LAPORAN YANG DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS
UJIAN TENGAH SEMESTER
D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
ISMUL AZHARI
NIM : 08 EKNI 1348
JURUSAN: EKONOMI ISLAM
DOSEN PEMBIMBING
Prof. Dr. H. Veithzal Rivai, MBA
PPS IAIN SUMATERA UTARA
TAHUN AJARAN 2008-2009
PENDAHULUAN
Yang kita lihat pada minggu lalu adalah sebuah dunia yang begitu rentan. Begitu tak pasti. Seorang pemuda berumur 31 tahun dari Perancis bernama Jerome Kerviel telah mengakibatkan perusahaan keuangan Societe Generale kehilangan 4,9 miliar euro akibat transaksi ilegal. Di tempat lain, guncangan yang menerpa monoline insurer, yang memberikan jaminan untuk municipal bonds dan structure credit product, telah membawa kekhawatiran bahwa bangun infrastruktur keuangan akan lumpuh.
Akibatnya, pasar keuangan terguncang. Selama lima hari pasar keuangan dunia terombang-ambing. Di Asia Pacific, indeks melemah 4-8 persen. Bursa Efek Indonesia tak terkecuali, anjlok sebesar 7,7 persen atau 191,35 poin. Mengantisipasi pasar yang panik, Bank Sentral Amerika Serikat memangkas suku bunga sebesar 75 basis poin, yaitu dari 4,25 persen menjadi 3,5 persen. Penurunan bunga yang paling dramatis sejak 1982. Memang, yang kita lihat minggu lalu adalah dunia yang begitu rentan, begitu tak pasti. Monoline dan Kerviel tentu bukan sumber dari semua problema ini. Keduanya hanya penanda, betapa tak pastinya pasar keuangan dunia setelah krisis subprime menghantam Amerika Serikat dan Eropa.
Di AS, situasi ekonomi praktis semakin tak pasti. Angka pengangguran meningkat, liquidity crunch terjadi, dan gejala resesi semakin jelas. Sementara ruang bagi kebijakan moneter makin kecil. Bila ekonomi tak juga bergerak, tingkat bunga yang terlalu rendah akan membawa perekonomian masuk ke dalam perangkap likuiditas (liquidity trap). Di sisi lain, ancaman inflasi terus meningkat. Itu sebabnya, Pemerintah AS kemudian mencoba melakukan stimulus fiskal sebesar 150 miliar dollar AS melalui pemotongan pajak. Cukupkah? Banyak pihak masih meragukan efektivitasnya.
Bagi Indonesia, itu artinya kita harus sangat berhati-hati dengan defisit anggaran. Di tengah ketidakpastian global, pembiayaan defisit anggaran menjadi semakin mahal dan tak mudah. Saya sulit membayangkan apa yang akan terjadi saat ini jika awal Januari lalu Pemerintah Indonesia menunda penjualan obligasinya. Selain itu, kebijakan moneter yang hati-hati dibutuhkan untuk menjaga inflasi dan nilai tukar. Kita memang melihat bahwa tekanan defisit anggaran meningkat akibat kenaikan harga minyak dunia.
Benar bahwa pada harga rata-rata ICP 100 dollar AS sepanjang tahun dan dengan produksi hanya 950.000 barrel per hari, tekanan pada defisit anggaran masih bisa diatasi. Namun, akhir-akhir ini kita juga melihat bahwa harga-harga komoditas di pasar global terus meningkat. Kita berteriak karena harga kedelai, gandum, terigu, dan jagung naik. Tahun lalu kita juga mencatat kenaikan harga minyak goreng dan beras.
Indonesia memang tak sendiri. Kenaikan konsumsi energi telah mendorong peralihan produksi dari makanan pada biofuel. Selain itu, dampak dari perubahan iklim telah mengakibatkan produksi pangan dunia menurun. Dapat diduga, harga jadi melonjak. Untuk menjamin pasokan dan menjaga harga domestik, beberapa negara, seperti Argentina, India, Rusia, dan Vietnam, melarang atau membatasi ekspor gandum. Sayangnya, ini justru memicu kenaikan harga karena menurunnya pasokan di pasar internasional.
China melakukan kontrol harga untuk makanan pokok walau efektivitasnya mulai diragukan sekarang. Begitu juga dengan Malaysia yang membatasi konsumsi kelapa sawit maksimum 5 kilogram. Seperti Indonesia, Turki dan Maroko menurunkan bea masuk impor untuk mengurangi tekanan harga makanan. Dampak dari kenaikan harga makanan tak bisa dianggap remeh. Kita tahu makanan memegang porsi yang besar dalam pengeluaran, terutama bagi mereka yang miskin. Lalu apa yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi persoalan ini? Saya kira ada beberapa hal yang perlu dipikirkan dengan cermat.
Pertama, membuka impor dan menambah pasokan memang sebuah solusi jangka pendek. Namun ketika produksi dunia juga menurun, impor hanya dapat membantu membuat harga domestik sebanding dengan harga internasional. Itu artinya, harga makanan tetap mahal bagi rakyat kita. Kedua, yang harus dilakukan adalah menjaga daya beli kelompok miskin dalam situasi harga pangan yang meroket. Untuk itu, ada dua pilihan, yaitu mengontrol harga atau meningkatkan daya beli. Mematok harga pangan jelas bukan opsi yang baik karena amat sulit dan berisiko. Untuk itu dibutuhkan biaya administrasi dan pengawasan yang tinggi. Padahal kita tahu, kapasitas pemerintah terbatas.
