi kapitalis terhadap buruh, maka keadaan rakyat menjadi tak tertahankan lagi sehingga membangkitkan pemberontakan dan penggulingan sistem kapitalis. Kapitalisme akan diambil alih oleh sosialisme dimana seluruh alat-alat produksi dinasionalisasikan, seluruh pendapatan pribadi kecuali upah dihapuskan, dan para pekerja akan menerima upah dengan nilai yang penuh terhadap apa yang mereka produksi sedikit dari apa saja yang dicadangkan untuk simpanan masyarakat. Produksi dan distribusi barang-barang dan jasa akan dilaksanakan dengan cara yang direncanakan oleh badan-badan pemerintah. Menurut Marx, sosialisme, akhirnya akan memberikan jalan bagi komunisme dimana negara akan mengarah dan individu akan berperan dalam kehidupan umum, membangkitkan pendapatan masyarakat menurut kebutuhan daripada menurut kemampuan individu untuk memproduksi (Marx dan Engels, 1937).
Pandangan Marx terhadap pendirian sebuah masyarakat sosialis melalui penggulingan tatanan kapitalis secara revolusioner oleh kaum buruh tidak didukung oleh semua pemikir sosialis. Sebagai contoh, sosialis Fabian mempercayai bahwa sebuah masyarakat sosialis dapat dihidupkan melalui kemauan demokrasi dari masyarakat yang tidak puas terhadap cara kerja sistem kepitalisme (Shaw, 1908).
Para pendukung ‘kapitalisme yang dikelola’ mempunyai pandangan bahwa ketidakcakapan kapitalisme leisse-faire dapat diatasi dengan intervensi negara yang tepat tetapi tanpa mengorbankan segi-segi fundamental dari sistem kapitalisme. Mereka mengakui bahwa ada hal-hal tertentu dalam cara kerja mekanisme pasar bebas yang dapat mengakibatkan kegagalan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial dari masyarakat. Lingkaran siklus dari ‘ledakan dan kemerosotan ekonomi’ yang dialami oleh negara-negara industri pada abad ke 19 telah mengguncang keyakinan terhadap postulasi dasar ekonomi klasik bahwasanya perekonomian pasar yang bersaing telah terpasang dengan mekanisme yang memperbaiki sendiri sehingga dapat menghindari periode ledakan dan kemerosotan ekonomi yang berkepanjangan. Masa Depresi Berat di tahun 1930-an menghadapi pukulan terakhir terhadap keyakinan tersebut dan mengancam kelangsungan hidup kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi. Makro-ekonomi Keynes, yang mengganti peranan positif kebijakan moneter dan fiskal pemerintah sebagai pengganti leisse-faire, merupakan salah satu penyelamat kapitalisme. Para ahli ekonomi mengidentifikasikan sejumlah kasus lainnya, yang dijabarkan sendiri, tidak bisa beroperasi sebaik-baiknya untuk menghasilkan keuntungan sosial. Peranan yang tepat bagi pemerintah untuk menghadapi kegagalan-kegagalan tersebut juga menjadi bagian dari pemikiran ekonomi baru. Pengetahuan juga digunakan untuk menghadapi berbagai permasalahan yang berupa kemiskinan yang terus menerus dan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan yang nmenyolok serta perhatian yang meningkat diperlihatkan untuk mencari jalan dan cara yang lebih adil dalam membagi keuntungan pembangunan dibawah rezim kapitalisme yang dikelola.
Kebangkitan politik liberalisme di negara-negara Barat yang berekonomi maju menjadi faktor penting dalam masalah-masalah kemiskinan dan ketidakadilan pendapatan. Setelah peralihan abad, pemerintah dari negara ini tidak lagi berkeinginan untuk berkeinginan untuk membiarkan kekuatan pasar menentukan sendiri tingkat kesempatan kerja, produksi dan pendapatan. Mereka mendapatkan perlunya campur tangan dalam urusan-urusan ekonomi pada bagian yang cukup luas. Intervensi negara mengambil bentuk yang bragam seperti kepemilikan umum terhadap alat-alat produksi, pemanfatan kebijakan pajak secara aktif untuk mengurangi ketidak adilan pendapatan dan kekayaan, serta program-progarm kesejahteraan umum dan jaminan sosial yang memadai. Bias redistribusi yang ditekankan dalam kebijakan ekonomi di negara-negara tersebut dan kecemasan yang jelas terhadap kaum miskin menjadikan mereka memperoleh julukan ‘negara-negara persemakmuran’.
Negara-negara yang sedang berkembang atau dunia ke tiga yang mempunyai penduduk miskin terbesar di dunia, juga mengikuti sejumlah strategiyang beragam untuk mngurangi kemiskinan dan menurunkan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan. ‘ Kapitalisme yang dikelola’ menjadi kerangka kerja untuk perilaku kebijakan ekonomi di kebanyakan negra-negara ini. Secara umum dapat dikatakan, negara-negara Dunia Ketiga yang mengikuti model ‘kapitalisme yang dikelola’ tidak memiliki sistem jaminan sosial sebagaimana ditemui di negara-negara maju. Beberapa negara di Dunia Ketiga tidak mempunyai sistem jaminan sosial yang baik, sementara negara-negara lainnya mempunyai sistem jaminan sosial yang memberi batasan-batasan keuntungan tertentu terhadap kelompok-kelompok penduduk tertentu. Beberapa negara sedang berkembang memilih untuk mengikuti model pembangunan sosialis.
Dari sudut pandang manajeman ekonomi, dan khususnya dari sudut kebijakan untuk mengurangi kemiskinan dan menurunkan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan, maka negara-negara di dunia saat ini secara kasar dapat diklasifikasikan menurut tiga kelompok besar: (1) negara-negara kapitalis dengan sistem jaminan sosial yang baik, (2) negara-negara kapitalis tanpa sistem jaminan sosial atau mempunyai sistem jaminan sosial yang kurang baik, (3) negara-negara sosialis. Patut diperhatikan bahwa negara-negara yang memiliki sistem jaminan sosial yang berkembang baik semuanya merupakan negara-negara berkembang yang berpendapatan tinggi. Tidak ada negara-negara kapitalis yang berpendapatan rendah dan menengah yang mempunyai sistem jaminan sosial yang baik. Juga penting untuk dicatat bahwa bahkan diantara negara-negara yang dianggap kapitalis dan negara-negara yang dianggap sosialis pun, terdapat perbedaan besar dalam jenis-jenis kebijakan ekonomi dan pola pemerataan pendapatan.
2.2. Kelemahan Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan dan Keadilan Sosialis
Pemberantasan kemiskinan dan pencapaian pola pemerataan pendapatan yang sangat egalitarian merupakan tujuan sosialisme yang terbesar. Dalam teori ekonomi sosialisme, semua alat-alat produksi harus dibawah kepemilikan dan pengawasan negara. Pengalokasian sumber-sumber daya harus diselesaikan melalui keputusan administrasi daripada melalui mekanisme pasar. Koordinasi ekonomi diantara badan-badan negara yang berbeda-beda harus diberdayakan melalui sebuah sistem perencanaan yang komprehensif terutama berdasarkan anggaran belanja sumber daya material. Penghapusan kepemilikan kapitalis swasta terhadap alat-alat produksi diharapkan dapat menghasilkan sebuah pola pemerataan pendapatan yang adil. Model pembangunan sosialis pertama kali diperkenalkan di Russia pada tahun 1917. Sejak itu negara ini melaksanakan strategi pembangunan sosialis yang berbeda-beda. Periode awal ditandai dengan menasionalisasikan bank-bank dan industri –industri besar, pengkolektifan usaha tani, pemanfaatan kekuatan negara untuk membasmi kepemilikan tanah yang lebih subur oleh petani (‘kulaks’), cara hidup buruh yang teratur dan penekanan pada pembangunan industri berat. Era perencanaan yang komprehensif dimulai pada tahun 1928, dan sejak itu rencana lima tahun berturut-turut dimanfaatkan untuk membentuk langkah dan arah perubahan ekonomi. Dorongan kebijakan-kebijakan telah berhasil membuat Uni Soviet sebagai salah satu dari dua kekuatan terbesar di dunia dan menjadi negara yang sangat industrialisasi. Dengan menggunakan perencanaan yang komprehemsif memungkinkan negara menyediakan tingkat pekerjaan yang tinggi dan jaminan pendapatan pada masyarakatnya. Sistem jaminan sosial menjamin pendidikan yang gratis, pelayanan medis yang gratis, dan tunjangan pensiun bagi penduduk usia lanjut. Informasi mengenai perubahan pemerataan pendapatan di Uni Soviet agak sedikit. Sebagaimana diharapkan oleh negara yang sepenuhnya sosialis, maka penghapusan pendapatan dari para pemilik yang banyak harta kekayaannya menghasilkan penurunan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan yang berarti. Akan tetapi masih banyak perbedaan-perbedaan yang muncul diantara kelompok berpendapatan tinggi dan rendah. Menurut seorang analis, kesenjangan antara kelompok berpendapatan tinggi dan rendah di Uni Soviet pada tahun 1971 adalah satu berbanding tiga setengah (1:3,5), dan hampir satu pertiga dari keluarga-keluarga mempunyai pendapatan dibawah garis kemiskinan (Grutchy, 1977:523).
Selain Uni Soviet, model pembangunan sosialis dilaksanakan disejumlah negara Eropa Timur pada periode setelah Perang Dunia ke 2. Hingga tahun 1953, negara-negara ini sangat dekat berhubungan dengan Uni Soviet dan kebijakan-kebijakan ekonomi mereka hampir identik dengan kebijakan-kebijakan yang diterapkan di Uni Soviet. Lebih lanjut, negara-negara ini membuat lebih banyak kebijakan-kebijakan sendiri. Dan beberapa diantaranya mengadopsi sistem alokasi sumberdaya dan pengambilan keputusan produksi yang lebih fleksibel (Bornstein, 1973). Dua negara Eropa Timur, Hungaria dan Yugoslavia, bahkan memperkenalkan prinsip-prinsip perdagangan/pemasaran tertentu dalam kerangka kerja sosialis secra menyeluruh. Yugoslavia juga membuat sebuah permulaan yang penting dari sebuah sistem terpusat (sentraisasi) di tahun 1950-an dengan memperkenalkan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan secara kolektif oleh para pekerja (Elliott, 1985:408-429). Meski data-data mengenai perubahan-perubahan pola pemerataan pendapatan sedikit, informasi-informasi terbatas yang tersedia menunjukkan bahwa bagian kelompok miskin yang berjumlah 20 persen dari penduduk di negara-negara ini berkisar antara 6,6 sampai 11,2 persen sementara itu bagian kelompok kaya yang berjumlah 20 persen dari penduduk berkisar antara 34,3 sampai 40,7 persen. Juga telah dilaporkan bahwa dorongan kebijakan-kebijakan di negara-negara ini telah membantu menurunkan dan dalam perkara tertentu menghapuskan bentuk-bentuk yang buruk dari kemiskinan dan degradasi (Griffin, 1989:218-219).
