Bookmark and Share

Rabu, 13 Januari 2010

kebijakan publik di negara muslim dalam bidang pendidikan dan kesejahteraan, pengelolaan barang publik, dan pembiayaan negara

Oleh:

Bambang Setiaji

BAB I: Pendahuluan

Sebagaimana judulnya buku ini akan bercerita mengenai kebijakan publik khususnya dalam bidang keuangan negara, dengan merujuk data negara-negara muslim. Generasi pertama dan beberapa generasi emasnya, umat Islam telah berhasil melaksanakan sebuah sitem keuangan negara yang maju. Negara pertama yang dibangun oleh generasi muslim memenuhi konsep negara kesejahteraan atau welfare state atau tepatnya islamic welfare state (Capra, 2001). Definisi welfare state dapat diringkas sebagai keterlibatan negara dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga dari seluruh rakyatnya (Cohrane; Clark, dan Gewortz: 2001). Al Qur’an dan Hadist Nabi SAW memberi perhatian yang sangat besar kepada pembangunan SDM dengan diwajibkannya zakat (=pajak) yang dibayarkan kepada pemerintah sebagai rukun Islam. Dengan mewajibkan pembayaran kepada pemerintah sebagai rukun Islam, maka hubungan negara dengan ummat dalam masyarakat muslim menjadi sakral, kepemimpinan negara adalah tahta suci, yang membelanya merupakan ibadah tertinggi, dan membayar keuangan publiknya nerupakan ibadah pokok atau rukun Islam.
Islam mendorong penganutnya bernegara dengan pos anggaran yang dipusatkan untuk mengatasi dan memajukan masalah SDM. Fakir (underutilized), miskin, pengurus zakat (pekerja publik), para muallaf (termasuk di dalamnya suku terasing, kelompok terbelakang dsb), untuk memerdekan budak (senada dengan ini masalah perburuhan dan nasib kaum buruh, tenagaka kerja wanita TKW, tenaga kerja luar negeri, TKI dsb.), orang-orang yang berhutang (termasuk didalamnya industri yang bangkrut yang kalau tidak ditolong membahayakan rakyat banyak menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan, pengangguran, dan kemiskinan yang luas), untuk jalan Allah (perhatian kepada barang publik, gedung sekolah, masjid, jalan raya dsb), dan terakhir untuk ibnu sabil (para periset, penuntut ilmu di daerah atau negara lain). Negara dengan konsep keuangan negara seperti itu dewasa ini tidak dijumpai di negara-negara muslim. Negara-negara Barat justru mendekati konsep seperti itu dengan welfare statenya yang dikelola dengan undang-undang dan administrasi yang baik.
Islamic welfare state, di samping merupakan negara yang mengutamakan pembangunan SDM, dari sisi sumber pemasukan merestriksi diri dari sumber dan industri yang halal. Walaupun diakui pemasukan negara dari sektor non halal mungkin sangat besar, misalnya pemasukan dari perjudian, penjualan alkohol, serta industri prostitusi dan turunannya berupa sebagian dari industri hiburan dan mode. Pemasukan dari perjudian dan pajak alkohol di AS, misalnya, sudah dapat menutup setengah anggaran negara Indonesia. Negara tetap tidak goyah karena kerugian yang tidak nampak yang berasal dari kebangkrutan spiritual dan moral lebih besar. Kerugian tersebut terlihat seperti menurunnya moralitas umum, sifat hedonik dan konsumtif, kejujuran umum, dan apa yang dikonsepsikan sebagai modal sosial (Fukuyama, 1999). Kebangkrutan spiritual dan moral terlihat dalam kepemimpinan Barat dewasa ini, ketika negara-negara kaya itu ingin menyelamatkan pasokan energi dan bahan dasar lainnya dengan mengkolonisasi, dan setelah merdeka memberi negara bekas jajahan tersebut hutang, dan berusaha menjeratnya. Hubungan yang timpang terlihat ketika Indonesia yang miskin, sakit bahkan sekarat dilanda krisis, rakyatnya mengangur, tetapi tetap harus membayar hutang dolarnya tanpa tangguh. Dolar itu hanya mungkin diperoleh dengan hutang baru untuk menggadaikan minyak, emas, hutan, membuat produk murah, dan mengirim TKW.
Jebakan hutang menimbulkan kewajiban membayar dolar yang supplainya berada di luar kendali dirinya menyebabkan terjadinya ketergantungan. Daftar negara muslim yang memiliki pinjaman relatif paling besar adalah Aljazair dengan angsuran hampir seperempat anggaran yang dimilikinya. Berikutnya beberapa negara seperti Jordan, Kyrgistan, Indonesia, dan Maroko dengan angsuran hampir seperlima atau 20 persen dari anggaran pemerintah. Sedikit dibawahnya antara lain Turki, Tunisia, Pakistan, Guyana, Senegal, Chad, Oman, dan Kazaktan. Daftar tersebut meliputi negara-negara muslim yang besar. Bahkan Saudi negara yang dikenal sebagai negara terkaya di dunia Islam, untuk mempertahankan kelangsungannya, baik untuk menyenangkan rakyat di dalam, dan berperan dalam instabilitas di kawasan teluk, terpaksa harus melakukan pengeluaran yang begitu besar dan menguras cadangan sampai 140 miliar dolar (Aburish, 2005).
Ketergantungan tersebut sudah mengarah kepada penjajahan kembali dengan cara yang sangat halus dan biaya sangat murah. Dalam kolonialisme lama, untuk memperoleh suplai energi dan bahan baku Barat harus menghadapi perlawanan bersenjata yang tidak henti-hentinya. Sekarang, energi dan bahan dasar tersebut dijamin mengalir ke Barat melalui cicilan hutang. Pinjaman dolar yang digelontor digunakan untuk membeli barang modal dan barang konsumsi yang berasal dari negara donor sendiri. Ketika barang-barang tersebut sudah aus, angsuran dolar yang berjangka panjang belum selesai. Angsuran dolar tersebut memaksa negara-negara muslim menguras sumber alamnya. Karena teknologi belum dikuasai, pengurasan sumber alam ini juga dilaksanakan oleh negara donor sendiri. Negara donor mengirim teknologi dan alat-alat untuk menyedot sumber minyak dan hasil tambang, untuk ini mendapatkan bagian keuntungan, pembelian alat, dan biaya operasi. Bagian negara tuan rumah hanya untuk membayar hutang, selebihnya, untuk membeli produk-produk yang dicetak berlebih di negara donor, produk-produk itu diiklankan sedemikian rupa sehingga mendorong rakyat negara sedang berkembang membeli produk tersebut yang sering berlebih, yaitu, sebagian fungsinya tidak diperlukan. Tanpa penyerapan dari negara muslim dan negara sedang berkembang akan terjadi pengangguran di negara donor. Peran negara sedang berkembang dan negara muslim sungguh hanya pelengkap dalam memakmurkan Barat.
Sebenarnya jual-beli melalui mekanisme pasar yang terhormat sudah menjamin negara sedang berkembang dan negara muslim menukarkan sumber alamnya untuk barang berteknologi dari Barat. Akan tetapi, ketamakan mendorong beberapa negara Barat untuk menguasai dan mempertahankan hubungan hegemonik. Penguasaan itu dilakukan selain melalui jebakan hutang, investasi di sektor-sektor vital, mengirim para ahli dan manajer, sering merambah ke bidang politik dan militer. Eksploitasi sumber-sumber ekonomi di negara tuan rumah sering merusak lingkungan dan mengabaikan keselamatan rakyat setempat. Negara-negara pemilik umumnya menjadi bertambah hutang, pengangguran terus meningkat, dan kemiskinan rakyat makin bertambah saja. Demikianlah kebangkrutan moral dunia sekarang di bawah kepemimpinan Barat, di mana hubungan kesederajatan melalui mekanisme pasar yang bebas dan terhormat tidak terjadi.
Kebangkrutan dan ketergantungan ini memaksa negara muslim menerima demokrasi Barat melalui penyelamatan dan bantuan. Bentuk masyarakat muslim yang taat kepada pemimpin agama sangat mengganggu demokrasi. Karena masyarakat muslim yang dapat diorganisir secara besar-besaran dapat diarahkan untuk menolak kemungkaran dan mendukung kemakrufan secara kolektif (collective public choice), dan hal tersebut sangat bertentangan dengan dasar kebebasan individu. Kebebasan individu di Barat mendorong masyarakat apatis terhadap pilihan publik, tidak memungkinkan mengorganisirnya menjadi kekuatan sosial yang solid. Bisnisman yang menjadi tulang punggung negara dan militerlah satu-satunya kekuatan teroganisir di negara demokrasi. Dari sisi ini sebenarnya negara demokrasi merupakan negara yang lemah, termonopoli, dan tidak seimbang. Ketika jutaan rakyat AS berkumpul menentang perang Irak, tiga serangkai Bush, militer, dan bisnisman yang berkepentingan terhadap sumber minyak Irak tidak mengabaikannya.
Sektor bisnis terlalu mendapat perlindungan sampai-sampai mengorbankan aspirasi rakyat, terlihat seperti arah budaya umum yang memompa hedonisitas yang akhirnya bermuara kepada keuntungan sektor bisnis. Untuk menyetop tarian Inul dan membawa budaya bangsa yang lebih santun di negara berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa di Indonesia, para ulama didukung sejuta umat berdemonstrasi yang sangat melelahkan dengan hasil yang nihil. Justru bermunculan tarian yang lebih tak berkualitas. Belum hilang kelelahan mendemonstrasi Inul, diam-diam dikirim miss universe yang tidak pernah terjadi di era orde baru. Percobaan demokrasi selama 7 tahun terakhir memperlihatkan anti klimaks yang mulai mengusik kelompok muslim sendiri yang semula mempeloporinya.
