Bookmark and Share

Senin, 25 Januari 2010

Faktor Pendukung Institusi Lembaga Keuangan Sari’ah

Oleh : H. Jazuli Suryadhi *)

Abstrack :
Ada sejumlah alasan mengapa institusi keuangan konvensional yang
ada sekarang ini mulai melirik sistem syariah, antara lain pasar yang
potensial karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan
kesadaran mereka untuk berperilaku bisnis secara Islami. Oleh karenanya
perlu adanya lembaga yang mendampingi lembaga keuangan syari’ah
tersebut seperti; Ulama yang menguasai ilmu syariat sehingga mampu
menghasilkan fatwa-fatwa yang valid dan akurat.
Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari bangunan
ekonomi Islami yang tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan alat
ukur bagi kemajuan ekonomi syari’ah di Indonesia. Fatwa merupakan salah
satu institusi dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan solusi
terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam pada umumnya
menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku.
Para ulama yang berkompeten terhadap hukum-hukum syariah
memiliki fungsi dan peran yang amat besar dalam perbankan syariah, yaitu
sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Dewan Syariah Nasional
(DSN). Fungsi utama para ulama yang yang tergabung dalam Dewan
Pengawas Syariah (DPS) Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah mengawasi
produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam.
1
Pendahuluan
Perkembangan ekonomi syari’ah di Indonesia demikian cepat,
khususnya perbankan, asuransi dan pasar modal. Jika pada tahun 1990-an
jumlah kantor layanan perbankan syariah masih belasan, maka tahun
2000an, jumlah kantor pelayanan lembaga keuangan syariah itu melebihi
enam ratusan yang tersebar di seluruh Indonesia. Asset perbankan syari’ah
ketika itu belum mencapai Rp 1 triliun, maka saat ini assetnya lebih dari Rp
22 triliun. Lembaga asuransi syariah pada tahun 1994 hanya dua buah yakni
Asuransi Takaful Keluarga dan Takaful Umum, kini telah berjumlah 34
lembaga asuransi syariah (Data AASI 2006)1. Demikian pula obligasi syariah
tumbuh pesat mengimbangi asuransi dan perbankan syariah.
1. Lembaga Pemberi Fatwa
Salah satu lembaga yang berwenang memberikan aturan/arahan
selain lembaga yang dibentuk pemerintah adalah Majlis Ulama Indonesia
dalam hal ini Dewan Syariah Nasional (DSN)
Para praktisi ekonomi syari’ah, masyarakat dan pemerintah
(regulator) membutuhkan fatwa-fatwa syariah dari lembaga ulama (MUI)
berkaitan dengan praktek dan produk di lembaga-lembaga keuangan
syariah tersebut. Perkembangan lembaga keuangan syariah yang
demikian cepat harus diimbangi dengan fatwa-fatwa hukum syari’ah yang
valid dan akurat, agar seluruh produknya memiliki landasan yang kuat
secara syari’ah. Untuk itulah Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dilahirkan
pada tahun 1999 sebagai bagian dari Majlis Ulama Indonesia.2
1 www.media-indonesia.com
2 Antonio Sjafi’I, Bank Sjariah dari teori ke praktek, Tazkia Cendekia-Gema Insani Pers, Jakarta,
2001, cetakan 1.
2
2. Kedudukan Fatwa
Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk
memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat.
Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di
dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebab posisi fatwa di kalangan
masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid (Al-Fatwa fi
Haqqil ’Ami kal Adillah fi Haqqil Mujtahid). Artinya, Kedudukan fatwa bagi
orang kebanyakan, seperti dalil bagi mujtahid.3
Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari bangunan
ekonomi Islami yang tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan
alat ukur bagi kemajuan ekonomi syari’ah di Indonesia. Fatwa ekonomi
syari’ah yang telah hadir itu secara teknis menyuguhkan model
pengembangan bahkan pembaharuan fiqh muamalah maliyah. (fiqh
ekonomi) Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi Tabyin dan Tawjih.
Tabyin artinya menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi
lembaga keuangan, khususnya yang diminta praktisi ekonomi syariah ke
DSN dan Taujih, yakni memberikan guidance (petunjuk) serta
pencerahan kepada masyarakat luas tentang norma ekonomi syari’ah. 4
Memang dalam kajian ushul fiqh, kedudukan fatwa hanya
mengikat bagi orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa.