Selain itu, kebijakan ini amat rawan penyelundupan. Pilihan lain adalah meningkatkan daya beli. Caranya, dengan memberikan subsidi pangan kepada penduduk miskin. Mekanismenya, bisa melalui program subsidi pangan seperti raskin, atau raskin yang dikombinasikan dengan bantuan untuk UKM, atau cash for work, di mana pemerintah menyediakan lapangan kerja, dalam periode waktu tertentu, bagi penduduk miskin. Ini melalui berbagai program pembangunan infrastruktur desa, seperti irigasi dalam skala kecil, konservasi tanah, pembangunan jalan desa atau program reforestation, atau mungkin skema-skema lain yang dianggap efektif. Yang penting, perlu subsidi pangan untuk menjaga daya beli kelompok rakyat miskin.
RUMUSAN MASALAH
Pengumuman kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) oleh emerintah pada awal Maret lalu menimbulkan reaksi pro dan kontra di kalangan asyarakat. Pemerintah berargumen kenaikan harga BBM adalah salah satu upaya untuk mengurangi subsidi BBM yang jumlahnya semakin meningkat. Ini terkait kenaikan harga minyak dunia sejak triwulan IV 2004 yang melebihi asumsi harga minyak APBN. Kebijakan menaikkan harga BBM diharapkan dapat mengurangi beban defisit anggaran. Sementara itu, anggota dewan, sekelompok pengamat ekonomi dan lapisan masyarakat lainnya menganggap pemerintah seharusnya dapat mencari alternatif lain ketimbang mengambil jalan pintas menaikkan harga
BBM. Mereka yakin kenaikan harga BBM akan menambah beban ekonomi masyarakat miskin pasca krisis ekonomi 1997, ditambah dampak bencana tsunami yang belum berakhir.
Apakah mengurangi subsidi BBM merupakan satu-satunya jalan untuk mengurangi defisit anggaran? Bagaimana sebenarnya solusi untuk mengurangi defisit anggaran pemerintah dari sisi ekonomi Islam? Salah satu prinsip utama ekonomi Islam untuk mengurangi defisit anggaran adalah dengan menggunakan alat (instrumen keuangan) yang dapat memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat. Dalam ekonomi Islam, setidaknya terdapat dua tipe instrument keuangan yang dapat dipergunakan yaitu non-debt financing instrument (instrumen keuangan bukan utang) dan debtbased financing instrument (instrumen keuangan utang).
Instrumen Keuangan Bukan Utang
Instrumen keuangan bukan utang adalah sertifikat yang diterbitkan oleh pemerintah dengan prinsip syariah yang memungkinkan pemiliknya memperoleh bagi hasil dan dapat diperdagangkan (tradable) pada harga pasar. Selain itu, kepemilikan atas sertifikat ini mencerminkan kepemilikan akan suatu proyek (kegiatan) pemerintah yang dapat mendatangkan pendapatan.
A. Instrumen Ijarah
Adalah contoh pertama dari instrumen keuangan bukan utang yaitu suatu sertifikat yang ditawarkan kepada public sebagai bukti kepemilikan atas proyek pemerintah seperti infrastruktur (jalan, jembatan), fasilitas kesehatan, pendidikan, mesin dan peralatan, pelabuhan udara, dan lain-lain. Proyek-proyek tersebut dijalankan oleh pemerintah melalui dana yang diperoleh dari pemilik ijarah. Pemerintah di sini adalah penyewa dan apabila kelak proyek tersebut mendatangkan keuntungan maka pemilik ijarah sebagai investor akan memperoleh bagi hasil dari keuntungan tersebut.
Pemilik ijarah bertanggungjawab penuh terhadap kelangsungan proyek demikian pula pemerintah menjaga pelaksanaan proyek agar berjalan sesuai harapan kedua pihak. Pemerintah sebagai penerbit ijarah wajib menuliskan di dalam prospektus bahwa pemilik ijarah dapat menjual kepemilikannya pada harga pasar yang mencerminkan nilai pasar proyek tersebut.
Bentuk-bentuk ijarah yang biasa diterbitkan antara lain,
(1) perpetual (renewable ijarah instrument), yaitu sertifikat ijarah yang dapat diperbaharui setelah jatuh tempo.
(2) Temporary ijarah yaitu ijarah yang tidak dapat diperbaharui dan nilainya semakin menurun (gradually losses its value) dalam interval (periode) umur ijarah, dan
(3) declining ijarah yaitu ijarah yang diterbitkan dengan kemungkinan bagi penyewa (pemerintah) untuk memiliki proyek dalam periode tertentu sehingga dalam hal ini ijarah merupakan pula debt equity swap.
B. Profit and Loss Sharing Instrument
Instrumen ini terdiri dari sharikah dan mudarabah yang mensyaratkan bagi hasil dan bagi kerugian dalam prosentase yang disepakati bersama. Ciri umum dari instrumen sharikah adalah berkurangnya hak pengelolaan pemerintah dan beralih kepada pemilik sharikah (investor). Keuntungan bagi pemerintah adalah proyek tetap berjalan dengan manajemen dan tenaga ahli dari swasta namun pemerintah masih memiliki kontrol terhadap proyek tersebut.
