Bookmark and Share

Senin, 25 Januari 2010

KRISIS EKONOMI SEBAGAI MASALAH PUBLIK

Dari Krisis Moneter ke Krisis Multi-dimensi

Saat ini, setelah gerakan reformasi berumur lebih dari sewindu, orang mudah menyepakati, bahwa krisis multi-dimensi yang dialami bangsa ini belum sepenuhnya pulih. Secara keseluruhan, banyak yang mengakui bahwa reformasi di Indonesia berjalan pada jalur yang benar dan proses pemilihan presiden secara langsung dianggap sebagai salah satu keberhasilan. Namun demikian, tidak sedikit pula yang melihat dan yakin bahwa reformasi belum selesai, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Bahkan banyak orang yang menilai, bahwa kondisi ekonomi Indonesia belum kembali ke posisi sebelum krisis tahun 1998. Kalaupun terjadi pemulihan (recovery), prosesnya sangat lambat dan sangat rentan terhadap fluktuasi di pasar global. Tulisan ini tidak terutama membahas mengenai perkembangan kinerja ekonomi Indonesia sejak terjadinya krisis moneter 1998 sampai sekarang, tetapi mencoba memahami mengapa proses pemulihan ekonomi Indonesia terasa amat lambat dibandingkan dengan negara-negara Asia lain yang juga mengalami krisis lebih dulu dan lebih hebat dari Indonesia. Tulisan ini secara hipotetik beranggapan, bahwa sulitnya proses pemulihan ekonomi Indonesia disebabkan oleh karena yang terjadi bukan semata-mata sebuah krisis moneter atau krisis yang dapat diselesaikan secara teknis keuangan atau strategi ekonomi semata, melainkan persoalan hilangnya kepercayaan publik (public distrust) yang perlu diselesaikan secara mendasar dan menyeluruh.

Jika dilihat kembali secara kronologis, apa yang telah terjadi sejak tanggal 21 Mei 1998 adalah sebuah bunga rampai ketidak percayaan (distrust) yang terjalin demikian rumit. Berakhirnya kepemimpinan nasional yang ditandai dengan mundurnya Soeharto dari jabatan kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998, tidak lain merupakan manifestasi ketidak-percayaan publik kepada rejim yang berkuasa. Demikian pula dengan pro-kontra terhadap pengangkatan B.J. Habibie sebagai pengganti Soeharto. Krisis kepercayaan terhadap pemerintah tersebut, sebenarnya sudah tampak dengan jelas pada paruh kedua tahun 1997, ketika pemerintah berusaha untuk mengatasi gejolak moneter. Ketika itu nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat anjlok dari sekitar Rp 2.400,- per dolar menjadi sekitar Rp 8.700,- per dolar. Krisis kepercayaan publik tersebut juga menjadi begitu jelas ketika pemerintah, khususnya aparat keamanan, tidak berdaya dalam menjelaskan apalagi mengatasi berbagai perilaku agesif massa yang beruntun sejak peritiwa Baucau (1 Januari 1995) sampai peristiwa Tanah Abang (28 Januari 1997), dari Situbondo (10 Oktober 1996) sampai ke Tasikmalaya (26 Desember 1996), dan banyak lagi peristiwa sejenis yang memenuhi tahun kalender 1995 sampai saat ini. Kerusuhan 13 Mei 1998 di ibu kota, mempunyai bobot tersendiri dalam menurunkan kepercayaan internasional terhadap pemerintah Indonesia, khususnya dalam menjamin keamanan dari suku minoritas di kota metropolitan. Ketidakmampuan membongkar dengan tuntas para pelaku penculikan dan ulah orang yang dianggap provokator dalam berbagai kerusuhan, memberikan kredit amat negatif bagi pemerintah, khususnya polisi dan tentara.

Kepercayaan publik terhadap kemampuan negara melindungi warganya semakin pudar, terutama ketika kerusuhan demi kerusuhan terjadi begitu marak, tidak ada satu fihakpun yang merasa sungguh bertanggungjawab. Yang terjadi adalah maraknya berbagai analisis dan penjelasan dengan berbagai versi dan gaya, dari yang bersifat akademik sampai yang romantik, dari yang mesianik sampai yang berusaha mencuci tangan. Tentang peristiwa Tasikmalaya, misalnya, Pangab waktu itu langsung membuat pernyataan dengan mengidentifikasi peristiwa tersebut sebagai suatu hasil rekayasa politik, dengan demikian pasti ada dalang, aktor intelektual dan semacamnya. Sementara Abdurachman Wahid, tokoh besar NU yang sekaligus deklarator PKB yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke-4, melihat hal tersebut sebagai akibat dari terdesaknya pedagang santri oleh pemodal besar (Majalah Ummat, 20 Januari 1997). Sedangkan Amin Rais, yang merupakan salah seorang tokoh reformasi dan sempat menjadi Ketua MPR, sebagaimana yang dimuat dalam berbagai media massa, lebih melihat kerusuhan tersebut sebagai manifestasi dari ketidakadilan. Sementara polisi, khususnya jajaran Polda Jabar, merasa dijadikan sebagai kambing hitam yang tidak mampu menjaga keamanan yang menjadi tanggung-jawabnya.