Asas-asas demokrasi untuk sebagian khususnya yang menyangkut saling menghargai, toleransi, pemilihan umum yang damai sebagai alat menentukan pemimpin, cocok dengan ajaran Islam yang apabila tidak diadopsi maka pergantian kepemimpinan selalu dilakukan dengan kekerasan. Pemilu kurang lebih sama manfaatnya sebagaimana prinsip welfare state yang diajarkan oleh Islam dan dijalankan oleh Barat sekarang. Akan tetapi, demokrasi yang menolak unsur spiritual dan metode mengembangkannya melalui syariah di ruang publik, hampir pasti dipertanyakan keabsahannya di seluruh negara muslim. Sebagai contoh, dengan alasan kebebasan individu seniman di Denmark mengkartunkan Nabi Muhammad SAW, di mana di dalam Islam sama sekali dilarang menggambar Nabi. Kasus kartun tersebut menimbulkan protes yang luas dan menimbulkan kegusaran kaum muslim kepada demokrasi dan kebebasan.
Kasus yang lain, akhir-akhir ini terjadi perdebatan tentang peraturan daerah yang bernuansa Islam. Pertanyaannya adalah, bolehkah negara demokrasi membuat peraturan di wilayah individual, seperti menganjurkan siswa wanita mengenakan jilbab sebagaimana terjadi di Aceh, Padang, Cianjur, Sulawesi Selatan. Demikian juga potongan zakat bagi pegawai pemerintah di NTB. Singkatnya, perdebatan itu mempertanyakan apakah demokrasi harus menyertakan kebebasan individu mutlak dan sekularisme di ruang publik saja? Negara muslim sebagai pemain yang datang belakangan sebenarnya bisa mengambil manfaat dengan mengawinkan penerapan demokrasi yang disesuaikan sambil mempertahankan spiritualisme di ruang publik, dan merestriksi kebebasan hanya di area yang ma’ruf. Sebagai pemain di belakang, akan tetap di belakang kalau tidak memiliki ciri khas dan perbedaan.
Dewasa ini, di Barat ideologi multikulturalisme sedang digandrungi, di Skotlandia misalnya, realitas multikultural dijadikan kurikulum pendidikan agama dengan mengajarkan semacam perbandingan agama kepada para siswa (www.strath.ac.uk). Prinsip dari multikulturalisme seperti mengenal agama, ajaran para Nabi serta mengenal umat-umat lain diajarakan dalam banyak surat di dalam Al Qur’an. Dalam hal kenabian, Islam mengklaim sebagai yang terakhir yang menyambung dan memurnikan ajaran para nabi sebelumnya. Namun, Islam memberikan toleransi, dan mengajarkan saling menghargai dalam pergaulan muamalah sehari-hari. Sayang, para pencangkok multikulturalisme di negara muslim khususnya yang terlihat di Indonesia dilakukan secara ekstrem dan terlihat sekali sebagai barang pesanan. Tujuannya sangat berbeda dengan tujuan kurikulum pendidikan multukultural di Skotlandia, yaitu, untuk memperkuat agama mayoritas kristiani. Hal tersebut menyebakan terjadi resistensi yang besar dan wacana tersebut menjadi kurang produktif. Kelompok ini sering justru mempertentangkan multikulturalisme dengan nilai Islam yang sebenarnya dapat meligitimasi. Multikultural di Barat dikembangkan kearah saling memahami perbedaan. Di Skotlandia hal tersebut diajarkan kepada rakyat justru untuk menanamkan tradisi keagamaan di tengah sekularisme yang tinggi. Akan tetapi para agen pengembang multikultural di Indonesia mencari atau melontarkan perbedaan dengan jalan memporak-porandakan tradisi keagamaan yang ada.
Para pengembang multikultural di Barat, khususnya di Skotlandia menjadi tugas departemen pendidikan. Pemikiran tersebut dilaksanakan secara dewasa bertujuan memahami realitas baru, yaitu, makin signifikannya jumlah kaum imigran yang membawa serta kebudayaan, tradisi, dan agama mereka. Di Skotlandia, realitas baru tersebut dijawab dengan memperkenalkan kurikulum RME (Religious and Moral Education) yang menjadi satu-satunya ujian negara. Kurikulum tersebut mencerminkan kesadaran penyelenggara negara untuk lebih menghargai orang yang memiliki religiusitas. Tentu saja karena mayoritas agama di Skotland adalah kristiani, maka kristiani diuntungkan dalam pengembangan RME. Esensi dari RME adalah menghargai religiusitas baik kristen sendiri maupun yang lain di tengah sekularisme dan hedonisme yang tinggi. Di Amerika, pasca 11 september juga terjadi perubahan di mana penerbitan mengenai Islam meningkat 7 kali lipat. Masyarakat semakin ingin mengenal Islam, dan orang belajar menerima realitas bahwa agama-agama non kristen sudah berkembang jauh di Amerika. Mereka, menghargai perbedaan tersebut dan mendorong religiusitas umum (Eck, 2005).
Esensi menghargai religiusitas seperti diuraikan di atas sangat dikenal di dalam Islam, Nabi SAW melakukan kongsi pengerjaan tanah beliau dengan orang Yahudi di Madinah. Dalam peperangan, Nabi SAW sebelum memberangkatkan pasukan selalu berpesan untuk tidak merusak tempat ibadah agama lain, mengganggu para rahib, wanita dan anak-anak, dan juga penduduk sipil, semua ini merupakan penghormatan kepada hak kemanusiaan. Dewasa ini, masyarakat Islam yang ada, kususnya di arus utama, secara empirik masih mewarisi sifat menghargai perbedaan tersebut secara signifikan. Bahkan dapat dikatakan, penghargaan kepada perbedaan berkorelasi makin tinggi dengan pemahaman keislaman. Tentu saja cara atau ekspresi kaum muslim dalam menghargai religiusitas orang lain berbeda dengan ekspresi di Barat. Kesalahan para pencangkok dalam mengembangkan multikuluralisme adalah cenderung kepada ekspresi dan bukannya kepada esensi. Di Barat, Gereja di sekolah atau di kampus dengan senang hati dipersilahkan digunakan untuk sholat, bahkan di beberapa kampus sebagian ruangnya dibagikan. Ekspresi seperti ini tidak biasa di Indonesia baik di masjid, gereja, vihara dan yang lain. Ekspresi saling menghargai yang sudah ada sebagaimana Nabi SAW kongsi pengerjaan tanah dengan orang Yahudi, dan ekspresi muamalah yang eksis sekarang, tentu saja di luar peperangan atau tepatnya tawuran di beberapa tempat, sebenarnya sudah cukup tinggi.
Sekali lagi, pengembangan multikulturalisme tidaklah harus bertentangan atau mengorbankan syariah, karena syariah itu sendiri adalah religiusitas atau spiritualisme yang ingin dikembangkan dalam kurikulum RME. Di Indonesia perkembangan syariah Islam tergambar dari dilahirkannya departemen agama pada awal kemerdekaan sebagai kompensasi atas direvisinya dasar negara Islam. Departemen agama dapat melestarikan hukum pernikahan dan hukum waris dalam Islam. Selain itu departemen agama juga dapat melestarikan pendidikan Islam yang sangat besar sumbangannya dalam mempertahankan Islam sebagai agama mayoritas.
Tenaga-tenaga dari kantor departemen agama yang tersebar sampai di kota-kota kecil dan pedesaan sangat penting artinya bagi pengembangan dan pelestarian Islam di masyarakat. Tanpa tenaga-tenaga itu tidak dapat dibayangkan apa jadinya daerah pinggiran dan pedesaan yang semula ditinggali lebih dari 80 persen penduduk. Peran terpenting dari depatemen agama adalah armada guru. Karena pencapaian pendidikan dasar hampir 100 persen, maka pesan dakwah tersebut juga terlaksana hampir 100 persen. Tidak ada organisasi Islam yang dapat menyumbang pencapaian dakwah seluas ini. Sampai sekarang di setiap sekolah dasar dan menengah diangkat guru agama. Perbaikan keagamaan di Indonesia berkorelasi kuat dengan kualitas tenaga guru ini. Peran perguruan tinggi Islam khususnya IAIN dan perguruan tinggi atau fakultas agama Islam di NU dan Muhammadiyah juga sangat penting. Itulah sebabnya para ulama sangat prihatin ketika IAIN sering melontarkan pendapat-pendapat kontroversial, para ulama menyadari peran IAIN yang sangat strategis dalam menyediakan guru agama yang akan mendidik hampir 100 persen siswa muslim di seluruh pelosok tanah air.
Di sektor muamalah, khususnya sektor keuangan dan perbankan yang sangat strategis sudah lama berkembang pemikiran perlunya mematuhi syariat Islam di sektor ini. Para tokoh memikirkan usaha-usaha bisnis yang memenuhi syariat Islam dan sekaligus modernitas dan kemajuan. Persyarikatan Muhammadiyah melakukan kajian besar mengenai perbankan, yang disebut tarjih, dengan mendatangkan ulama-ulama terkemukanya pada tahun 1980an sampai awal 1990an. Pada awal tahun 1990an, ketika ICMI berdiri, wacana Bank Syariah semakin mengkristal dan dengan dukungan Majelis Ulama Indonesia dan juga pemerintah pada waktu itu, lahirlah Bank Muamalah Indonesia sebagai bank syariah pertama. Setelah reformasi 1998, ketika Habibi yang juga ketua ICMI menjadi presiden, undang-undang perbankan direvisi yang bertujuan memperkuat operasi bank syariah. Peran tokoh-tokoh di Bank Indonesia yang mengajukan draft perundangan tersebut tidak dapat diabaikan. Bank Indonesia memiliki masjid yang besar dan indah, tentulah di balik itu ada kekuatan yang mendorong perkembangan Islam.
Perkembangan bank syariah di Indonesia sampai tahun 2005 sangat menggembirakan, pertumbuhan aset sangat tinggi, kredit macet relatif rendah dibanding bank konvensional, dan penyaluran kredit dari dana masyaakat sangat tinggi yang menunjukkan gairah bisnis. Perkembangan tersebut didukung oleh munculnya bank syariah baru baik yang merupakan entitas mandiri dan yang hanya merupakan window atau bagian dari bank yang ada. Sekarang semua bank pemerintah memiliki unit usaha syariah. Titik-titik perkembangan ini, menggambarkan peran pemerintah yang sangat besar dalam perkembangan islam dan mempertahankannya sebagai mayoritas.

