Bookmark and Share

Rabu, 13 Januari 2010

PERBANKAN SYARIAH BERBASIS FLOATING MARKET

Oleh: Yusdani

Abstract

Islamic economics system becomes more popular currently not only in Moslem states
but also those of western. In Indonesia, the development of thought regarding the
urgent need to apply economics system based on syariah is emerged at 1974. Until
year 2004, the quantities of Islamic banking in Indonesia grow rapidly. But the Islamic
banking system growth needs to be supported by the growth of quality system of
Islamic banking. To develop syariah banking in Indonesia in the future needs to
advance new strategies, beside to pay attention to spiritual market (Moslems), and
also to offer the products of syariah banking to floating market, for instances to
non-moslem at all provinces in Indonesia. So the benefits of syariah banking will be
served not only by Moslems but also by whole Indonesian people.
Kata Kunci: Bank, Syariah, Pasar, Masyarakat
*Staf pengajar Fakultas Ilmu Agama Islam dan Peneliti pada Pusat Studi Islam Universitas
Islam Indonesia Yogyakarta.
52 Millah Vol. IV, No. 2, Januari 2005
A. Pendahuluan
Sistem ekonomi berbasis Syariah, belakangan ini makin populer bukan hanya
di negara-negara Islam tetapi juga negara-negara barat, yang ditandai dengan makin
suburnya bank-bank yang menerapkan konsep syariah.1 Di Indonesia perkembangan
pemikiran tentang perlunya menerapkan prinsip Islam dalam berekonomi muncul
pada 1974. Tepatnya digagas dalam sebuah seminar ‘Hubungan Indonesia-Timur
Tengah’ yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK).
Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam Indonesia memiliki lembaga
keuangan Islam sendiri mulai berhembus sejak itu, seiring munculnya kesadaran baru
kaum intelektual dan cendekiawan muslim dalam memberdayakan ekonomi
masyarakat.
Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan yang melelahkan mengenai
hukum bunga Bank dan hukum zakat vs pajak di kalangan para ulama, cendekiawan
dan intelektual muslim.2 Akan tetapi, nampaknya perkembangan pemikiran dan
pergumulan ijtihâd panjang dalam masalah hukum ‘bunga bank’ dan ‘zakat vs pajak’
tersebut tidak sia-sia, akhirnya membuahkan hasil yang melegakan dan memuaskan
umat Islam Indonesia. Paling tidak, kalau boleh dikatakan ‘sebuah tonggak’ sejarah
baru kebangkitan ekonomi Islam di Indonesia, tepatnya pada hari Ahad, 3 November
1991 untuk pertama kalinya sebuah Bank Islam dilaunching pendiriannya di Istana
Bogor yang Panitia Penyelenggaranya diketuai oleh Prof. Dr. Ir. M. Amin Aziz
(sekarang Ketua Yayasan PINBUK) Bank Islam Indonesia ini selanjutnya diberi nama
Bank Muamalat Indonesia (BMI).3
Ketika itu, memang BMI menjadi satu-satunya tumpuan dan harapan 150
juta umat Islam Indonesia. Bahkan harapan yang sangat besar untuk kapasitas Bank
yang baru seumur jagung. Harapan yang tentunya sangat wajar jika dikaitkan dengan
suasana emosional yang menghinggapi umat Islam yang sudah puluhan tahun bercitacita
memiliki lembaga keuangan yang menggunakan prinsip syariah yang sekaligus
untuk mewujudkan ‘mimpi’ akan kebangkitan ekonomi 90% umat Islam yang hidup
1“Ekonomi Syariah di Indonesia, Bukan Alternatif tapi Keharusan”http://
www.eramoslem.com/br/fo/4a/14171,1,v.html, accessed 17 Desember 2004.
2Bahtiar Effendy,1998, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, Jakarta: Penerbit Paramadina, hal.305, dan Abdul Azis haba,1996, Islam dan
Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, hal.289.
3Di Istana Bogor, Presiden Soeharto mensponsori mobilisasi dana besar-besaran, yang
mencapai jumlah lebih dari 110 milyar rupiah, untuk digunakan sebagai modal awal operasi BMT.
Untuk paparan lebih lengkap, lihat “Bank dengan Agunan Amanah,” Tempo, 9 November 1991,
hal.22-23; “Mengapa Baru Sekarang Berdiri,” Prospek, 2 November 1991, hal.72-74; dan “Bank
Istimewa, Tanpa Bunga,” Editor, 9 November 1991, hal.75-76.
53
dalam lingkaran kemiskinan dan keterbelakangan baik di desa-desa maupun di kotakota
besar.
Setelah BMI mulai beroperasi sebagai bank yang menerapkan prinsip syariah
pertama di Indonesia, frekuensi kegairahan umat Islam untuk menerapkan dan
mempraktekkan sistim syariah dalam kehidupan berekonomi sehari-hari menjadi
tinggi. Namun karena kuatnya jaringan bank konvensional yang dimiliki para
konglomerat dan pemerintah yang tangan-tangannya bahkan sampai masuk ke
pelosok-pelosok desa dan kecamatan untuk menyedot dana masyarakat, membuat
BMI hampir tidak bisa berbuat banyak. Apalagi untuk menyediakan jasa kepada
masyarakat yang jauh dari kota-kota besar.