Sedangkan pemilik sharikah (investor) mendapatkan hak pengelolaan proyek selain menyediakan pembiayaan. Instrumen sharikah dapat diperdagangkan dan pemerintah dapat meningkatkan (menurunkan) kepemilikannya melalui pasar sekunder. Sementara itu, mudarabah adalah bentuk yang paling ideal bagi proyek-proyek pemerintah yang strategis (income earning projects) seperti di sektor pertambangan, kehutanan, pertanian, komunikasi, dan lain-lain. Pengalaman empiris perbankan Islam menunjukkan bahwa mudarabah berpotensi memobilisasi dana dalam jumlah besar selain memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk mengusahakan keahlian manajerial sehingga memberikan ekspektasi positif bagi investor (pemilik mudarabah). Sebagai instrumen keuangan, mudarabah dapat diterbitkan dalam jangka pendek, menengah maupun panjang oleh pemerintah pusat, daerah maupun swasta (yang di back-up pemerintah) serta dapat berbentuk perpetual, temporary dan declining seperti ijarah.
C. Instrument Output Sharing
Dengan instrumen ini, pemerintah menjual proyek atau harta tetap (fixed asset) seperti jalan tol, infrastruktur, dll kepada pemilik sertifikat. Selanjutnya, pemilik sertifikat menunjukkan sebuah agen (managing partner) yang akan mengelola proyek tersebut termasuk menanggung biaya operasional. Pemerintah dalam hal ini dapat ditunjuk sebagai managing partner yang menanggung biaya operasional namun di sisi lain akan mendapatkan bagi hasil dari proyek yang ditangani.
D. Instrumen Keuangan Utang
Sementara itu, instrumen keuangan utang adalah pilihan lain untuk menutupi defisit anggaran terutama bagi keperluan jangka pendek. Namun demikian, ekonomi Islam mempunyai aturan pokok dalam hal ini. Pertama, utang hanya dapat dipindahtangankan sesuai dengan nilai yang tertera di awal periode dan tidak memperhitungkan nilai waktu dari uang yang umumnya dikompensasikan dalam bentuk bunga. Kedua, utang tidak dapat ditukar dengan utang. Bentuk-bentuk umum instrumen ini antara lain murabahah, salam, istisna dan obligasi ijarah.
Pada murabahah, proyek pemerintah dikerjakan oleh pihak swasta namun kemudian setelah rampung proyek tersebut dijual kepada pemerintah yang membelinya dengan pembayaran yang ditangguhkan. Oleh karena tertundanya manfaat dari pembayaran maka pihak swasta menjual proyek tersebut dengan mark-up kepada pemerintah. Sementara itu pada salam, pemerintah dapat memperoleh dana dari penjualan seluruh (sebagian) output (hasil produksi) perusahaan *pemerintah kepada pihak swasta (investor) namun penyerahan hasil produksi tersebut dilakukan di masa datang. Istisna pada dasarnya sama dengan salam, namun bedanya barang yang diperjualbelikan dapat berupa kontrak, pekerjaan manufaktur, proyek perumahan termasuk tenaga kerja yang terlibat di dalamnya. Contohnya pemerintah menjual proyek pembangunan rumah kepada investor untuk memperoleh dana dimuka namun perumahan akan selesai dalam waktu tertentu di masa depan. Sementara itu, obligasi ijarah merupakan komitmen pemerintah untuk memberikan jasa di masa datang kepada pemegang obligasi ijarah dari dana yang diperolah di muka. Jasa yang diberikan tersebut dapat berupa pendidikan gratis, pembangunan gedung-gedung sekolah, rumah sakit, dll.
Berbagai alternatif di atas, diharapkan tidak hanya akan mengurangi desifit anggaran pemerintah namun juga memberikan manfaat ekonomi dari terlaksananya proyek-proyek pemerintah serta manfaat sosial dari terserapnya tenaga kerja baru dan pengentasan kemiskinan di samping tentunya sesuai dengan syariah Islam.
BATASAN MASALAH
Untuk mendapatkan pembahasan yang lebih fokus dan efisien dan tepat ke sasaran yang diinginkan penulis membatasi masalah dan pokok pembahasan tulisan ini pada bidang pembiayaan defisit anggaran yang berhubungan dengan utang dan fiskal.
TUJUAN PENELITIAN
Setelah membaca tulisan ini diharapkan para pembaca mengetahui tentang pembiayaan defisit anggaran yang berkenaan dengan pengelolaan hutang dan pengelolaan resiko fiskal dan kesinambungannya yang berdampak pada pendapatan Negara.
MANFAAT PENELITIAN
Kita dapat melihat dengan jelas bahwa ekonomi Islam adalah satu-satunya solusi terbaik untuk menghindarkan krisis ekonomi berlaku. Ekonomi Islam yang terbebas dari nilai-nilai bunga (riba), tenyata terbukti merupakan sebagai rahmat Allah swt yang sering terlupakan dalam mengatasi krisis ekonomi. Disamping bahaya bunga (riba) dan hutang luar negeri terhadap perjalanan ekonomi sesebuah negara, ternyata nilai-nilai akhlaqul karimah pemerintah dan pelaku bisnis sangat memainkan peranan penting dalam usahanya untuk menghindari dan mengatasi krisis ekonomi umat.
METODE ANALISIS
Analisa adalah bagian yag terpenting dalam metode ilmiah, maka untuk menjelaskan masalah ini penulis menggunakan 2 metode yaitu:
1. Metode Deskriptif
Dengan metode ini data yang sudah terkumpul kemudian digolongkan, diklasifikan dan diinterpretasikan dan selanjutnya dianalisa sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai masalah yang dihadapi.