Syariah di Tengah Masyarakat Multikultur

Pengalaman Indonesia sangat unik dalam mengenalkan syariah di tengah negara plural yang disepakati sejak awal kemerdekaan. Perkembangan departemen agama, perbankan syariah, dan peradilan agama yang semula hanya diserahi masalah nikah dan waris, sekarang berhak memutus sengketa di sektor lembaga keuangan syariah, dan juga otonomi daerah yang memungkinkan qanun syariah terbatas di berbagai daerah merupakan pengalaman yang sangat berharga. Multikultural di Barat dikembangkan dengan mempertahankan sekularisme di ruang publik, sedangkan di Indonesia, spiritualitas diakui di ruang publik baik dalam undang-undang dasar dan perundangan di bawahnya.
Umat Islam secara kolektif didorong oleh nilai yang dianutnya memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi, yaitu keinginan untuk mewujudkan masyarakat dengan hanya menyajikan di ruang publik apa yang ma’ruf. Jiwa mendorong menegakkan yang ma’ruf dan menentang yang mungkar secara kolektif menjadikannya umat yang sangat bertanggung jawab terhadap terciptanya masyarakat yang teratur. Sayang, aspirasi ini tidak berhasil membangun visi yang padu di negara-negara muslim sendiri karena sebagian umat yang umumnya bekas jajahan terbuai dengan sekularisme Barat, dan cenderung mengambil budaya konsumeristik, kebebasan sampah dalam kultur yang kosumtif, dan tidak pada kebebasan kreatif yang berkait dengan sisi produktifitas Barat yang sebenarnya sangat bermutu.
Dasar demokrasi seperti penghargaan hak asasi dan kesamaan atau kesederajatan sesuai dengan ajaran islam, tetapi, asas kebebasan yang sampai menghilangkan pilihan publik atas kebajikan (ma’ruf) sangat bertentangan dengan Islam. Di Indonesia dewasa ini diimplementasikan otonomi daerah. Salah satu kecenderungan otonomi adalah kembalinya beberapa daerah kepada syariat Islam. Walaupun diakui syariat tersebut lebih ditekankan kepada simbol-simbol seperti kewajiban wanita berjilbab, sedangkan makna syariah yang mendorong keadilan dan perlindungan warga negara kurang mendapat perhatian. Kekuatan ini perlu diarahkan selain kepada simbol tetapi juga kepada substansi yaitu mengenalkan welfare state yang islami. Kekuatan pemerintah pusat dan daerah yang memegang dana besar dan memiliki armada SDM yang juga besar perlu diarahkan untuk memperbaiki dan menolong masyarakat yang umumnya miskin dan terbelakang.
Selain gerakan syariah secara nasional, gerakan syariah di daerah dimulai dari Aceh Darussalam yang mendapat otonomi khusus dan hak kembali ke syariat Islam. Demikian juga di Sumatra Barat atas muncul regulasi no 451.422 tahun 2005 yang mewajibkan semua murid wanita berjilbab. Demikian juga di Cianjur Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Di Nusa Tenggara Barat pemerintah daerah melakukan pemotongan zakat bagi pegawai negeri. Eksperimen tersebut perlu dicermati dan perlu mendapatkan sumbangan pemikiran agar lebih bermakna untuk membangun Indonesia sebagai negara muslim terbesar. Lembaga swadaya masyarakat yang didanai Barat banyak mengorganisir penentangan penerapan syariah di berbagai daerah. Pertentangan berpusat pada apakah di ruang publik boleh mengembangkan spiritualitas (Tempo, 2006).
Barat memiliki kesamaan akar kultural dengan dunia Islam karena kedua kultur bersumber atau disumbang oleh dua agama samawi, Kristen dan Islam. Kedua budaya akan memiliki titik temu misalnya dalam memberantas korupsi, memerangi ketidak adilan, mendorong kejujuran, menolong kesengsaraan rakyat, kerja keras, dan sebagainya. Jika kekuatan Barat ingin membantu dunia Islam dengan mendukung gerakan Islam dan syariah, ketegangan kedua identitas budaya sebagaimana model Huntington tentu dapat dikurangi.
Indonesia akan menjadi pemimpin di dunia Islam jika berhasil menganbil teknik demokrasi dan mempertahankan perkembangan syariahnya. Demokrasi memungkinkan Indonesia mengurangi korupsi dan melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas keuangan negara, satu hal yang unggul dibanding negara muslim yang lain, khususnya yang berbentuk kerajaan. Negara muslim yang berbentuk kerajaan memang berhasil mempertahankan religiusitas melalui syariah di ruang publik, tetapi gagal mengembangkan transparansi dan akuntabilitas yang lebih subtansial. Gambaran bahwa Indonesia sebagai negara terkorup sebenarnya salah, terutama jika digunakan konsep korupsi legal. Penggunaan uang negara yang berlebihan untuk keluarga dan tidak untuk kepentingan umum rakyat banyak, demikian juga penggunaan uang negara untuk proyek-proyek mercusuar yang tidak relevan walaupun secara hukum setempat legal, secara konsep merupakan penyimpangan. Dari sisi inilah, maka masa depan Indonesia di antara 58 anggota OKI merupakan negara yang sangat penting dan memimpin.
Dunia tidak mungkin akan menjadi seragam, perlu keseimbangan dan perspektif lain di luar demokrasi dan sekularisme Barat. Di belahan dunia Islam, demokrasi memang diperlukan untuk memperbaiki transparansi dan akuntabilitas. Tetapi religiusitas di ruang publik diperlukan untuk membedakannya dan menyeimbangkan dunia dari bandul Barat. Dalam masyarakat demokrasi Barat religiusitas sekarang mendapat tempat yang terhormat sebagaimana yang terjadi di Skotlandia dan Amerika serikat (Eck, 2005), tetapi sekali lagi, ruang publik tetap sekuler. Keluarga hanya berhak mendidik anak-anak untuk tidak mengikuti kerendahan moral secara individual, tetapi secara kolektif masyarakat tidak dapat mendidik anggota keluarganya karena segala sesuatu akan secara bebas disajikan sebagai pilihan di masyarakat. Tidak ada hak untuk membicarakan ketinggian moral sebagai pilihan kolektif (public choice).
Secara empirik di Indonesia, organisasi islam seperti Muhammadiyah merumuskan gerakannya secara singkat sebagai gerakan amar ma’ruf dan nahi munkar. Artinya bahwa secara sosial atau secara publik yang boleh tampil adalah yang ma’ruf atau yang disepakati secara umum sebagai kebaikan. Dan sekaligus secara publik tidak boleh tampil yang munkar yang secara umum dipandang buruk. Motto Muhammadiyah yang menghendakai pilihan publik untuk menampilkan yang dinilai ma’ruf, bertujuan menjamin masyarakat sebagai wahana mendidik. Pemikiran ini bertabrakan dengan demokrasi sebagaimana difahami di Barat. Masyarakat bebas Barat dan sayangnya juga dikembangkan oleh sebagian ummat muslim di berbagai negara muslim pada hakekatnya adalah upaya menuju menjadi masyarakat tidak berdaya. Masyarakat yang tidak memiliki warna (sibghah) dan pilihan publik yang jelas, serta tidak memiliki kekuatan sebagai tempat mendidik dan melestarikan nilai yang dianggap baik. Agama dan moral menjadi kurikulum di sekolah di Skotlandia dan menjadi satu-satunya ujian negara yang diawasi pemerintah, tetapi apa yang baik tersebut tidak dapat dijamin berada di masyarakat tempat generasi muda berinteraksi. Kehidupan umum justru semakin sekuler, yang mendatangi gereja kurang dari 10 persen dan kelompok tidak beragama lebih dari seperempat penduduk.
Kesadaran dan nilai amar ma’ruf dan nahi munkar sudah menyatu dengan umat, baik umat yang berada dalam organisasi Islam yang moderat diwakili oleh Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama, maupun umat yang berada pada jamaah atau organisasi Islam lokal dan yang lebih baru yang umumnya lebih solid dan lebih frontal dalam mengekspresikan keprihatinan mereka kepada perlunya sebuah masyrakat yang memiliki pilihan publik yang jelas. Tingkat keprihatinan anggota masyarakat Islam terhadap arah atau pilihan masyarakatnya kenyataannya memiliki rating yang tertingi baik di Indonesia maupun di dunia. Umat atau anggota masyarakat lain umumnya hanya concern terhadap terciptanya masyarakat yang teratur, sedang umat Islam di samping memiliki tangung jawab besar terhadap terjadinya masyarakat teratur juga bertanggung jawab terhadap terjadinya masyarakat yang memiliki pilihan terhadap kebaikan. Merebaknya korupsi yang tidak lain adalah pencurian atau perampokan, judi, narkotika, dan cabang-cabang industri prostitusi sangat ditentang oleh ummat Islam di manapun.
Sayang, berbagai distorsi menyebabkan miss komunikasi dan miss interpretasi sehingga masyarakat menjadi kurang respons terhadap hakekat tujuan masyarakat Islam dan syariat Islam. Jika masyarakat mengetahui bahwa tujuan syariah adalah terciptanya order atau keteraturan di masyarakat yang lebih tegas dan lebih menjamin keselamatan jiwa, harta, dan keturunan bagi seluruh anggota masyarakat baik mayoritas dan minoritas, maka respons masyarakat mungkin akan meningkat. Etnis Tionghoa misalnya, termasuk etnis yang sering mendapat perlakuan aniaya seperti penjarahan dan pengrusakan/pembakaran harta, bahkan jiwa, kehormatan, dan keturunan mereka. Akan tetapi, etnis Tiong Hoa secara umum merupakan etnis yang merespons negatif terhadap penerapan syariat Islam yang sebenarnya sangat melindungi kepentingannya. Hal seperti ini hanya bisa terjadi karena mendalamnya miss komunikasi dan akhirnya kesalahpahaman. Pengalaman memperkenalkan bank syariah di Indonesia khususnya kepada etnis Tiong Hoa masih memerlukan sedikit waktu, tetapi akhir-akhir ini Bankir dari etnis Tionghoa sudah mulai menerima sistem bank syariah.
Salah satu sebab miss komunikasi terhadap sayariat, dikarenakan dakwah kepada syariat Islam terlalu general, yaitu, secara umum disampaikan supaya kembali kepada syariat Islam dan bukannya isi detailnya yang bertujuan menciptakan orde masyarakat yang lebih tertib dan teratur. Masyarakat kini semakin menjadi disorder yang sebenarnya menakutkan seluruh komunitas bangsa. Bentuk penampilan syariat Islam yang lebih modern seperti perkembangkan perbankan syariah yang pesat, lambat laun diharapkan akan menghilangkan phobia kepada Islam. Oleh sebab itu kaum muslim sendiri perlu memikirkan implementasi syariah dalam kehidupan modern sebagaimana dicontohkan dalam kreasi bank syariah.
Di sisi keuangan publik, zakat adalah alat menuju welfare state yang cepat di mana SDM dan rakyat yang miskin menjadi fokus pembelanjaan pemerintah. Uang pemerintah yang dulu dibelanjakan secara korup untuk melestarikan kekuasaan, sekarang masih berpusar untuk kepentingan birokrasi dan birokratnya sendiri. Uang negara belum benar-benar mengucur untuk kepentingan rakyat, inilah yang menjadi target pengenalan syariah zakat kepada pemerintah. Zakat adalah pungutan publik yang dapat dipaksakan oleh pemerintah, tetapi zakat tidak dapat digunakan oleh pemerintah semaunya karena para penerima zakat sudah ditentukan. Negara dengan tujuan demikian secara akademik disebut welfare state. Jadi, tujuan mengenalkan syariat zakat kepada pemerintah tidak lain merupakan desakan untuk menjalankan prinsip welfare state. Prinsisp tersebut ternyata dapat dijalankan sejak negara masih miskin sebagaimana pengalaman kaum muslimin generasi awal.