Terlepas dari berbagai faktor pemicu yang mendahuluinya, serta analisis tentang faktor-faktor penyebabnya, peristiwa Tasikmalaya dan yang lainnya tetap meninggalkan kesan tentang hancurnya norma-norma sosial dan kesan tentang ketidakberdayaan pemerintah untuk mengatasi berbagai persoalan yang muncul. Sampai saat ini, aktor intelektual atau yang lebih populer dengan sebutan provokator itu tetap tak pernah jelas sosoknya, apalagi dapat ditangkap dan diadili. Mereka menghilang dalam riuhnya pernyataan politik, sedangkan mereka yang diadili dipercaya oleh banyak orang, bukanlah pelaku kunci yang seharusnya bertanggungjawab. Ketidakpercayaan demi ketidakpercayaan dan ketidakberdayaan demi ketidakberdayaan untuk mengidentifikasi kebenaran itulah yang menyebabkan makin mempersulit setiap upaya untuk memahami serta memecahkan persoalan yang sesungguhnya.

Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga sudah terkikis habis setiap hari oleh praktek-praktek penyalahgunaan kekuasaan yang tanpa batas dan pengawasan yang merambah ke segala bidang kehidupan, termasuk adanya intervensi kekuasaan terhadap proses pengadilan, dari penanganan kasus Udin, seorang wartawan sebuah harian di Yogyakarta, sampai kasus Galib dan kasus Bank Bali. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah, khususnya pemerintahan Habibie, tampak semakin kuat karena pemerintah dianggap tidak mampu mengatasi krisis moneter yang sudah berkembang parah menjadi krisis ekonomi, sosial dan politik secara menyeluruh. Harga harga kebutuhan pokok, baik barang maupun jasa, terus melangit sementara daya beli masyarakat terus melemah. Kebangkrutan sektor riil, khususnya sektor properti, dan sektor perbankan, menghasilkan tingkat pengangguran yang amat tinggi. Bank Dunia memperkirakan, bahwa tahun 1998 pengangguran di Indonesia berlipat empat kali menjadi 20 juta orang disamping 50 juta orang yang semi pengangguran. ILO memperkirakan memperkirakan tidak kurang dari 15.000 orang setiap hari kehilangan pekerjaan dalam masa krisis ini. ILO juga memperkirakan, bahwa 5,4 juta orang karyawan yang kehilangan pekerjaan akan masuk sektor informal pada tahun 1998, bergabung dengan 2/3 penduduk yang sudah berada di sana. Sebagian lagi dari mereka yang kehilangan pekerjaan akan menganggur dan merupakan kekuatan potensial bagi naiknya kriminalitas dan kerusuhan sosial maupun instabilitas politik. Dapat dipastikan, bahwa angka-angka itu semakin buruk sekarang.