Kenyataan tersebut di atas barangkali, yang menjadikan BMI kemudian belum
dapat memenuhi banyak harapan masyarakat muslim lapisan bawah yang selama
berpuluh-puluh tahun tidak tersentuh oleh kebijakan pemerintah yang memihak pada
mereka. Ditambah memang, perfomance sebuah bank yang hampir tidak bisa
dielakkan dari kesan eksklusivisme, elitis dan bahkan tidak membumi sebagaimana
yang diharapkan jutaan umat sewaktu pendirian BMI sebelumnya.
Memang, sebagaimana praktek sebuah bank konvensional yang bermain di
level atas dan (keharusan) berorientasi pada keuntungan, maka BMI juga tidak bisa
mengelak untuk tidak menggarap kalangan menengah ke atas sebagai nasabah dan
debitur paling potensial. Karena sesungguhnya selama ini hanya kelompok kecil inilah
yang ‘memegang’ dan punya uang. Tentu hal ini dilakukan untuk menjaga likuiditas
Bank dan untuk mempertahankan eksistensinya melalui upaya-upaya mendapatkan
keuntungan yang sewajarnya melalui bagi hasil. Kalau tidak, mungkin sulit kita
membayangkan BMI akan dapat terus landing dan berkibar hingga hari ini.
Akan tetapi pilihan model pengembangan BMI dalam habitat umat seperti
itu bukan berarti tidak memiliki konsekuensi logis. Artinya, umat Islam yang mayoritas
berada di level grass root (akar rumput) tidak mendapatkan tempat yang menjadi
faktor ‘pertimbangan’ dalam bisnis perbankan besar, karena masyarakat miskin hampir
pasti, tidak memiliki nilai bergaining apa-apa dalam sebuah transaksi bisnis
perbankan. Hal inilah yang kemudian menyebabkan banyak umat Islam masih belum
merasakan BMI memberikan sentuhan yang berarti kepada mereka sebagai bank yang
mengusung nama Islam, utamanya pengusaha makro dan mikro yang relatif tidak
mungkin dapat menjangkau persyaratan normal perbankan.
Walhasil kehadiran BMI sebagai lembaga perbankan syariah di tengah-tengah
habitat umat Islam Indonesia belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan ekonomi
masayarakat dalam mengembangkan usaha-usaha mikro yang notabene milik
mayoritas umat. Hal ini tentu karena BMI sendiri memiliki keterbatasan-keterbatasan
yang cukup berarti, misalnya masih kurangnya modal usaha, banyaknya saingan bank
Perbankan Syariah Berbasis Floating Market
54 Millah Vol. IV, No. 2, Januari 2005
konvensional yang memiliki dana unlimited dan kecenderungan pragamatis umat
Islam sendiri yang masih berorientasi pada bunga bank sehingga lebih memilih
menjadi nasabah bank konvensional dan lain sebagainya serta berbagai kelemahan
usaha mikro lainnya.
B. Perkembangan dan Aset Perbankan Syariah di Indonesia
Sejarah perbankan syariah diawali sebelas tahun lalu, ketika Bank Muamalat
mulai beroperasi pada 1 Mei 1992, dengan total komitmen modal disetor sebesar Rp
106.126.382.000,-.4 Pada masa-masa awal operasinya, keberadaan bank syariah
belumlah memperoleh perhatian yang optimal dalam tatanan sektor perbankan
nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah, saat itu
hanya dikategorikan sebagai “bank dengan sistem bagi hasil”; tanpa rincian landasan
hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini tercermin dari UU
No. 7 Tahun 1992, di mana pembahasan mengenai perbankan dengan sistem bagi
hasil hanya diuraikan sepintas lalu. Kondisi mulai berubah pada 1998, ketika
pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat melakukan penyempurnaan UU No. 7/
1992 tersebut menjadi UU No. 10 Tahun 1998, yang secara tegas menjelaskan bahwa
terdapat dua sistem dalam perbankan di tanah air (dual banking system), yaitu sistem
perbankan konvensional dan sistem perbankan syariah. Peluang ini disambut hangat
masyarakat perbankan, bersamaan dengan mulai meningkatnya pengetahuan dan
kesadaran masyarakat sebagai hasil edukasi dan kampanye yang gencar
diselenggarakan. Perkembangan ini misalnya dapat ditilik dari jaringan kantor
perbankan syariah, yang di tahun 1998 baru ada satu bank umum syariah dengan 10
kantor cabang, 1 kantor cabang pembantu, serta 19 kantor kas, menjadi 2 bank umum
syariah dengan total 123 kantor, 7 unit usaha syariah pada bank umum konvensional
yang tersebar dengan 39 kantor, serta 85 BPRS. 5
Selain bank umum syariah, bank konvensional juga mulai melirik bentuk
perbankan syariah ini dengan mendirikan unit usaha syariah. Saat ini terdapat tujuh
bank yang memiliki unit usaha syariah, yaitu Bank Bukopin, Bank Danamon, Bank
BNI, Bank BRI, Bank IFI, dan Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat, dan Bank BII.