Diantara negara sosialis lainnya, Cina patut dikemukakan secara khusus. Sebelum revolusi di tahun 1949, Cina pada dasarnya marupakan negeri feodal dengan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan yang menyolok. Sejak itu kebijakan pertmbuhan yang seimbang telah menghasilkan kemajuan industri yang besar. Pada mulanya Cina memiliki sistem ekonomi yang sangat terpimpin (terpusat) dengan mengkolektifikasikan pertanian dan secara ketat mengendalikan perindustrian. Meski demikian sistem pedesaan yang akrab diperbaikidalam tahun 1960-an untuk memulihkan beberapa insentifmaterial yang hilan akibat kebijakan kolektivisasi. Di tahun 1980-an, perusahaan industri negara telah otonomi yang lebih besar sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi dalam produksi mereka. Perbaikan-perbaikan terakhir diusahakan untuk meningkatkan bentuk-bentuk organisasi ekonomi yang bervariasi, dengan beberapa perusahaan negara desewakan kepada perorangan atau kelompok. Kebijakan yang lebih aktif didorong untuk menarik investor luar negeri untuk melakukan joint venture atau investasi yang eksklusif ke dalam perusahaan yang diperlukan untuk modernisasi ekonomi. Sebagai hasil dari penekanan pembatasan upah dan perbedaan gaji, maka pemerataan pendapatan di Cina lebih adil daripada di kebanyakan negara-negara sosialis lainnya. Meskipun negara ini tetap memiliki pendapatan perkapita yang rendah, akan tetapi kebijakan pemerataannya berusaha untuk menjamin kecukupan jumlah bahan makanan dan pelayanan sosial yang banyak ragam (Grutchy, 1977:628).
Filosofi sosialis telah mempengaruhi pengambilan keputusan ekonomi di sejumlah negara sedang berkembang. Meskipun, hanya sedikit diantara mereka yang memiliki sifat tatanan ekonomi sosialis yang pokok. Menurut seorang analis, hanya enam negara di Dunia Ketiga yang bisa diklasifikasikan sebagai sosialis ‘yang tak dapat dibantah lagi’. Negara-negara ini adalah Cina, Kuba, Kamboja, Mongolia, Korea Utara dan Vietnam. Fakta yang ada membuktikan bahwa, dibandingkan dengan negara-negara sedang berkembang lainnya, maka negara-negara yang disebutkan tadi tercatat menampilkan prestasi yang lebih baik, berkaitan dengan pengurangan kemiskinan dan penurunan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan (Griffin, 1989:194-225).
Meskipun negara-negara sosialis telah mencapai hasil-hasil penting dalam upaya mencapai pola pemerataan pendapatan yang lebih adil, akan tetapi mereka dikelilingi oleh sejumlah permasalahan yang agaknya memaksa mereka untuk melakukan permalaan yang penting bagi model pembangunan sosialis ortodoks. Tingkat pertumbuhan yang menurun, memperlambat langkah perubahan teknologi, birokrasi yang tidak efisien dalam cara kerja negara yang mengandalkan industri, dan ketidakpuasan konsumen terhadap persediaan barang-barang yang digunakan sehari-hari yang sedikit dan tidak tentu merupakan bidang perhatian terbesar. Walaupun beraneka ragam permasalahan individu di berbagai negara berbeda-beda, akan tetapi sesuatu telah muncul dalam pola pembaharuan ekonomi yang umum. Hal ini terdiri dari pergerakan yang menjauh dari pepengawasan ekonomi terpimpin yang sangat ketat menuju ekonomi yang berorientasi pasar desentralisasi yang meningkatkan hasil perusahaan dan manajemen pabrik, pemakaian yang lebih efektif terhadap insentif individu, dan perhatian yang lebih besar pada kesejahteraan konsumen. Pada saat yang sama, dikebanyakan negara-negarasosialis, masyarakat memperlihatkan ketidakpuasan terhadap sifat sistem polotik mereka yang otoriter yang telah mengingkari hak dan kebebasan polotik mereka sebagaimana ditemui dalam masyarakat yang pluralistik demokrasi. Hal ini diketahui merupakan ekspresi yang paling konkrit pada pergolakan polotik yang dapat disaksikan di beberapa negara Eropa Timur selama tahun 1989 terakhir dan awal tahun 1991. Perekonomian negara-negara ini sedang dalam keadaaan yang terus berubah dan jalannya peristiwa yang dipakai di masa depan masih belum ada kepastian.
2.3.Kelemahan Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan dan Keadilan Kapitalis
Di negara-negara kapitalis yang berpendapatan tinggi, kelancaran jaminan sosial dan egalitarianisme memperhatikan kontras yang sangat dengan pembangunan kapitalis di abad ke 18 dan 19. Sebenarnya, awal keredupan negara persemakmuran dibeberapa negara dapat dirunut kembali pada akhir abad ke 19 ketika Bismarck Jerman mensponsori asuransi kesehatan dan asuransi lanjut usia, sebagai reaksi defensif terhadap perkembangan pemikiran sosialis. Perintis lain dari negara persemakmuran yang modern adalah program kesejahteraan sosial yang dicanangkan Pemerintahan Liberal Di Kerajaan Inggris, berkembang di tahun 1908, program ini memuat asuransi sosial untuk kesehatan dan pengangguran, pensiunan, dan tunjangan bagi pekerja yang berpendapatan rendah melalui ketetapan undang-undang upah minimum (Schnitzer, 1987:153-154). Pengangguran yang berskala besar selama masa depresi berat di tahun 1930-an, memacu kebangkitan negara persemakmuran di negara-negara Barat. Setelah tahun 1929 Partai Demokrasi Sosial menjadi unsur terbesar dalam sistem politik di sejumlah negara Skandinavia, dan di bawah pengaruh dan bimbingan mereka, kebijakan ekonomi dinegara-negara ini menekankan orientasi pada kesejahteraan. Corak politik dari partai yang berkuasa di negara-negara maju kapitalis lainnya menjadi faktor terpenting dalam mengatur langkah kebijakan kesejahteraan sosial dalam periode waktu yang berbeda. Meskipun demikian, seluruh negara kapitalis yang berpendapatan tinggi telah mengembangkan dengan baik sistem jaminan sosial yang memberikan perlindungan dari ketidakkokohan sistem kapitalisme.
Ciri-ciri terpenting dari program jaminan sosial di negara-negara kapitalis maju adalah bahwa pada umumnya ia dirancang untuk semua warga negara, terlepas dari posisi keuangan seseorang. Fakta yang ada membuktikan bahwa program semacam ini telah banyak melakukan sesuatu untuk mengurangi kemiskinan. Akan tetapi, bahkan di negara-negara yang paling maju pun, kemiskinan belum dapat diberantas secara sempurna. Di negara Amerika Serikat, misalnya menurut survey tahunan yang terakhir dari Biro Sensus, pada tahun 1988 secara resmi ditemukan sekitar 13 persen dari penduduk berada dibawah garis kemiskinan. Berdasarkan studi penelitian yang baik mengenai profil kemiskinan di empat negara maju, sekitar 10 persen dari penduduk di negara-negara ini yang berada dibawah garis kemiskinan pada tahun 1973.
Dengan perubahan sifat kapitalisme selama abad ini, pembagisn pendapatan nasional yang adil menjadi tujuan nasional yang dipertahankan secara luas di negara-negara kapitalis maju. Namun demikian, masing-masing negara mempunyai pandangan yang berbeda-beda terhadap sejauh mana mereka harus menjamin tujuan ini. Sebuah studi di 1976 yang dilakukan oleh Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan mengenai ukuran pemerataan pengembalian pajak pendapatan pribadi disepuluh negara-negara industri, mengungkapkan bahwa Kerajaan Inggris dan negara-negara lainnya seperti Norwegia dan Swedia, yang mengikuti kebijakan-kebijaka yang lebih egaliter, memiliki sedikit ketidakadilan dalam pengembalian pajak pendapatan daripada negara-negara tertentu lainnya seperti Amerika Serikat, Perancis, dan Jerman. Tampak dalam banyak analisa bahwa bahkan setelah kedatangan ‘kapitalisme yang dikelola’, kebijakan ekonomi yang dikejar di banyak negara maju tidak menghasilkan kekuatan yang menyebabkan penurunan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan yang berarti. Menurut studi yang terperinci mengenai kecenderungan pemerataan pendapatan disejumlah negara, kelompok berpendapatan tinggi di dua negara maju yang berjumlah 20 persen berbagi 50 persen dari jumlah keseluruhan pendapatan negara. Menurut studi yang sama, kelompok berpendapatan renadah di 17 negara berkembang yang berjumlah 20 persen rata-rata berbagi 5,5 persen dari jumlah keseluruhan pendapatan negara (Kakwani, 1980:397-398).
Massa terbesar dari masyarakat yang dilanda kemiskinan hidup dalam yang dikenal dengan sebutan Dunia Ketiga. Kolonialisme adalah faktor terpenting yang mempertahankan masyarakat miskin di negara-negara Dunia Ketiga berada di bawah dominasi luar negeri. Setelah memperoleh kemerdekaan, negara-negara yang sedang
berkembang mengalami konfrontasi dengan ‘revolusi harapan yang memuncak’ sehingga mereka menggunakan usaha yang berani untuk mengatasi kemunduran ekonomi dan kemiskinan untuk memenuhi harapan-harapan itu. Beberapa negara ini mengikuti model pembangunan sosialis sementara negara lainnya mengkuti jalan kapitalisme yang dikelola. Pengalaman pembangunan negara-negara sosialis telah diceritakan sebelumnya. Pembangnan ekonomi dalam kerangka kerja kepitalis telah memberikan hasil yang beragam. Beberapa negara-negara yang sedang berkembang mencapai keberhasilan yang berarti dalam menurunkan angka dan proporsi penduduk yang hidup dalam kemiskinan dan dalam memperbaiki pola pemerataan pendapatan. Jenis pembangunan yang dijalankan oleh sejumlah besar negara, bagaimanapun, belum memberikan pengaruh yang kuat terhadap kemiskinan dan malah kenyataannya menghasilkan pemerataan pendapatan yang buruk (Griffin dan Khan, 1978).