Sejak awal sampai saat ini, usaha pemerintah untuk mengatasi krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi luas belum menunjukkan hasil. Hal tersebut antara lain berkaitan erat dengan krisis kepercayaan yang telah dibahas di muka. Beberapa peristiwa penting mampu menurunkan kredibilitas pemerintah di mata rakyat dengan drastis, diantaranya dapat disebut bahwa beberapa saat sebelum melikuidasi 16 buah bank, pemerintah masih menyatakan bahwa bank-bank tersebut adalah bank-bank yang sehat. Selain itu, pemerintah pernah membuat berbagai pernyataan tentang jumlah devisa negara yang dinilai cukup, namun ternyata tidak memadai untuk menutup neraca perdagangan luar negeri. Demikian pula dengan diumumkannya penilaian Bank Dunia yang menyatakan kuatnya fundamen ekonomi Indonesia, beberapa saat sebelum anjloknya nilai rupiah. Sejak itu, hampir semua ajakan pemerintah kepada masyarakat untuk melakukan upaya penyelamatan ekonomi, termasuk ajakan menjual dolar dan menyumbang emas untuk negara, tidak mendapat tanggapan yang berarti dari masyarakat, bahkan dianggap lelucon yang tidak lucu karena kebanyakan rakyat tidak belanja dengan dolar. Mitra dagang Indonesia di luar negeri pun serta merta tidak mau menerima letter of credit (L/C) yang dikeluarkan oleh bank-bank di Indonesia. Hal ini menyebabkan sulitnya melakukan transaksi dagang dengan pihak luar negeri, terutama bagi para importir. Persoalannya saat itu adalah bagaimana pengalaman-pengalaman tersebut dipahami dan dikonseptualisasi secara tepat, sehingga dapat dedekati dengan tepat pula. Tulisan ini, sekali lagi, tidak mempunyai pretensi untuk memberi penjelasan satu-satunya tentang fenomena yang dialami, apalagi memberi jawaban yang jitu terhadap persoalan yang demikian rumit. Namun dengan segala keterbatasannya bermaksud menawarkan suatu cara pandang yang mungkin berguna dalam memahami tali temali persoalan ekonomi yang rumit tadi dengan sebuah kata kunci, kepercayaan publik (public trust). Secara hipotetik dapat dirumuskan, bahwa sulitnya pemerintah melakukan pemulihan ekonomi bangsa ini setelah mengalami krisis, adalah karena telah kehilangan kepercayaan publik. Oleh karena itu, membangun kembali ekonomi bangsa ini harus dimulai dengan membangun kepercayaan publik yang telah sempat porak-poranda.

Secara sistematik, bagian pertama dari tulisan ini berusaha mengidentifikasi berbagai persoalan dasar yang saat ini terjadi, merentang dari krisis moneter sampai krisis moral. Bagian kedua, mencoba membuat suatu konseptualisasi dan refleksi teoritik tentang bagaimana krisis tersebut dipahami serta berusaha menjawab mengapa hal tersebut terjadi. Bagian ketiga tulisan ini berusaha menggugah lahirnya langkah nyata yang perlu ditempuh untuk mengatasi krisis, baik di tingkat individu, kelompok, maupun di tingkat bangsa secara keseluruhan. Sambil percaya, bahwa proses pemilihan umum yang relatif aman dan demokratis, dapat menjadi tonggak awal bagi pembentukan pemerintahan yang dapat dipercaya (credible) untuk memimpin bangsa ini memasuki milenium ketiga yang penuh tantangan.

“The Problem of Public Distrust”

Persoalan dasar yang ingin dijawab pada bagian ini adalah bagaimana masalah kepercayaan (trust) berhubungan dengan masalah ekonomi dan masalah-masalah lainnya? Ilmuwan sosial, khususnya para penstudi sosiologi ekonomi, mudah sepakat bahwa kepercayaan adalah esensi dan sekaligus landasan bagi terjadinya suatu interaksi sosial yang positif, yakni kerjasama. Hal tersebut tidak saja berlaku dalam relasi-relasi kekuasaan (politik) dan relasi-relasi kultural, tetapi juga dalam relasi-relasi ekonomi. Tidak saja dalam masyarakat tradisional, tetapi juga dalam masyarakat modern. Fukuyama (1995) mendefinisikan kepercayaan sosial (social trust) sebagai ikatan-ikatan terselubung di antara warga masyarakat yang memfasilitasi berbagai transaksi, memberdayakan kreativitas individual, dan melegitimasi tindakan-tindakan kolektif. Untuk sampai pada kesimpulan tersebut, Fukuyama mengkaji berbagai kebudayaan nasional dalam rangka mencari tahu prinsip-prinsip tersembunyi di balik kejayaan dan kemakmuran suatu bangsa. Hasil penemuannya membuktikan, bahwa kehidupan ekonomi melekat pada budaya setiap masyarakat serta tergantung pada ikatan moral (moral bonds) dari kepercayaan sosial (social trust). Dalam situasi ekonomi global seperti saat ini, menurutnya, keberhasilan suatu negara akan sangat ditentukan oleh perbedaan-perbedaan budayanya. Social capital yang direpresentasikan dengan tingkat kepercayaan (social trust) akan sama pentingnya (bahkan lebih) dibandingkan dengan modal fisik seperti sumber daya alam dan uang. Ia berpendapat, bahwa masyarakat yang mempunyai tingkat kepercayaan sosial tinggilah yang mampu membangun organisasi bisnis yang besar namun fleksibel seperti yang dibutuhkan dalam persaingan ekonomi dewasa ini. Menurutnya, keberhasilan ekonomi suatu bangsa tidak terutama ditentukan oleh etos individualismenya, namun oleh kuatnya ikatan-ikatan komunitas di dalam masyarakat yang bersangkutan.