Perkembangan perbankan syariah yang menggembirakan juga dapat dilihat
dari total asetnya yang menunjukkan tren peningkatan secara signifikan. Total aset
perbankan syariah pada Desember 2002 berjumlah Rp 4.045.235 juta, meningkat
sebesar Rp 1.326.465 juta (48,789 %) dibandingkan posisi pada Desember 2001
sebesar Rp 2.718.770 juta. Pada akhir Maret 2003, angka ini bertambah lagi menjadi
4Bank Muamalat 1993.
5BPS BI Data per April 2003
55
Rp 4.632.242 juta, atau mengalami peningkatan 14,5 % dari posisi tiga bulan
sebelumnya.
Meskipun angka-angka di atas menunjukkan perkembangan yang
menggembirakan, namun sesungguhnya peran perbankan syariah masih amatlah kecil
dibandingkan dengan perbankan konvensional. Ditinjau dari total aset, perbankan
syariah hanya menyumbang Rp 4,63 triliun atau 0,42 % dari total perbankan nasional.
Sementara itu, total dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun Rp 3,32 triliun atau
hanya 0,40 % dari total dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun seluruh bank di
tanah air. Sedangkan pembiayaan yang telah disalurkan berjumlah Rp 3,66 triliun
atau hanya setara 0,87 % dari seluruh kredit yang disalurkan keseluruhan bank. Angkaangka
tersebut tentunya masih amat kecil dibandingkan dengan negara-negara lain
yang juga menerapkan dual banking system. Di Kuwait, total aset perbankan syariah
telah mencapai 32 persen dan Malaysia 7,9 persen dari total aset perbankan.6
C. Perbankan Syariah dan Pemberdayaan Umat
Menurut UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992
tentang Perbankan, disebutkan bahwa Bank Syariah adalah Bank Umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dalam menjalankan aktivitasnya,
Bank Syariah menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip Keadilan
Prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan
margin keuntungan yang disepakati bersama antara Bank dengan Nasabah.
2. Prinsip Kesederajatan
Bank Syariah menempatkan nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana,
maupun Bank pada kedudukan yang sama dan sederajat. Hal ini tercermin dalam
hak, kewajiban, risiko, dan keuntungan yang berimbang antara nasabah penyimpan
dana, nasabah pengguna dana, maupun Bank.
3. Prinsip Ketentraman
Produk-produk Bank Syariah telah sesuai dengan prinsip dan kaidah Muamalah
Islam, antara lain tidak adanya unsur riba serta penerapan zakat harta. Dengan
demikian, nasabah akan merasakan ketentraman lahir maupun batin.
6 BPS Data per April 2003
7UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan,
lihat dan baca Muhammad Syafi’i Antonio. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta:
Gema Insani Press. Lihat juga Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio. 1992.
Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Perbankan Syariah Berbasis Floating Market
56 Millah Vol. IV, No. 2, Januari 2005
Pelaksanaan prinsip-prinsip di atas lah yang merupakan pembeda utama antara
bank syariah dengan bank konvensional,7 sebagaimana ditulis Dixon (1992):
…the basic difference between Islamic and Western banks is that the former
operate on an equity-based system in which a predetermined rate of return is
not guaranteed, whilst in the latter case the system is based on interest
financing. This fundamental difference stems from the Sharia’s prohibition
of riba (usury or interest) and gharar (uncertainty, risk or speculation).8
Konsep riba tersebut sebenarnya telah lama dikenal dan telah mengalami
perkembangan makna. Visser (1998), misalnya mengungkapkan perkembangan
pengertian riba tersebut:
“The concept of ‘usury’ has a long historical life, throughout most of which
it has been understood to refer to the practice of charging financial interest
in excess of the principal amount of a loan, although in some instances, and
more especially in more recent times, it has been interpreted as interest above
the legal or socially acceptable rate.9
Setelah lahirnya BMI, Bank Syariah pertama di Indonesia 13 tahun lalu, kini
di alam reformasi telah beroperasi pula lembaga-lembaga perbankan konvensional
yang menerapkan prinsip syariah, baik yang dimiliki pemerintah maupun swasta.
Kemunculan bank-bank syariah ‘baru’ - Bank IFI Cabang syariah, Bank Syariah
Mandiri dan BNI Divisi Syariah sebenarnya tidak terlepas dari peristiwa krisis moneter
yang cukup parah sejak 1998 atau pasca likuidasi ratusan bank konvensional karena
pengelolaannya yang menyimpang.
Di samping itu, dalam dunia perbankan, para bankir dan pemerintah sendiri
telah terjadi perubahan paradigma dalam memandang perbankan Islam di Indonesia
yang selama krisis ternyata dapat bertahan. Ujian moneter selama krisis tersebut itulah
yang sedikitnya membawa implikasi positif bagi sejarah perkembangan perbankan
Islam kontemporer di Indonesia.10
Kendati Bank Syariah sudah tumbuh dengan positif dan diterima oleh
masyarakat dengan baik, kaum muslim Indonesia perlu juga bersikap kritis dalam
8Rob. Dixon, 1992. “Islamic Banking”. The International Journal of Bank Marketing.
10
9Wayne A.M., Visser, and Alastair MacIntosh. 1998. “A Short Review of the Historical
Critique of Usury”. Accounting, Business, and Financial History. 8 (2).