2. Metode Komprehensif
Dengan metode ini dilakukan dengan cara memperbandingkan antara teori dengan praktek dan data primer dengan data skunder sehingga ditemukan persesuaian atau penyimpangan antar keduanya.
SISTEMATIKA PENULISAN
Secara besar tulisan ini dibagi atas 3 bab yang terdiri dari beberapa subbab yakni sebagai berikut:
PENDAHULUAN
Mencakup latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan maslaah, manfaat penelitian, metode analisis dan sistematika penulisan.
LANDASAN TEORITIS
Mencakup pengertian budget, pengertian pembiayaan, pengertian defisit, pengertian anggaran, pengertian kebijakan, pengertian kebutuhan, pengertian nonuntang, pengertian rekening, pengertian dana, pengertian investasi, pengertian pembangunan, pengertian daerah, pengertian penjualan, pengertian aset, pengertian privatisasi, pengertian BUMN, pengertian restrukturisasi, pengertian pemerintah, pengertian penyertaan modal Negara (PMN), pengertian kontijensi, pengertian utang, pengertian nonutang, pengertian struktur, pengertian tren, pengertian implikasi, pengertian fiskal.
PEMBAHASAN
Mencakup pembiayaan defisit anggaran, Kebijakan Umum dan Kebutuhan Pembiayaan, Sumber Pembiayaan, Struktur Pembiayaan Nonutang, Struktur Pembiayaan Utang, Tren Pembiayaan Anggaran, Implikasi Pembiayaan terhadap Kesinambungan Fiskal, Strategi Pengelolaan Utang, Pelaksanaan Pengelolaan Utang Tahun 2004 – 2008, Proyeksi Pembiayaan dan Pengelolaan Utang Tahun 2009, Strategi Pengelolaan dan Faktor-Faktor yang Menentukan Pembiayaan Utang Tahun 2009, Strategi pengelolaan SBN (SUN dan SBSN), Faktor-faktor yang menentukan pembiayaan melalui SBN, Strategi Pengelolaan Pinjaman, Faktor-faktor yang menentukan besarnya pembiayaan melalui pinjaman, Isu, Tantangan dan Dinamika Pengelolaan Utang, Kondisi Pasar SBN Dalam Negeri, Pengelolaan Risiko Melalui Kontrak Lindung Nilai (Hedging), Penetapan Batas Maksimum Pinjaman Sebagai Bagian dari Pengelolaan Portofolio dan Risiko Utang , Cool Earth Program Loan, Keterbatasan Alternatif Pinjaman Murah, Restrukturisasi Utang, Risiko Fiskal, Sensitivitas Asumsi Ekonomi Makro, Risiko Utang Pemerintah, Proyek Pembangunan Infrastruktur, Risiko Badan Usaha Milik Negara (BUMN): Sensitivitas Perubahan Harga Minyak, Nilai Tukar, dan Suku Bunga terhadap Risiko Fiskal BUMN, Sektor Keuangan, Program Pensiun dan Tunjangan Hari Tua (THT) Pegawai Negeri Sipil, Desentralisasi Fiskal, Tuntutan Hukum kepada Pemerintah, Keanggotaan pada Organisasi dan Lembaga Keuangan Internasional, Bencana Alam.
PENUTUP
Merupakan kesimpulan dan saran.
LANDASAN TEORI
Pengertian Budget
Menurut National Committee on Governmental Accounting (NCGA), saat ini Governmental Accounting Standarts Board (GASB), definisi anggaran (budget) sebagai berikut: …. Rencana operasi keuangan, yang mencakup estimasi pengeluaran yang diusulkan, dan sumber pendapatan yang diharapkan untuk membiayainya dalam periode waktu tertentu.
Perencanaan dalam menyiapkan anggaran sangatlah penting. Bagaimanapun juga jelas mengungkapkan apa yang akan dilakukan dimasa mendatang. Pemikiran strategis disetiap organisasi adalah proses dimana manajemen berfikir tentang pengintegrasian aktivitas organisasional ke arah tujuan yang beroerientasi kesasaran masa mendatang. Semakin bergejolak lingkungan pasar, teknologi atau ekonomi eksternal, manajemen akan didorong untuk menyusun stategi. Pemikiran strategis manajemen, direalisasi dalam berbagai perencanaan, dan proses integrasi keseluruhan ini didukung prosedur penganggaran organisasi.
Fungsi Anggaran Sektor Publik
Anggaran berfungsi sebagai berikut:
• Anggaran merupakan hasil akhir proses penyusunan rencana kerja.
• Anggaran merupakn cetak biru akivitas yang akan dilaksanakan di masa mendatang.
• Angggaran sebagai alat komujikasi intern yang menghubungkan berbagai unit kerja dan mekanisme kerja antar atasan dan bawahan.
• Anggaran sebagai alat pengendalian unit kerja.
• Anggaran sebagai alat motivasi dan persuasi tindakan efektif dan efisien dalam pencapaian visi organisasi.
• Anggaran merupakan instrumen politik.
• Anggaran merupakan instrumen kebijakan fiskal.
Karakteristik Anggaran Sektor Publik
Anggaran mempunyai karakteristik:
• Anggaran dinyatakan dalam satuan keuangan dan satuan selain keuangan.
• Anggaran umumnya mencakup jangka waktu tertentu, satu atau beberapa tahun.
• Anggaran berisi komitmen atau kesanggupan manajeman untuk mencapai sasaran yang ditetapkan.
• Usulan angggarn ditelaah dan disetujui oleh pihak yang berwenang lebvih tinggi adri penyusunan anggaran.