Namun dalam konteks ini, teori itu tidak sepenuhnya bisa diterima, karena
konteks, sifat, dan karakter fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda
dengan fatwa klasik. Teori lama tentang fatwa harus direformasi dan
diperpaharui sesuai dengan perkembangan dan proses terbentuknya
fatwa. Maka teori fatwa hanya mengikat mustaft (orang yang minta fatwa)
tidak relevan untuk fatwa DSN. Fatwa ekonomi syariah DSN saat ini tidak
3 Sakti, Ali, Analisis Teoritis Ekonomi Islam, Aqsa Publishing / Paradigma, tahun 2007 cetakan 1, hal
7
4 Antonio Sjafi’I, Bank Sjariah dari teori ke praktek, Tazkia Cendekia-Gema Insani Pers, Jakarta,
2001, cetakan 1.
3
hanya mengikat bagi praktisi lembaga ekonomi syariah, tetapi juga bagi
masyarakat Islam Indonesia, apalagi fatwa-fatwa itu kini telah
dipositivisasi melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Bahkan DPR barubaru
ini, telah mengamandemen UU No 7/1989 tentang Perdilan Agama
yang secara tegas memasukkan masalah ekonomi syariah sebagai
wewenang Peradilan Agama.
Fatwa-fatwa ekonomi syari’ah saat di Indonesia dikeluarkan
melalui proses dan formula fatwa kolektif, koneksitas dan melembaga
yang disebut ijtihad jama’iy (ijtihad ulama secara kolektif), bukan ijtihad
fardi (individu), Validitas jama’iy dan fardi jelas sangat berbeda. Ijtihad
jama’iy telah mendekati ijma’. Seandainya hanya negara Indonesia yang
ada di dunia ini, pastilah kesepakatan para ahli dan ulama Indonesia itu
disebut Ijma’.
Fatwa dalam definisi klasik bersifat opsional ”ikhtiyariah” (pilihan
yang tidak mengikat secara legal, meskipun mengikat secara moral bagi
mustafti (pihak yang meminta fatwa), sedang bagi selain mustafti bersifat
”i’lamiyah” atau informatif yang lebih dari sekedar wacana. Mereka
terbuka untuk mengambil fatwa yang sama atau meminta fatwa kepada
mufti/seorang ahli yang lain.
Jika ada lebih dari satu fatwa mengenai satu masalah yang sama
maka ummat boleh memilih mana yang lebih memberikan qana’ah
(penerimaan/kepuasan) secara argumentatif atau secara batin. Sifat
fatwa yang demikian membedakannya dari suatu putusan peradilan
(qadha) yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak
yang berperkara.
Namun, keberadaan fatwa ekonomi syari’ah yang dikeluarkan
DSN di zaman kontemporer ini, berbeda dengan proses fatwa di zaman
klasik yang cendrung individual atau lembaga parsial. Otoritas fatwa
tentang ekonomi syari’ah di Indonesia, berada dibawah Dewan Syari’ah
4
Nasional Majlis Ulama Indonesia. Komposisi anggota plenonya terdiri dari
para ahli syari’ah dan ahli ekonomi/keuangan yang mempunyai wawasan
syari’ah. Dalam membahas masalah-masalah yang hendak dikeluarkan
fatwanya, Dewan Syari’ah Nasional (DSN) melibatkan pula lembaga mitra
seperti Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia
dan Biro Syari’ah dari Bank Indonesia.
Fatwa dengan definisi klasik mengalami pengembangan dan
penguatan posisi dalam fatwa kontemporer yang melembaga dan kolektif
di Indonesia. Baik yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI untuk
masalah keagamaan dan kemasyarakatan secara umum, maupun yang
dikeluarkan oleh DSN MUI untuk fatwa tentang masalah ekonomi syari’ah
khususnya Lembaga Ekonomi Syari’ah. Fatwa yang dikeluarkan oleh
Komisi Fatwa MUI menjadi rujukan yang berlaku umum serta mengikat
bagi ummat Islam di Indonesia, khususnya secara moral. Sedang fatwa
DSN menjadi rujukan yang mengikat bagi lembaga-lembaga keuangan
syari’ah (LKS) yang ada di tanah air, demikian pula mengikat masyarakat
yang berinteraksi dengan LKS.