Fakta yang ada memperlihatkan bahwa dalam periode setelah Perang Dunia ke 2 negara-negara sedang berkembang telah mencatat keberhasilan yang gemilang dalam usaha mereka untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan hasil kotor nasional. Telah dilaporkan bahwa ‘GNP per kapita negara-negara sedang berkembang tumbuh dengan tingkat rata-rata 3,4 persen setahun selama 1950-1975 atau 3 persen jika Republik Rakyat Cina diabaikan. Keadaan ini lebih cepat daripada negara-negara berkembang atau negara sedang berkembang yang tumbuh dalam periode sebelumnya yang sebanding dengan tahun1950, dan melampaui baik tujuan-tujuan yang remi maupun harapan-harapan pribadi’. Betapapun, disejumlah besar negara, pertumbuhan disertai dengan peningkatan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan. Disalah satu penelitian, yang meneliti data yang berkaitan dengan 43 negara-negara non sosialis setelah periode Perang Dunia ke 2, telah ditemukan bahwa sebagaiman dihasilkan oleh pertumbuhan ekonomi, bagian 60 persen dari kelompok penduduk miskin menurun secara relatif. Juga telah ditemukan bahwa di negara-negara yang lebih miskin pendapatan kelompok penduduk miskin yang berjumlah 40 persen turun secara absolut, dan bahwa penduduk ini mempunyai pendapatan yang rendah sebagaimana ketentuan yang absolut pada akhir dua dekade pembangunan daripada yang mereka miliki pada awal pembangunan. Data crosssectional mengenai pola pemerataan pendapatan di sejumlah negara yang dikumpulkan oleh Bank Dunia, telah beberapa kali memperlihatkan kembali ketidakadilan pendapatan yang menyolok. Menurut angka-angka ini, bagian 20 persen dari kelompok rumah tangga yang paling miskin dalam jumlah keseluruhan pendapatan berkisar antara 1,9 sampai 7,5 persen di 14 negara yang diliputi oleh studi sementara bagian 20 persen ari kelompok rumah tangga yang paling kaya berkisar antara 43,4 sampai 66,6 persen. Keterangan mengenai dimensi kuantitatif dari kemiskinan agak sedikit. Terdapat sangat sedikit perkiraan tentang ‘jurang kemiskinan’ dan perkiraan mengenai jumlah pensduduk dibawah ‘garis kemiskinan’ yang berbeda dari studi yang satu ke studi lainnya. Menurut salah satu studi, 35,6 persen dari penduduk di sembilan negara Asia yang meliputi oleh studi hidup dibawah garis kemiskinan. Persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan di tujuh negara Afrika yang diliputi oleh studi adalah sekitar 36 persen sedangkan angka untuk limabelas negara Amerika Latin adalah 13 persen. Angka rata-rata ini sedapat mungkin menyembunyikan perbedaan antar negara. Kemudian, di negara-negara Asia, proporsi penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan berkisar antara 1,21 sampai 41,33 persen dan di negara-negara Amerika Latin antara 0,93 dan 27,46 persen.
Presentasi yang sangat tidak seimbang dari negara-negara yang berbeda dalam upaya mengurangi kemiskinan dan menurunkan ketidakadilan pendapatan menjadi permasalahan pokok dalam berbagai diskusi yang mendalam diantara para ahli ekonomi dan sosiologi dalam tahun-tahun terakhir. Sampai pada tahun 1960-an telah diyakini secara luas bahwa harapan yang terbaik untuk penurunan kemiskinan yang segera adalah dengan memusatkan perhatian pada upaya mempercepat tingkat pertumbuhan ekonomi yang menyeluruh. Akan tetapi, analisa terhadap pelaksanaan pembangunan di sejumlah negara menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan yang tinggi tidak memberikan suatu jaminan bahwa keuntungan pertumbuhan tersebut akan turun mengalir kepada rakyat banyak. Hal ini membangkitkan pemikiran baru terhadap alternatif strategi pembangunan tetapi sedemikian jauh tidak ada kebulatan suara mengenai jalan terbaik yang sebaiknya diikuti.
Beberapa ahli ekonomi memiliki pandangan bahwa terdapat kekuatan sistematis yang mengatur perubahan pola pemerataan pendapatan seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan. ‘Hipotesa-U’ menyatakan bahwa pemerataan pendapatan akan memperburuk dalam tahapan pertama pertumbuhan tetapi akan memperbaiki tahapan selanjutnya. Alasan dibalik hipotesa ini adalah sebagai berikut. Pertumbuhan ekonomi melibatkan pergantian kegiatan-kegiatan dari sektor tradisional ke sektor moderen. Ketidak adilan dalm sektor tradisional lebih sedikit dari pada dalam sektor moderen. Sebagai mana sektor berkembang luas seiring dengan pembangunan, maka peningkatan berat badan pada bagian penduduk sektor moderen akan mempunyai arti peningkatan ketidak adilan pendapatan secara keseluruhan. Kemudian,pada tahapan pertumbuhan yang lebih tinggi, kecenderungan ini dibalikan dimana terdapat arus pendapatan yang lebih besar kepada kelompok yang berpendapatan rendah dengan makin bertambahnya sektor modern yang lebih luas. Berdasarkan hipotesa ini, diusulkan bahwa perhatian terpenting dalam strategi pembangunan seharusnya adalah untuk menekan akibat-akibat yang dihasilkan oleh proses modernisasi dengan tanpa terlalu banyak memperhatikan pola pemerataan pola pendapatan pada tahap awal pertumbuhan. Namun demikian, pendekatan ini kehilangan dukungan yang banyak dalam tahun-tahun terakhir. Telah dikemukakan bahwa ‘Hipotesa-U’ bukanlah sebuah hukum alam. Ia kurang memiliki dasar teori yang kuat dan memberikan perhatian yang tidak cukup terhadap peranan kebijakan untuk mempengaruhi lintasan waktu ketidakadilan. Banyak analis mengemukakan bahwa dorongan strategi pembangunan dan hasil struktur ekonomi lebih jauh mempengaruhi pemerataan pendapatan daripada income per kapita, dan ‘Hipotesa-U’ tidak membenarkan pengejaran kebijakan pemerataan pendapatan yang netral sebagai hasil pertumbuhan (Papanek, 1978).
Pembahasan strategi pembangunan yang luas dengan memusatkan perhatian pada permasalahan pemerataan pendapatan dikenal sebagai ‘redistribusi pertumbuhan’. Intisari dan strategi ini adalah untuk menggantikan tekanan pembangunan dari pembangunan yang menekankan pada pembagian manfaat-manfaat pertumbuhan yang lebih adil. Sebuah kerangka kerja kebijakan untuk strategi semacam ini telah lama dibahas dalam lingkungan akademis akan tetapi gagasan ini menjadi populer ketika pusat pembangunan penelitian Bank Dunia dibawah pimpinan Hollis Chenery menghasilkan kajian yang terperinci terhadap permasalahan tersebut. Kesimpulan utama dari kajian ini adalah bahwa perbaikan yang sangat berharga bagi sekelompok penduduk miskin yang berjumlah 40 persen selama periode waktu yang terus menerus adalah memungkinkan melalui sebuah kebijakan pola pengalihan investasi menurut kebutuhan mereka. Selama pendapatan yang rendah dihasilkan dari kurangnya modal fisik, akses pada infra struktur, dan masukan yang beraneka ragam, maka kebijakan pemerintah harus diarahkan untuk mengatasi rintangan-rintangan ini.
Pendekatan lain yang dibahas secara luas untuk memecahkan masalah kemiskinan dikenal sebagai pendekatan ‘kebutuhan dasar’. Intisari dari pendekatan ini adalah prioritas secara definitif terhadap pemenuhan kebutuhan dasar kaum miskin. Pendekatan ini dengan tegas dikemukakan oleh Organisasi Buruh se-Dunia (international Labout Organization/ ILO) pada tahun 1970-an. ILO telah menetapkan kebutuhan dasar dengan memasukkan ‘kebutuhan-kebutuhan minimum dari sebuah keluarga untuk dikonsumsi secara pribadi’, khususnya makanan, tempat berlindung (rumah) dan pakaian (sandang), serta ‘pelayanan-pelayanan penting lainnya yang disediakan oleh dan untuk masyarakat luas, seperti air minum yang sehat, kebersihan transportasi umum, serta sarana-sarana kesehatan dan pendidikan. Selain menguraikan pendekatan ini, ILO mengakui bahwa tujuan pemenuhan kebutuhan dasar dikebanyakan negara-negara yang sedang berkembang tidak bisa tercapai jika tanpa redistribusi pendapatan dan kekayaan yang substansial.
Meskipun terdapat perhatian yang lebih besar terhadap permasalahan kemiskinan dan pemerataan pendapatan di negara-negara yang sedang berkembang selama dua dekade terakhir bahkan lebih, namun kenyataannya kemajuan-kemajuan yang dicapai tetap saja mengecewakan. Walau beberapa negara telah mengubah berbagai cara dengan mengadopsi strategi pembangunan yang redistributif, akan tetapi berbagai perubahan dalam kebijakan-kebijaka sangatlah terbatas untuk memberikan hasil-hasil yang berarti. Besarnya usaha yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah kemiskinan dapat dinilai dari hasil-hasil pelaksanaan simulasi yang diadakan oleh ILO pada tahun 1970-an dan diterbitkan pada tahun 1976. Dalam salah satu perhitungannya, diperkirakan bahwa nilai GNP akan naik secara terus menerus sebesar 6 persen setiap tahun dan jumlah penduduk diberbagai daerah akan meningkat secara lamban sesuai dengan perkiraan PBB. Diketahui bahwa bahkan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasar yang ditaksir secara hati-hati selama periode 30 tahun, maka bagian dari 20 persen kelompok paling miskin dari penduduk akan lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan dengan bagian dari mereka pada tahun 1970-an di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang, dan pada umumnya di negara-negra tropis Afrika bagian dari kelompok miskin akan meningkat 3-4 kali. Keseluruhan jumlah redistribusi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar akan menjadi semakin lebih besar jika tingkat pertumbuhan GNP dipastikan kurang dari 6 persen setiap tahunnya.