10Baihaqi Abd. Madjid ,2004, Kesadaran Baru Berekonomi Islam http://
www.bmtlink.web.id/newpage21.htm as retrieved on 11 Dec 2004 17:17:05 GMT. accessed, 16
Desember 2004.
57
melihat perkembangan pesat tersebut yang terkesan “mengejar momentum”. Karena
sebagai bank yang menggunakan sistim yang bersumber dari ajaran wahyu, taruhan
konsekuensi nama Islam menjadi cukup berat. Artinya taruhan nama ‘agama’ ini
tidak boleh dijadikan permainan ekonomi oleh para pelaku perbankan sekedar
mengingatkan awal menjamurnya bank konvensional swasta pada dekade 80-an dan
90-an. Karena jika hal itu terjadi, implikasi yang harus ditanggung sangat besar dan
berisiko bagi eksistensi agama Islam, umat dan ajaran-ajarannya.
Oleh sebab itu, kemunculan banyak lembaga perbankan berlabel syariah
(Islam) janganlah hanya karena faktor euphoria reformasi sebagaimana perilaku
masyarakat umum saat ini. Akan tetapi memang harus benar-benar karena faktor
demand dan faktor keyakinan masyarakat dalam menjalankan proses berekonomi
secara halal dan bermartabat.
Di samping itu, lembaga perbankan yang menganut sistim syariah tidak sertamerta
hanya berorientasi untuk meraup dana dari segmen masyarakat Islam sebanyakbanyaknya
tanpa memberi manfaat, kontribusi dan implikasi positif kepada usaha
peningkatan kesejahteraan umat secara menyeluruh, utamanya dalam pengembangan
usaha kecil dan menengah yang mayoritasnya dimiliki umat Islam. Kaum muslim
Indonesia tidak mau menyaksikan bank syariah hanya jadi lembaga yang pandai
meraup uang rakyat tetapi tidak pandai membangun ekonomi rakyat. Dengan kata
lain, Bank-Bank Syariah yang sudah ada janganlah hanya pengganti kulit bank-bank
yang telah dilikuidasi pada 1997 lalu.
Bagi umat Islam Indonesia bagaimanapun juga, Bank-Bank Syariah yang
telah beroperasi di tengah-tengah kehidupannya menjadi harapan bagi upaya
memberdayakan kehidupan perekonomian mereka. Jadi jangan hanya mengejar
keuntungan semata dengan fokus pembiayaan pada usaha-usaha skala besar dan
menengah saja seperti pada masa Orde Baru dulu. Akan tetapi harus secara serius
dan sepenuh hati juga berusaha mendorong bangkitnya kekuatan ekonomi umat yang
berbasis pada usaha kecil dan kecil-bawah.11
Harapan dan kecemasan tersebut di atas penting diperhatikan, karena kaum
muslim Indonesia tidak menghendaki bank syariah sama halnya dengan bank
konvensional yang lebih tertarik dan memprioritas untuk mengurus pembiayaan
kepada pengusaha besar dari pada ke pengusaha kecil karena gambaran keuntungan
bisnis belum jelas. Paling tidak, pengalaman beberapa pengusaha kecil mikro yang
pernah mencoba mendapatkan pembiayaan di sebuah bank syariah nasional tidak
terulang lagi pada masa mendatang. Kaum muslim Indonesia juga tidak ingin
11Ibid.
12Ibid.
Perbankan Syariah Berbasis Floating Market
58 Millah Vol. IV, No. 2, Januari 2005
mendengar lagi pengusaha kecil mengeluh akibat rumitnya proses pinjaman
pembiayaan dan berbagai praktek lempar sana, lempar sini.12
D. Strategi Pengembangan Masa Mendatang
Perkembangan seperti disebutkan di atas setidaknya menunjukkan bahwa
ekonomi Islam (syari’ah) yang bersumber dari wahyu dewasa ini telah menemukan
form terbaru dalam kehidupan berekonomi di Indonesia. Karena itu, konsep ekonomi
Islam yang akhir-akhir ini telah menjadi bagian penting dari sistim perekonomian
masyarakat, hendaknya harus dikawal eksistensinya dan harus pula disikapi secara
proaktif oleh seluruh umat Islam. Bagaimanapun, ekonomi Islam utamanya sistim
syariah yang dipakai dalam operasionalisasi sistim perbankan nasional telah menjadi
bagian yang sangat vital dan strategis bagi denyut gerakan perekonomian masyarakat.
Setidaknya, ada hal-hal yang patut membuat umat Islam Indonesia bergembira
yaitu telah terjadinya perubahan besar persepsi para pengambil kebijakan keuangan
dan moneter di Indonesia terhadap sistim perbankan Islam (khususnya BMI) yang
berhasil memperlihatkan prestasi gemilang melawan krisis moneter yang dimulai
pertengahan 1997. Padahal, keadaan demikian sebelumnya sangat mustahil akan dapat
terjadi di negara sekuler seperti Indonesia ini. Barangkali sejarah menghendaki hikmah
blessing in disguise seperti itu?
Kalangan pengambil kebijakan perbankan dan para ahli ekonomi sekarang
telah merekonstruksi dan mengevaluasi kembali sistim perbankan yang selama ini
berjalan dan ternyata telah berakhir dengan sangat tragis dan hampir menumbangkan
integritas Indonesia sebagai sebuah bangsa. Terbukti sistim ekonomi perbankan
(kapitalis) yang diterapkan selama ini ternyata sangat rentan terhadap berbagai gejolak
ekonomi. Sebaliknya sistim perbankan yang merunut pada prinsip Islam (syariah)
terbukti pula dapat bertahan menghadapi hantaman moneter dan gejolak-gejolak
ekonomi lainnya.