3. Kaedah dan Prinsip
Fiqh muamalah klasik yang ada tidak sepenuhnya relevan lagi
diterapkan, karena bentuk dan pola transaksi yang berkembang di era
modern ini demikian cepat. Sosio-ekonomi dan bisnis masyarakat sudah
jauh berubah dibanding kondisi di masa lampau. Oleh karena itu, dalam
konteks ini diterapkan dua kaedah.
Pertama,
Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid aslah, yaitu,
memelihara warisan intelektual klasik yang masih relevan dan
membiarkan terus praktek yang telah ada di zaman modern, selama tidak
ada petunjuk yang mengharamkannya.
5
Kedua,
Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ’ala at-tahrim (Pada
dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang
mengharamkannya).
Selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip utama
muamalah, seperti; prinsip bebas riba, bebas gharar (ketidak-jelasan atau
ketidakpastian) dan tadlis, tidak maysir (spekulatif), bebas produk haram
dan praktek akad fasid/batil. Prinsip ini tidak boleh dilanggar, karena telah
menjadi aksioma dalam fiqh muamalah.Formulasi fatwa juga berpegang
pada prinsip maslahah atau ”ashlahiyah” mana yang maslahat atau lebih
maslahat untuk dijadikan opsi yang difatwakan. Konsep maslahah dalam
muamalah menjadi prinsip yang paling penting. Dalam ushul fiqh telah
populer kaedah, ”Di mana ada mashlalah, maka di situ ada syariah Allah”.
Watak maslahat syar’iyah antara lain berpihak kepada semua pihak atau
berlaku umum, baik maslahat bagi lembaga syariah, nasabah, pemerintah
(regulator) maupun masyarakat luas.
Kemaslahatannya tidak hanya diakui secara tanzhiriyah
(perhitungan teoritis) tetapi juga secara tajribiyah (pengalaman empirik di
lapangan). Karena itu untuk menguji shalahiyah (validitas) fatwa, harus
diadakan muraja’ah maidaniyah (pencocokan di lapangan) setelah
berjalan waktu yang cukup dalam implementasi fatwa ekonomi. Apakah
kemaslahatan dalam tataran teoritis mendapatkan pembenaran dalam
penerapannya di lapangan.
4. Peran Strategis Ulama
Sejarah mengenal ulama bukan semata sebagai sosok
berilmu, melainkan juga sebagai penggerak dan motivator masyarakat.
Kualitas keilmuan para ulama telah mendorongmendorong mereka untuk
6
aktif membimbing masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Terumuskannya system ekonomi Islam secara konseptual, termasuk
system perbankan syariah, adalah buah dari kerja keras para ulama.
Sebelum perbankan konvensional dikenal, masyarakat
sebenarnya telah melaksanakan transaksi berdasarkan muamalah Islam.
Dalam pertanian dan perkebunan dikenal adanya istilah maro,nelu, dan
sebagainya yang merupakan istilah lain dari bagi hasil. Hal demikian
dimungkinkan dengan arahan dari para ulama masa lampau yang
mengerti tentang pembagian hasil menurut ajaran Islam. Dalam
kehidupan modern, sekali lagi, para ulama berperan untuk mewujudkan
bank Islam seperti yang sekarang dikenal.
Para ulama yang berkompeten terhadap hukum-hukum
syariah memiliki fungsi dan peran yang amat besar dalam perbankan
syariah, yaitu sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Dewan
Syariah Nasional (DSN).
1. Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Peran utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah adalah
mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai
dengan ketentuan-ketentuan syariah. Hal ini karena transaksitransaksi
yang berlaku dalam bank syariah sangat khusus jika
dibandingkan bank konvensional. Karena itu, diperlukan garis
panduan (guidelines) yang mengaturnya. Garis panduan ini disusun
dan ditentukan oleh Dwan Syariah Nasional.5
5 Antonio Sjafi’I, Bank Sjariah dari teori ke praktek, Tazkia Cendekia-Gema Insani Pers, Jakarta,
2001, cetakan 1. hal, 233
7
2. Dewan Syariah Nasional (DSN)
Sejalan dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di tanah
air, berkembang pulalah jumlah DPS yang ada dan mengawasi
masing-masing lembaga tersebut. Banyak dan beragamnya DPS di
masing-masing lembaga keuangan syariah adalah suatu hal yang
harus disyukuri, tetapi juga diwaspadai. Kewaspadaan itu berkaitan
dengan adanya kemungkinan timbulnya fatwa yang berbeda dari
masing-masing DPS dan hal itu tidak mustahil akan membingungkan
umat dan nasabah. Oleh karena itu, MUI sebagai paying dari
lembaga dan organisasi keislaman di tanah air, menganggap perlu
dibentuknyasatu dewan syariah yang bersipat nasional dan
membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya
bank-bank syariah. Lembaga ini kelak kemudian dikenal dengan
Dewan Syariah Nasional (DSN).
