Bookmark and Share

Rabu, 13 Januari 2010

PENGGUNAAN FIKIH MUAMALAH SEBAGAI DASAR PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH DI PENGADILAN AGAMA

A R T I K E L
www.badilag.net


(Suatu Kajian Dalam Perspektif Asas Hukum)
Oleh : Suhartono, S.Ag.,SH.,MH.

Abstrak

Sebagai lembaga yang diberi kewenangan menyelesaikan sengketa
ekonomi syariah, kendatipun lembaga ini dibentuk sejak tahun 1882, namun
belum memiliki buku standar (materiil) yang dijadikan rujukan bersama
layaknya KUHP. Apalagi kewenangan di bidang ekonomi syari’ah tersebut
relatif baru, praktis masih mengandalkan kitab-kitab fikih klasik para Imam
Madzhab, padahal cakupan hukum dalam kitab-kitab tersebut bukan
merupakan undang-undang (a corpus legislation), tetapi merupakan hasil
yang hidup dari ilmu hukum.
Belum adanya standarisasi atau keseragaman landasan hukum
memunculkan adegium different judge different sentence yan berujung
terjadinya putusan yang berdisparitas tinggi, dalam perspektif teori hukum
hal ini berbenturan dengan prinsip kepastian hukum. Demikian pula halnya
dengan penggunaan kitab-kitab fikih tersebut sebagai rujukan penyelesaian
sengketa ekonomi syari’ah secara membabi buta rentan melanggar ramburambu
azas hukum. Sebagai bagian pelaksana fungsi yudikatif Hakim Agama
harus berada dalam koridor rule of law. Agar terjadi suatu kesatuan
tindakan dan arah law enforcement, maka semua tindakan yang dilakukan
dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan, harus
menurut hukum (azas legalitas). tidak boleh diadili berdasarkan buku
doktrin madzhab atau berdasarkan pendapat ahli maupun fatwa ulama
sebagaimana termaktub dalam pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diamandemen dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Kanta Kunci : Fikih Muamalah, Ekonomi Syari’ah, Azas Hukum, Legalitas,
Penyelesaian sengketa.
Pendahuluan
A R T I K E L
www.badilag.net
2
Istilah ekonomi syari’ah hanya dikenal di Indonesia,1 di negara-negara
lain dikenal dengan ekonomi Islam (Islamic economy, al-iqtishad al-Islami)
dan sebagai ilmu disebut ilmu ekonomi Islam (Islamic economics ‘ilm aliqtishad
al-Islami).2 Secara tehnis, dalam prakteknya di Indonesia tidak ada
perbedaan istilah ekonomi Islam dan ekonomi syari’ah, namun dalam kajian
akademis istilah tersebut berbeda karena syari’ah adalah bagian dari aturanaturan
yang ditetapkan dalam Islam. Pendek kata syari’ah adalah bagian
dari Islam.
Maksud dari kata syari’ah dalam ekonomi syari’ah sebenarnya adalah
fikih para fuqaha, karena pengertian syari’ah yang berkembang dalam
sejarah adalah fikih3 dan bukan ayat-ayat atau hadits-hadits. Penggunaan
kata syari’ah sebagai fikih tampak secara khusus pada pencantuman
syari’ah Islam sebagai sumber legislasi di beberapa negara muslim -dan
juga pada tujuh kata dalam Piagam Jakarta- serta Pengadilan Syari’ah
(Mahkamah Syari’ah) di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Inilah
yang diistilahkan dalam Bahasa Barat sebagai Islamic law, de Mohamadan
wet / recht, la loi Islamique dan lain-lain.4 Lebih lanjut Latifa M. Al-Goud dan
1 Istilah ini ditemukan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 hasil
amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
2 Rifyal Ka’bah, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Sebagai Sebuah Kewenangan Baru
Peradilan Agama, Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun ke XXI No. 245, IKAHI, Jakarta,
April 2006, hal. 12.
3 Fikih menjadi dimensi hukum Islam yang paling popular di kalangan umat Islam
Indonesia, karena beberapa factor. Pertama, didasarkan pada ayat al-Qur’an dan as-
Sunnah yang dicantumkan secara eksplisit dan otentik. Kedua, Tersusun secara tematik,
mencakup unsur hukum taklifi dan hukum wadh’i. Ketiga, mencakup berbagai bidang
kehidupan manusia, disertai dengan kaifiah (cara-cara) masing-masing. Dalam berbagai
hal, paraelel dengan perkembangan pranata sosial. Keempat, bersifat amaliah (praktis)
sehingga mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Fikih dijadikan rujukan dalam
menghadapi masalah hukum yang memerlukan pemecahan segera. Kelima, fikih
terdokumentasi dalam berbagagai kitab fikih yang tersebar menurut berbagai madzhab,
sehingga mudah untuk dipelajari dan disosialisasikan. Keenam, disosialisasikan dalam
berbagai lingkungan.
4 Ibid, hal. 13.
A R T I K E L
www.badilag.net
3
Marvyn K. Lewis 5 menyatakan bahwa kajian tentang syari’ah adalah fikih
(yurisprudensi), sedangkan praktisinya disebut fuqaha sebutan lain yang
digunakan adalah sarjana hukum.