Oleh sebab itu, pada masa-masa mendatang lembaga perbankan syariah
diharapkan juga mampu membangun gerakan ekonomi rakyat yang kuat dan handal
sesuai prinsip-prinsip yang diyakini umat. Tanpa ada usaha memberdayakan ekonomi
rakyat yang serius, utamanya ekonomi umat Islam yang berbasis lokal dan grass
root, maka kehadiran lembaga perbankan syariah yang sudah mewarnai perekonomian
nasional akan sia-sia belaka.
Dalam upaya mewujudkan harapan umat tersebut, diperlukan usaha sungguhsungguh
dari kalangan perbankan untuk menyusun langkah-langkah, formasi dan
model-model hubungan yang sinergis antara Bank-Bank Syariah dengan umat Islam
sehingga keduanya saling mendapatkan keuntungan yang berararti. Paling tidak,
sebagai langkah awal Bank-Bank Syariah diminta dapat memperhatikan aspek
59
empowering umat yang masih sesak dalam kantong-kantong kemiskinan dan
keterbelakangan. Tentu saja kepada umat Islam sendiri juga diminta untuk tetap
menjadi nasabah Bank-Bank Syariah yang dengan susah payah telah hadir di negeri
ini.
Pesatnya perkembangan perbankan syariah juga diikuti dengan pesatnya kajian
dan publikasi mengenai prinsip-prinsip serta praktek-praktek bank syariah. Namun
demikian, berbagai kajian dan terbitan tersebut hampir seluruhnya membahas
bagaimana strategi sukses mengelola bank syariah dengan memfokuskan pada nasabah
muslim sebagai sasaran utamanya. Apakah bank syariah memang tidak sesuai untuk
nasabah non muslim?13
Dalam konteks Indonesia, hal ini sangat penting untuk dipikirkan, mengingat
bahwa non muslim di Indonesia selain jumlahnya cukup signifikan juga memiliki
potensi ekonomi yang besar. Hal ini diperkuat dengan kenyataan pada beberapa
wilayah Indonesia, penduduk non muslimlah yang merupakan mayoritas. Hal ini
penting untuk dipertimbangkan, terutama menggagas kemungkinan penerapan strategi
pengembangan perbankan syariah melalui peningkatan fokus perhatian pada potensi
nasabah non muslim. Argumen pokok dan dasar pemikiran yang ingin dikemukakan
berlandaskan pada tiga alasan. Pertama, bahwa larangan pemungutan riba, yang
merupakan ciri utama bank syariah, ternyata memiliki akar pada ajaran-ajaran non-
13Ali Mutasowifin, 2003. “Menggagas Strategi Pengembangan Perbankan Syariah di Pasar
Non Muslim” dalam Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 3 No. 1, September 2003: 25-39. Hal
ini perlu diperhatikan karena pengembangan lembaga keuangan syariah termasuk perbankan syariah
di Indonesia untuk menghindari sikap-sikap keagamaan eksklusif, yaitu sikap seolah-olah lembaga
keuangan syariah hanya diperuntukkan untuk melayani nasabah muslim. Karena sikap keagamaan
eksklusif tersebut pernah muncul ketika penulis menyampaikan hasil temuan penelitian lapangan
penulis di Pegadaian Syariah Jalan Kusumanegara Yogyakarta awal Oktober 2004, yaitu ditemukan
data seorang nasabah non-muslim yang menggadaikan liontin/kalung yang bersimbul keagamaan,
dan pertimbangan pihak pegadaian syariah yang dilihat adalah kandungan emas kalung itu, maka
nasabah tersebut dilayani sebagai nasabah. Seketika itu dalam forum Pelatihan Lembaga Keuangan
Syariah LPPM UII Yogyakarta 13-14 Oktober 2004 itu ada yang mempertanyakan apakah
pegadaian syariah boleh melakukan hal itu karena menurut si penanya hal itu dilarang sebab
menyentuh masalah aqidah.
14Konsep Riba di Kalangan Hindu dan Budha, Konsep Riba di Kalangan Yahudi, Konsep
Riba di Kalangan Kristen Baca Mervyn K. Lewis, 1999. “The Cross and the Crescent: Comparing
Islamic and Christian Attitudes to Usury”. Iqtisad: Journal of Islamic Economics. 1 (1),
Muhammad Syafi’i Antonio. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani
Press. Jr., John T. Noonan, 1957. The Scholastic Analysis of Usury. Cambridge, Mass.: Harvard
University Press. H. Page,1985. In Restraint of Usury. The Lending of Money at Interest. London:
Chartered Institute of Public Finance and Accountancy, dan Wayne A.M. Visser, and Alastair
MacIntosh. 1998. “A Short Review of the Historical Critique of Usury”. Accounting, Business,
and Financial History. 8 (2).