Penjelasan Fukuyama tentang sebab keberhasilan pembangunan ekonomi tersebut di atas agak menjungkirbalikan apa yang biasa dikemukakan, baik oleh para ekonom konservatif maupun para pendukung materialisme Marxis. Pasar bebas, menurut para pendukungnya merupakan kondisi utama bagi lahirnya inisiatif individu menuju kemakmuran. Variasi jawaban lain sangat menekankan pada keterampilan dan motivasi individu sebagai kunci keberhasilan pembangunan ekonomi. Penjelasan yang lain lagi memfokuskan pada masalah jenis dan ukuran organisasi produksi. Dengan cara yang berbeda, Mills dan Ulmer (1946) serta Piore dan Sabel (1984) mengemukakan bahwa industri berskala besar sangat merugikan peningkatan kesejahteraan masyarakat, sedangkan industri kecil berdampak positif. Harrison (1994) di sisi lain, yakin akan hal yang sebaliknya. Ia percaya bahwa bisnis berskala besar tidak hanya bisa hidup dan berkembang baik, tetapi menjadi sangat fleksibel dan efisien serta berdampak positif pada kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Berbeda dengan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan di muka, penjelasan sosiologis seperti juga penjelasan Fukuyama, umumnya mengacu pada struktur sosial dan kultur sebagai faktor penjelas. Mereka percaya, bahwa faktor-faktor sosial merupakan penjelas tinggi-rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Sumber argumen tersebut dapat ditemukan dalam karya klasik Karl Polanyi (1944/1957), The Great Transformation dan dikemukakan kembali oleh Mark Granovetter (1985) dan para pendukung sosiologi ekonomi. Polanyi dalam buku tersebut mengemukakan, bahwa proses-proses pasar dan ekonomi melekat (embedded) pada pranata-pranata sosial yang ada.

Kajian Polanyi merupakan hasil refleksi mendalam terhadap faktor ekonomi dan politik dari runtuhnya peradaban Eropa abad ke-19. Dalam bukunya, ia mengidentifikasi ada empat institusi yang menjadi pilar peradaban waktu itu: keseimbangan kekuatan internasional (the international balance of power), standar harga emas (the gold standard), mekanisme pasar bebas (self regulating markets), dan negara yang bersikap liberal (the liberal state). Polanyi berpendapat, bahwa self regulating market-lah yang merupakan pilar paling penting dan menentukan dari keempatnya. Pasar bebas tidak hanya merupakan sumber dari munculnya suatu peradaban baru saat itu, tetapi juga yang paling bertanggungjawab atas runtuhnya peradaban yang ada setelah perang dunia pertama. Polanyi sungguh percaya, bahwa ekonomi pasar tidak akan bisa bertahan untuk waktu tertentu tanpa menghancurkan masyarakat di sekitarnya. Hal tersebut terjadi, bukan saja karena pasar bebas sangat mengutamakan hubungan-hubungan ekonomi semata, tetapi juga karena sistem ideal dari ekonomi baru menuntut adanya penolakan tanpa belas kasih terhadap status sosial umat manusia.

Untuk lebih meyakinkan, Polanyi mengidentifikasi lebih lanjut bahwa pasar bebas telah mendorong pabrik-pabrik (baca: industri) telah melumatkan kebutuhan umat manusia, dengan cara menghancurkan masyarakat sebagai satu komunitas menjadi atom-atom lepas, manusia individual. MacIver menggarisbawahi pesan Polanyi ini dalam kata pengantar buku Polanyi untuk edisi tahun 1957 sebagai berikut:

"Men failed to realize what the cohesion of society meant. The inner temple of human life was despoiled and violated. The tremendous problem of the social control of a revolutionary change was unappreciated; optimistic philosophies obscured it, shortsighted philanthropies conspired with power interest to conceal it, and the wisdom of time was still unborn."

(Manusia gagal untuk menyadari apa arti guyubnya suatu komunitas. Esensi dasar hidup manusia dihancurkan dan dilanggar. Berbagai masalah yang berkaitan dengan pengendalian sosial dari sebuah perubahan yang dasyat tidak mendapat hirauan; pemikiran filsafat yang optimistik mengaburkannya, kepentingan sesaat bersekongkol dengan kepentingan kekuasaan menyembunyikannya, sementara kebajikan yang ditunggu belum juga muncul).