Mencermati tradisi civil law dan common law, fikih mempunyai
pengertian yang sama dengan yurisprudensi -sebagai ilmu hukum-, tetapi
pemahaman yang berkembang di Indonesia, keduanya mempunyai
pengertian yang berbeda. Disatu pihak, yurisprudensi adalah putusan
pengadilan, sedangkan dilain pihak fikih adalah pendapat tertentu mengenai
hukum (legal opinion).6 Bukti konkrit dari eratnya hubungan fikih para
fuqaha dengan ekonomi syari’ah atau lembaga keuangan yang berkembang
di Indonesia, dapat dilihat di bidang perbankan syari’ah.7 Sungguhpun
demikian, belum ada undang-undang khusus yang mengatur bank syari’ah
apalagi hukum ekonomi syari’ah secara umum.
Perkembangan lembaga-lembaga keuangan syari’ah tergolong cepat,
diantara faktor pendukungnya adalah karena komunitas umat Islam di
5 Latifa M. AlGoud dan Marvyn K. Lewis, Perbankan Syari’ah, Prinsip, Praktis, Prospek
(Terjemahan Burhan Wirasubrata dari Buku Islamic Banking), Serambi Ilmu Semesta,
Jakarta, 2004, hal. 37.
6 Rifyal Ka’bah, Penegakan Syari’at Islam di Indonesia, Khairul Bayan, Jakarta, 2004, hal.
110.
Legal opinion disini adalah kaitannya pendapat hukum yang dikeluarkan oleh Dewan
Syari’ah Nasional (DSN) mengenai hukum Islam berkenaan dengan kegiatan dibidang
ekonomi syari’ah. DSN adalah sebuah institusi di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI)
yang dibentuk pada awal tahun 1999. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk
menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah. Angoota lembaga ini terdiri
dari para ahli dalam bidang syari’ah Islam serta praktisi ekonomi, terutama sector
keuangan, baik bank maupun non bank yang berfungsi untuk menjalankan tugas-tugas
MUI.
7 Yakni telah disinggung dalam beberapa pasal Undang-Undang seperti UU No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 dan UU No.
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004.
Juga terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia
(SEBI). Misalnya PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah, PBI No. 6/9/PBI/DPM Tahun 2004 tentang Penyisihan
Penghapusan aktiva Produktif bagi Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah, PBI No. 3/9/PBI/2003
tentang Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif bagi Bank Syari’ah dan Surat Edaran BI
No. 6/9/DPM Tahun 2004 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek
bagi Bak Syari’ah.
A R T I K E L
www.badilag.net
4
Indonesia adalah mayoritas muslim. Disamping itu adanya keyakinan yang
kuat di kalangan masyarakat Islam bahwa perbankan konvensional
mengandung unsur riba yang dilarang agama, sebagaimana rekomendasi
hasil lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan yang ditujukan
kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI), kepada pemerintah dan kepada
seluruh umat Islam.8 Disamping itu sejak krisis ekonomi mendera Indonesia
pada tahun 1997 hingga sekarang, bank syari’ah -bagian dari ekonomi
syari’ah- tetap sehat,9 saat bank-bank konvensional bertumbangan dan
tengah dijangkiti virus negative spread 10 sedangkan bank-bank yang
menerapkan prinsip bagi hasil melenggang tanpa beban.11
Sebagian umat Islam yang terlibat sebagai pelaku ekonomi syari’ah,
merasa bahwa melakukan transaksi syari’ah merupakan bagian dari
melaksanakan ajaran Islam, sebagai aktualisasi dari rasa keimanan kepada
Allah SWT, karena kegiatan ekonomi syari’ah dilandasi oleh ajaran-ajaran
Islam yang bersumber dari al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma dan al-Qiyas.12
Berbicara masalah fikih yang mempunyai hubungan erat dengan kajian
ekonomi syari’ah tidak dapat pula dipisahkan dengan kedudukan ijtihad
dalam bidang ekonomi syari’ah, karena ijtihad memiliki peran yang sangat
strategis, hal ini disebabkan bahwa sebagian besar ketentuan-ketentuan
ekonomi syari’ah yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah bersifat
umum. Sedangkan pelaksanaannya di masyarakat kegiatan ekonomi
syari’ah selalu berkembang membentuk aturan yang bersifat khusus sesuai
8 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah (Deskripsi dan Ilustrasi), Ekonisia,
Yogyakarta, 2004, hal, 32.
9 Karnaen Perwataatmaja et.al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Prenada Media,
Jakarta, 2005, hal 195.
10 Menderita kerugian akibat bunga simpanan lebih tinggi dari bunga kredit sehingga Bank
Indonesia menerapkan tight money policy (kebijakan uang ketat) dengan menetapkan
bunga simpanan mencapai 70 persen. Satu sisi, otoritas moneter berharap dengan
meningkatkan bunga hingga setinggi itu, dana masyarakat akan tersedot ke sistem
perbankan.
11 M. Luthfi Hamidi, Jejak-Jejak Ekonomi Syari’ah, Senayan Abadi, Jakarta, 2003, hal. 47.
12 Tim Pengembangan Perbankan syari’ah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan
Implementasi Operasional Bank Syari’ah, Djambatan, Jakarta, 2005, hal. 13
A R T I K E L
www.badilag.net
5
dengan tuntutan kebutuhan masyarakat,13 sehingga dibutuhkan keberanian
dari hakim agama untuk menemukan hukum yang hidup dalam masyarakat,
yang tidak ditemukan aturannya dalan al-Qur’an dan as-Sunnah secara
pasti. Maka inilah nilai strategis ijtihad hakim yang produk hukumnya
disebut fikih –dalam ilmu hukum disebut yurisprudensi-.