Perdebatan mengenai bentuk dan cara penanggulangan masalah kemiskinan dan pemerataan pendapatan masih berlanjut tetapi sekarang secara umum diakui bahwa tidak akan ada harapan untuk memberantas kemiskinan jukalau strategi pembangunan menetapkan redistribusi yang bias. Beberapa analis menyatakan sikap pesimis mereka tentang kemungkinan mengadopsi strategi-strategi tertentu, karena mereka sangat meragukan kesediaan kelompok berpendapatan tinggi untuk melakukan pengorbanan yang dibutuhkan. Beberapa analis lainnya menaruh harapan pada kekuatan ‘koalisi berbagai kepentingan’ karena mereka melihat beberapa keuntungan yang dicapai dalam melaksanakan strategi distribusi, meskipun kenyataan menunjukkan bahwa beberapa bagian diantaranya menghasilkan kegagalan yang relatif. Berbagai penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF mengenai masalah-masalah pembangunan, juga memperlihatkan kebutuhan terhadap komitmen pemerintah yang kuat untuk mencari solusi yang efektif dalam upaya memecahkan masalah kemiskinan.
2.4. Keunggulan Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan dan Keadilan Syariah
Setelah meninjau kembali berbagai pendekatan terkemuka terhadap permasalahan kemiskinan dan pemerataan pendapatan di masa lalu dan masa sekarang, maka dianjurkan sekarang untuk mengalihkan pandangan pada pengidentifikasian keistimewaan pendekatan Islam yang khas terhadap masalah kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Kerangka kerja kebijaksanaan terhadap upaya memberantas kemiskinan dan menurunkan ketidakadilan pendapatan, sebagaimana disimpulkan dari ajaran-ajaran Islam, telah dikemukakan pada bab sebelumnya. Berbagai komponen yang beragam dari kerangka kerja kebijaksanaan ini beriisikan konsep-konsep keTuhanan yang secara langsung berkaitan dengan struktur dasar masyarakat yang memperlihatkan skema pemerataan dan distribusi yang nyata di dalam masyarakat.Jika seorang mencari ciri-ciri yang istimewa dari struktur dasar masyarakat, maka elemen-elemen yang dominan bersandar pada konsep manusia tentang ‘perwalian’. Melalui konsep perwalian ini, Islam mencoba untuk mengilhami para pengikutnya dengan rasa tanggung jawab yang kuat terhadap kesejahteraan setiap orang dimasyarakat. Inti dari konsep perwalian ini adalah bahwa Tuhan adalah pemilik segala sesuatu yang ada di dunia, dan apa yang dipegang oleh manusia sebagai barang milik mempunyai sifat sebagai titipan yang diberikan atas kehendak Tuhan. Jika konsep ini mengendap dalam jiwa manusia maka akan jelas akan mendatangkan tatanan sosio-ekonomi yang adil dan kesamarataan. Betapapun, Islam tidak hanya membatasi pada pengajaran prinsip-prinsip etika. Islam memanfaatkan kekuasaan negara, sepanjang dianggap perlu, untuk menjamin keadilan di seluruh hubungan manusia, dan hal ini termasuk keadilan ekonomi, dalam pengertian dimana masyarakat terbebas dari kemiskinan dan kekacauan akibat ketidakadilan pendapatan dan kekayaan. Garis-garis pedoman untuk semua perbuatan individu dan negara diambil dari Al Qur’an dan perkataan dan perbuatan Nabi SAW yang dikenal sebagai sunnah. Pendekatan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah terhadap pemberantasan kemiskinan dan penahanan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan dalam batas-batas tertentu dengan demikian merupakan paduan elemen-elemen etika, sosial-politik dan yuridiksi, yang diambil dari sumber-sumber agama, yang berbeda dengan pendekatan-pendekatan lainnya yang tidak dikelilingi oleh ajaran-ajaran agama tertentu.
Fakta bahwa pendekatan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah terhadap upaya pemberantasan kemiskinan dan penurunan ketidaladilan pendapatan dan kekayaan didasarkan pada ajaran-ajaran agama, sedangkan pendekatan-pendekatan lainnya menggambarkan hasil pemikiran keduniaan tidak berarti bahwa tidak ada hal-hal tertentu yang sama antara pendekatan Islam dengan pendekatan-pendekatan lainnya. Apabila tujuan akhirnya adalah sama, maka terdapat beberapa kesamaan antar sistem. Beberapa uraian kebijaksanaan pemberantasan kemiskinan dan penurunan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan sebagaimana disimpulkan dari ajaran-ajaran Islam, mendapatkan imbangan dari pendekatan-pendekatan lainnya. Betapapun, meski ada beberapa kesamaan, namun pendekatan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah memiliki kekhasan tersendiri, dan merupakan sistem yang berdiri sendiri.
Islam berbagi dengan sosialisme dalam permasalahan pemerataan pendapatan dan kekayaan yang adil (merata). Akan tetapi, sangatlah ditentang beberapa alat-alat kebijakan yang dianjurkan oleh filosofi sosialis pada penghapusan harta milik pribadi dan pengsosialisasian alat-alat produksi tidak seimbang dengan keunggulan perusahaan swasta dalam sistem Islam. Islam melekatkan kepentingan yang besar terhadap kebebasan individu dan perlindungan terhadap kehormatan manusia. Hal ini mengharuskan alat-alat produksi tidak dimonopoli oleh negara dan masyarakat bebas untuk menggunakan seluruh kegiatan yang diizinkan menurut kecenderungan dan pilihan mereka sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara sosialis itu sendiri mulai menyadari kekurangan dari penghapusan harta milik pribadi, dan dalam hal ini berbagai perubahan yang berarti disejumlah negara tercipta dengan meliberalisasikan kebijakan-kebijakan mereka.
Perbedaan Islam dan sosialisme tidak hanya pada kepemilikan dan pengontrolan alat-alat produksi; keduanya juga memiliki perbedaan yang tajam dalam pusat kekuasaan perekonomian, sistem motivasional dan proses-proses social untuk mengkoordinasikan perekonomian. Negara sosialis memiliki kebebasan yang tak terkekang dalam merancang kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka untuk mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan. Namun, dalam Islam, kekuasaan yang dilaksanakan oleh negara tidaklah tidaklah mutlak. Menurut Islam, kedaulatan adalah milik Tuhan. Dengan demikian, kekuasaan negara hanya bisa dilaksanakan berdasarkan norma-norma yang digariskan oleh shari’ah. Berkaitan dengan hal ini, beberapa ukuran yang telah diadopsi dari sejarah sosialisme untuk memberantas kemiskinan dan menurunkan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan gagal mendapatkan legimitasi dalam kerangka kerja Islam. Misalnya, cara hidup yang digunakan oleh negara sosialis tertentu untuk mengakhiri pengangguran dan kemiskinan tidak bisa dibuat sebagai bagian dari strategi Islam untuk memberantas kemiskinan karena Islam menentangnya. Demikian pula, pemerataan pendapatan fungsional, yang dalam negara yang berdasarkan system Islam pada dasarnya ditentukan oleh kekuatan pasar meski negara diharapkan untuk campur tangan setiap kali mempertimbangkan keadilan social memerlukan intervensi tertentu.
Filosofi sosialis tidak banyak bersandar pada instink filantropi manusia untuk membantu upaya pemberantasan kemiskinan dan penurunan ketidakadilan pendapatan. Sosialisme tanpa ragu-ragu menyatakan secara langsung penerimaan tanggungjawab kolektif untuk memberantas kemiskinan dan menyetujui prioritas yang tinggi terhadap keringanan penderitaan dan ketidakberuntungan masyarakat. Akan tetapi, secara eksklusif ia bersandar pada alat negara untuk mencapai tujuan ini. Di lain pihak, Islam mewajibkan peranan infaq yang menonjol (pemberian sukarela demi kesejahteraan kaum miskin) dalam memperkuat pola pemerataan pendapatan. Islam menerpakan system yang menitikberatkan motivasi yang tajam, berdasarkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan, untuk menciptakan dorongan terhadap kelompok masyarakat yang berlebih untuk memberi amal kesejahteraan. Selain menolong mengatasi masalah kemiskinan dan pemerataan pendapatan, pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan rasa solidaritas social, sedangkan tujuan pendekatan sosialisme adalah murni mekanisitik dan impersonal.
Proses-proses sosial untuk mengkoordinasikan ekonomi juga menandai perbedaan antara kedua system. Negara sosialis mempengaruhi kebijaksanaan mereka melalui system perencanaan terpimpin yang komprehensif dan mengembangkan mesin birokratis yang terperinci, walau ada juga beberapa contoh sosialisme desentralisasi dan mereka banyak melakukan upaya memperbarui system untuk memindahkan kekuasaan dan menyebarluaskan kekuatan dan tanggungjawab. Komoditas produksi campuran ditentukan secara umum oleh kekuasaan negara dan dapat berbeda-beda tergantung dari pilihan-pilihan konsumen. Harga komoditas dikontrol. Perbedaan upah didalam masyarakat sosialis juga ditentukan oleh para penguasa negara, dan dengan demikian tidak banyak diperlukan kebijakan fiscal dan moneter untuk memberi perubahan yang diinginkan dalam pola pemerataan pendapatan. Di lain pihak, dalam system Islam keputusan produksi pada dasarnya tidak diatur oleh kekuatan perencanaan yang terpusat, tetapi meresponsi permintaan konsumen meskipun mungkin ‘kedaulatan konsumen’ agak terbatas jika perintah-perintah Islam sangat dituntut. Harga- harga komoditas ditentukan oleh factor-faktor persediaan dan permintaan, dan pemakaian control harga tidaklah disukai kecuali dalam keadaan yang luar biasa. Perbedaan upah secara umum ditentukan oleh kekuatan pasar. Kekuatan pasar diperkenankan untuk beroperasi dalam komponen pasar yang lain meskipun negara diharapkan untuk campur tangan bila pasar menghasilkan penderitaan bagi kelompok penduduk miskin dan berjalan berlawanan dengan tujuan-tujuan sosio-ekonomi yang lain. Berbeda dengan kedudukannya dalam negara sosialis, maka kebijakan mengenai moneter dan fiscal dalam perekonomian Islam diharapkan memainkan peranan penting dalam menghasilkan perubahan-perubahan yang diinginkan terhadap pola pemerataan pendapatan.