Arah Buku ini

Buku ini mengangkat kebijakan publik dalam bidang keuangan negara, tetapi tidak mengutamakan pembahasannya dengan pendekatan fikiyah, walaupun seringkali ditelusur nilai dasar sebagai sumber kekayaannya, pembasahan lebih ditekankan kepada apa yang terjadi di dunia muslim dewasa ini. Demikian juga buku ini tidak mengutamakan cerita mengenai teori keuangan negara, walaupun pada beberapa bagian dilakukan untuk sekedar mengingatkan kriteria pengelolaan keuangan negara dan tujuan dibalik itu.
Tujuan utama dari buku ini adalah untuk membahas dan menilai data dasar di sekitar kebijakan publik terutama yang berhubungan dengan pengelolaan uang atau kekayaan negara, serta alternatif penggalian sumber penerimaan di berbagai negara muslim terutama yang bergabung ke dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Sebagai buku yang bertujuan demikian luas itu tentu saja dijumpai berbagai keterbatasan. Publikasi data keuangan negara muslim banyak yang tidak lengkap, dan di beberapa tempat mungkin tidak valid karena data itu dikoleksi dari berbagai bentuk pemerintah yang berbeda satu dan lainnya.
Pendalaman untuk masalah tertentu, seperti masalah korupsi dan ketidakefektifan pengelolaan dana yang bersumber kepada kekurangan akan visi serta tugas pokok pemerintahan dan akhirnya kekurangtepatan alokasi uang negara, tidak hanya menonjolkan korupsi yang bersifat melawan hukum, tetapi juga kemungkinan korupsi yang legal, yaitu penggunaan uang negara secara legal tetapi untuk tujuan yang tidak ada kaitannya dengan tugas negara yang benar. Apa yang dirasakan kurang adalah visi dan program pemerintahan, misalnya pemerintah daerah di negara muslim bisa membeli lampu hias jalan raya memakan dana publik yang besar, tetapi tidak memperhatikan pos untuk pendidikan dan kesehatan untuk anak anak. Hal seperti ini dijumpai dan merupakan persoalan yang dirasa penting untuk diungkapkan.
Sebagai buku yang berusaha membahas kondisi kaum muslim antarnegara, counterpart analisis yang tepat sebagai alat komparasi adalah ekonomi kapitalis yang kini membentuk emperium baru melalui globalisasi kapital yang menguasai industri industri penting di seluruh negara muslim dan dunia ketiga lainnya. Globalisasi kapital tersebut diikuti globalisasi politik-demokrasi, liberalisasi budaya, bahkan liberalisasi pemikiran keagamaan. Banyak penulis menyebutnya sebagai era neokolonialisme di mana sumber-sumber dasar seperti minyak, kayu, dan hasil tambang lainnya, serta industri terpenting, seperti industri telekomunikasi, industri informasi, industri permodalan, dan keuangan-perbankan yang vital bagi kedaulatan negara dikendalikan oleh pemodal internasional. Sebagai analisis komparatif, buku ini sejauh mungkin tidak mencela Barat. Program-program welfare state di Barat mengenai penyantunan 8 asnaf atau kelompok SDM yang diuraikan di atas tidak dapat ditandingi oleh negara muslim manapun yang ada dewasa ini. Dalam hal seperti ini, negara muslim harus berguru ke Barat. Visi memerintah negara muslim dewasa ini jauh di belakang counterpartnya di Barat. Dibanding generasi muslim pertama yang menyala-nyala semangatnya untuk membuat welfare state negara yang adil, generasi muslim sekarang sangat jauh terbelakang. Terjadi kesenjangan yang besar antara nilai, konsep dasar, dan contoh keberhasilan generasi muslim awal dan kenyataan sekarang. Namun, hal tersebut tidak menghalangi usaha untuk tetap menggali, mendakwahkan, dan mengusulkan nilai dan konsep Islam dalam mengatur ruang publik.
Di Indonesia sendiri sebagai negara muslim terbesar, angin kebebasan yang berembus sejak reformasi 1998, membuka dua kubu kebebasan yang berlawanan. Pertama, kubu sekuler semakin kuat mengekspresikan kebebasan hedonis. Mereka umumnya setuju prinsip negara demokrasi liberal. Wujud dari kebebasan itu dalam bidang ekonomi adalah menguatnya penerimaan ideologi pasar. Pasar dipandang mampu menyelesaikan seluruh masalah sosial. Dengan kapasitas welfare state yang rendah maka penerapan ideologi pasar menjadi naive terlihat sangat kejam, dan diduga menyebabkan penghisapan.
Ideologi pasar yang sedang dianut disertai pula tekanan liberalisasi perdagangan dan arus modal di tingkat global di dunia ketiga tanpa disertai regulasi yang menjamin persaingan. Pemerintah yang terlalu cepat menarik diri dari ekonomi menyebabkan persaingan yang mematikan. Untuk industri strategis, berskala besar yang umunya bersifat oligopolistik bahkan monopolistik, pribumi terpinggirkan dan tidak dapat berparisipasi dengan baik terhadap perkembangan. Industri perbankan misalnya mendapat tekanan untuk menjadi memerlukan modal sangat besar, akibatnya perbankan harus membuka diri dengan menjual saham dan akhirnya memungkinkan masuknya pemilikan asing.
Untuk industri yang kompetitif pada level menengah dan bawah, memang terbuka kesempatan berusaha lebih luas bagi rakyat dan pribumi, tetapi persaingan di level ini sangat tajam dan keuntungan yang mepet. Banyak pengusaha hanya bekerja untuk pemilik modal melalui kredit perbankan atau mekanisme lain yang dapat dirunut akhirnya kepada kapitalis internasional. Struktur ekonomi yang menghisap rakyat masih terus lestari di negara muslim dan dunia ketiga. Dalam keadaan itu, perlu digali nilai Islam sebagai sumbangsih untuk menolong kesengsaraan umum bangsanya.
Di sisi lain, sebagai kubu kedua, dewasa ini umat Islam juga menikmati kebebasan dengan berani mengekspresikan perlunya kembali kepada syariat Islam. Partai Islam dan berbasis masa Islam bermunculan. Partai Persatuan Pembangunan, PPP, yang semula berasas Islam, kemudian menjadi Pancasila selama orde baru, sekarang kembali menjadi berasas Islam. PPP dengan lambang ka’bah, walaupun minus tokoh populer, tetap dipilih oleh rakyat dan merupakan pemenang ke tiga dalam pemilu 2004. Lambang ka’bah dan lambang Islamnya diduga melekat di hati rakyat. Seandainya partai islam baru tidak muncul pasca reformasi, PPP pasti akan menjadi pemenang yang mewadahi lebih 39 persen pemilih yang beraspirasi Islam.
Partai-partai Islam baru bermunculan antara lain Partai Kebangkitan Bangsa yang berasas kebangsaan dan berbasis NU, Partai Amanat Nasional yang berasas kebangsaan berbasis Muhammadiyah, dan juga wacana Partai baru di Muhammadiyah yang berasas Islam. Menarik untuk diungkapkan munculnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS), kader utama PKS adalah para aktifis muda muslim di berbagai kampus. Di samping kader kampus, PKS mendapat simpati ulama independen dan melalui TV dan media lain, PKS mendapat curahan aspirasi masyarakat muslim. Banyak pemilih PKS diduga warga Muhamadiyah atau type muslim modern sejenis yang masih konsisten dengan perlunya Islam yang eksplisit. PKS juga menerima curahan pemilih yang lebih rasional seperti di Jabotabek, Bandung, dan Medan yang sering berganti pilihan dari pemilu ke pemilu. Fenomena dipilihnya PKS di daerah rasional yang sering berganti pilihan, merupakan manifestasi perlawanan terhadap korupsi dan kerinduan kepada pemerintahan yang bersih. Kader-kader PKS dapat dengan baik mencitrakan hal tersebut. Partai Golongan Karya juga merupakan partai yang cukup dekat dengan aspirasi Islam. Pada paruh kedua orde baru, terjadi islamisasi birokrasi, ditandai dengan program haji atas biaya dinas. Birokrasi padaera orde baru identik dengan Partai Golongan Karya. Partai Golongan Karya yang merupakan partai pemenang Pemilu khususnya di luar Jawa diduga menjadi bumper terhadap peraturan daerah yang bernunsa syariat Islam yang ditentang oleh kelompok nasionalis.