Pesatnya perkembangan lembaga-lembaga ekonomi yang berbasis
syari’ah perlu payung hukum yang cukup memadai dalam mengatur perilaku
bisnis yang berlandaskan syari’ah, tidak cukup hanya berbekal pada doktrin
hukum (fikih) semata. Sebab sebagai lembaga yang diberi kewenangan
untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, kendatipun Pengadilan
Agama telah lama diakui eksistensinya14 namun hakimnya masih belum
memiliki buku standar yang dapat dijadikan rujukan secara bersama
layaknya KUHP, apalagi kewenangan di bidang ekonomi syari’ah adalah
kewenangan yang baru, praktis Hakim Pengadilan Agama masih
mengandalkan kitab-kitab fikih produk ijtihad para Imam Madzhab sebagai
bahan rujukan utama. Padahal menurut Joseph Schacht15 kitab-kitab fikih
madzhab yang diakui mempunyai otoritas yang mapan bukan merupakan
kitab hukum, cakupan hukum Islam di situ bukan menjadikan kitab fikih
tersebut menjadi undang-undang (a corpus of legislation), tetapi merupakan
hasil yang hidup dari ilmu hukum.
Tanpa suatu standarisasi atau keseragaman landasan hakim dalam
menyelesaikan sengketa, akibatnya banyak putusan yang berbeda dari
kasus yang sama dari masing-masing hakim antar Pengadilan Agama,
sehingga muncul ungkapan “different judge different sentence” (lain hakim
13 Gemala Dewi et. Al., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2005,
hal. 43.
14 Lembaga ini dibentuk sejak tahun 1882 ditempat-tempat yang ada landraad (Pengadilan
Negeri-nya), bahkan sebelum secara formil diakui oleh pemerintah pada tahun 1882
tersebut, Pengadilan Agama telah diterapkan secara riil. Begitu juga pada tahun 1760 telah
diterbitkan compendium freijer yang menghimpun materi hukum perkawinan dan waris
Islam yang dijadikan pedoman menyelesaikan sengketa antar orang-orang Islam.
15 Joseph Schacht, an Introduction to Islamic Law (edisi terjemahan Pengantar Hukum
Islam), Islamika, Jogjakarta, 2003, hal. 106.
A R T I K E L
www.badilag.net
6
lain pendapat dan putusannya). Dari sudut teori hukum berarti produkproduk
putusan Pengadilan Agama bertentangan dengan prinsip kepastian
hukum.16 apabila putusan Pengadilan Agama selalu didasarkan pada doktrin
fikih, maka para pihak yang berperkara dalam kesempatan yang diberikan
oleh Majelis Hakim bisa saja mengajukan dalih dan dalil ikhtilafi 17 dan
mereka menuntut hakim untuk mengadili menurut pendapat dan doktrin
madzhab tertentu yang diikutinya.
Landasan Yuridis Penggunaan Fikih Muamalah Dalam Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syari’ah
Kendatipun masalah ekonomi syari’ah merupakan bidang baru dari
kewenangan Pengadilan agama yang belum diatur dalam perundangundangan,
maka hal ini merupakan kewajiban bahkan sudah merupakan
asas peradilan untuk tetap menyelesaikannya, dasar hukumnya adalah:
1) Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, bahwa
pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.
2) Tidak ada satupun ketentuan undang-undang yang melarang
penerimaan atas ilmu pengetahuan termasuk doktrin -fikih
16 Munawir Sadzali, Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, (Dalam Peradilan
Agama dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Tata Hukum Indonesia, UII Press,
Yogyakarta, 1993, hal. 2).
17 Dalil yang masih dipertentangkan keabsahannya oleh para fuqaha tentang suatu hukum
terhadap kasus-kasus tertentu sehingga masing-masing madzhab mempunyai pendapat
sendiri-sendiri. Implikasinya apabila antara hakim dan para pihak berperkara berbeda
madzhab, maka sangat mungkin putusan yang diambil tidak menyentuh rasa keadilan para
pihak yang berperkara.
A R T I K E L
www.badilag.net
7
muamalah- sebagai dasar dalam menyelesaikan sengketa atau
perkara.18
3) Kadang-kadang hakim merasa pengetahuannya di bidang hukum
masih sangat terbatas, sehingga menganggap perlu mendasarkan
putusannya pada pendapat para ahli yang dianggapnya lebih
mengetahui. 19
Pengertian hakim mendasarkan putusannya pada pendapat para ahli
yang lebih mengerti sebagaimana point tiga (3) di atas mempunyai dua
konotasi. Dalam teori hukum Islam (Islamic legal theory), apabila hakim
tersebut mendasarkan putusannya kepada pendapat para ahli fikih (imam
madzhab / fuqaha) dengan memahami dan mengerti baik cara maupun
alasan-alasan yang menjadi dasar yang bersangkutan menetapkan garisgaris
hukum terhadap kasus tertentu, maka hakim yang demikian
menggunakan cara ittiba’20 dalam ajaran Islam hal ini dibolehkan. Namun
apabila hakim dalam menyelesaikan perkara secara membabi buta
mengikuti madzhab tertentu sesuai yang diikutinya, padahal garis hukum
yang dibuat oleh madzhab yang dianutnya tersebut belum tentu cocok
diterapkan pada kondisi sekarang, yakni masih memerlukan pengkajianpengkajian
secara seksama, maka jalur yang digunakan oleh hakim tersebut
disebut taklid, dalam ajaran Islam hal ini dilarang.21 Demikian juga
kaitannya dalam tesis ini, Hakim Agama yang mendasarkan putusannya
semata-mata atas dasar doktrin madzab yang dianutnya dengan tidak
memperhatikan madzhab yang diikuti oleh para pihak atau nilai-nilai hukum
18 Muhammad Amin Suma, Tinjauan Fiqh Islam Terhadap Yurisprudensi Peradilan agama
dari Pelaksanaan Undang-Undang Peradilan Agama (Dalam Laporan Seminar 10 Tahun
Undang-Undang Peradilan Agama Kerjasama DITBAPERA-Islam, Fakultas Hukum UI, dan
Pusat Pengkajian Hukum slam dan Masyarakat), Chasindo, Jakarta, 1989, hal. 63.