Perbankan Syariah Berbasis Floating Market
60 Millah Vol. IV, No. 2, Januari 2005
Islam.14 Kedua, ternyata secara keseluruhan kinerja perbankan syariah lebih bagus
dibandingkan dengan kinerja perbankan konvensional. Ketiga, berdasarkan penelitian
yang pernah dilakukan, ternyata tidak terdapat perbedaan preferensi yang signifikan
dalam pemilihan bank oleh nasabah muslim maupun nasabah non muslim.
Dalam upaya mengembangkan sistem perbankan syariah yang sehat dan
amanah serta guna menjawab tantangan-tantangan yang akan dihadapi oleh sistem
perbankan syariah Indonesia, Bank Indonesia menyusun “Cetak Biru Pengembangan
Perbankan Syariah di Indonesia”. Sasaran pengembangan perbankan syariah sampai
tahun 2011, sebagaimana termaktub dalam Cetak Biru tersebut, adalah terpenuhinya
prinsip syariah dalam operasional perbankan; diterapkannya prinsip kehati-hatian
dalam operasional perbankan syariah; terciptanya sistem perbankan syariah yang
kompetitif dan efisien; serta terciptanya stabilitas sistemik serta terealisasinya
kemanfaatan bagi masyarakat luas.15
Dalam upaya mewujudkan sasaran-sasaran tersebut, Bank Indonesia telah
mencanangkan inisiatif-inisiatif strategis, yang pelaksanaannya dapat dibagi ke dalam
empat fokus area pengembangan, yakni: mendorong kepatuhan pada prinsip-prinsip
syariah secara konsisten, menyempurnakan regulasi dan sistem pengawasan yang
sesuai dengan karakteristik perbankan syariah, mendukung terciptanya efisiensi
operasional dan daya saing bank syariah, serta meningkatkan kestabilan sistem, peran,
dan kemanfaatan perbankan syariah bagi perekonomian secara umum.
Dalam upaya penciptaan efisiensi operasional dan daya saing bank syariah
seperti tersebut di atas, perlu diperhatikan pencapaian economies of scale serta
economies of scope dari perbankan syariah. Dalam kaitannya dengan hal inilah
perluasan cakupan pasar dengan juga memberikan perhatian pada pasar rasional dan
non muslim menemukan relevansinya. Sebagaimana kita ketahui, hingga saat ini
pengembangan perbankan syariah semata-mata masih terfokus pada pasar spiritual,
yakni kelompok nasabah yang terutama mempertimbangkan kebersihan dan
kemurnian transaksi keuangan, serta mengabaikan pasar non muslim. Padahal, bila
menilik kondisi demografis masyarakat Indonesia, terlihat persebaran yang kurang
merata, dimana terdapat wilayah-wilayah yang didominasi masyarakat non muslim
dan juga memiliki potensi ekonomi yang tinggi.
Penetrasi perbankan syariah pada pasar non muslim diharapkan juga akan
lebih mudah bila melihat kinerja perbankan syariah yang dalam banyak kategori relatif
lebih baik dibandingkan dengan perbankan konvensional. Ditinjau dari tingkat
15Bank Indonesia. 2002. Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta:
Bank Indonesia.
61
efisiensi, misalnya, perbankan syariah membukukan prestasi yang baik, yang dapat
dilihat dari tingkat laba yang diperoleh. Perbankan syariah telah membukukan laba
dalam triwulan I/2003 sebesar Rp 17,7 miliar, dengan ROA sebesar 1,59 % dan ROE
sebesar 13,5 %. Rasio ROA dan ROE tersebut cenderung meningkat dibandingkan
dengan periode sebelumnya sebesar masing-masing 0,84 % dan 6,6 %.16
Kinerja yang lebih baik dapat pula dilihat dari rasio Financing to Deposit
Ratio (FDR), yakni rasio antara pembiayaan yang diberikan dengan dana pihak ketiga
yang diterima bank, yang mencapai 110,22 %. Angka ini jauh melebihi rasio Loan to
Deposit Ratio (LDR) perbankan konvensional yang hanya 50,46 %. Perbandingan
serupa juga terlihat dari Non Performing Financings (NPF), yakni jumlah pembiayaan
yang tergolong non lancar dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet,
berdasarkan ketentuan Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva Produktif. Non
Performing Financings perbankan syariah hanya 3,96 %, sementara Non Performing
Loans perbankan konvensional mencapai 8,15 %.17
Selama ini, kalangan perbankan syariah umumnya masih membidikkan sasaran
pada para loyalis syariah atau pasar yang fanatik terhadap syariah. Masih jarang bank
syariah yang mencoba menangkap pasar mengambang (floating market) atau pasar
yang tidak terlalu fanatik terhadap satu sistem perbankan, konvensional atau syariah.
Pasar ini bisa berpindah-pindah, tergantung sistem mana yang lebih menguntungkan.
Sejalan dengan ini, dapat disimak hasil penelitian Bank Indonesia tentang
“Potensi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah di Pulau Jawa”.