Umumnya partai dan tokoh Islam berseberangan dengan ideologi kapitalisme, liberalisme ekonomi, dan globalisasi modal berlebihan yang akhirnya menguasai industri strategis utama. Mereka juga tidak setuju dengan ekonomi yang mengutamakan pertumbuhan dan tidak peka terhadap ketimpangaan dan kemiskinan. Tokoh-tokoh Islam sangat dekat dengan idea ekonomi kerakyatan, pada kepemimpinan Habibi yang singkat, tokoh ICMI, Adi Sasono yang diberi kesempatan menjadi salah satu meneteri langsung membuat gerakan yang sangt menguntungkan usaha-usaha kecil. Idea negara kesejahteraan atau welfare state, jika dilontarkan, pasti akan mendapat dukungan tokoh dan partai-partai Islam. Indonesia sudah menetapkan dalam UUD anggaran pendidikan sebesar minimal 20 persen dari APBN dan APBD. Tokoh-tokoh muslim berada di balik gagasan ini, draft digagas antara lain oleh Dr. Hasbi Ashidiqi, salah satu tokoh ICMI yang pada waktu itu menjabat sebagai sekretaris Mendiknas. Spirit dari penetapan anggaran pendidikan merupakan bagian dari konsep negara kesejahteraan yang penting, di mana layanan pendidikan di negara kesejahteraan hampir dapat diakatakan sebagai satu-satunya jasa terpenting. Lebih-lebih pemerintah propinsi dan pemerintahan lokal yang tidak mengurus pertahanan, hukum, dan keuangan, sektor pendidikan bisa atau seharusnya menyerap lebih dari 50 persen anggaran sebagaimana terjadi di negara-negara maju (Fisher, 1996). Fokus anggaran ke sektor pendidikan, tidak mungkin terlaksana kecuali terlahir pemimpin dengan visi kuat. Pemimpin yang hanya mengandalkan pengayoman dan keseimbangan akan dimanfaatkan oleh berbagai departemen yang tidak akan tinggal diam dengan alokasi 20 persen ke sektor pendidikan. Ujung-ujungnya adalah kepentingan pribadi, walaupun tidak sampai korupsi, membelanjakan uang negara dengan normal, misalnya, menjadi pimpro sudah menerima honorarium yang cukup. Para rekanan juga tidak tinggal diam, gaji pegawai negeri yang kecil mendorong rekanan tetap memperhatikan partner bisnisnya dari pemerintah.
Isue kebijakan yang memberatkan rakyat, misalnya kenaikan BBM yang berakibat kenaikan harga umum dan menimbulkan kemiskinan baru pasti ditentang oleh partai Islam. Tentu saja banyak tokoh dengan daftar yang panjang, baik para pendiri dan penggiat partai dan tokoh independen atau ulama di luar partai, di antara mereka adalah Amin Rais (ketua MPR 1999-2004) tokoh reformasi yang berani mengusik perlunya mengganti presiden Suharto sejak sebelum mahasiswa bergerak pada 1998. Amin Rais sebagai ketua MPR membuat polemik terbuka dengan Laksamana Sukardi menteri BUMN pada masa pemerintahan Megawati. Laksamana banyak melakukan privatisasi dengan menjual aset BUMN, khususnya kepada asing. Hidayat Nur Wahid, ketua MPR (2004-2009) semula presiden PKS, Hamzah Haz, wakil presiden 2000-2004, ketua PPP, semuanya memiliki style sendiri mengungkapkan perlawanan terhadap perkembangan kapitalisme global. Demikian juga KH Abu Bakar Basyir yang bersuara paling keras terhadap perkembangaan liberalisme budaya dan politik yang dirasakan berhadapan diametral dengan Islam, KH Abu Bakar Basyir dituduh menginspirasi terorisme dan mendekam di penjara beberapa tahun. Jangan dilupakan tokoh-tokoh militer terutama Jendral Muslim seperti Z. A. Maulani, menulis banyak buku dengan pemahaman mendalam terhadap liberalisme, kapitalis global, dan menghubungkannya dengan kekuasaan kelompok agama di negara negara Barat. Para Jenderal lain yang tidak menulis atau diam, didorong oleh nasionalisme diduga juga banyak melawan kecenderungan globalisasi kapital, ideologi kebebasan budaya, dan politik, yang bagiamanapun mengurangi kedaulatan negara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri menyampaikan masalah kebebasan budaya, khususnya cara berpakaian yang memperlihatkan perut dan pusar. Walaupun himbauan tersebut tidak mendapat sambutan dari TV sebagai media paling berpengaruh dan merupakan agen penting dari globalisasi budaya hedonis dewasa ini. Yudhoyono terlihat sangat moderat, gaya kepemimpinannya tidak memungkinkan menggerakkan ekonomi non kapitalis yang kini mencengkeram seluruh dunia Islam. Dalam bidang intelektual tokoh-tokoh yang penentang neo-liberalisme di Indonesia antara lain, Sritua Arief yang banyak menulis buku sekitar ini, Mubyarto , Sri Edi Swasono , Adi Sasono , Revrison Baswir , Edy Suandi Hamid , Dochak Latief , Muhtar Mas’ud, Tengku Yacob , banyak ilmuwan yang bernaung di bawah Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI). Haryono Suyono menteri yang berkarier lama di era orde baru dan Menko Kesra di era Habibie setelah lepas menjadi menteri banyak menuangkan konsep pembebasan kemiskinan melalui pemberdayaan kaum marginal dan sekaligus membiayainya. Banyak tokoh lain yang tidak mungkin disebutkan satu per satu.
Pemerintah pada awal reformasi sekarang masih belum bisa lepas benar dari budaya korupsi. Beberapa penulis mengatakan bahkan makin meningkat, pintu-pintunya makin banyak (SMERU, ). Orientasi anggaran publik masih terlihat menyelipkan kepentingan pribadi. Tidak perlu korupsi secara melanggar hukum, membelanjakan uang negara untuk kepentingan proyek akan mendapat honorarium tambahan. Gaji pegawai biasa di Indonesia memang rendah, tetapi mereka yang menjabat dan berkesempatan membelanjakan dana publik akan mendapat penghasilan yang tinggi. Orientasi ini diduga menghambat fokus kepada layanan welfare state, khususnya pendidikan, pangan, kesehatan, dan pos sosial. Amanat UUD untuk membelanjakan 20 persen anggaran untuk pendidikan sangat lambat terpenuhi. Hal seperti tersebut di atas, terlihat misalnya bagaimana alasan dalam mengalokasikan dana publik, bagaimana kepentingan departemen atau kepentingan dinas yang di dalamnya tersembunyi kepentingan pejabatnya diperjuangkan sangat menonjol. Sudah menjadi rahasia umum para pejabat berlomba menempati pos basah, pos yang banyak mengelola dana publik.
Tujuan memperoleh anggaran yang lebih besar, terjadi bukan berlomba untuk dapat sebanyak mungkin melayani rakyat. Demikianlah, masalah sekitar dana publik yang seringkali menjadi inti hakekat kehancuran. Perlombaan kepada kekuasaan yang tidak beretika, sogok-menyogok dimulai dari penentuan calon partai untuk menempati jabatan publik atau pimpinan partai, sogok menyogok dalam penentuan urutan wakil partai, pengabsahan/perlindungan terhadap penyakit sosial sepert judi, narkotika, dan alkohol, dan cabang-cabang industri hiburan dan prostitusi. Semua hal yang disebutkan itu berkait dengan kekuasaan mengkoleksi dan menggunakan dana publik, hal mana menyebabkan masyarakat umum menjadi frustasi dan menjadi disorder.