19 Dudu Duswara, Op.Cit., hal. 101
20 ittiba’ mengikuti pendapat madzhab fikih tertentu dengan mengetahui alasan-alasan
penetapan hukumnya.
21 Moh. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam (Sejarah Timbul dan Berkembangnya
Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia), Sinar Grafika, Jakarta, 2004,
hal: 70.
A R T I K E L
www.badilag.net
8
yang berkembang dalam masyarakat, berarti hakim tersebut telah
menjadikan madzhabnya sebagai kitab hukum, maka hal ini bertentangan
dengan azas hukum yang menyatakan bahwa putusan pengadilan
berdasarkan hukum, dan dalam teori hukum Islam hakim yang demikian
termasuk hakim muqallid -taklid buta- yang dilarang (diharamkan) dalam
Islam.
Undang-Udang Nomor 4 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 menganjurkan atau bahkan menuntut Hakim Agama supaya
melakukan ijtihad (rechtvinding). Anjuran ini antara lain dapat dipahami dari
teks-teks di bawah ini:
1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili
sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau
kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya
(Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 jo Pasal 56 ayat (1) UU No.
7 Tahun 1989.
2) Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam masyarakat …”
(Angka 7 Penjelasan Umum UU No. 14 Tahun 1970).
3) Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Para
pihak pencari keadilan datang padanya untuk mohon keadilan.
Andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali
hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum, sebagai
seorang hakim yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara”
(Penjelasan Pasal 14 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970.
4) Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat (the living law). Dalam masyarakat yang masih mengenal
hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan
A R T I K E L
www.badilag.net
9
peralihan, hakim merupakan rumus dan penggali dari nilai-nilai hukum
yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu hakim harus terjun ke
tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu
menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang
sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat” (Pasal 27 berikut
penjelasannya UU No. 14 Tahun 1970 ).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa setiap hakim dalam
lingkungan Peradilan Agama pada dasarnya dituntut supaya
mengembangkan kemampuan ijtihadnya (rechtvinding), karena tidak ada
satupun undang-undang yang melarang hakim -terutama Hakim Agamauntuk
berijtihad. Termasuk dalam katagori ijtihad disini adalah ia berusaha
mencari / memberikan keputusan hukum yang lebih sesuai dan adil dalam
upaya mengembangkan sistem hukum itu sendiri. Pendek kata, bahwa
putusan hakim Pengadilan Agama yang menyalahi norma-norma fikih
madzhab tertentu, sangat dimungkinkan menurut kajian ilmu fikih dan ushul
fikih. Tentu putusan yang dimaksudkan dilakukan berdasarkan mekanisme
ijtihad yang prosedural dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik
maupun persyaratan-persyaratan ijtihad lainnya. Mekanisme ijtihad menurut
ilmu ushul fikih dalam menghadapi perbedaan madzhab perlu
memperhatikan beberapa hal antara lain:22
a) Apabila salah satu dari beberapa pendapat fikih menjadi undangundang,
maka yang diberlakukan dalam masyarakat adalah
pendapat yang telah dicantumkan dalam undang-undang, ini berarti
baik hakim maupun mufti terikat oleh bunyi undang-undang.
b) Jika belum menjadi undang-undang, tetapi telah terjadi
kesepakatan dalam masyarakat bahwa yang akan diberlakukan di
pengadilan adalah madzhab atau pendapat tokoh tertentu, maka
22 M. Zein, Satria Effendi, Analisis Fiqh, Mimbar Hukum No. 37 Tahun IX, Al-Hikmah &
DITBINBAPERA Islam, Jakarta, Mei-Juni 1998, hal. 86.