Identifikasi Polanyi tentang akibat pasar bebas beberapa abad yang lalu sungguh dahsyat dan seperti sangat dekat dengan pengalaman sehari-hari. Selanjutnya Polanyi berpendapat, bahwa ketika berhadapan dengan kekuatan penghancur tersebut (pasar bebas), masyarakat bereaksi untuk melindungi diri. Apapun mekanismenya, hal tersebut akan menghancurkan mekanisme pasar, mengacaukan industri dan pada akhirnya membahayakan masyarakat itu sendiri dengan cara mengacaukan institusi-insitusi sosial yang berdiri di atasnya. Sedangkan hancurnya sistem internasional saat itu, disebabkan oleh karena keseimbangan kekuatan antar bangsa (international balance of power) tidak lagi mampu menghasilkan perdamaian manakala sistem ekonomi tempat ia berpijak gagal. Revolusi industri, menurut Polanyi, telah berhasil mengembangkan teknologi produksi secara mengagumkan, namun hal tersebut disertai dengan terjadinya penyisihan hidup orang-orang kebanyakan. Teknologi mereduksi manusia menjadi buruh, dan alam menjadi sebidang tanah. Pendeknya ia percaya, bahwa hancurnya peradaban umat manusia yang ia saksikan selama Perang Dunia II bersumber dari hancurnya ekonomi pasar. Namun Polanyi menelusuri sumber kegagalan ekonomi pasar tersebut ternyata terletak pada kondisi-kondisi sosial masyarakat Eropa Barat yang melahirkan dan menjadi pijakan ekonomi pasar tersebut.

Demikianlah kerangka istitusional (the social construction) dari pasar bebas yang menjadi inti peradaban masyarakat Eropa Barat yang sempat diidentifikasi oleh Polanyi dalam rangka menjelaskan runtuhnya peradaban pada saat itu.. Secara lebih spesifik, Polanyi juga menjelaskan mengenai perilaku ekonomi. Ia berpendapat bahwa perilaku ekonomi sesungguhnya melekat di dalam hubungan-hubungan sosial yang berlangsung setiap hari:

"The outstanding discovery of recent historical and anthropological research is that man's economy, as a rule, is submerged in his social relationships. He does not act so as to safeguard his individual interest in the possession of material goods; he acts so as to safeguard his social standing, his social claims, his social assets." (Polanyi 1944/1957:.46)

(Penemuan luar biasa dari penelitian sejarah dan antropologi saat ini adalah, bahwa ekonomi umat manusia, sebagai suatu aturan, melekat dalam hubungan-hubungan sosial. Orang tidak melakukan tindakan ekonomi dalam rangka melindungi kepentingan individualnya untuk memiliki barang-barang material, melainkan bertindak untuk melindungi status sosialnya, tuntutan sosialnya, serta aset sosialnya).

Untuk memperkuat argumennya, Polanyi mengangkat hasil penelitian Bronislaw Malinowski mengenai masyarakat Trobiand di kepulauan Melanesia Barat. Malinowski mengemukakan, bahwa masyarakat Trobiand tidak terutama berlandas pada motivasi ekonomi, melainkan pada hubungan timbal-balik dalam perkawinan dan kekeluargaan serta redistribusi susunan kekuasaan dan stratifikasi sosial. Dalam masyarakat semacam itu, menurut Polanyi, sistem ekonomi hanyalah merupakan fungsi dari organisasi sosial (Polanyi 1944/1957:49). Lebih lanjut Polanyi mengemukakan, bahwa prinsip ini juga berlaku di dalam masyarakat modern seperti masyarakat Eropa (ibid.: 55).

Pesan penting yang disampaikan Karl Polanyi dari analisis terhadap pengalaman Eropa Barat setelah Perang Dunia I adalah, membawa kembali masyarakat dan tatanan sosial untuk diperhitungkan dalam memahami tindakan-tindakan ekonomi. Pesan yang mendapat simpatik dan relevan untuk di dengar kembali oleh para pengamat dan ilmuwan sosial saat ini. Polanyi menemukan jawaban terhadap masalah-masalah ekonomi, dalam hubungan-hubungan sosial yang tidak terhancurkan. MacIver ketika memberikan pengantar terhadap tulisan Polanyi menulis juga sebagai berikut:

"...what our age needs is the reaffirmation, for its own condition and for its own needs, of the essential values of human life... from Polanyi one can learn to look beyond the inadequate alternatives that are usually offered to him or her, the thus far and no farther of liberalism, the all or nothing of collectivism, the seer negation of individualism, for these all tend to make some economic system the primary objective. Only by the primacy of society, the inclusive coherent unity of human interdependence, that we can hope to transcend the perplexities and the contradictions of our time."
(Polanyi, 1944/1957: x-xii).