Negara negara Barat umumnya melegalkan perjudian, alkohol, dan berbagai cabang industri hiburan, kegiatan tersebut bahkan dimanfaatkan untuk mengkoleksi dana publik secara sah. Dana publik yang dikoleksi dari lotere dan alkohol oleh negara bagian dan pemerintahan lokal di AS diperkirakan cukup untuk membiayai hampir setengah pengeluaran APBN di Indonesia. Di Indonesia, secara formal ketiga kegiatan tersebut tidak legal, tetapi, ketiga kegiatan di atas sebenarnya dilakukan lebih luas dan lebih merusak daripada di negara Barat sendiri. Perlindungan kepada kegiatan tersebut juga bertujuan memanfaatkan potensi dana publiknya. Akhir-akhir ini diberitakan adanya rekening yang sangat besar dimiliki para pejabat keamanan.
Intensitas kegiatan judi dan mentalitas di belakangnya, konsumsi alkohol dan obat terlarang serta mentalitas yang menyertainya, serta mentalitas prostitusi yang begitu parah telah jauh lebih membudaya dan mendalam di banding negara negara Barat. Peran ketiga kegiatan tersebut dalam merusak sendi-sendi masyarakat juga sangat besar. Sebagai contoh ketika pada masa orde baru terdapat lotere, maka di samping lotere resmi di mayarakat beredar lotere buntut yang menggunakan beberapa digit nomer terakhir dari lotere pemerintah. Di Jawa Tengah, di mana masyarakat suka kepada kelenik, masyarakat dikuasai oleh para dukun peramal, masyarakat menghabiskan waktu berjam jam per hari untuk membuka tabir isyarat-isyarat yang dibuat oleh para dukun palsu. Menjelang pengumuman, ribuan orang berkumpul di depan toko lotere sehingga memacetkan jalan. Keadaan seperti ini tidak dijumpai di negara Barat yang mengijinkan lotere secara resmi, karena kematangan masyarakat di sana. Demikian juga dalam hal alkohol, keteraturan akan batasan umur, jumlah yang dapat dibeli, jam pembelian, dalam hal ini apa yang terjadi di negara kita justru melampaui Barat sendiri. Hal ini semua disebabkan oleh mentalitas masyarakat, tingkat pendidikan dalam arti kematangan emosional dan intelektual, dan juga faktor lain seperti kemiskinan, kesesakan, dan seterusnya menjadi sebab semua ini. Dunia prostitusi juga tidak kalah buruk, dalam sebuah studi mengenai perdagangan anak dan wanita untuk keperluan prostitusi, kegiatan traficking di asia tenggara tidak kurang dari 250 000 orang setahun ( Trafficking in East Asia - Sheldon ).
Keterkaitan antara dana publik baik yang legal maupun yang dikoleksi secara tersembunyi jelas sekali sangat terkait dengan filosofi dan type masyarakat yang akan ditegakkan. Masyarakat yang miskin, dan dibebaskan menjalankan maksiat, akan berakibat sangat buruk. Di negara Barat misalnya, kebebasan mengkonsumsi alkohol disertai regulasi kandungan alkoholnya yang cukup aman, tempat, dan waktu penjualnnya. Di Indonesia, kandungan alkohol sangat tinggi yang sebenarnya tidak layak konsumsi, harga sangat murah, konon hanya dua ribu rupiah per botol kecil. Hal mana memberi suasana kehidupan umum yang tidak bermutu.
Tidak kalah mengerikan apa yang dilakukan para pedagang, akhir-akhir ini tersiar luas berita penggunaan racun formalin yang biasa untuk mengawetkan mayat digunakan secara luas pada makanan. Formalin ditemukan di berbagai jenis bahan makan yang dijual secara publik seperti bakmi, bakso, ikan asin, daging sapi, daging ayam, dan mungkin juga sayuran. Pemalsuan obat yang diminum oleh orang-orang sekarat juga luar biasa, obat-obat mahal yang sangat diperlukan hanya berisi tepung. Demikian juga semua orang mendengar pemalsuan oli kendaraan, pencampuran minyak goreng dengan bahan bakar solar, penggunaan zat warna kain atas makanan dan seterusnya. Semua ini jika dinilai dengan kriteria negara yang beradab, memperlihatkan keterpurukan atau ambruknya tatanan umum.
Masyarakat Islam-kontemporer dan syariahnya yang dirumuskan dalam bentuk yang modern sebenarnya sejalan bahkan lebih tegas dari tujuan masyarakat modern-Barat yang mensyaratkan adanya order, kepatuhan terhadap hukum dan aturan main, perlindungan hak asasi, non diskriminasi, dan seterusnya. Inti dari syariat adalah juga order, keteraturan masyarakat dan kepatuhan kepada hukum tanpa pandang bulu, keadilan, perhatian kepada yang lemah si miskin, perlindungan kepada yatim, perlindungan dan hormat kepada orang lanjut usia, perlindungan kepada minoritas, umat non muslim yang dzimmy yaitu yang ingin mendirikan masyarakat yang damai dan saling menghargai, penegakan hukum yang tegas, non diskriminatif. Keadilan adalah hakekat keislaman(Q 57:25 5:8 dalam Capra, 2001) dan ketidakadilan atau kezaliman merupakan kegelapan absolut (Capra, 2001: 69) yang otomatis akan muncul jika nilai Islam melemah.
Jika tujuan perlindungan masyarakat sejalan bahkan lebih tegas dari masyarakat modern-sekuler, di manakah perbedaan dan perselisihannya ? Kebebasan yang dianut dan ingin dilindungi berbeda. Dalam bab ke tiga, ditunjukkan betapa negeri bebas seperti Amerika Serikat melaksanakan pembatasan yang sangat ketat kepada berbagai industri yang bertujuan untuk kesehatan dan keselamatan konsumen, mengatur persaingan sesamanya, dan pelestarian lingkungan supaya layak huni. Ribuan lembar aturan yang berintikan restriksi yang rumit ditulis oleh dewan-dewan setiap industri, demikian juga dewan membuat standard pendidikan, juga dewan yang menetapkan standar kesehatan. Hal ini semua sesuai dengan dorongan Islam. Di Negara Barat, khususnya pada kurun setelah perkembangan ekonomi, dana publik akhirnya ditujukan untuk perbaikan dan perlindungan sumber daya manusia, seperti memberi tunjangan pensiun, asuransi kesehatan, pengangguran, bantuan kepada anak, keluarga miskin, dan orang jompo, hal ini semua Islami. Pengaturan industri serta pengaturan santuan SDM melalui program kesejahteraan yang dicapai negara-negara Barat sekarang lebih dekat kepada Islam daripada pencapaian negara-negara Islam itu sendiri.
Akan tetapi, kebebasan yang diberikan oleh Barat kepada warganya terlalu berlebihan, ketika, pemberian kebebasan itu sebenarnya mengancam kelangsungan masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh yang sering muncul adalah salah satu yang bersentuhan dengan peran perempuan, dan ini berarti menyangkut harkat dan martabat setengah populasi. Islam disalah mengertikan oleh Barat dalam hal kebebasan kaum perempuan. Afghanistan di bawah Thaliban selalu disebut sebagai contoh, dikabarkan melarang wanita pergi menuntut ilmu dan bekerja di luar. Berita tersebut sebenarnya tidak begitu jelas. Akan tetapi, taruhlah hal itu benar, maka hal itu hanyalah sebuah varian kecil. Muhammadiyah di Indonesia yang memiliki ribuan sekolah dari SD sampai Sekolah Menengah, dan memiliki lebih dari seratus Perguruan Tinggi, ribuan pesantren-pesantren di bawah Nahdhatul Ulama, dan yang sekarang dinilai paling keras pesantren di Ngruki Surakarta, semuanya memiliki siswa atau mahasiswa perempuan, dan juga pengajar perempuan. Pesantren Ngruki, bahkan, memiliki pondokan khusus perempuan yang mereka itu meninggalkan rumahnya dari seluruh Indonesia ribuan kilometer jaraknya.
Syariat, sebagaimana difahami oleh Muhammadiyah dan NU yang merupakan mayoritas umat Islam Indonesia dan juga berarti di dunia, tidak melarang kebebasan wanita dalam hal menuntut ilmu dan bekerja yang layak bagi wanita. Wanita memang dibatasi ketika berada di ruang publik berperilaku sebagai lambang hedonisme, di mana masyarakat Islam menganggap bahwa hal itu akan merusak “kebebasan inti yang sedang dilindunginya”. Hal ini tidak berbeda dengan regulasi industri yang ketat di Amerika Serikat yang dikenal masyarakat paling liberal, yaitu ketika kebebasan industri itu akan merusak hakekat “kebebasan masyarakat” yang diperjuangkan. Dengan demikian, perbedaan Islam dan Negara-negara liberal di Barat hanya bersumber kepada dimensi yang diakui berhak tampil di ruang publik.