Pendekatan ekonomi kesejateraan dan keadilan syariah terhadap pemberantasan kemiskinan dan penahanan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan dalam ‘batasan-batasan yang diterima’ memiliki keunggulan tertentu yang membedakannya dengan pendekatan yang diterapkan dalam sistem perekonomian kapitalis untuk menanggulangi permasalahan kemiskinan dan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan. Keunggulan yang paling membedakan adalah bahwa pendekatan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah terhadap pemberantasan kemiskinan merupakan sifat perintah dari sistem jaminan sosial Islam. Al Qur’an menyatakan:
Artinya : “Ambillah zakat dari kekayaan mereka, dimana dengannya akan membersihkan dan membuat kekayaan mereka bertambah…” (QS . 9 : 103)
Keunggulan sistem jaminan sosial Islam yang utama, sebagaimana mengambil bentuk dari masa periode Islam yang pertama, yaitu masa Rasulullah dan Kulafaur Rasyidin. Para ahli hukum menyetujui bahwa, terlepas dari tahap pembangunan sebuah negara dan income per kapitanya, ajaran-ajaran Islam mengikatkan negara untuk mengelola sistem jaminan sosial dengan suatu pandangan yang dapat memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tetap tercabut dari keperluan hidup yang mendasar. Tidak ada kekuatan tertentu yang memaksa didalam filosofi kapitalis mengenai pembangunan. Sejarah kapitalisme memperlihatkan bahwa hingga seperempat abad ini, negara-negara kapitalis yang berkembang bahkan tidak berpikiran untuk membuat sistem jaminan sosial yang komprehensif. Malahan sekarang perasaan umum yang nampak adalah bahwa hal tersebut merupakan kemewahan yang hanya dapat dicapai oleh negara-negara yang sangat kaya saja. Dan meskipun berkembang perhatian yang semakin besar terhadap kaum miskin, namun kenyataan yang ada menunjukkan bahwa negara-negara kapitalis tetap tidak memiliki ‘perlindungan yang aman’ bagi kaum miskin.
Sistem jaminan sosial yang telah dilembagakan dinegara-negara yang sangat berkembang selama abad ini memperoleh sejumlah dukungan pada saat itu. Akan tetapi, tidak seperti sistem Islam (Syariah), sistem jaminan sosial tersebut tidak berdasarkan pada kesucian agama apapun sehingga manfaat yang mengalir kepada kelompok masyarakat yang miskin tidak diterima dengan sebenarnya. Pada kenyataannya, berbagai lobi muncul dari kelompok yang lebih menyukai adanya penghentian sistem jaminan sosial. Kelompok-kelompok politik yang berpengaruh disejumlah Negara industri yang berkembang mendukung penurunan jangkauan bahwa disejumlah Negara yang memiliki system jaminan sosial yang baik tidak ditemukan komitmen pemerintah yang tegas bahwa setiap orang yang membutuhkan akan memperoleh jaminan penghasilan minimum. Bertentangan dengan hal ini, dalam system Islam, setiap manusia harus mendapat jaminan tingkat kehidupan minimum, dan banyak ahli hukum mempunyai pandangan bahwa perlindungan yang sah harus diberikan sesuai dengan prinsip pemenuhan kebutuhan sehingga setiap warganegara bisa mengadu ke pengadilan untuk memperoleh pelaksanaan prinsip ini.
Keistimewaan sistem jaminan sosial Islam yang khas lainnya adalah bahwa syariah menitikberatkan secara khusus pemberantasan kemiskinan, sedangkan program-program jaminan sosial negara-negara kapitalis maju dirancang untuk seluruh warga negara, tanpa memperhatikan posisi keuangan mereka masing-masing. Barangkali karena alasan inilah sehingga meskipun bentuk program-program jaminan sosial tersebut berukuran luas, akan tetapi kemiskinan tidak terberantas secara sempurna dinegara-negara ini. Program jaminan sosial dinegara-negara kapitalis maju secara umum terstruktur sebagai sebuah sistem yang bersifat kesejahteraan dan jaminan. Dalam kebanyakan permasalahan, sifat jaminan jauh lebih berbobot daripada sifat kesejahteraan. Banyak analis memiliki pandangan bahwa dinegara-negara kapitalis maju, kaum miskin menerima transaksi yang relative sedikit dari masyarakat, dan sejumlah uang yang sangat besar diredistribusi oleh tindakan pemerintah yang mencerminkan transaksi ‘ulang alik’ diantara kelompok berpendapatan menengah (Siddiqi, 1988:251-286).
Sifat yang sangat istimewa dari sistem jaminan sosial Islam adalah bahwa ia mencoba untuk memberantas kemiskinan melalui sebuah pendekatan yang multi cabang dan tidak hanya membatasi dirinya pada mendermakan uang kepada kaum miskin untuk penyambung hidup belaka. Pada kenyataannya, system ini dirancang menurut sifat alamiah dan apat menggunakan cara-cara yang beragam untuk mencegah kemiskinan dan menghilangkan penderitaan yang disebabkan oleh kemiskinan. Sejarah masa periode Islam yang pertama memperlihatkan bahwa system jaminan social bahkan dibayarkan untuk biaya perkawinan bagi orang-orang yang benar-benar dalam kesusahan dan juga untuk membayarkan hutang seseorang yang sudah meninggal. Penekanan dititikberatkan pada pemanfaatan sistem jaminan social untuk menolong orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan dengan memberikan aset modal kepada mereka agar mereka memperoleh penghasilan hidup. Berbagai studi tentang program system jaminan social di negara-negara kapitalis maju menunjukkan bahwa penekanan utama dari program-program tersebut adalah pada ‘pemberian kompensasi bagi orang-orang yang tidak bekerja’ daripada menolong orang-orang yang secara tak sengaja menganggur dengan memberi pekerjaan yang menguntungkan (Ornati. 1966:115-119).
Bagian terbaik dari program sistem jaminan sosial yang dilaksanakan dinegara-negara kapitalis maju adalah ia dibiayai oleh pajak penghasilan. Untuk kebanyakan ahli waris, bagian yang terbaik pada dasarnya adalah program pension, yang baik pengusaha maupun pekerja turut mengambil andil dalam pembiayaan program. Pajak yang dibayarkan oleh kelompok kerja digunakan untuk membayar para pensiunan. Artinya bahwa, setiap generasi dari pekerja memberikan bantuan pada kelompok non-kerja atau yang tidak memenuhi syarat untuk bekerja secara mutlak menginginkan perlakuan yang sama. Sifat system jaminan social Islam mempunyai cirri yang berbeda. Unsur pension sama sekali tidak diperhitungkan. Ataupun sifatnya sebagai rencana simpanan sumbangan wajib bagi masa depan. Sistem jaminan sosial Islam hanya mencerminkan dana solidaritas dimana dana tersebut diperoleh dari bagian kelompok penduduk yang berlebih (kaya) dan diperuntukkan membantu mereka yang fakir miskin. Kebaikan yang memenuhi syarat dari system jaminan sosial Islam tidaklah bergantung pada seseorang yang lazim memberikan sumbangan terhadap pembiayaan system ataupun kebaikan yang diterima tidak berkaitan dengan sumbangan utama seseorang.
Sistem jaminan sosial Islam bertujuan untuk mencegah dan mengatasi kemiskinan. Akan tetapi, hanya ada satu unsur dari kerangka kerj kebijaksanaan yang dilaksanakan Islam untuk menghadapi permasalahan ini. Beberapa unsur dari paket kebijaksanaan yang dibahas, semuanya bertujuan untuk menolong upaya memberantas kemiskinan.
Selain memberantas kemiskinan, memelihara pemerataan yang adil juga berada dalam urutan yang paling tinggi dalam prioritas social dari ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah. Keistimewaan pendekatan ekonomi kesejateraan dan keadilan syariah yang paling khas adalah memuat ‘batasan-batasan yang diterima’ dalam ketidakadilan pendapatan dan kekayaan dimana ukuran pemerataan atau redistribusi dirinci secara tegas menurut syariah (pedoman yang diberikan oleh Al Qur’an dan Sunnah) yang wajib dilaksanakan, ukuran lainnya yang dipakai harus tidak melanggar ajaran-ajaran Islam dan harus tidak melanggar ajaran-ajaran Islam dan harus memenuhi persyaratan al-adl (keadilan). Juga patut diperhatikan bahwa untuk mencapai tujuan pemerataan yang adil, Islam tidak mengandalkan badan pemerintahan sendiri tetapi mencoba untuk mengaktifkan kesadaran moral manusia untuk bertindak adil terhadap sesamanya dan menolong orang-orang yang membutuhkan dengan semangat persaudaraan yang universal.
Secara khusus sistem ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah mengamanatkan negara untuk melembagakan pungutan khusus yang dikenal dengan zakat yang diperolehnya hanya dapat digunakan untuk tujuan-tujaun yang telah ditetapkan. Selama ruang lingkup zakat adalah pada kelompok penduduk yang kaya dan perolehannya diutamakan dikeluarkan untuk memberantas kemiskinan selama masih ada kemiskinan, hal ini berlaku sebagai tujuan redistribusi. Secara luas, zakat dikeluarkan untuk bentuk aset-aset yang produktif, sehingga perolehan zakat membri peningkatan pendapatan bagi kelompok penduduk miskin.
Pemerataan harta kekayaan orang yang meninggal sesuai dengan hukum warisan secara tegas dinyatakan dalam syariah berjasa untuk menurunkan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan setiap waktu dalam masyarakat Islam. Keistimewaan hukum warisan Islam bersandar pada kenyataan bahwa, jika dibandingkan dengan hukum warisan dan adat istiadat yang lazim dibanyak masyarakat lainnya, maka hokum warisan Islam menghasilkan penyebaran penumpukan kekayaan yang meluas.
Ajaran-ajaran Islam sangatlah melarang semua bentuk transaksi yang berdasarkan bunga. Pelarangan ini menyingkirkan kemungkinan bentuk pertambahan kekayaan apapun terhadap pemilik modal uang, kecuali jika pemakaian modal tersebut menciptakan pertambahan kekayaan. Eksploitasi terhadap kelompok penduduk yang lemah oleh penyewa uang pribadi, yang memungut tingkat bunga yang sangat tinggi, tidak dapat dibenarkan dalam ekonomi kesejateraan dan keadilan syariah yang harus mengadakan ketetapan alternative untuk memenuhi kebutuhan keuangan dari seluruh bagian masyarakat sesuai dengan cita-cita Islam yang ideal terhadap keadilan sosial.
Islam menguraikan sejumlah keistimewaan hukum keluarga, yang diantara hukum-hukum lainnya berbeda, memberikan hak yang sah bagi kerabat dekat tertentu untuk menuntut bantuan pemeliharaan dari mereka yang berada dalam posisi baik untuk menolong. Ajaran-ajaran Islam mendorong manusia untuk membantu secara sukarela kerabat-kerabat mereka yang miskin dan apabila ajaran ini diabaikan, maka pengadilan berwenang untuk menyelenggarakan bantuan perlindungan yang layak.
Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah menerapkan pendekatan yang khas dalam mengatur hasil keuntungan dari berbagai faktor-faktor produksi untuk meningkatkan pemerataan yang adil. Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah menolak keuntungan apapun yang diperoleh dari modal uang kecuali jika pemilik modal bersedia berbagi resiko bisnis (usaha) yang berasal dari modal tersebut. Berbagi laba/rugi dipandang sebagai sistem yang lebih adil. Ajaran-ajaran Islam menekankan bahwa buruh harus dijamin dengan ‘upah yang adil’ yang melindungi martabat manusia. Negara diharapkan untuk turut campur tangan setiap kali pemilik factor produksi tampak mengeksploitasi pihak yang lemah dalam proses produksi.
Ajaran-ajaran Islam menguraikan dengan agak terperinci pedoman-pedoman yang mengatur praktek-praktek bisnis dan mempercayakan negara dengan tanggung jawab untuk menjamin praktek-praktek nyata sesuai dengan pedoman-pedoman tersebut. Tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan pihak yang lemah dan mencegah keuntungan yang tidak patut dalam transaksi bisnis apapun. Pada masa periode Islam yang pertama sebuah lembaga khusu dibuat yang dikenal dengan hisbah, selain hal-hal lainnya, yang memiliki tanggungjawab untuk meningkatkan praktek-praktek bisnis yang adil.
Islam memperkenankan sejumlah fleksibilitas bagi penguasa negara yang dalam hal tertentu tidak diperintahkan oleh syariah. Pada kenyataannya, syariah hanya menguraikan elemen-elemen penting dari dasar strategi, sedangkan ukuran kebijaksanaan yang terperinci mesti disusun oleh para penguasa negara sesuai dengan keadaan masing-masing negara. Satu-satunya persyaratan adalah bahwa berbagai kebijaksanaan yang diadopsi harus memberikan kontribusi yang positif terhadap realisasi maqasid (tujuan-tujuan) tanpa menyebabkan pelanggaran apapun terhadap prinsip-prinsip syariah. Unsur-unsur utama dari kerangka kerja kebijaksanaan yang memuat ketidakadilan pendapatan dan kekayaan menurut ‘batasan yang diterima’ dalam keadaan sekarang, sebagaimana disimpulkan dari ajaran-ajaran Islam.
Beberapa kebijaksanaan dari paket kebijaksanaan yang menyerupai sejumlah kebijaksanaan yang dipakai oleh negara-negara kapitalis setelah menanggalkan kebijakan laissez-faire dibawah rezim ‘kapitalis yang dikelola’. Akan tetapi, bahkan dalam masalah-masalah ini sering terdapat perbedaan penekanan dan nuansa kebijaksanaan. Khususnya, hal ini dapat diketahui dalam hal peranan ‘kedaulatan konsumen’ dan kebijakan moneter, fiscal dan kebijakan perintah lainnya yang menentukan pengalokasian sumber-sumber daya.
Komposisi hasil di negara-negara kapitalis secara umum ditentukan oleh pilihan-pilihan konsumen. Dalam sistem Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah juga, pilihan-pilihan konsumen memberikan ruang lingkup yang luas tetapi ‘kedaulatan konsumen’ tunduk pada pengendalian sesuai dengan kepentingan keadilan sosial. Filosofi kapitalis adalah bahwa manusia bebas mengeluarkan penghasilannya denagn cara apapun yang ia sukai dan struktur produksi haruslah menanggapi permintaan konsumen terlepas dari karakter dari permintaan ini. Pengalokasian sumber daya yang dihasilkan dari interaksi antara permintaan dan persediaan ini dianggap optimal. Dilain pihak, ajaran-ajaran Islam menilai optimalitas alokasi sumber daya berasal dari sudut pandang al’adl (adil). Para ahli hukum menggariskan perbedaan antara tiga jenis kebutuhan manusia yang digolongkan sebagai daruriyyat (keperluan mendesak), hajiyyat (kesenangan hidup) dan tahsiniyyat (budi pekerti). Para ahli hukum juga mengindikasikan bahwa merupakan tanggungjawab masyarakat bersama untuk mengutamakan pemenuhan daruriyyat terlebih dulu dari pada kedua kategori lainnya. Lebih lanjut, dalam Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah, komposisi hasil tidak bisa dibiarkan untuk menentukan sendiri kekuatan pasar tetapi harus diatur menurut kepentingan keadilan sosial.
Untuk alasan yang sama, kebijakan moneter, fiskal dan kebijakan pemerintah lainnya tidak dapat menjadi nilai netral dalam Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah. Dinegara-negara kapitalis kebijakan moneter pada umumnya berkaitan dengan stabilitas moneter dan pertumbuhan ekonomi, sedang tujuan-tujuan keadilan dalam pemerataan tidak diperhitungkan secara jelas sebagai tujuan kebijakan moneter. Pada kenyataannya, penyelenggaraan sistem perbankan tampak menjadi faktor yang penting dalam mempertajam ketidakadilan pendapatan dan kekayaan disejumlah negara. Bank-bank dalam negara-negara kapitalis menyediakan uang terutama pada para pengusaha ‘creditworthy’ yang umumnya sudah memiliki kekayaan pribadi yang besar jumlahnya dan kemampuan menawarkan jaminan yang disyaratkan oleh bank. Bank juga mempraktekkan ‘diskriminasi harga’ dengan memungut tingkat bunga yang lebih rendah kepada klien kaya yang mengambil kredit dalam jumlah yang besar. Kedua faktor ini cenderung mempertambah ketidakadilan pendapatan dan kekayaan. Di lain pihak, kebijakan moneter diharapkan memainkan peranan yang penting dalam upaya mencapai tujuan-tujaun egaliter dari Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah (Chapra, 1985:173-174).
Kebijakan fiskal dalam Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah dibatasi oleh sejumlah norma yang diuraikan dalam syariah. Negara tidak bisa menerima pinjaman yang didasarkan bunga untuk menutupi anggaran belanja defisit. Ajaran-ajaran Islam menekankan perekonomian sepenuhnya pada pengeluaran pemerintah. Banyak ahli hukum yang mengkaitkan hal ini dengan ketegasan Al Qur’an mengenai pemborosan yang dilakukan oleh individu maupun pemerintah. Ajaran-ajaran Islam juga menekankan pajak harus diambil hanya dari biaya ‘pengeluaran pokok’ dan beban pajak harus didistribusikan secara adil. Meski pemerintah dalam perkonomian Islam tidak dihalangi untuk menjalankan anggaran deficit, tetapi pemerintah harus mengelola keuangannya dehingga stabilitas moneter tetap terpelihara. Ekonomi dalam pengeluaran pemerintah, keadilan dalam pemerataan beban pajak, dan kebijakan ‘keuangan yang bijaksana’ diterima sebagai norma yang diinginkan dari kebijakan fiskal dalam perekonomian kapitalis juga ajaran-ajaran Islam menginvestasikan mereka dengan tekanan moral yang lebih besar.
Selain kebijakan moneter dan fiskal, seluruh orientasi kebijakan pemerintah lainnya memiliki pengaruh yang penting terhadap pola pemerataan pendapatan. Telah diamati bahwa meskipun tujuan-tujuan egalitar dinyatakan, namun kebijakan-kebijakan pemerintah di negara-negara kapitalis tidak menghasilkan keberhasilan dalam menurunkan ketidakadilan pendapatan dan kakayaan sementara di negara-negara lain ketidakadilan cenderung meningkat setiap waktu. Kebanyakan negara kapitalis tetap berikrar untuk meningkatkan kondisi pasar bersaing tetapi pada kenyataannya praktek perekonomian di banyak negara diciri-cirikan dengan elemen-elemen monopoli. Kelemahan kekuatan persaingan dan munculnya struktur pasar yang oligopolistik dalam banyak bidang kegiatan menghasilkan akibat-akibat yang tidak diinginkan terhadap pola pemerataan pendapatan. Sejarah perekonomian negara Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa memperlihatkan bahwa setiap waktu pengontrolan industri semakin dan lebih terpusat. Hal ini menyebabkan beberapa penulis menggambarkan system perekonomian pada saat itu di negara-negara yang disebutkan tadi sebagai ‘kapitalisme monopoli’. Serupa dengan hal ini, di banyak negara sedang berkembang, berbagai kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan perdagangan, bea cukai, dan perindustrian serta perizinan terhadap pola pemerataan pendapatan. Dalam kerangka kerja Islam, semua kebijakan pemerintah diharapkan mengikuti petunuj yang ditetapkan dalam ayat 59 : 7 dari Al Quran, bahwa kekayaan tidak diperkenankan menjadi ‘barang dagangan antara kaum kaya di antara kamu’.
Akan tampak dalam pembahasan ini bahwa negara diharapkan memainkan peranan yang sangat penting dalam Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah untuk memberantas kemiskinan dan membolehkan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan dalam batasan-batasn yang diterima. Hal ini tanpa menyebutkan bahwa untuk memperlengkapi pengharapan ini maka para penguasa perlu mengikuti petunjuk dari ajaran-ajaran Islam.
Islam tidak mengandalkan badan pemerintahan saja untuk menghasilkan pemerataan yang adil. Islam mencoba untuk membuat para pengikutnya memiliki perasaan tanggungjawab sosial yang kuat terhadap kesejahteraan kelompok masyarakat yang miskin. Jika ajaran-ajaran Islam dilaksanakan, maka pemerataan yang adil dapat dicapai sementara kebebasan individu terpelihara dan cara hidup yang teratur dihindari. Ada satu bagian dalam buku ini yang mengemukakan bahwa beberapa analis mengemukakan sejumlah pesimisme terhadap kemungkinan memberantas kemiskinan di negara-negara sedang berkembang dimana mereka sangat meragukan kelompok yang berpendapatan tinggi akan bersedia untuk memberikan perngorbanan tertentu yang diperlukan. Keengganan ini diatasi dengan memasukkan nilai-nilai moral yang mendorong manusia untuk melihat lebih jauh dari kepentingan dirinya sendiri. Meningkatkan gagasan saling ketergantungan dari pemanfaatan fungsi, dapat juga membantu mengatasi masalah ini. Terakhir sangat jelas terlihat bahwa di sejumlah wilayah penting, perekonomian beratanggungjawab atas pelaksanaannya yang tidak bagus sebab tanpa memanfaatkan ‘perbuatan baik’ yang minimal. Sejumlah karya mengenai peranan altruisme dalam perekonomian telah muncul dalam tahun-tahun trakhir. Sumbangan ini banyak menekankan bahwa sekali persepsi seseorang tebangun, maka perbuatan baik menjadi perilaku yang rasional dan dapat diharapkan menyebar diseluruh masyarakat. Yang dimaksud dari perspektif ini, adalah pemberantasan kemiskinan dan pemeliharaan keadilan pemerataan yang lebih besar, sebagai tujuan-tujuan yang ingin dicapai.




