A R T I K E L
www.badilag.net
10
untuk selanjutnya kesepakatan itu berlaku bagi masyarakat
tersebut.
c) Jika belum ada undang-undang yang mengatur, dan tidak pula ada
kesepakatan untuk memilih madzhab mana yang akan diberlakukan
di pengadilan, maka jalan yang harus ditempuh adalah memakai
pendapat yang sudah biasa dipakai masyarakat tersebut.
d) Jika ternyata ketentuan-ketentuan itu bertentangan dengan al-
Qur’an, dan as-Sunnah dan pada kasus tertentu dalam pandangan
hakim akan bertentangan dengan kemaslahatan atau bertentangan
dengan tujuan syari’at, maka hakim baru boleh keluar dari
ketentuan-ketentuan tersebut. Ia dalam menghadapi kondisi seperti
ini boleh memilih keputusan lain, seperti yang terdapat dalam
prinsip-prinsip istihsan.23
Terjadinya perbedaan antara putusan hakim dengan fikih madzhab
sangat dimungkinkan, mengingat kebenaran doktrin fikih pada dasarnya
adalah bersifat nisbi dan sangat dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu
saat fikih dibuat.24
Dalam perspektif azas legalitas dan persamaan di depan hukum,
sebagaimana diatur dalam Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006, apabila dikaitkan uraian di atas, seharusnya pengadilan
menegakkan hukum melalui putusan yang berlandaskan hukum, sehingga
mengarah pada suatu kesatuan tindakan dan arah law enforcement
bertindak menurut rule of law. Artinya, Hakim Agama dalam menjalankan
fungsi dan wewenangnya tidak boleh melampauhi hukum. Semua yang
23 Prinsip istihsan adalah perpindahan dari suatu hukum yang telah ditetapkan oleh dalil
syar’i kepada hukum lain karena ada dalil syar’i yang mengharuskan perpindahan ini sesuai
dengan jiwa syari’at Islam.
24 Muhammad Amin Suma, Ibid.
A R T I K E L
www.badilag.net
11
dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan,
harus menurut hukum.25
Kalimat di atas memunculkan pertanyaan, apa hukum itu ? Sampai
saat ini sulit mendefinisikan apakah hukum itu, karena hukum memiliki
banyak segi dan bentuk serta luasnya subtansi yang terkandung di
dalamnya, sehingga pertanyaan yang muncul pada madzhab-madzhab
hukum bukan “apakah hukum itu”, tetapi “dimanakah adanya hukum itu”.26
Sulitnya memberikan pengertian tentang apa hukum itu didukung oleh
pernyataan Immanuel Kant (1724-1804) sebagaimana dikutip oleh L.J. Van
Apeldoorn:27 “Noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von
recht” (Tidak seorangpun dari ahli hukum yang mampu membuat suatu
definisi mengenai hukum). Dalam kajian akademis, hukum sering
dikonsepsikan: Pertama, sebagai peraturan perundang-undangan yang
berlaku, hukum positif, atau undang-undang, dengan komitmen bahwa
diluar itu bukanlah hukum. Kedua, hukum dipahami sebagai keberlakuan
empirik atau faktual dari hukum yang hidup dalam kenyataan di
masyarakat. Apa yang dinyatakan sebagai hukum haruslah sesuai dengan
kenyataan kemasyarakatan,28 sehingga hukum harus dipahami sebagai a
cultural institution yang berkembang sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
realita kehidupan dalam masyarakat. Kedua pandangan tersebut akan
melahirkan hakim dan pola pikir hakim yang berbeda.
Menurut pendapat Mahfud MD sebagaimana dikutip oleh Kurtubi
Kosim,29 bahwa konsep negara hukum adalah terjemahan dari konsep
rechtsstaat dan konsep the rule of law. Tradisi dan filosofi kedua istilah asing
25 M. Yahya Harahap, Arah Tujuan Kompilasi Hukum Islam, Buletin Hikmah Th. I N0. 2,
1986, Surabaya, hal. 82.
26 Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
hal. 35.
27 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976, hal. 13.
28 J.J.H. Bruggink, Refleksi tentang hukum (alih bahasa Arief Sidarta), Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, hal. 163.
29 Kurtubi Kosim, Putusan dan Penemuan Hukum, Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Tahun XIV,
Al-Hikmah dan DITBINBAPERA-Islam, Jakarta, Januari-Februari 2003, hal. 92.
A R T I K E L
www.badilag.net
12
ini berbeda. Istilah rechtsstaat berasal dari tradisi hukum Eropah Kontinental
yang didasarkan pada madzhab legisme. Menurut madzhab ini, konsep
hukum identik dengan undang-undang dalam bentuk tertulis dengan
penekanan pada kepastian hukum. Putusan hakim yang adil menurut konsep
ini adalah putusan hakim yang sesuai dengan undang-undang, karena lebih
menjamin kepastian hukum. Sedangkan istilah the rule of law berasal dari
tradisi hukum negara-negara Anglo Saxon yang lebih mengutamakan
common law (hukum tidak tertulis). Menurut konsep ini yang dikatakan
hukum yang sebenarnya adalah putusan hakim yang berdasarkan keadilan.
Hakim tidak terikat pada bunyi undang-undang tetapi menciptakan hukum
sendiri guna menjamin tegaknya keadilan.
Melengkapi pendapat di atas, Bernard Arief Sidharta30 mengemukakan
tiga catatan. Pertama, Negara Pancasila adalah negara hukum, artinya
semua penggunaan kekuasaan harus ada landasan hukumnya dan dalam
kerangka batas-batas yang ditetapkan oleh hukum. Kedua, negara
Pancasila adalah negara demokrasi yang dalam keseluruhan kegiatan negara
selalu terbuka bagi partisipasi rakyatnya. Ketiga, Negara Pancasila yang
dicita-citakan adalah negara hukum yang berdasarkan asas kerakyatan
bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan berkeadilan.