(Apa yang dibutuhkan saat ini adalah penegasan kembali, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan saat ini, nilai-nilai esensial dari hidup manusia… dari Polanyi orang dapat belajar untuk mencari di luar alternatif-alternatif yang tidak memadai yang biasa diperolehnya, menerima tidak lebih jauh dari liberalisme, menerima mentah-mentah kolektivisme, atau pengingkaran terhadap tukang ramal dari individualisme, untuk itu semua cenderung membuat sistem ekonomi menjadi tujuan utama. Hanya dengan mengutamakan masyarakat, persatuan umat manusia yang inklusif saling tergantung, yang terhadapnya kita dapat berharap untuk mentransendensikan kebingungan dan kontradiksi-kontradiksi yang terjadi saat ini).

Refleksi Polanyi menyajikan cara pandang unik dan inklusif dalam menjelaskan institusi dan perilaku ekonomi. Pemikirannya menggema kembali melalui kajian-kajian sosiologi ekonomi. Para pendukung sosiologi ekonomi mengembangkan lebih lanjut argumen-argumen yang dikemukakan oleh Polanyi. Mereka sangat menekankan, bahwa tindakan ekonomi pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari relasi-relasi sosial dan relasi-relasi kekuasaan. Swedberg dan Granoveter (1992) mengajukan tiga argumen kuat untuk menjelaskan hal tersebut. Pertama, perilaku ekonomi (seperti berdagang) adalah sebuah tindakan sosial. Argumen ini sebenarnya merupakan topik klasik dan masih tetap menempati agenda utama dalam penelaahan sosiologi. Durkheim ([1893] 1984: 173) dalam bukunya The Division of Labor in Society menekankan, bahwa tindakan ekonomi murni (i.e. maksimisasi profit dan tindakan rasional) tidak mungkin mampu menciptakan ikatan sosial yang lebih permanen, bahkan ketika masyarakat sepenuhnya bersandar pada pembagian kerja yang teratur. Ia menekankan, bahwa pada kenyataannya individu-individu yang terlibat dalam proses pertukaran, biasanya masih menjalin hubungan walau proses pertukaran telah selesai. Hal itu hanya mungkin terjadi karena, seperti juga bentuk-bentuk tindakan sosial yang lain, adanya orientasi menuju dan diilhami oleh apa yang disebutnya sebagai collective representations. Pandangan yang kuat tentang perilaku ekonomi sebagai suatu bentuk tindakan sosial juga dikemukakan oleh dua tokoh sosiologi klasik lainnya Karl Marx dan Max Weber.

Argumen kedua dari para pendukung sosiologi ekonomi berbunyi, bahwa tindakan ekonomi selalu terkondisi dalam suatu situasi sosial tertentu (socially situated). Tindakan ekonomi tidak mungkin dapat dijelaskan hanya dengan mengacu pada motif-motif individual semata. Tindakan ekonomi melekat (embedded) dalam suatu jaringan (network) hubungan-hubungan personal yang berlangsung. Jaringan atau network di sini diartikan sebagai suatu rangkaian kontak yang teratur atau hubungan-hubungan sosial sejenis di antara individu-individu atau kelompok-kelompok. Pendekatan network tidak saja mampu menghindari analisis terhadap individu sebagai atom yang terpisah dari orang lain, tetapi juga memberi penjelasan yang memadai mengenai penemuan, penyebaran dan penggunaan teknologi dalam proses produksi, susunan kepemilikan, atau penjelasan budaya tentang peristiwa ekonomi tertentu. Ia juga membuktikan, bahwa orang umumnya menggunakan network dalam memperoleh pekerjaan dan karirnya (Granovetter, 1974).

Argumen ketiga adalah, bahwa institusi ekonomi terbentuk secara sosial (socially constructed). Argumen ini sebenarnya merupakan reaksi sosiologis terhadap the New Institutional Economics yang mulai menaruh perhatian terhadap proses pelembagaan ekonomi (Williamson 1975, 1985; North 1981; Schotter 1981; North and Thomas 1973). Neo-ekonomi-institusional muncul dari kesadaran ilmu ekonomi tentang perlunya analisis terhadap institusi sosial untuk menjelaskan berbagai masalah ekonomi, namun yang menjadi tema dasar mereka adalah efisiensi. Hanya institusi yang efisien yang akan bertahan dan hidup. Menanggapi hal ini, Mark Granovetter (1990) mengajukan konsep 'social construction' yang berakar pada tiga konsep pokok yaitu 'the sosial construction of reality' dari Peter L.Berger dan Thomas Luckmann (1966), 'konsep path-dependent development' dari Paul David (1986) dan Brian Arthur (1989), dan konsep 'jaringan sosial' (social network). Secara garis besar Granovetter mengemukakan, bahwa institusi sosial, termasuk institusi ekonomi, bukanlah suatu realitas obyektif dan bersifat eksternal seperti yang tampak di permukaan. Melainkan merupakan hasil suatu proses sosial, yaitu proses penciptaan sosial yang lambat. Cara melakukan sesuatu, termasuk cara berdagang, 'diperkeras' dan 'dipertebal' dan kadang-kadang 'diperhalus' melalui proses-proses dan konstrukri sosial sampai akhirnya terciptalah 'cara berdagang tertentu'. Jaringan (network) dipandang sangat perlu dalam proses formasi institusi, namun begitu institusi telah mapan (locked in) urgensinya menjadi berkurang. Dalam konteks institusionalisasi yang demikian, maka konsep efisiensi bukanlah penjelas utama tentang mengapa sebuah organisasi bisnis dapat bertahan hidup dan berkembang. Kalaupun demikian, efisiensi itu sendiri lahir sebagai hasil dari proses konstruksi sosial.