BAB 3
KESIMPULAN
Kesejahteraan yang berkeadilan merupakan komponen yang paling penting dalam ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah. Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah berpihak pada upaya pemberantasan kemiskinan absolute yang sempurna dan pengorganisasian kehidupan ekonomi dengan suatu cara dimana kebutuhan dasar seluruh masyarakat dapat terpenuhi. Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah tidaklah menyeru permusuhan semua ketidakadilan pendapatan dan kekayaan tetapi mewaspadai ketidakadilan yang terlalu menyolok. Untuk menjamin pemenuhan kebutuhan – kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat, maka ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah menyatakan suatu prinsip bahwa kaum miskin “berhak” atas pendapatan dan kekayaan anggota masyarakiat lainnya yang berlebihan (kaya). Hukum-hukum Islam dan ajaran-ajaran ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah dalam bidang produksi, konsumsi, transaksi, dan pemerataan dan menjamin pola pemerataan pendapatan dan kekayaan yang adil (merata).
Hal-hal yang pokok dari kerangka kerja ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah terhadap upaya pemberantasan kemiskinan dan pencapaian pemerataan pendapatan dan kekayaan yang adil (merata) sebagaimana disimpulkan dan dipandang dari ajaran-ajaran Islam. Pertama-tama, ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah mendorong usaha yang produktif. Ia menganjurkan seluruh orang yang bertubuh sehat untuk memeliki penghasilan hidup dan berhenti mencari bantuan dari orang-orang lain kecuali dalam keadaan darurat yang sangat mendesak membutuhkan pertolongan. Dengan cara membuat strategi bagi pembangunan, maka pesan-pesan umum ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah adalah perubahan yang dinamis dari waktu ke waktu melalui kemajuan teknologi. Disamping tingkat pertumbuhan yang menyeluruh, ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah sangat memperhatikan mekanisme pertumbuhan dan pola pertumbuhuan. Islam memerpertim bangkan kegiatan yang produktif untuk dilaksanakan terlebih dahulu yang didasarkan pada perusahaan swasta tetapi juga memberi hak bagi Negara untuk mempengaruhi dan mengatur pekerjaan sector swasta agar tujuan-tujuan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah tercapai. Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah menginginkan bahwa sebaiknya pertumbuhuan menjadi landasan utama, dan pembangkitan kesempatan kerja yang layak secara maksimum merupakan tuntutan yang terkuat sebagai prioritas utama dalam strategi pertumbuhuan yang berorientasi syariah.
Ajaran-ajaran Islam menguraikan kode etik bisnis yang komprehensif yang mencoba untuk menghilangkan seluruh bentuk praktek eksploitatif. Tujuan utama mengatur praktek bisnjios adalah untuk mencegah pengkayaan yang tidak patut dari beberapa orang atas pengeluaran banyak orang dan juga untuk mengekang ketidakadilan pendapatan dan kekayaan.
Islam sangat menentang stratifikasi social dan menekankan pada kesempatan yang adil. Hak memiliki harta kekayaan pribadi di dalam Islam dibebani oleh beberapa kewajiban tertentu. Apabila kewajiban-kewajiban tersebut tidak diamalkan, maka Negara dapat turut campur tangan demi kepentingan keadilan social. Pemerataan harta kekayaan orang yang sudah meninggal harus dijalankan dengan cara tegas sesuai dengan hokum-hukum warisan Islam yang menghasilkan penyebaran timbunan kekayaan antar generasi.
Ajaran-ajaran Islam memiliki sikap yang penting terhadap factor kemitraan dan pemerataan pendapatan fungsional yang selanjutnya mempunyai implikasi terhadap ukuran pemerataan pendapatan perseorangan. Modal uang menolak hak keuntungan apapun jika ia hanya dipinjamkan pada orang lain untuk bebrapa waktu yang ditentukan. Hal ini berarti bahwa tidak seorangpun dalam system perekonomian Islam yang dapat memperoleh penghasilan dengan cara memungut bunga.
Pembagian keuntungan/kerugian lebih disukai sebagai sistem pengaturan faktor keuntungan yang adil. Ajaran-ajaran Islam menekankan agar buruh dijamin dengan ‘upah yang adil’ yang memelihara kehormatan manusia. Negara diharapkan untuk mengintervensi pada setiap saat pemilik faktor produksi diketahui mengeksploitasi pihak yang lemah dalam proses produksi.
Islam sangat mendorong pemberian sukarela untuk kesejahteraan kaum miskin. Memberi makan orang yang kelaparan ditegaskan berulang-ulang, sedemikian sehingga menghardik anak yatim dan mengabaikan pemberian makanan kepada kaum miskin adalah sama dengan mendustakan agama. Jumlah kekayaan yang harus dikeluarkan untuk kesejahteraan kaum miskin tidak diperinci secara khusus menurut ketentuan yang jelas. Betapapun, petunjuk umum dalam salah satu ayat dalam Al Qur’an bahwa setiap pertambahan kekayaan diatas kebutuhan hidup seseorang harus dikeluarkan. Hukum-hukum keluarga Islam memberikan hak yang sah terhadap kerabat dekat tertentu untuk menuntut bantuan pemeliharaan dari orang-orang yang berada dalam posisi untuk membantu. Ajaran-ajaran Islam mendesak manusia untuk memberikan bantuan secara sukarela kepada kerabat dekat yang miskin, akan tetapi jika ajaran-ajaran ini diabaikan, maka pengadilan mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan bantuan penyelelenggaraan yang layak.
Kebijakan moneter dan fiskal diharapkan memainkan peranan yang sangat penting dalam upaya pemberantasan kemiskinan dan mengekang ketidakadilan pendapatan dan kekayaan dalam system perekonomian Islam. Kebijakan pajak harus memiliki nilai keadilan dan berhenti dari mempertambah ketidak adilan pendapatan dan kekayaan. Pemberantasan kemiskinan dan penghilangan penderitaan yang dialami oleh kelompok penduduk yang miskin harus diperhitungkan secara jelas dalam prioritas pengeluaran publik. Untuk membantu mencapai tujuan-tujuan sosio-ekonomi Islam, maka kebijakan moneter perlu digunakan untuk mengatur penggunaan sumber dana keuangan system perbankkan sehingga secara berarti menolong ketidak adilan pendapatan dan kekayaan dan mendapatkan hasil campuran yang sesuai dengan batasan prioritas Islam. Kebijakan fiskal dan moneter diharapkan meningkatkan stabilitas moneter, yang selain hal-hal lainnya mengamankan kepentingan kaum miskin.
Ajaran-ajaran Islam membebankan pada Negara tanggungjawab yang penting untuk menjamin sedikitnya standar kehidupan minimum seluruh warganegara. Berkaitan dengan hal ini, merupakan kewajiban Negara untuk menetapkan system jaminan social yang religius dengan menobatkan pemungutan zakat (hak orang yang miskin) agar memainkan peranan utama. Bagian terbesar dari pembiayaan yang dibutuhkan untuk melaksanakan system jaminan social Islam diharapkan dating dari hasil perolehan zakat. Betapapun, sekiranya hasil perolehan zakat tidak mencukupi untuk tujuan tersebut, maka pembiayaannya harus ditamabhkan dari dana anggaran umum sejumlah yang dianggap perlu.
Studi ini mencoba untuk mengemukakan keistimewaan pendekatan Islam terhadap permasalahan kemiskinan dan pemerataan pendapatan dengan membandingkan pendekatan sistematis tertentu lainnya. Buku ini meninjau sikap dan kebijaksanaan masa kuno hingga masa modern terhadap kemiskinan dan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan, dan secara khusus mencatat beberapa kesamaan dan perbedaan antara pendekatan Islam dengan dua pendekatan yang dipengaruhi oleh dua sistem terbesar yaitu kapitalisme yang dikelola dan sosialisme. Terlihat bahwa meskipun Islam berbagi dengan sosialisme dalam hal pemerataan pendapatan dan kekayaan yang adil, namun Islam dengan tegas menentang aspek-aspek kebijaksanaan
Jika dibandingkan dengan kapitalisme yang dikelola, maka yang paling istimewa dari pendekatan Islam terhadap pemberantasan kemiskinan adalah sifat pemerintah dari sistem jaminan sosialnya. Dari sejarah kapitalisme terlihat bahwa sampai seperempat abad yang pertama dari abad ini, negara-negara yang sangat maju dari negara kapitalis tidak berfikir untuk membuat sebuah sistem jaminan sosial yang komprehensif. Dan sampai sekarangpun ada pemikiran umum bahwa sistem jaminan sosial merupakan suatu kemewahan dimana hanya negara-negara yang sangat kayalah yang mampu melakukannya. Fakta yang ada adalah bahwa meski terdapat perhatian yang berkembang terhadap keadaan kaum miskin, akan tetapi mayoritas negara-negara yang kapitalis tetap tidak memberi ‘jaminan keamanan’ bagi kaum miskin. Bertentangan dengan hal ini, ajaran-ajaran Islam mengikat negara untuk mengorganisir sebuah sistem jaminan sosial yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat, terlepas dari tahap-tahap pembangunan sebuah negara dan sistem jaminan sosial dan income per kapita negara tersebut. Studi ini juga mencatat titik-titik perbedaan yang utama antara pendekatan Islam dan sistem jaminan sosial dari negara-negara yang berekonomi maju pada saat ini.
Beberapa kebijakan yang dianjurkan oleh Islam untuk kepentingan pemerataan yang adil banyak menyerupai kebijakan sejumlah negara kapitalis yang memilih mengikuti kebijakan setelah ditinggalkannya kebijakan laissez-faire. Namun demikian, ada beberapa perbedaan yang berkenaan dengan penekanan dan nuansa dari kebijaksanaan. Hal ini dapat diketahui dari peranan ‘kedaulatan konsumen’ dan kebijakan moneter, fiskal serta kebijakan-kebijakan lainnya untuk menentukan pengalokasian sumber daya.