Dewan Syariah Nasional dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan
hasil rekomendasi Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli
tahun yang sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonom di
bawah Majelis Ulama Indonesia dipimpin oleh Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia dan Sekretaris (ex officio). Kegiatan sehari-hari
Dewan Syariah Nasioanal dijalankan oleh Badan Pelaksana Harian
dengan seorang ketua dan sekretaris serta beberapa anggota.
Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produkproduk
lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah
Islam. Dewan ini bukan hanya mengawasi bank syariah, tetapi juga
lembaga-lembaga lain seperti asuransi, reksadana, modal ventura,
dan sebagainya. Untuk keperluan pengawasan tersebut, Dewan
8
Syariah Nasioanl membuat garis panduan produk syariah yang
diambil dari sumber-sumber hukum Islam. Garis panduan ini menjadi
dasar pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah pada lembagalembaga
keuangan syariah dan menjadi dasar pengembangan
produk-produknya.
Fungsi lain dari Dewan Syariah Nasional adalah meneliti dan
memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh
lembaga keuangan syariah. Produk-produk baru tersebut harus
diajukan oleh manajemen setelah direkomendasikan oleh Dewan
Pengawas syariah pada lembaga yang bersangkutan.
Selain itu, Dewan Syariah Nasional bertugas memberikan
rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai Dewan
Syariah Nasional pada suatu lembaga keuangan syariah
Dewan Syariah Nasional dapat memberi teguran kepada lembaga
keuangan syariah jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari
garis panduan yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan jika Dewan
Syariah Nasioanl telah menerima laporan dari Dewan Pengawas
Syariah pada lembaga yang bersangkutan mengenai hal tersebut.6
Jika lembaga keuangan syariah tersebut tidak mengindahkan
teguran yang diberikan, Dewan Syariah Nasioanl dapat
mengusulkan kepada otoritas yang berwenang, seperti Bank
Indonesia dan departemen Keuangan, untuk memberikan sanksi
agar perusahaan tersebut tidak mengembangkan lebih jauh
6 Antonio Sjafi’I, Bank Sjariah dari teori ke praktek, Tazkia Cendekia-Gema Insani Pers, Jakarta,
2001, cetakan 1. hal 234
9
tindakan-tindakannya yang tidak sesuai dengan syariah. Secara
garis besar, tugas dan mekanisme kerja DSN.
5. Produk Fatwa DSN
Sejak berdirnya tahun 1999, Dewan Syariah Nasional, telah
mengeluarkan sedikitnya 47 fatwa tentang ekonomi syariah, antara lain,
fatwa tentang; giro, tabungan, murabahah, jual beli salam, istishna’,
mudharabah, musyarakah, ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, uang muka
dalam murabahah, sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan
syari’ah, diskon dalam murabahah, sanksi atas nasabah mampu yang
menunda-nunda pembayaran, pencadangan penghapusan aktiva
produktiv dalam LKS, al-qaradh, investasi reksadana syariah, pedoman
umum asuransi syariah, jual beli istisna’ paralel, potongan pelunasan
dalam murabahah, safe deposit box, raha (gadai), rahn emas, ijarah
muntahiyah bit tamlik, jual beli mata uang, pembiayaan pengurusan haji di
LKS, pembiayaan rekening koran syariah, pengalihan hutang, obligasi
syariah, obligasi syariah mudharabah, Letter of Credit (LC) impor syariah,
LC untuk export, sertifikat wadiah Bank Indoensia, Pasar Uang antar Bank
Syariah, sertifikat investasi mudharabah (IMA), asuransi haji, pedoman
umum penerapan prinsip syariah di pasar modal, obligasi syariah ijarah,
kartu kredit, dsb.7
Kesimpulan :
Keberadaan sebuah dewan syariah tentu saja sangat penting
bagi sebuah lembaga, baik profit atau pun non profit.