Dalam Pokok-Pokok Hasil Penelitian, butir (5) disebutkan : Analisis faktor-faktor
yang memotivasi masyarakat untuk menggunakan jasa perbankan syariah ternyata
untuk masyarakat Jawa Barat dan Jawa Timur yang lebih dominan faktor kualitas
pelayanan dan kedekatan lokasi bank dari pusat kegiatan, sedangkan faktor
pertimbangan keagamaan (yaitu masalah halal/haram) bukanlah menjadi faktor
penting dalam mempengaruhi kecenderungan menggunakan jasa bank syariah. Hasil
penelitian tersebut mengkonfirmasikan penelitian-penelitian sebelumnya, yang
menyebutkan bahwa faktor agama bukanlah pertimbangan utama dalam pemilihan
bank, dan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara responden muslim
16Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia. 2003. Laporan Triwulanan Perbankan Syariah-
Triwulan I/2003. Jakarta: Bank Indonesia.
17Biro Perbankan Syariah BI, 2003.
18Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan - Bank Indonesia. 2000. Ringkasan
Pokok-Pokok Hasil Penelitian “Potensi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank
Syariah di Pulau Jawa. Jakarta: Bank Indonesia, baca juga hasil penelitian Bank Indonesia dan
Pusat Penelitian Kajian Pembangunan Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro. 2000.
Penelitian Potensi, Preferensi, dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah di Wilayah Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: BI dan PPKP Lembaga Penelitian Universitas
Perbankan Syariah Berbasis Floating Market
62 Millah Vol. IV, No. 2, Januari 2005
dan nonmuslim dalam penetapan kriteria-kriteria utama dalam pemilihan bank.18
Sudin, misalnya, menyebutkan:
The three most important criteria in the bank selection process for Muslims
were: first, “the provision of a fast and efficient service”;second, “the speed
of transaction”; and third, “friendliness of bank personnel”. As regards the
non-Muslims, the three most important bank selection criteria were: first,
“friendliness of bank personnel”; second, “the provision of a fast and efficient
service”; and third, “the reputation and image of the bank”.19
Dalam tempo yang relatif singkat, perbankan syariah telah mengalami
kemajuan yang menggembirakan, baik dari jumlah kantor, jumlah aset, dana pihak
ketiga yang dihimpun, atau pembiayaan yang disalurkan. Namun demikian, kontribusi
perbankan syariah dibandingkan dengan total perbankan masih amat kecil. Bank
Indonesia mengeluarkan Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia
sebagai peletak posisi dan cara pandang Bank Indonesia dalam mengembangkan
perbankan syariah di Indonesia dan berfungsi sebagai pedoman bagi para stakeholder
perbankan syariah. Cetak Biru ini juga memuat inisiatif-inisiatif guna mencapai
sasaran yang ditentukan. Salah satu inisiatif penting adalah mendukung terciptanya
efisiensi dan daya saing bank syariah. Efisiensi tersebut dapat dicapai antara lain
dengan meningkatkan economies of scale dan economies of scope.20
Dalam konteks ini, perbankan syariah perlu pula memberikan perhatian kepada
pasar non muslim. Penetrasi terhadap segmen pasar ini diperkirakan akan lebih mudah
bila mengingat bahwa ajaran Hindu, Budha, Yahudi dan Kristen pun juga memiliki
akar yang kuat mengenai larangan pemungutan riba. Selain itu, dalam pelbagai kategori
penting, kinerja perbankan syariah ternyata relatif lebih baik dibandingkan dengan
perbankan konvensional. Apalagi, berdasarkan beberapa studi yang telah dilakukan,
ternyata tidak terdapat perbedaan preferensi yang signifikan antara nasabah muslim
dan nonmuslim dalam kriteria pemilihan sebuah bank. Penggarapan pasar rasional
Diponegoro, lihat juga hasil penelitian Bank Indonesia dan Lembaga Penelitian IPB. 2000.
Penelitian Potensi, Preferensi, dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah di Wilayah Jawa
Barat. Bogor: BI dan Lembaga Penelitian IPB, dan bandingkan pula dengan hasil penelitian Bank
Indonesia dan Pusat Pengkajian Bisnis dan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
2000. Penelitian Potensi, Preferensi, dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah di Wilayah
Jawa Timur. Malang: BI dan PPBEI Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
19Sudin Haron, Norafifah Ahmad and Sandra L. Planisek. 1994. “Bank Patronage
factors of Muslim and Non-Muslim Customers”. The International Journal of Bank Marketing. 12
(1).
20Ali Mutasowifin, 2003. “Menggagas Strategi Pengembangan Perbankan Syariah di Pasar
Non Muslim” dalam Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 3 No. 1, September 2003: 25-39.
63
dan nonmuslim, sambil tetap memberikan perhatian kepada umat muslim sebagai
pasar spiritual yang utama, diharapkan akan dapat meningkatkan kinerja perbankan
syariah lebih baik lagi dalam memberikan pelayanan kepada para nasabahnya.21
E. Penutup
Sebagai penutup uraian-uraian terdahulu dari tulisan ini, perlu dikemukakan
hal-hal sebagai berikut: Pertama, bahwa pertumbuhan dan perkembangan perbankan
syariah di Indonesia secara kuantitas sampai tahun 2004 cukup pesat dan
menggembirakan. Akan tetapi sisi kuantitas tersebut perlu pula disertai peningkatan
kualitas sehingga manfaat jasa perbankan syariah betul dirasakan oleh masyarakat
Indonesia.