Masyarakat Barat hanya mengakui dimensi phisik, yaitu regulasi ekonomi, keuangan, kesehatan, keselamatan lingkungan dan perlindungan pekerja. Masyarakat Islam di samping mengakui eksistensi phisik, juga mengakui eksistensi spiritual di ruang publik, pengakuan ini meminta regulasi tambahan yang lebih banyak. Regulasi yang dilakukan oleh masyarakat modern-sekuler sudah puas ketika barang-barang yang dijual tidak mengganggu kesehatan, memproduksinya tidak mengganggu lingkungan, besarnya perusahaan tidak mematikan yang lain, sehingga kalau demikian, menjadi monopoli dan merugikan rakyat karena menjual dengan harga yang lebih tinggi, dan seterusnya. Regulasi industri dan keuangan di Barat yang sangat ketat tersebut dapat diartikan sebagai membatasi kebebasan kecil untuk memperoleh kebebasan besarnya. Hal itu sama dan juga boleh ada di dalam masyarakat Islam ketika dimensi spiritual diakui di ruang publik.
Dimensi non materi yang diakui eksistensinya di dalam Islam, juga ingin dilindungi “kebebasan besar atau intinya” dengan biaya berupa regulasi kebebasan kecilnya. Kembali kepada masalah perempuan, jilbab yang diwajibakan oleh beberapa daerah di Indonesia untuk siswa dan untuk semua wanita di Aceh, dilandasi oleh pemikiran mengorbankan kebebasan kecil ketika dimensi spiritual diakui di ruang publik. Konsumsi alkohol dan perjudian dilarang di dalam Islam, walupun diakui manfaatnya, persis seperti Barat meregulasi industrinya, karena Islam melihat bahayanya terhadap dimensi spititual. Demikian juga prostitusi, gambar porno, dan sekitarnya, semua ini hanyalah kebebasan kecil yang harus dikorbankan untuk keamanan dan keselamatan dimensi non phisik yang diakui di ruang publik di dalam masyarakat Islam. Kalau demikian, jika kita sederhanakan perbedaan antara Barat dan Islam hanya berbeda degree atau intensitas saja. Di Baratpun terdapat regulasi yang ketat, bukan masyarakat bebas yang liar.
Regulasi ruang publik untuk pengembangan spiritual yang diinginkan oleh Islam sama sekali tidak mengganggu atau mengurangi kemajuan. Bahkan sebaliknya nilai Islam yang digali secara jujur mendorong kemajuan yang bersumber dari ilmu pengetahuan. Hal ini sudah dicontohkan oleh generasi pertama Islam dari abad 7 sampai abad pertengahan. Wanita tidak dilarang untuk menuntut ilmu dan bekerja sebagaimana terlihat secara empirik dalam komunitas muslim Indonesia yang sekarang terbesar jumlahnya di dunia. Regulasi tambahan atas diakuinya dimensi spiritual dalam masyarakat Islam tidaklah menyentuh masalah individu. Di luar jilbab yang bersifat permukaan, dimensi spiritual di ruang publik sebagian besar berhimpit dengan prinsip ketertiban dan keteraturan masyrakat yang didambakan oleh semua sistem, juga pemerintahan yang bersih, good corparate governance, seperti mengeliminir korupsi yang menjadi inti atau muara kerusakan.
Memang diakui ada regulasi spiritual yang kebabaslan yaitu misalnya membatasi keyakinan beragama, misalnya ketika terjadi perbedaan pendapat apakah Al Qur’an makhluk atau kalam Allah yang sempat muncul di panggung publik ketika kepemimpinan berada di tangan kaum Mutazillah. Hal itu diharapkan tidak akan terjadi lagi dalam masyarakat modern – Islam. Hal demikian adalah kecelakaan sejarah, seperti juga restriksi berlebihan dalam Negara Komunis di Rusia, China, Korea Utara, dan Kuba. Juga jangan lupa kecelakaan sejarah berupa perbudakan, perlombaan senjata atau nafsu membunuh sejak hari pertama Barat mengenal tekonologi (lihat Mahattir Mohammad, 2004), penjajahan atau kolonialisme yang secara phisik baru usai dan kini diteruskan melalui penguasaan ekonomi, budaya, dan penetrasi sistem politik, semuanya secara sistematis berkembang melalui penyebaran ide globalisasi dan liberalisasi.
Dalam masyarakat Islam modern, kecelakaan seperti itu diharapkan tidak akan terjadi. Sayang, kekuatan sekuler dalam negeri yang singkatnya terkagum dan terseret oleh kemajuan Barat sangat mengganggu perjalanan negara-negara muslim seperti Indonesia. Walaupun Undang Undang Dasar mengakui dimensi spiritual, pada prakteknya, negara ini makin lama makin sekuler. Dimensi spiritual di Indonesia diregulasi secara swasta atau sukarela yang dikawal oleh kelompok muslim taat, banyak kelompok tidak mengenal lelah menyuarakan dan mengawal idea tersebut dengan menerapkan sanksi sosial atau ekspresi ketidak senangan. Keunggulan kita dalam mendeklarasikan adanya dimensi spiritual dalam UUD, dan peran kita sebagai negara muslim terbesar, dikhianati oleh sekelompok intelektual dan pemimpin pembebek yang hanya akan mau berbuat jika Barat sudah melakukannya. Akibat dari pengkhianatan ini, akhirnya, menyebabkan hilangnya sisi keunggulan negera-negara Timur yang walaupun miskin, mestinya memiliki keunggulan sisi non materi di ruang publik. Spiritualitas di ruang publik sangat cocok dengan kondisi masyarakat yang miskin yang tidak semestinya menyelesaikan semua masalah yang diahadapinya dengan budaya uang.
Korupsi yang membudaya di Indonesia disebabkan oleh krisis nilai dan krisis budaya. Pencarian para pemimpin sekuler yang terobsesi oleh pencarian budaya dan nilai baru masih diwarnai oleh spirit Islamo phobia. Ibarat orang membangun, berusaha merobohkan bangunan dasar yang kokoh dan mendirikan bangunan baru yang belum jelas bentuknya. Ajaran Islam yang masih hidup dan dikaji, ditulis oleh ratusan ribu mahasiswa dan ribuan penulis profesioanl, dibaca, dikaji, dan diajarkan bahkan sejak pukul 4 pagi oleh jutaan rakyat ditinggalkan begitu saja. Ketika nilai baru yang lemah akan ditransformasi, pragmatisme, perasaan miskin, angin konsumerisme, dan godaan uang begitu gencar. Hasilnya, adalah sebentuk masyarakat yang miskin tetapi semakin individualistik dan materialistik. Budaya materialistik dan individualistik memiliki biaya ekonomi yang tinggi yang tidak mungkin terbayar oleh masyarakat miskin. Kerusakan yang bersifat kualitatif yang bersumber dari cara berpikir dan beritindak yang salah lebih hebat dan mendalam lagi seperti kerusakan dalam keluarga, hilangnya kasih sayang, hilangnya saling mempercayai, hilangnya kebersamaan dalam bermasyarakat. Orientasi uang dalam masyarakat yang miskin sungguh sangat mengerikan dibanding orientasi uang dalam masyarakat yang maju.
Kebijakan dalam bidang keuangan publik dengan menggali khasanah Islam diharapkan akan menjadi terobosan untuk mencapai program kemanusiaan di negara-negara muslim. Dalam bidang perbankan, walaupun peran perbankan syariah masih rendah terlihat perkembangan di masa depan. Peran perbankan syariah adalah memajukan usaha rakyat yang potensial. Sisi keuangan publik adalah sisi pendamping yang harus bergerak cepat ketika tranformasi industri berlangsung. Mekanisme keuangan publik adalah ibarat dokter lapangan yang harus juga disiapkan ketika pertandingan dimulai dan rakyat mulai bertanding di berbagai lapangan usaha. Sistem pungutan negara, sistem perburuhan-asuransi pekerja, jaminan sosial, sistem layanan kesehatan, sistem pendidikan rakyat semuanya merupakan wilayah kebijakan keuangan publik.