Mencermati beberapa pendapat di atas, maka dapat diketahui,
Indonesia tidak murni menganut sistem statut law dan juga tidak menganut
sistem common law secara ketat. Kedua sistem itu diberi tempat dan
kesempatan yang sama dalam mengelola hukum di Indonesia. Hal ini dapat
dilihat dari kecenderungan masyarakat akademis dan praktisi hukum di
Indonesia dalam menganalisa proses penemuan hukum yurisprudensi (fikih)
cenderung ke arah penggabungan (kumulasi) kedua sistem tersebut, dengan
skala prioritas mendahulukan hukum dalam pengertian peraturan
30 Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum (Sebuah Penelitian tentang
Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu
Hukum Nasional Indonesia), Mandar Maju, Bandung, 1999, hal. 48.
A R T I K E L
www.badilag.net
13
perundang-undangan, baru kemudian hukum yang hidup dalam masyarakat
sebagai penyelarasnya, sehingga terjadi link atau jalinan kerjasama yang
saling mengisi dan memperkuat.31
Konsep hukum Indonesia adalah hukum tertulis sebagaimana hukum
yang dianut oleh Eropah Kontinental. Pasal I aturan Peralihan UUD 1945
menyebutkan: “Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih
langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
Undang Dasar ini”. Berdasarkan pasal ini, maka yang dimaksud dengan
hukum adalah hukum yang tertulis atau undang-undang dan bukan kitab
yang berisi doktrin-doktrin hukum / fikih, tetapi ketentuan ini bukan
merupakan ketentuan yang menutup pintu ijtihad bagi hakim dalam
menemukan hukum, sebab konteks tugas hakim berdasarkan Pasal 16 ayat
(1) UU Nomor 4 Tahun 2004, hakim tidak boleh menolak perkara dengan
alasan hukum (hukum tertulis) tidak ada atau kurang jelas. Dalam Pasal 28
ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 juga dinyatakan bahwa hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Oleh
karena itu tidak benar apabila hakim dengan alasan kepastian hukum
mendasarkan putusannya pada bunyi undang-undang. Seharusnya kedua
konsep sistem hukum di atas dipadukan secara komplementer32 dimana
kepastian hukum harus ditegakkan selama tidak bertentangan dengan rasa
keadilan. Tugas hakim adalah sebagai pengharmonisasi antara hukum dalam
pengertian undang-undang dengan hukum yang riil hidup di masyarakat.
Penggunaan Fikih Muamalah Sebagai Dasar Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syari’ah dalam Perspektif Azas Hukum
31 H.M.Fauzan, Hakim Sebagai Pembentuk “Hukum Yurisprudensi” di Indonesia, Majalah
Hukum Varia Peradilan Tahun ke XXI No. 244, IKAHI, Jakarta, Maret 2006, hal. 44.
32 Selaras dengan pendapat madzhab terpadu yang dimunculkan oleh Von Savigny karena
melihat kenyataan adanya kebutuhan hukum masyarakat akan berlakunya hukum
kebiasaan disamping undang-undang. Ia menyempurnakan ajara dari madzhab sejarah dan
madzhab legisme.
A R T I K E L
www.badilag.net
14
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik pemikiran secara
deduktif, bahwa bidang ekonomi syari’ah adalah identik dengan bidang fikih
muamalah karena fikih muamalah selalu menjadi bagian dan landasan bagi
kegiatan ekonomi syari’ah. Sedangkan fikih merupakan produk ijtihad
(penalaran) para yuris Islam berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang
kemudian pemikiran-pemikiran mereka didokumentasikan dalam berbagai
kitab fikih yang tersusun secara tematik dan mencakup berbagai bidang
kehidupan yang kemudian dijadikan pedoman bagi hakim dalam memutus
perkara. Oleh karena fikih sebagai ilmu maka kebenarannya adalah tentatif,
artinya tidak alergi kritik, bisa diuji dan dikaji ulang sesuai dengan dimensi
ruang (locus, al-makanu) dan waktu (tempus, al-zamanu) dimana fikih
muamalah itu dijadikan pedoman hukum.
Oleh karena itu apabila hakim Pengadilan Agama dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah mendasarkan putusannya pada
fikih muamalah madzhab tertentu secara membabi buta (taklid) sesuai
dengan yang diikutinya atau buku yang dipedomani tanpa memperhatikan
hukum yang hidup dalam masyarakat, maka hal tersebut jelas bertentangan
dengan azas hukum yang menyatakan bahwa putusan pengadilan harus
berdasarkan hukum, tidak boleh diadili berdasarkan buku doktrin madzhab
atau berdasarkan pendapat ahli maupun fatwa ulama sebagaimana asas
legalitas yang termaktub dalam pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006. Namun demikian mengingat adanya perubahan zaman dan
perbedaan tempat dimana fikih madzhab dibuat, yang pada gilirannya
menuntut pergeseran tata nilai di masyarakat. Dalam banyak hal aturanaturan
fikih yang normatif ini bisa saja dianggap kurang sesuai dengan
tuntutan kebenaran dan rasa keadilan masyarakat. Pada kondisi demikian,
tidak jarang atau merupakan suatu keharusan bagi hakim –terutama Hakim
Agama- untuk melakukan ijtihad (menemukan hukum) dalam
A R T I K E L
www.badilag.net
15
menyelesaikan perkara-perkara sengketa ekonomi syari’ah di pengadilan,
yang kepastian hukumnya tidak secara eksplisit terdapat dalam undangundang.