• Sekali disusun, anggaran hanya dapat diubah dalam kondisi tertentu.
Prinsip Anggaran Sektor Publik
Prinsip-prinsip didalam anggaran sektor publik meliputi:
1. Otorisasi oleh legislatif: Anggaran publik harus mendapatkan otorisasi dari legislatif terlebih dahulu sebelum eksekutif dapat membelanjakan anggaran tersebut.
2. Komprehensif: Anggaran harus menunjukkan semua penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Oleh karena itu, adanya dana non budgetair pada dasarnya menyalahi prinsip anggaran yang bersifat komprehensif.
3. Keutuhan anggaran: Semua penerimaan dan belanja pemerintah harus terhimpun dalam dana umum.
4. Nondiscretionary Appropriation: Jumlah yang disetujui oleh dewan legislatif harus termanfaatkan secara ekonomis, efisien dan efektif.
5. Periodik: Anggaran merupakan suatu proses yang periodik, bisa bersifat tahunan maupun multi tahunan.
6. Akurat: Estimasi anggaran hendaknya tidak memasukkan cadangan yang tersembunyi, yang dapat dijadikan sebagai kantong-kantong pemborosan dan in efisiensi anggaran serta dapat mengakibatkan munculnya understimate pendapatan dan over estimate pengeluaran.
7. Jelas: Anggaran hendaknya sederhana, dapat difahami masyarakat dan tidak membingungkan.
8. Diketahui publik: Anggaran harus diinformasikan kepada masyarakat luas.
Jenis Anggaran
1. Anggaran Operasional
Anggaran operasional digunakan untuk merencanakan kebutuhan sehari-hari dalam menjalankan pemerintah. Pengeluaran pemerintah yang dapat dikategorikan dalam anggaran operasional adalah "belanja rutin". Belanja rutin adalah pengeluaran yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan tidak dapat menambah aset atau kekayaan bagi penmerintah. Disebut "rutin" karena sifat pengeluaran tersebut berulang-ulang ada setiap tahun. Secara umum, pengeluaran yang masuk kategori anggaran operasional antara lain belanja Administrasi Umum dan Belanja Operasi dan pemeliharaan.
2. Anggaran Modal/Investasi
Anggaran modal menunjukan rencana jangka panjang dan pembelnjaan atas aktiva tetap seperti gedung, peralatan, kendaraan, perabot, dan sebagainya. Pengeluaran modal yang besar biasanya dilakukan dengan menggunakan pinjaman. Belanja investasi / modal adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan pemerintah, dan selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaan. Anggaran berfungsi sebagai alat politis yang digunakan untuk memutuskan prioritas dan kebutuhan keuangan pada sektor tersebut.
Proses Penyusunan Anggaran Sektor Publik
Prisip-prinsip pokok dalam siklus anggaran
1. Tahap persiapan anggaran: Pada tahap persiapan anggaran dilakukan taksiran pengeluaran atas dasar taksiran pendapatan yang tersedia. Terkait dengan masalah tersebut, yang perlu diperhatikan adalah sebelum menyetujui taksiranj pengeluaran, hendaknya terlebih dahulu diulakukan penaksiran pendapatan secara lebih akurat. Selain itu, harus disadari adanya masalah yang cukup berbahaya jika anggaran pendapatan diestimasi pada saat bersamaan drengan pembuatan keputusan tentang angggaran pengeluaran
2. Tahap ratifikasi: Tahap ini merupakan tahap yang melibatkan proses politik yang cukup rumit dan cukup berat. Pimpinan eksekutif dituntut tidak hanya memiliki managerial skill namun juga harus mempunyai political skill, salesman ship, dan coalition building yang memadai. Integritas dan kesioapan mental yang tinggi dari eksekutif sangat penting dalam tahap ini. Hal tersebut penting karena dalam tahap ini pimpinan eksekutif harus mempunyai kemampuan untuk menjawab dan memberikan argumentasi yang rasional atas segala pertanyaan-pertanyaan dan bantahan- bantahan dari pihak legislatif.
3. Tahap implementasi/pelaksanaan anggaran: Dalam tahap ini yang paling penting adalah yang harus diperhatikan oleh manajer keuangan publik adalah dimilikinya sistem (informasi) akuntansi dan sistem pengendalian manajemen.
4. Tahap pelaporan dan evaluasi: Tahap pelaporan dan evaluasi terkait dengan aspek akuntabilitas. Jika tahap implementasi telah didukung dengan sistem akuntansi dan sistem pengendalian manajemen yang baik, maka diharapkan tahap budget reporting and evaluation tidak akan menemukan banyak masalah.
Tujuan Proses Penyusunan Anggaran Sektor Publik:
1. Membantu pemerintah mencapai tujuan fiskal dan meningkatkan koordinasi antar bagian dalam lingkungan pemerintah.
2. Membantu menciptakan efisiensi dan keadilan dalam menyediakan barang dan jasa publik melalui proses pemrioritasan.
3. Memungkinkan bagi pemerintah untuk memenuhi prioritas belanja.
4. Meningkatkan transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah kepada DPR atau MPR dan masyarakat.
Pembiayaan
Pembiayaan konsumen adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran [1]. Pembiayaan konsumen termasuk ke dalam jasa keuangan dan dapat dilakukan baik oleh bank ataupun lembaga keuangan non-bank dalam bentuk perusahaan pembiayaan.