Catatan Kaki untuk Pemulihan Ekonomi

Sebagai penutup, tulisan ini mencoba memberi sebuah catatan kaki untuk pemulihan ekonomi. Mengapa hanya sebuah catatan kaki? Karena isinya bukanlah sebuah konsep dan teori ekonomi yang lahir dari tradisi yang lazim difahami di negeri ini, melainkan sebuah pelajaran yang datang dari masa silam tentang kompleksnya jalinan institusional sebuah realitas, dan refleksi historik yang layak dipertimbangkan ketika persoalan ekonomi tidak lagi bisa dimengerti apalagi di atasi dengan kacamata sebuah disiplin. Sebuah catatan kaki yang diharapkan dapat melahirkan inspirasi dan alternatif, ketika sebuah persoalan dilihat dari paradigma yang berbeda.

Catatan Kaki Pertama;
Dalam tulisan ini dipahami, bahwa krisis sesungguhnya yang melanda bangsa ini, meski dimulai dengan sebuah krisis moneter dan berlanjut dengan krisis ekonomi, bukanlah semata-mata masalah ekonomi. Lebih dari itu, kesulitan dan lambatnya upaya pemulihan menunjukkan, bahwa yang terjadi adalah jalinan tali-temali yang rumit tentang ketidakpercayaan publik (public distrust). Para ibu rumah tangga tidak percaya, bahwa harga minyak tidak akan melonjak dan tarif listrik tidak akan naik. Para pengusaha ragu, apakah kebijakan tentang investasi akan terus berganti dan tidak yakin bahwa undang-undang tenaga-kerja tidak akan berubah ketika seorang pejabat pindah. Para buruh waswas apakah besok masih dapat bekerja tanpa terkena PHK dan ragu apakah gaji bulan ini, meski hanya gaji pokok, akan dibayarkan tepat waktu tanpa harus mogok dan tanpa potongan uang rokok. Lebih dari itu masyarakat sangat tidak percaya, bahwa uang pajak tidak akan diselewengkan oleh pejabat dan para konsumen tidak percaya akan kualitas barang dan layanan jasa yang ditawarkan sebuah iklan. Sebuah rantai ketidakpercayaan yang bertumpu pada tatanan nilai dan norma pergaulan. Jika fakta yang baru dikemukakan merupakan sebagian saja dari kebenaran yang tidak perlu disangkal, maka tidak ada cara lain agenda pemulihan harus pertolak dari upaya mengembalikan kepercayaan publik (public trust). Strategi lebih rinci berkaitan dengan dan akan dijelaskan dalam catatan kaki-catatan kaki selanjutnya.

Catatan Kaki Kedua;
Seperti dikemukakan oleh para pendukung sosiologi ekonomi seperti Swedberg, perilaku ekonomi (seperti berdagang) adalah sebuah tindakan sosial. Hal ini mengandung arti, bahwa perilaku ekonomi tersebut juga tunduk pada hukum-hukum interaksi yang berlaku secara umum. Bagaimana interaksi sosial dapat dijelaskan? Dalam sosiologi, Randal Collins (1994) menyebut ada empat perspektif untuk menjelaskan sebuah tindakan sosial, yaitu perspektif konflik, perspektif utilitarian, perspektif fungsionalisme struktural atau (Dhurkheimian) dan perspektif interaksionisme simbolik. Menurut perspektif konflik, masyarakat terdiri dari individu dan kelompok dan esensi interaksi sosial adalah kepentingan. Jadi ketika seseorang atau sekelompok orang berinteraksi, yang sesungguhnya