Zakat, Negara, dan Welfare State: Missi Buku ini

Puncak kemanusiaan ekonomi kapitalis Barat dapat dilihat secara kuantitatif dari persentase dan nilai absolut anggaran untuk program sosial. Di AS dijalankan berbagai program bantuan antara lain, AFDC (Aid to Famililies with Dependendent Children), SSI (Supplemental Security Imcome), Medicaid diberikan kepada keluarga miskin yang tidak memiliki asuransi kesehatan. Food Stamp diberikan kepada keluarga miskin berupa kupon untuk membeli bahan makan (Fisher, 1996). Kesejahteraan rakyat dicapai dengan melaksanakan pajak gaji (payroll tax) untuk menjamin tenaga kerja mencakup lapisan yang sangat luas. Jaminan tersebut berupa pensiun (OASI/ Old Age Survivor Insurance), cacat (Disability Insurance), kesehatan (Health Insurance), dan asuransi PHK (Unemployment Insurance). Program program ini dicapai jauh dari yang dapat dicapai oleh negara muslim. Islam mengajarkan mengenai pengelolaan keuangan publik dengan penekanan yang sangat, sebagai contoh disetiap perintah solat selalu disertai perintah membayar zakat, dana kemiskinan yang harus dibayarkan melalui pemerintah atau pengurus masyarakat. Bagiaman menggali hal seperti ini merupakan upaya dari buku kecil ini. Lihatlah contoh surat pendek berikut.

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (Al Maa’uun 1-3).

Sebuah negara primitif yang tidak atau belum memiliki program welfare, maka masyarakat tersebut dikategorikan tidak beragama. Masyarakat Islam sudah melakasanakan program welfare sejak awal peradabannya. Pada saat itu pendapatan perkapita masyarakat tentu masih sangat rendah. Jadi, sistem dan program welfare tidak hanya monopoli negara kaya, program kesetia kawanan ini dapat dimulai sejak negara masih miskin. Bahkan, negara miskin yang melakukan program welfare lebih indah dan lebih tinggi nilai pencapaiannya daripada negara kaya.
Masalah korupsi merupakan masalah sangat serius dalam manajemen keuangan negara muslim dewasa ini. Korupsi tidak dapat dibatasi dengan hanya yang melanggar legalitas formal. Dalam bidang keuangan publik jika wakil rakyat setuju terhadap rancangan eksekutif mengenai pembagian anggaran, pelaksanaannya menjadi legal. Dengan demikian jika tidak sedikitpun anggaran mengucur kepada rakyat, apabila wakil rakyat setuju dan ekskutif membelanjakan dengan tertib, namun secara subtansi hal tersebut merupakan tindakan yang disebut korupsi legal (legal corruption). Di negara-negara muslim tertentu uang negara adalah milik kepala negara/raja. Di tempat lain penggunaan anggaran lebih tersebar, oleh sebab itu secara subtansi yang dimaksud korupsi adalah sejauh mana anggaran tidak mengucur kepada rakyat.

Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu Dinar, tidak dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: "Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. Ali Imraan 75.

Dengan kekayaan nilai yang hidup di tengah kaum muslim dan terbukti mendorong masyarakat secara swadaya melaksanakan berbagai program pendidikan, fasilitas untuk orang miskin, dan program welfare secara swadaya dan sukarela di berbagai komunitas muslim. Apa yang dilakukan oleh pemerintah di negara muslim perlu direformasi agar program welfare yang sekarang masih dikawal secara swasta menjadi tugas negara.
Kebijakan publik secara garis besar menggunakan dua instrumen, yaitu, sistem keuangan dan perbankan di satu sisi, dan sistem fiskal dan keuangan negara di sisi lain. Di sektor fiskal dan keuangan negara perlu dimulai juga pemikiran untuk memerankan pemerintah dalam merealisir zakat. Dalam mengaitkan zakat dan pemerintah ini tidak harus bertentangan dengan prinsip keanekaragaman. Negara Indonesia memiliki pengalaman yang unik dan sangat berharga ketika memiliki departemen agama, pendidikan agama, kurikulum agama, lembaga peradilan agama, dan terakhir perbankan syariah. Dengan menggunakan instrumen zakat kapasitas keuangan negara akan meningkat sebagaimana nanti akan dibahas. Dan, dengan mengkaitkan zakat dan pemerintah maka pengembangan SDM yang merupakan inti dari welfare state dapat dipercepat. Negara menjadi terikat untuk membelanjakan dana yang didapatnya terhadap asnaf-asnaf SDM yang ditentukan oleh syariah zakat dan kesemuanya menguntungkan rakyat bawah. Tanpa syariah zakat, pemerintah bebas membelanjakan uangnya dan sangat sedikit mengucur kepada rakyat. Hal tersebut terjadi secara legal karena disetujui oleh lembaga wakil rakyat.
Missi dari buku ini adalah sebagai diskusi awal, setelah bank syariah sudah dapat diterima di sektor moneter dan sudah mendapat tempat yang cukup terhormat. Tanpa disadari masyarakat yang semula sangat menentang syariat, karena tidak memahaminya, kini sudah terbiasa. Perkembangan gradual ini sangat penting maknanya untuk mendidik masyarakat menerima sistem yang digali dari syariat Islam. Zakat sebagai rukun Islam yang sangat penting diharapkan juga mendapat tempat di sektor fiskal. Zakat adalah pungutan negara yang peruntukannya sudah jelas yaitu untuk pengembangan SDM, pemerintah tidak berhak membelanjakan menurut kemauannya. Dengan demikian, dengan menerima zakat secara formal di ruang publik, negara dipaksa untuk mengejar ketertinggalannya dengan masyarakat Barat dalam memberikan perhatian dan kesejahteraan kepada rakyat melalui program welfare state.
Pemerintah di negara-negara muslim dewasa ini sangat minim perhatiannya dalam membelanjakan uang publik untuk kepentingan rakyat. Anggaran pendidikan, anggaran kesehatan, dan kesejahteraan di Barat merupakan fokus anggaran utama. Lebih-lebih pemerintah daerah memahami betul bahwa servis utamanya kepada rakyat adalah menyediakan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan (Balita, Manula, Cacat dsb) fokus ini bisa menyerap 80 persen anggaran pemerintah daerah (Fisher, 1996). Di negara muslim data yang berhasil dihimpun menunjukkan hal yang memprihatinkan. Zakat sebagai rukun Islam perlu diintegrasikan kedalam sistem pajak pemerintah. Integrasi ini tidak akan menggoncang sistem yang ada karena alasan berikut, i. bersifat sosial ekonomi non politik mengikuti perkembangan bank syariah; ii. meningkatkan kapasitas uang negara, iii. mempercepat program welfare yang ditunggu oleh rakyat, iv, tidak memaksa sesuai dengan konsensus kenegaraan; v. tetapi mendorong wajib pajak membayar zakat secara terintegrasi dengan pajaknya karena umumnya pembayar pajak senang jika uang yang dibayarkan kepada pemerintah mengucur kepada rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download Lagu Gratis, MP3 Gratis