Pembiayaan sekunder perumahan atau yang juga dikenal dengan istilah Secondary mortgage facility (SMF) adalah suatu perusahaan yang dibentuk untuk membeli suatu kredit pemilikan rumah (KPR) dari bank kreditur yang kemudian tagihan ini dikemas dalam suatu efek hutang yang kemudian dijual kepada investor seperti misalnya perusahaan asuransi, dana pensiun atapun investor perorangan.
Pembiayaan sekunder perumahan ini dilakukan dengan menggunakan suatu perusahaan khusus yaitu suatu perseroan terbatas yang ditunjuk oleh lembaga keuangan yang melaksanakan kegiatan pembiayaan sekunder perumahan yang khusus didirikan untuk membeli aset keuangan dan sekaligus menerbitkan Efek Beragun Aset (EBA).
SMF ini dikenal dan digunakan di beberapa negara Asia dan saat ini dikawasan Asia telah terdapat 3 buah perusahaan SMF yaitu Cagamas Berhad (Malaysia), Korea Mortgage Corporation (Korea) dan Hong Kong Mortgage Corporation (Hongkong. Dimana ketiga perusahaan tersebut telah berhasil memberikan kontribusi dalam peningkatan daya beli perumahan dengan menciptakan pasar sekunder pembiayaan perumahan yang dapat memperpanjang jangka waktu kredit serta ketersediaan dana kredit.[1]
Di Asia, Asian Development Bank telah melakukan studi guna menciptakan pasar Mortgage-backed security ini yaitu di China, India, Indonesia, Korea, Malaysia, Pakistan, Filipina dan Thailand
Penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR) ini seringkali menjadi kendala bagi perbankan dimana KPR adalah merupakan suatu bentuk kredit jangka panjang yang masa jatuh tempo pembayarannya antara 10 tahun hingga 30 tahun sedangkan dilain sisi sumber dana yang digunakan oleh bank dalam pembiayaan KPR adalah dana jangka pendek seperti tabungan, deposito, dan giro. Akibat ketidak seimbangan struktur ini maka bank enggan membiayai KPR. SMF dapat menjadi salah satu alternatif pembiayaan yaitu dengan tersedianya pasar pendanaan KPR sekunder berupa Secondary Mortgage Facility (SMF). Di beberapa negara, SMF ini telah menjadi sumber dana jangka menengah dan panjang secara konsisten.
Pembiayaan meliputi:
1. Pembiayaan Dalam Negeri, meliputi Pembiayaan Perbankan, Privatisasi, Surat Utang Negara, serta penyertaan modal negara.
2. Pembiayaan Luar Negeri, meliputi:
1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri, terdiri atas Pinjaman Program dan Pinjaman Proyek
2. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri, terdiri atas Jatuh Tempo dan Moratorium.
Pengertian Defisit
Defisit secara harfiah berarti adalah kekurangan dalam kas keuangan. Defisit biasa terjadi ketika suatu organisasi (biasanya pemerintah) memiliki pengeluaran lebih banyak daripada penghasilan. Lawan dari defisit adalah surplus.
Surat Utang Negara (SUN) adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh negara RI sesuai masa berlakunya. SUN digunakan oleh pemerintah antara lain untuk membiayai defisit APBN serta menutup kekurangan kas jangka pendek dalam satu tahun anggaran.
Pengertian Anggaran
Anggaran belanja atau bujet umumnya merujuk pada daftar rencana seluruh biaya dan pendapatan. Anggaran belanja merupakan konsep penting dalam ekonomi mikro, yang menggunakan garis anggaran untuk mengilustrasikan penjualan antara 2 barang atau lebih. Dengan kata lain, anggaran belanja merupakan rencana organisasi yang dinyatakan dalam istilah moneter.
Terdapat berbagai jenis anggaran belanja, yakni anggaran belanja penjualan, anggaran belanja produksi, anggaran belanja tunai, anggaran belanja pemasaran, anggaran belanja proyek, anggaran belanja pendapatan, dan anggaran belanja ekspeditur.
Tujuan anggaran adalah:
• Menyediakan perkiraan pendapatan dan ekspeditur, yakni membangun model bagaimana bisnis dapat berjalan secara finansial jika menjalankan strategi, peristiwa, dan rencana tertentu.
• Memungkinkan operasi keuangan bisnis yang sebenarnya untuk diukur terhadap perkiraan.
Pengertian Kebijakan
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak [1]. Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Jika hukum dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku (misalnya suatu hukum yang mengharuskan pembayaran pajak penghasilan), kebijakan hanya menjadi pedoman tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan.
Kebijakan atau kajian kebijakan dapat pula merujuk pada proses pembuatan keputusan-keputusan penting organisasi, termasuk identifikasi berbagai alternatif seperti prioritas program atau pengeluaran, dan pemilihannya berdasarkan dampaknya. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai mekanisme politis, manajemen, finansial, atau administratif untuk mencapai suatu tujuan eksplisit.
Kebijakan Publik (Inggris:Public Policy) adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak. Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi; dan pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi.
Setiap sistem politik pada dasarnya memproduksi kebijakan publik. Dan sistem politik itu bisa berupa negara, propinsi, kabupaten/kota, desa, bahkan RT dan RW. "Institusi" seperti ASEN, EU, PBB dan WTO adalah sistem politik juga, yang dapat disebut supra-negara.