adalah pertemuan antar kepentingan yang saling memaksakan. Dalam situasi ini, konflik kepentingan adalah alamiah dan dominasi kepentingan yang kecil oleh kepentingan yang lebih besar merupakan hal natural. Dari perspektif ini, para pengambil kebijakan ekonomi dapat memahami bahwa lapangan ekonomi adalah sebuah medan pertempuran yang memerlukan kearifan dalam mengelola sebuah konflik hidup dan mati. Perspektif kedua, perspektif utilitarian adalah cara pandang yang lebih dikenal di kalangan para ekonom. Para pendukung perspektif ini memandang masyarakat terutama sebagai kumpulan individu yang rasional yang memilik ciri, bahwa setiap perilakunya di dorong oleh tujuan (goal oriented behaviour) dan cara mencapai tujuan tersebut (prinsip efisiensi). Oleh karenanya akses terhadap informasi merupakan hal kritis dalam mengambil keputusan. Jika pengambil keputusan memahami hal ini dan percaya pada cara pandang ini, maka pemulihan ekonomi dapat mulai dengan menyediakan informasi tentang apapun yang diperlukan agar setiap individu dapat mengambil keputusan ekonomi yang diharapkan. Perspektif ketiga, fungsionalisme struktural, berpandangan bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh, bahkan kadang-kadang ditentukan oleh struktur-struktur (nilai-nilai, norma-norma dan jejaring kelembagaan) kelompoknya. Rasionalisme individu sangat dibatasi dan terikat pada struktur-struktur tersebut. Oleh karena itu, kebijakan pemulihan ekonomi yang dilakukan perlu memperhatikan framework kelembagaan yang ada di dalam masyarakat. Perspektif keempat, interaksionisme simbolik, memandang bahwa interaksi sosial melibatkan pertukaran simbol-simbol (terutama bahasa) dalam rangka bertukar nilai yang dianggap penting dan norma yang dianggap pantas. Dalam perspektif ini barang dan jasa bukanlah benda ekonomi semata yang dapat diperjual-belikan tanpa makna, melainkan merupakan simbol sosial dari berbagai hal termasuk status sosial dan lambang kesalehan. Oleh karena itu perspektif ini membantu pengambil kebijakan ekonomi untuk memilih komoditas dan sektor mana yang secara simbolik bermakna bagi masyarakat dan secara ekonomis bersifat strategis.



Catatan Kaki Ketiga;
Seperti halnya tindakan sosial lain, tindakan ekonomi selalu terkondisi dalam suatu situasi sosial tertentu (socially situated). Secara sederhana prinsip ini dapat dijelaskan dengan contoh-contoh berikut ini. Memberi tips kepada pelayan hotel, kebanyakan orang Amerika melakukannya dan menganggap hal itu merupakan tindakan terpuji, sehingga orang yang melakukannya akan mendapat pelayanan yang menyenangkan. Sebaliknya jika hal itu dilakukan di Jepang, pelayan hotel akan menolak dengan halus dengan mengatakan ”Terima kasih, kami dilarang menerima tips”. Jika hal itu dilakukan di Jakarta, polanya sulit ditebak, oleh karena itu seorang tamu bisa saja dianggap salah tingkah apakah harus memberi atau tidak, dengan risiko bisa dianggap dermawan atau bajingan. Melakukan atau tidak melakukan mempunyai risiko yang sama. Demikian juga halnya dengan membayar pajak kepada negara, membayar atau tidak membayar risikonya sama, asal memiliki kedekatan (baca: kolusi) dengan petugas penagihan. Pengalaman empirik sederhana tersebut, mengingatkan akan perlunya dibangun situasi-situasi, yang sebenarnya jauh dari persoalan ekonomi, namun merangsang setiap orang atau perusahaan untuk melakukan tindakan yang dikehendaki.

Catatan Kaki Keempat;
Institusi ekonomi, seperti juga institusi-institusi sosial lainnya, terbentuk secara sosial (socially constructed) melalui proses yang disebut institusionalisasi atau pelembagaan. Dalam sosiologi, pengertian institusi tidak sama dengan organisasi, melainkan menunjuk pada kumpulan norma yang mengatur bagaimana suatu tindakan (termasuk tindakan ekonomi) harus dilakukan. Proses melembaganya sebuah norma umumnya bermula dari cara seseorang melakukan suatu tindakan. Jika cara itu dianggap berhasil, biasanya diulang-ulang sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Ketika orang di sekitarnya mengikuti kebiasaan orang itu karena dianggap baik, maka terbentuklah apa yang disebut customs yang kemudian membentuk sebuah tradisi. Sebuah proses panjang yang mengingatkan para pengambil kebijakan, bahwa pemulihan ekonomi memang merupakan proses panjang yang membutuhkan kesabaran, ketahanan, namun lebih dari semua itu adalah konsistensi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download Lagu Gratis, MP3 Gratis