Sebab pada saat ini, ada sekian banyak permasalahan yang
bersifat syubhat dan kompleks, sehingga kita semua ini membutuhkan
7 Remy Syahdeni, Sutan, DR. Prof. Perbankan Islam (dan Kedudukannya dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia) Grafiti, cetakan 2, tahun 2005, halaman 27.
10
advisor / concelor yang terkait dalam masalah halal dan haram.
Sedangkan tsaqafah dan wawasan umat Islam di negeri ini umumnya
sangat kurang.
Kalau menemukan sekedar orang-orang yang punya semangat
ke-Islaman atau pandai berceramah sehingga menarik pendengar,
barangkali tidak terlalu sulit. Tetapi kalau menemukan ulama yang
mendalami detail-detail masalah dari sudut pandang hukum Islam /
syariah, tentu bukan hal yang sederhana. Sebab jumlah ulama yang ahli
di bidang itu sangat sedikit, sedangkan kebutuhan atas jasanya
sedemikian banyak.
Di sisi lain, dinamika aktifitas sehari-hari yang semakin cepat,
maka keberadaan sebuah badan khusus yang menangani masalah
syariah menjadi penting. Badan atau dewan ini kerjanya adalah
melakukan pengawasan dan pengkajian tentang segala hal yang terkait
dengan hukum Islam.
Sebuah perusahaan yang ingin dikelola dengan cara-cara yang
Islami, tentu saja mutlak membutuhkan sebuah dewan syariah. Sebuah
hotel yang ingin menerapkan identitas hotel Islami, mutlak
membutuhkannya. Sebuah partai yang mengangkat diri sebagai partai
Islam, juga mutlak wajib memiliki dewan syariah.
Adapun hukum apakah yang dipakai ? Jawabnya tentu hukum
Islam. Sebab keberadaan dewan syariah itu bukan sebagai penasehat
hukum positif, melainkan sebagai penasehan hukum Islam.
* Mahasiswa (S2) Magister Study Islam (Konsentrasi Ekonomi Islam) Universitas Islam
Indonesia Jogjakarta.
* Stap Direktorat Kemahasiswaan Universitas Mercu Buana Jakarta
* Ketua Yayasan Pendidikan Islam Syifa Fikriya Cikande Serang Banten
Prospek Ekonomi Syariah dan Kesejahteraan Umat
11
Ada sejumlah alasan mengapa institusi keuangan konvensional yang
ada sekarang ini mulai melirik sistem syariah, antara lain pasar yang
potensial karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan
kesadaran mereka untuk berperilaku bisnis secara Islami. Potensi ini menjadi
modal bagi perkembangan ekonomi umat di masa datang. Selain itu, terbukti
bahwa institusi ekonomi yang menerapkan prinsip syariah, mampu bertahan
di tengah krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
Di sektor perbankan saja misalnya, sampai tahun 2010 nanti jumlah
kantor cabang bank-bank syariah diperkirakan akan mencapai 586 cabang.
Prospek perbankan syariah di masa depan diperkirakan juga akan semakin
cerah. Hal itu diungkapkan oleh Gubernur Bank Indonesia, Burhadin Abdullah
di sela-sela acara dialog ekonomi syariah di Jakarta pekan lalu. Burhanudin
mengatakan bank-bank yang ada sekarang bisa memanfaatkan kebijakan
dihilangkannya Batas Minimum Penyaluran Kredit (BMPK) untuk melakukan
penyertaan pada bank lain.
”Ini satu kesempatan bagi bank untuk membuka unit-unit syariah.
Misalnya bank A yang merupakan bank konvensional, dia bisa melakukan
penyertaan di bank syariah tanpa dibatasi oleh BMPK. Di masa lalu batasnya
10 persen, sekarang tidak ada lagi,” jelas Burhanudin.