Kebijakan publik tidak selalu dilakukan oleh birokrasi (saja), melainkan dapat pula dilaksanakan oleh perusahaan swasta, LSM ataupun masyarakat langsung. Misalnya, suatu sistem politik dapat memutuskan untuk memberantas nyamuk. Sistem politik itu dapat memerintah --tentu saja disertai kompensasi-- sebuah perusahaan swasta untuk melakukan penyemprotan nyamuk.
Terminologi kebijakan publik menunjuk pada serangkaian peralatan pelaksanaan yang lebih luas dari peraturan perundang-undangan, mencakup juga aspek anggaran dan struktur pelaksana. Siklus kebijakan publik sendiri bisa dikaitkan dengan pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Bagaimana keterlibatan publik dalam setiap tahapan kebijakan bisa menjadi ukuran tentang tingkat kepatuhan negara kepada amanat rakyat yang berdaulat atasnya. Dapatkah publik mengetahui apa yang menjadi agenda kebijakan, yakni serangkaian persoalan yang ingin diselesaikan dan prioritasnya, dapatkah publik memberi masukan yang berpengaruh terhadap isi kebijakan publik yang akan dilahirkan. Begitu juga pada tahap pelaksanaan, dapatkah publik mengawasi penyimpangan pelaksanaan, juga apakah tersedia mekanisme kontrol publik, yakni proses yang memungkinkan keberatan publik atas suatu kebijakan dibicarakan dan berpengaruh secara signifikan. Kebijakan publik menunjuk pada keinginan penguasa atau pemerintah yang idealnya dalam masyarakat demokratis merupakan cerminan pendapat umum (opini publik). Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan tersebut efektif, maka diperlukan sejumlah hal: pertama, adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sehingga dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan; kedua, kebijakan ini juga harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; ketiga, diperlukan adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak. Dalam masyarakat autoriter kebijakan publik adalah keinginan penguasa semata, sehingga penjabaran di atas tidak berjalan. Tetapi dalam masyarakat demokratis, yang kerap menjadi persoalan adalah bagaimana menyerap opini publik dan membangun suatu kebijakan yang mendapat dukungan publik. Kemampuan para pemimpin politik untuk berkomunikasi dengan masyarakat untuk menampung keinginan mereka adalah satu hal, tetapi sama pentingnya adalah kemampuan para pemimpin untuk menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa dipenuhi. Adalah naif untuk mengharapkan bahwa ada pemerintahan yang bisa memuaskan seluruh masyarakat setiap saat, tetapi adalah otoriter suatu pemerintahan yang tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi dan berusaha mengkomunikasikan kebijakan yang berjalan maupun yang akan dijalankannya. dalam pendekatan yang lain kebijakan publik dapat dipahami dengan cara memilah dua konsepsi besarnya yakni kebijakan dan publik. terminologi kebijakan dapat diartikan sebagai pilihan tindakan diantara sejumlah alternatif yang tersedia. artinya kebijakan merupakan hasil menimbang untuk selanjutnya memilih yang terbaik dari pilihan-pilihan yang ada. dalam konteks makro hal ini kemudian diangkat dalam porsi pengambilan keputusan. Charles Lindblom adalah akademisi yang menyatakan bahwa kebijakan berkaitan erat dengan pengambilan keputusan. Karena pada hakikatnya sama-sama memilih diantara opsi yang tersedia. Sedangkan terminologi publik memperlihatkan keluasan yang luar biasa untuk didefinisikan. akan tetapi dalam hal ini setidaknya kita bisa mengatakan bahwa publik berkaitan erat dengan state, market dan civil society. merekalah yang kemudian menjadi aktor dalam arena publik. sehingga publik dapat dipahami sebagai sebuah ruang dimensi yang menampakan interaksi antar ketiga aktor tersebut.
Tahap-Tahap Kebijakan Publik
Kebijakan Publik secara keilmuan dapat dilaksanakan bertahap, yaitu:
1. Formulasi Kebijakan Publik
2. Implementasi Kebijakan Publik
3. Evaluasi Kebijakan Publik
Pelaksanaan Kebijakan Publik
Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik ini harus diturunkan dalam serangkaian petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi. Sedangkan dari sisi masyarakat, yang penting adalah adanya suatu standar pelayanan publik, yang menjabarkan pada masyarakat apa pelayanan yang menjadi haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannnya, juga bagaimana bentuk layanan itu. Hal ini akan mengikat pemerintah (negara) sebagai pemberi layanan dan masyarakat sebagai penerima layanan. Fokus politik pada kebijakan publik mendekatkan kajian politik pada administrasi negara, karena satuan analisisnya adalah proses pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi dan pengawasan termasuk pelaksanaannya. Dengan mengambil fokus ini tidak menutup kemungkinan untuk menjadikan kekuatan politik atau budaya politik sebagai variabel bebas dalam upaya menjelaskan kebijakan publik tertentu sebagai variabel terikat.
Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, "margin requirement", kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.
Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang.Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan men-stabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak. Perubahan tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah dapat mempengaruhi variabel-variabel berikut:
• Permintaan agregat dan tingkat aktivitas ekonomi
• Pola persebaran sumber daya
• Distribusi pendapatan
Kebijakan Pembangunan Nasional adalah kebijakan ekonomi Malaysia yang digunakan sekarang. Kebijakan ini merupakan penerus dari Kebijakan Ekonomi Baru Malaysia yang berakhir pada tahun 1990. Namun, tujuannya hampir mirip dengan Kebijakan Ekonomi Baru.