Namun demikian seyognya sebagai negara yang menganut tradisi
civil law tetap perlu segera menerbitkan undang-undang yang mengatur
masalah ekonomi syari’ah agar dapat dijadikan pedoman bagi para hakim
Pengadilan agama dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berkenaan
dengan ekonomi syari’ah, sehingga tetap terbina adanya kepastian hukum
dan rasa keadilan bagi masyarakat. Dus, pelaksanaan hukum yang baik
adalah pelaksanaan yang dapat diprediksi oleh masyarakat sesuai dengan
hukum yang berlaku dan sesuai dengan rasa keadilan di masyarakat.
D. Penutup
Dari pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Legalitas penggunaan fikih muamalah sebagai dasar hakim Pengadilan
Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah kaitannya
dengan asas hukum dapat diklasifikasikan dalam dua sudut pandang
dalam penerapan hukum:
a. Penggunaan fikih muamalah -dalam arti sempit ekonomi syari’ahmenurut
doktrin madzhab tertentu (taqlid) secara terus menerus
sesuai dengan madzhab yang diikutinya atau buku yang selalu
menjadi rujukannya tanpa memperhatikan madzhab fikih yang
berkembang dalam masyarakat -terutama masyarakat pencari
keadilan- adalah bertentangan dengan asas legalitas yang menyatakan
bahwa putusan hakim berdasarkan hukum. Yang dimaksud hukum di
sini adalah undang-undang atau hukum yang riil hidup dalam
masyaralat (the living law) sebagai sistem hukum di Indonesia yang
menggunakan tradisi hukum civil law dan common law secara
berimbang.
A R T I K E L
www.badilag.net
16
b. Legalitas penggunaan fikih muamalah yang tidak terikat secara terusmenerus
terhadap madzhab tertentu (taqlid) sebagai dasar dalam
meyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah adalah sah menurut hukum,
karena subtansi hukum (legal substance) yang mengatur tentang
ekonomi syari’ah hanya sebagian kecil yang telah diatur dalam
undang-undang. Sebagai negara yang menganut tradisi civil law dan
common law secara tidak ketat, sepanjang hukum itu belum diatur
dalam undang-undang, maka ada ruang bagi hakim untuk
menemukan hukum (rechtvinding) yang hidup dalam masyarakat (the
living law), sesuai dengan karakter fikih muamalah itu sendiri yang
tidak skeptis, tidak alergi kritik, dapat diuji dan dikaji ulang sesuai
dengan dimensi ruang dan waktu dimana fikih itu ditetapkan dan
diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003.
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum (Sebuah
Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu
Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional
Indonesia), Mandar Maju, Bandung, 1999.
Gemala Dewi et. Al., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Prenada Media,
Jakarta, 2005
H.M.Fauzan, Hakim Sebagai Pembentuk “Hukum Yurisprudensi” di
Indonesia, Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun ke XXI No. 244,
IKAHI, Jakarta, Maret 2006.
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah (Deskripsi dan
Ilustrasi), Ekonisia, Yogyakarta, 2004.
A R T I K E L
www.badilag.net
17
J.J.H. Bruggink, Refleksi tentang hukum (alih bahasa Arief Sidarta), Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1996.
Joseph Schacht, an Introduction to Islamic Law (edisi terjemahan Pengantar
Hukum Islam), Islamika, Jogjakarta, 2003
Karnaen Perwataatmaja et.al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia,
Prenada Media, Jakarta, 2005.
Kurtubi Kosim, Putusan dan Penemuan Hukum, Jurnal Mimbar Hukum No.
59 Tahun XIV, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA-Islam, Jakarta,
Januari-Februari 2003.
Latifa M. Al-Goud dan Marvyn K. Lewis, Islamic Banking (Perbankan
Syari’ah, Prinsip, Praktis, Prospek terjemahan Burhan Wirasubrata),
Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2004.
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta,
1976.
M. Luthfi Hamidi, Jejak-Jejak Ekonomi Syari’ah, Senayan Abadi, Jakarta,
2003.
Moh. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam (Sejarah Timbul dan
Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.
Muhammad Amin Suma, Tinjauan Fiqh Islam Terhadap Yurisprudensi
Peradilan agama dari Pelaksanaan Undang-Undang Peradilan
Agama (Dalam Laporan Seminar 10 Tahun Undang-Undang
Peradilan Agama Kerjasama DITBAPERA-Islam, Fakultas Hukum UI,
dan Pusat Pengkajian Hukum slam dan Masyarakat), Chasindo,
Jakarta, 1989.
Munawir Sadzali, Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, (Dalam
Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Tata
Hukum Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 1993.
M. Yahya Harahap, Arah Tujuan Kompilasi Hukum Islam, Buletin Hikmah Th.
I N0. 2, 1986, Surabaya.
Rifyal Ka’bah, Penegakan Syari’at Islam di Indonesia, Khairul Bayan,
Jakarta, 2004
A R T I K E L
www.badilag.net
18
___________, Penyelesaian sengketa Ekonomi Syari’ah Sebagai Sebuah
Kewenangan Baru Peradilan Agama, Majalah Hukum Varia
Peradilan, Tahun ke XXI No. 245, IKAHI, Jakarta, April 2006.
Satria Effendi M. Zein , Analisis Fiqh, Mimbar Hukum No. 37 Tahun IX, Al-
Hikmah & DITBINBAPERA Islam, Jakarta, Mei-Juni 1998.