Selain perbankan, sektor ekonomi syariah lainnya yang juga mulai
berkembang adalah asuransi syariah. Prinsip asuransi syariah pada intinya
adalah kejelasan dana, tidak mengadung judi dan riba atau bunga. Sama
halnya dengan perbankan syariah, melihat potensi umat Islam yang ada di
Indonesia, prospek asuransi syariah sangat menjanjikan. Dalam sepuluh
tahun ke depan diperkirakan Indonesia bisa menjadi negara yang pasar
asuransinya paling besar di dunia. Seorang CEO perusahaan asuransi
12
syariah asal Malaysia, Syed Moheeb memperkirakan, tahun 2008 mendatang
asuransi syariah bisa mencapai 10 persen market share asuransi
konvensional.
Data dari Asosiasi Asuransi Syariah di Indonesia menyebutkan, tingkat
pertumbuhan ekonomi syariah selama 5 tahun terakhir mencapai 40 persen,
sementara asuransi konvensional hanya 22,7 persen. Perbankan dan
asuransi, hanya salah satu dari industri keuangan syariah yang kini sedang
berkembang pesat. Pada akhirnya, sistem ekonomi syariah akan membawa
dampak lahirnya pelaku-pelaku bisnis yang bukan hanya berjiwa wirausaha
tapi juga berperilaku Islami, bersikap jujur, menetapkan upah yang adil dan
menjaga keharmonisan hubungan antara atasan dan bawahan.
Bisa dibayangkan kesejahteraan yang bisa dinikmati umat jika
penerapan ekonomi syariah ini sudah mencakup segala aktivitas ekonomi di
Indonesia. Peluang penerapan ekonomi syariah masih terbuka luas.
Persoalannya sekarang, mampukah kita memanfaatkan peluang yang
terbuka lebar itu.
Dukungan Pemerintah Belum Memadai
Meski sudah menunjukkan eksistensinya, masih banyak kendala yang
dihadapi bagi pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Soal
pemahaman masyarakat hanya salah satunya. Kendala lainnya yang cukup
berpengaruh adalah dukungan penuh dari para pengambil kebijakan di negeri
ini, terutama menteri-menteri dan lembaga pemerintahan yang memiliki
wewenang dalam menentukan kebijakan ekonomi. Pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono yang pada masa kampanye pemilu kemarin
menyatakan mendukung ekonomi syariah, belum sepenuhnya mewujudkan
dukungannya itu dalam bentuk program kerja tim ekonomi kabinetnya.
13
Berkaitan dengan hal itu, dalam di sela-sela sebuah acara dialog
ekonomi syariah, praktisi perbankan syariah A. Riawan Amin mengatakan
bahwa keberpihakan pemerintah terhadap ekonomi syariah sangat penting,
karena hal ini bukan semata-mata menyangkut mayoritas umat Islam di
Indonesia tapi berkaitan dengan masalah stabilitas ekonomi nasional.
Menurutnya, para ekonom yang ada di kabinet saat ini sebaiknya
meninggalkan sistem ekonomi kapitalis dan mengikuti aturan main kapitalis,
sehingga bisa keluar dari krisis. Riawan mengaku untuk saat ini para pelaku
ekonomi syariah belum terlalu menuntut pemerintah untuk lebih berpihak
pada sistem ekonomi syariah. ”Mereka mau mengerti saja, itu sudah bagus,”
ujarnya. Meski demikian ada harapan dari sejumlah kementerian yang sudah
menyatakan dukungannya terhadap sistem ekonomi syariah, antara lain dari
Kementerian Pertanian dan Kementerian BUMN.
Kendala lainnya adalah masalah regulasi. Penerapan syariah yang
makin meluas dari industri keuangan dan permodalan membutuhkan regulasi
yang tidak saling bertentangan atau tumpang tindih dengan aturan sistem
ekonomi konvensional. Para pelaku ekonomi syariah sangat mengharapkan
regulasi untuk sistem ekonomi syariah ini bisa memudahkan mereka untuk
berekspansi bukan malah membatasi. Saat ini, peraturan tentang
permodalan masih menjadi kendala perbankan syariah untuk melakukan
penetrasi dan ekpansi pasar.
Kenyataan di lapangan menunjukkan, bahwa para pelaku ekonomi
syariah masih menghadapi tantangan berat untuk menanamkan prinsip
syariah sehingga mengakar kuat dalam perekonomian nasional dan umat
Islamnya itu sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut, Sudarman Lc., anggota
DPRD I Banten dalam sebuah dialog ekonomi syariah beberapa waktu lalu
14
mengingatkan, penerapan ekonomi syariah harus dipahami sebagai bagian
integral dari penerapan syariat Islam secara kaffah. Penerapan hukum
syariah dalam perekonomian tidak akan berhasil tanpa didukung penerapan
hukum syariah di bidang yang lain. Teori dan sistem ekonomi syariah yang
baik, bukan jaminan bagi penegakan perekonomian Islam kalau kaum
muslimin sebagai pelaku ekonominya belum terlembagakan dengan baik.