Kedua, bahwa untuk pengembangan program-program perbankan syariah di
Indonesia pada masa-masa mendatang perlu menempuh strategi-strategi baru untuk
mempertahankan dan meningkatkan penggarapan pasar loyalis spiritual (internal
muslim). Ketiga, bahwa sudah saatnya pihak-pihak pengelola perbankan syariah di
Indonesia untuk melakukan penetrasi ke segmen pasar non-muslim karena bila menilik
kondisi demografis masyarakat Indonesia, terlihat persebaran penduduk yang kurang
merata, dimana terdapat wilayah-wilayah yang didominasi masyarakat non muslim
dan juga memiliki potensi ekonomi yang tinggi.
21Ibid.
Perbankan Syariah Berbasis Floating Market
64 Millah Vol. IV, No. 2, Januari 2005
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Thaba,1996, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema
Insani Press.
Ali Mutasowifin, 2003. “Menggagas Strategi Pengembangan Perbankan Syariah di
Pasar Non Muslim” dalam Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 3 No. 1,
September 2003: 25-39
Bahtiar Effendy,1998, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, Jakarta: Penerbit Paramadina.
Baihaqi Abd. Madjid ,2004, Kesadaran Baru Berekonomi Islam http://
www.bmtlink.web.id/newpage21.htm as retrieved on 11 Dec 2004 17:17:05
GMT. accessed, 16 Desember 2004.
“Bank dengan Agunan Amanah,” Tempo, 9 November 1991, hal.22-23.
“Bank Istimewa, Tanpa Bunga,” Editor, 9 November 1991, hal.75-76.
Bank Indonesia. 2002. Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia.
Jakarta: Bank Indonesia.
Bank Indonesia dan Lembaga Penelitian IPB. 2000. Penelitian Potensi, Preferensi,
dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah di Wilayah Jawa Barat.
Bogor: BI dan Lembaga Penelitian IPB.
Bank Indonesia dan Pusat Penelitian Kajian Pembangunan Lembaga Penelitian
Universitas Diponegoro. 2000. Penelitian Potensi, Preferensi, dan Perilaku
Masyarakat terhadap Bank Syariah di Wilayah Jawa Tengah dan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Semarang: BI dan PPKP Lembaga Penelitian
Universitas Diponegoro.
Bank Indonesia dan Pusat Pengkajian Bisnis dan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya. 2000. Penelitian Potensi, Preferensi, dan Perilaku
Masyarakat terhadap Bank Syariah di Wilayah Jawa Timur. Malang: BI dan
PPBEI Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
65
Bank Muamalat Indonesia. 1993. Laporan Tahunan 1993 M/1413 H. Jakarta: Bank
Muamalat Indonesia.
Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia. 2002. Statistik Perbankan Syariah Desember
2002. Jakarta: Bank Indonesia.
——. 2003. Statistik Perbankan Syariah Maret 2003. Jakarta: Bank Indonesia.
——. 2003. Laporan Triwulanan Perbankan Syariah-Triwulan I/2003. Jakarta: Bank
Indonesia.
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan - Bank Indonesia. 2000. Ringkasan
Pokok-Pokok Hasil Penelitian “Potensi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat
terhadap Bank Syariah di Pulau Jawa. Jakarta: Bank Indonesia.
Dixon, Rob. 1992. “Islamic Banking”. The International Journal of Bank Marketing.
10
Ekonomi Syariah di Indonesia, Bukan Alternatif tapi Keharusan “http://
www.eramoslem.com/br/fo/4a/14171,1,v.html, accessed 17 Desember 2004.
Erol, Cengiz, Erdener Kaynak, and El-Bdour Radi. 1990. “Conventional and Islamic
Banks: Patronage Behaviour of Jordanian Customers”. The International
Journal of Bank Marketing. 8 (4).
Gerrard, Philip, and J. Barton Cunningham. 1997. “Islamic Banking: a Study in
Singapore”. The International Journal of Bank Marketing. 15 (6).
Haron, Sudin, Norafifah Ahmad and Sandra L. Planisek. 1994. “Bank Patronage
factors of Muslim and Non-Muslim Customers”. The International Journal
of Bank Marketing. 12 (1).
Lewis, Mervyn K. 1999. “The Cross and the Crescent: Comparing Islamic and
Christian Attitudes to Usury”. Iqtisad: Journal of Islamic Economics. 1 (1).
“Mengapa Baru Sekarang Berdiri,” Prospek, 2 November 1991, hal.72-74.
Perbankan Syariah Berbasis Floating Market
66 Millah Vol. IV, No. 2, Januari 2005
Muhammad Syafi’i Antonio. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta:
Gema Insani Press.
Noonan, Jr., John T. 1957. The Scholastic Analysis of Usury. Cambridge, Mass.:
Harvard University Press.
Page, H. 1985. In Restraint of Usury. The Lending of Money at Interest. London:
Chartered Institute of Public Finance and Accountancy.
“Perbankan Syariah yang Semakin Memikat”. Kompas, 30 April 2003.
Perwataatmadja, Karnaen, dan Muhammad Syafi’i Antonio. 1992. Apa dan
Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
“Riba and Interest”. International Journal of Islamic Financial Services. 1 (2).
Visser, Wayne A.M., and Alastair MacIntosh. 1998. “A Short Review of the Historical
Critique of Usury”. Accounting, Business, and Financial History. 8 (2).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download Lagu Gratis, MP3 Gratis