Tim Pengembangan Perbankan syari’ah Institut Bankir Indonesia, Konsep,
Produk dan Implementasi Operasional Bank Syari’ah, Djambatan,
Jakarta, 2005.
A R T I K E L
www.badilag.net
19
BIODATA PENULIS :
Nama : Suhartono, S.Ag.,SH.,MH.
NIP : 150 275 943
Gol/ruang: Penata (III/c)
Jabatan : Panitera Pengganti / Calon Hakim PA
(menunggu SK Penempatan)
Alamat : Jl. Bugenvile No. 20 Demangan
Regency Lamongan.
e-mail : suhartono_71@yahoo.com
HP : 08123 123 328
Riwayat Pendidikan :
1. SDN Banjarejo Lamongan Th. 1984
2. MTs. Pon.Pes Maskumambang Gresik Th. 1987
3. MA. Pon.Pes Maskumambang Gresik Th. 1990
4. S1 Fak. Syariah IAIN Sunan Ampel Th. 1995
5. S1 Ilmu Hukum UNARS Th. 2003
6. S2 Magister Hukum Ekonomi UNEJ Th. 2006
Riwayat Organisasi :
1. Ketua Bidang Perguruan Tinggi dan Kemahasiswaan HMI Cabang Surabaya Kom.
Syari’ah Tahun 1991-1992
2. Ketua Umum HMI Cabang Surabaya Kom. Syariah Tahun 1992-1993
3. Departemen Komunikasi Umat HMI Cabang Surabaya Tahun 1993 -1995.
4. KAHMI Cabang Surabaya Th. 1995 – Sekarang.
Riwayat Pekerjaan :
1. Capeg PA. Situbondo Th. 1996
2. PNS PA. Situbondo Th. 1998
3. Ka.Ur Kepegawaian PA Situbondo Th. 2000
4. Kaur Kepeg & Panitera Pengganti PA. Situbondo Th. 2001 s.d. 2002
5. Panitera Pengganti PA Situbondo Th. 2002 s.d 01-07-2007
6. Panitera Pengganti Pengadilan Agama Lamongan sejak Tgl. 02-07-2007 s.d.
sekarang
Penghargaan yang Pernah diperoleh
A R T I K E L
www.badilag.net
20
Selama menjadi mahasiswa :
1. Termasuk Mahasiswa Terbaik Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel yang berhak
mendapatkan beasiswa dan piagam penghargaan Supersemar Th. 1993.
2. Termasuk Mahasiswa Terbaik yang ditunjuk mewakili IAIN Sunan Ampel mengikuti
Penataran P-4 Tingkat Provinsi Jawa Timur Th. 1993.
3. Wisudawan Terbaik ke-2 Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Tahun 1995
Gelombang-1.
4. Wisudawan Terbaik-1 S2 Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Ekonomi Universitas
Jember (UNEJ) tahun 2006.
Penghargaan yang Pernah diperoleh
Selama menjadi pegawai :
- Peserta Terbaik-1 diklat ADUM Th. 2001 di Balai Diklat Kanwil Depag Surabaya.
Diklat / Pelatihan Yustisial yang Pernah diikuti
Selama menjadi Pegawai :
1. Diklat Pembekalan CPNS Th. 1997 di Surabaya.
2. Diklat Prajabnas Gol. III (LPJ) Th. 1997 di Malang.
3. Pelatihan Ketatalaksanaan Th. 1998 di Surabaya.
4. Penataran Jurusita Pengganti Th. 1999 di Surabaya.
5. Diklat ADUM Th. 2001 di Surabaya.
6. Diklat Calon Panitera Pengganti Th. 2001 di Surabaya.
7. Pelatihan Tehnis Yustisial Panitera Pengganti Th. 2002 di Malang.
8. Kursus Hisab Rukyat tk. Intermediate s.d. edvance Th. 2002 s.d 2004 di Surabaya.
9. Work Shop Peningkatan Tenaga Tehnis Hisab Rukyat Tingkat Menengah Th. 2004
di Ciawi Bogor.
10. Pendidikan Calon Hakim Th. 2007 di Anyer, Serang, Banten.
Artikel-Artikel Yang Pernah
Dimuat di Jurnal Hukum :
1. Aktualisasi Hukum Islam dalam Masalah Perkawinan dan Kewarisan di Indonesia
(Suatu Perspektif Sosio Kultural Historis).
Mimbar Hukum No. 54 Thn. XII 2001
2. M. Natsir: Ditengah Pergumulan Pemikiran Agama dan Negara
Mimbar Hukum No. 58 Thn. XIII 2002
3. Egaliterianisme Dalam Perspektif Hukum Islam (Refleksi atas Pemikiran Asghar Ali
Enginer Tentang Kesetaraan Gender)
Mimbar Hukum No. 62 Th. XIV 2003
4. Prospek Legislasi Fikih Muamalah Dalam Sistem Hukum Nasional
www.Badilag.net tgl. 31-10-2007
5. KONFIGURASI POLITIK DAN LEGISLASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA
(Suatu Kajian tentang Positivisasi Fikih Muamalah dalam Perspektif Politik
Hukum).
www.Badilag.net tgl. 05-11-2007
A R T I K E L
www.badilag.net
21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download Lagu Gratis, MP3 Gratis