Salah satu institusi keuangan syariah yang saat ini tengah
berkembang adalah pasar modal syariah. Hal ini tidak lepas dari semakin
berkembangnya industri keuangan syariah yang pertumbuhannya sangat
cepat, terutama dalam satu dekade terakhir.
Menurut riset Bank Negara Malaysia (bank sentral Malaysia) tahun
2005, dana yang dimiliki umat Islam atau pelaku pasar Muslim di bursa-bursa
di seluruh dunia, mencapai angka sekitar 1,3 triliun dolar AS. Sedangkan
dana yang terhimpun di pasar keuangan Islam di seluruh dunia diperkirakan
230 miliar dolar AS, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 12-15 persen per
tahun. Kemudian, jumlah institusi keuangan syariah saat ini mencapai lebih
dari 250 buah, tersebar di 75 negara. Sementara jumlah fund manager
syariah tercatat lebih dari 100 buah institusi dengan total aset yang dikelola
mencapai 5 miliar dolar AS.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa potensi dana yang dimiliki umat
Islam sangat besar. Tingginya pertumbuhan pasar keuangan syariah juga
didorong pembentukan berbagai macam lembaga keuangan tingkat
internasional. Misalnya the Islamic Financial Services Boards (IFSB) yang
terdiri atas berbagai bank sentral negara-negara Islam terkait, the
International Islamic Financial Market (IIFM), dan the Accounting and Auditing
Organizations for Islamic Financial Institutions (AAOIFI). Organisasi terakhir
15
berbasis di Bahrain, dan merupakan lembaga yang memiliki fokus pada
pengembangan sistem akuntansi dan audit yang sesuai syariah dan dapat
diterima secara internasional.
Kontribusi lembaga-lembaga tersebut sangat signifikan, sehingga
diharapkan dapat menstimulasi institusi-institusi keuangan syariah lainnya,
termasuk di Indonesia, untuk terus dapat mengembangkan dirinya.
Belajar dari Malaysia
Pepatah mengatakan ''pengalaman adalah guru terbaik''. Demikian
pula dalam membangun dan mengembangkan sistem pasar keuangan
syariah. Kita membutuhkan pengalaman negara lain sebagai cermin langkah
dan strategi yang akan dikembangkan. Salah satu negara yang dikenal
sebagai pioner pengembangan pasar keuangan syariah adalah Malaysia.
Sejak Kementerian Keuangan Malaysia mengeluarkan Capital Market
Masterplan pada tahun 2001 yang memuat 13 rekomendasi untuk
menjadikan Malaysia sebagai international centre bagi industri keuangan
syariah, pertumbuhan pasar keuangan Islam Malaysia menunjukkan kinerja
luar biasa. Sebagai contoh, jumlah saham yang tercatat di bursa syariah
mencapai 816 buah pada tahun 2005, naik sebesar 4,9 persen dari tahun
sebelumnya yang mencapai angka 778 saham. Persentase saham syariah
mencapai 82,5 persen dari total keseluruhan saham yang listed di bursa pada
tahun 2005, atau meningkat 80,8 persen dari tahun sebelumnya, dengan
kapitalisasi pasar yang mencapai 64 persen.
Prestasi lainnya, 36 persen dari total equity fund di seluruh dunia
tercatat di bursa syariah Malaysia, dengan nilai 1,8 miliar dolar AS (dari total
5 miliar dolar AS). Hal tersebut mengindikasikan pasar modal syariah
16
Malaysia telah mendapatkan kepercayaan yang kuat dari investor. Bahkan,
Komisi Sekuritas Malaysia telah menggandeng Dow Jones dengan
memperkenalkan Dow Jones-RHB Islamic Malaysia Index untuk
mengintegrasikan pasar domestik dengan pasar internasional. Dengan
performance seperti itu, wajarlah jika kemudian banyak negara Muslim
mencoba mengikuti jejak Malaysia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download Lagu Gratis, MP3 Gratis