DAFTAR PUSTAKA

Abbaasi, .M..,K.W. Hollman dan J.H. Murray, 1990. Islamic Economics: Foundations and Practices. International Journal of Social Economics. Jilid V.
Ahmad, Ziauddin. 1998. Islam, Proverty and Income Distribution. The Islamic Fondation, Lahore
Aronsson,T.,Lofgren,K.G. and Backlund,K. 2004. Welfare Measurement In Imperfect Markets : A Growth Theoretical Approach, Cheltenham, Edward Elgar.
Arrow, K.J. and Scitowsky,T. 1969. Readings in Welfare Economics, HomeWood, hal.255-283
Asheim,G.B. and Buchholz,W. 2004. A General Approach to Welfare Measurement Through National Income Accounting, Scandinavian Journal of Economic 106, hal. 361-384.
Asheim,G.B. and Weitzman,M.L. 2001. Does NNP Growth Indicate Welfare Improvement?, Economics Letters 73, hal. 233-239.
Atkinson, A. 1975. The Economics of Inequality, Oxford University Press, London.
Besley,Timothy. 2002. Welfare Economics and Public Choice, London School of
Economics and Political Science, London, April., hal 1-3.
Boadway,R.W. 1974. The Welfare Foundations of Cost-Benefit Analysis, Economic Journal 86, Desember, hal. 926-939.
Bornstein, Morris. 1973. Plan and Market, Economic Reform in Eastern Europe, Yale University Press.
Braudel, Fernand. 1982. Civilization and Capitalism, Harper & Row, hal.251-255.
Carbonell, A.F. 2002. Subjective Questions To Measure Welfare and Well-being, Discussion Paper, Tinbergen Institute, Amsterdam, hal 1-5.
Chapra, M. Umer, 1970. The Economic System of Islam : Discussion of its Goal and Nature, The Islamic Cultural Centre, London.
______________, 1979. Objectives of the Islamic Order, The Islamic Foundation, United Kingdom.
______________, 1979. The Islamic Welfare State and its Role in the Economy, The Islamic Foundation, United Kingdom.
______________, 1986. Toward a Just Monetary System, The Islamic Foundation, United Kingdom.
______________, 1992. Islam and the Economic Challenge Order, The Islamic Foundation, United Kingdom.
______________, 2000. The Future of Economics : An Islamic Perspective, The Islamic Foundation, United Kingdom.
Choudhury, Masudul Alam and Houque, M. Ziaul. 2003 Islamic Finance: A Westen Perspective – Revisited , International Journal of Islamic Financial Services, Volume 5, Number 1, April-June
Chowdhury, A. Abdul Mannan. 1999. Resource Allocation, Investment Decision and Economic Welfare : Capitalism, Socialism and Islam, University of Chittagong, Banladesh
Creswell, John W. 1994. Research design : Qualitative & Quantitative Approaches, SAGE Publicatios, London
Crone, P. 1987. Meccan Trade and Rise of Islam, Oxford, Basil Blackwell
Elliot, John E.. 1985. Comparative Economic Systms, Wadsworth Publishing Company, Belmont, hal.408-429.
Fabozzi, Frank J Franco, Modigliani, Ferri, Michael G.,1994. Foundations of Financial Markets and Institutios, Prentice-Hall Inc.
Friedman, Thomas L., 2001. The Lexus and The Olive Tree: Undertanding Globalization, Achor Book, New York
Ghazali, Imam. 1937. Al-Mustasyfa, Al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, Kairo,
Vol.I hlm 139
Giddens, Anthony, 2000. Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial (Terjemahan dari Judul Asli: The Third Way: The Renewal of Social Democracy), (Penerjemah: Ketut Arya Mahardika), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan ketiga, Juni, Tebal: (xxviii + 189) halaman
Griffin, Keith. 1989. Alternative Strategies for Economic Development, Macmillan, London, hal.218-219.
Grutchy, Allan G. 1977. Comparative Economic Systms, Mifflin Company, Houghton.
Hause,J.C. 1975. The Theory of Welfare Cost Measurement, Journal of Political Economy 83, Juni, hal. 1145-1182.
Heilbroner, Robert.L, 1975. The Making of Economics Society, Prentice Hall, hal.32.
Heilbroner, Robert dan Lester Thurow, 1994. Economic Explained, New York:Simon & Schuster,
Hyman David N., 2005. Public Finance : A Contemporary Application of Theory to Policy with Economic Applications, 8th Edition , New York, Dryden Press.
Kakwani, Nanak C. 1980. Income Inequality and Proverty, Oxford University Press, hal.397-398.
Kazarian, E. 1991. Finance and Economic Development, Islamic Banking in Egypt, Lund Economic Studies No.45, University of Lund, Lund.
Kegley, Charles W., Wittkopfl Eugene R. , 2001. The Global Agenda: Issues and Perspectives, , Penerbit: McGraw-Hill Higher Education – A Division of The McGraw-Hill Companies, Inc., Singapore, International Edition, Sixth Edition, Tebal: (xiv + 503) halaman.
Khaldun, Ibnu. 1964. Muqaddimah, hlm 3,4,39
Khan, M. Fahim 1999. Financial Modernization in 21st Century and Challenge for Islamic Banking, International Journal of Islamic Financial Services, Volume 1, Number 3, Oct-Dec.
Khan, M. Mushin 1979. Sahih Al-Bukhari : Arabic-English, Islamic University Al-Medina Al-Munawara, Kazi Publication, Lahore, Vol.7 No.277. hal.208-209
Little, I. 1973. A Critique of Welfare Economics, 2nd edition, Oxford University Press, London.
Lenski, Gerhard.E. 1966. Power and Privilege : A Theory of Social Strattification, Mc Graw Hill.
Majid Fakhry, 1997. A Short Introduction in Islamic Philosophy, Theology and Mysticism, Oneworld Publications, Oxford, England.
Mannan, M. A.,1970. Islamic Economics, Theory and Practic. The Islamic Foundation, United Kingdom.
Marx, Karl. dan Engels, Friedrich. 1937. Manifesto of the Communist Party. International Publishers Co., New York.
McKenzie,G.W. 1982. Welfare Measurement : A Syntesis, The American Economic Review 72(4), September, hal. 669-682.
Nadwi, S.Abu Hasan Ali.1975. The Four Pillars of Islam, Majlis Nashreyat-e-Islam, Karachi, Edisi kedua,hal.98.
Noman, Abdullah M. 2002. Imperatives of Financial Innovation for Islamic Banking, International Journal of Islamic Financial Services, Volume 4, Number 3, Oct-Dec..
Nomani, Shibli. 1962. Seeratun Nabi, Matbee Maarif Azamgarh, Karachi, Vol.1, hal.573.
O'Connell, J. 1982. Welfare Economic Theory, Auburn House Publishing, Boston.
Ornati, Oscar. 1966. Proverty Amid Affluence, A Report on Research Project, The Twentieth Century Fund, New York.
Perlman, Richard. 1976. The Economics of Proverty, Mc Graw Hill, hal.4-5.
Qureshi, Anwar Iqbal, 1946. Islam and the Theory of Interest, Lahore, Sh. Md. Ashraf.
Rahardjo, Dawam, 2002. Sejarah Ekonomi Islam, The International Institute of Islamic Thought, Jakarta, Indonesia
Rahman, Afzalur.,1980. Islamic Doctrine on Banking and Insurance, Muslim Trust Company, London
Rahman, Yahia Abdul. 1999, Islamic Instruments for Managing Liquidity, International Journal of Islamic Financial Services, Volume 1, Number 1, Apr-Jun.
Ravallion, M. and Lokshin, M. .2000. Subjective Economic Welfare, Development Research Group, World Bank.

Rosen, Harvey S.2005. Public Finance, McGraw-Hill.
Sabzwari, MA.1979. Zakah and Ushr with Special Reference to Pakistan, Industries Printing Press, Karachi, hal.5
____________.1982. The Concept of Saving in Islam, An NIT Publication, Karachi, hal.1
Samuelson, P.A. dan Nordhaus, William D. 1985. Economics, Edisi kedua belas, Mc Graw Hll, hal.49.
Sarker, Abdul Awwal. 1999. Islamic Business Contracts : Agency Problems and The Theory of The Islamic Firms , International Journal of Islamic Financial Services, Volume 1, Number 2, Jul-Sep.
Schnitzer, Martin C. 1987. Comparative Economic Systms, South-Western Publishing Group, Cincinnati.
Sen, Amartya. 1998. Social Choice, Welfare Distribution and Poverty, Trinity College, Cambridge, United Kingdom..
Siddiqi, Muhammad Nejatullah.1982. Recent Work on History of Economic Thought in Islamic Survey, International Centre for Research in Islamic Economic, King Abdul Aziz University, Jeddah.
__________________________. 1988. Distributive Justice and Need Fulfilment in on Islamic Economy, International Intitute of Islamic Economic, Islamabad, The Islamic Foundation, Leicester, hal. 251-286.
Siddiqui, Amir Hasan.1962. Studies in Islamic History, The Jamiyatul Falah Publications, Karachi, hal.102.

Smith,V.K. and Haefen,R.V. 1997. Welfare Measurement and Representative Consumer Theory, Discussion Paper, Washinton DC, hal.2-4.
Stiglitz, Joseph E. ,2002. Globalization and Its Discontent, Penerbit: WW Norton & Company, New York – London, Edisi pertama, Tebal: (xxii + 282) halaman.
Swasono, Sri-Edi. 2003. Ekspose Ekonomika : Kompetensi dan Integritas Sarjana Ekonomi, Jakarta, UI-Press
_________________. 2004. Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosal : Dari Klasikal dan Neoklasikal Sampai ke The End of Laissez-Fair, Jakarta, Perkumpulan PraKarsa.
Taleqani, Sayyed Mahmood. 1983. Islam and Ownership, Mazda Publishers, Lexington. Hal.76-77.
Vartia, Y. 1983. Efficient Methods of Measuring Welfare Change and Compensated Income in Terms of Ordinary Demand Functions , Econometrica 51, hal. 79-98.
Wilson, R.,1983. Banking and Finance in the Arab Middle East, Macmillan, London.
Woodhouse, Mark B.,1994. A Preface to Philosophy, Wadsworth, A Division of International Thomson Publishing Inc.
Yazdi, M. Taqi Mishbah. 1999. Philosophical Instructions : An Introduction in Contemporary Islamic Philosophy, Institute of Global Studies, University of Binghamton.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download Lagu Gratis, MP3 Gratis