Tujuannya adalah:
1. Memberantas golongan miskin
2. Merestrukturisasi masyarakat
Pengertian Kebutuhan
Kebutuhan adalah salah satu aspek psikologis yang menggerakkan mahluk hidup dalam aktivitas-aktivitasnya dan menjadi dasar (alasan) berusaha.
Model akademis kebutuhan yang paling terkenal adalah model yang dikembangkan oleh Abraham Maslow. Dalam model itu, ia menyatakan bahwa manusia memiliki berbagai tingkat kebutuhan, mulai dari keamanan sampai aktualisasi diri. Model ini kemudian dikembangkan lagi oleh Clayton Alderfer.
Studi akademis tentang kebutuhan mencapai puncaknya pada tahun 1950-an. Saat ini, studi tentang kebutuhan kurang banyak diminati. Meskipun begitu, ada beberapa studi terkenal yang berhubungan dengan kebutuhan, misalnya studi yang dilakukan oleh Richard Sennett yang meniliti tentang pentingnya rasa hormat. Studi lain yang dipelajari adalah tentang konsep kebutuhan intelektual yang teliti dalam kependidikan.
Model Compassionate Communication, dikenal juga dengan nama Nonviolent Communication (NVC)[1] buatan Marshall Rosenberg menyebutkan tentang adanya perbedaan antara kebutuhan universal manusia (apa yang menopang dan mendorong kehidupan manusia) dengan strategi tertentu untuk memuaskan kebutuhan itu. Bertentangan dengan Maslow, model Rosenberg tidak membagi kebutuhan ke dalam hierarki-hierarki tertentu.[2] Dalam model tersebut, perasaan dijadikan indikator apakah kebutuhan itu telah terpuaskan atau belum. Salah satu tujuan dari model Rosenberg ini adalah mendorong manusia untuk mengembangkan kesadaran bahwa kebutuhan makhluk hidup akan terus bertambah sepanjang hidupnya sehingga manusia harus berusaha mencari strategi yang lebih efektif untuk menutupi kebutuhannya itu.
Dalam rekayasa sistem dan rekayasa perangkat lunak, analisis kebutuhan (bahasa Inggris: requirement analysis) mencakup pekerjaan-pekerjaan penentuan kebutuhan atau kondisi yang harus dipenuhi dalam suatu produk baru atau perubahan produk, yang mempertimbangkan berbagai kebutuhan yang bersinggungan antar berbagai pemangku kepentingan. Kebutuhan dari hasil analisis ini harus dapat dilaksanakan, diukur, diuji, terkait dengan kebutuhan bisnis yang teridentifikasi, serta didefinisikan sampai tingkat detil yang memadai untuk desain sistem.
Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Adapun hirarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kebutuhan fisiologis/ dasar
2. Kebutuhan akan rasa aman dan tentram
3. Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi
4. Kebutuhan untuk dihargai
5. Kebutuhan untuk aktualisasi diri
Teori Kebutuhan dengan asumsi: semua orang sama, semua situasi sama, dan selalu ada "satu cara terbaik" . Teori Hierarkhi Kebutuhan Maslow - Manusia Piramida Abraham H. Maslow mendaftarkan 5 (lima) jenis kebutuhan manusia dari yang terendah hingga yang tertinggi:
1. Kebutuhan fisiologis
2. Kebutuhan akan rasa aman
3. Kebutuhan sosial
4. Kebutuhan status
5. Aktualisasi diri
Teori ERG Clayton Alderfer - Manusia Tiga Tingkat. Teori ini membagi kebutuhan hanya menjadi 3 (tiga) tingkat :
1. Kebutuhan Existence kebutuhan fisiologis dan rasa aman (dua tingkat pertama Maslow)
2. Kebutuhan Relatedness kebutuhan sosial dan struktur sosial (tingkat 3 Maslow)
3. Kebutuhan Growth kebutuhan pengembangan diri (tingkat 4 dan 5 Maslow)
Pengertian Utang
Utang adalah sesuatu yang dipinjam. Seseorang atau badan usaha yang meminjam disebut debitur. Entitas yang memberikan utang disebut kreditur.
Metode pencatatan utang
Ada dua metode pencatatan utang, yaitu account payable procedure dan voucher payable procedure. Dalam account payable procedure, catatan utang adalah berupa kartu utang yang diselenggarakan untuk setiap kreditur, yang memperlihatkan catatan mengenai nomor faktur dari pemasok, jumlah yang terutang, jumlah pembayaran, dan saldo utang.
Dalam voucher payable procedure, tidak menggunakan kartu utang. Tapi menggunakan arsip voucher yang disimpan dalam arsip menurut abjad atau menurut tanggal jatuh temponya. Arsip bukti kas keluar ini berfungsi sebagai catatan utang.
Surat Utang Negara (SUN) adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh negara RI sesuai masa berlakunya. SUN digunakan oleh pemerintah antara lain untuk membiayai defisit APBN serta menutup kekurangan kas jangka pendek dalam satu tahun anggaran.
Surat Utang Negara terdiri atas :
a. Surat Perbendaharaan Negara
Surat Perbendaharaan Negara berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto.
b. Obligasi Negara
Obligasi Negara berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto.
Utang luar negeri atau pinjaman luar negeri, adalah sebagian dari total utang suatu negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Penerima utang luar negeri dapat berupa pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Bentuk utang dapat berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain, atau lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
Surat utang jangka menegah atau lebih dikenal dengan istilah Medium Term Note (MTN) adalah merupakan surat hutang yang memiliki jangka waktu antara 5 hingga 10 tahun, namun masanya bisa saja hanya 1 tahun. Umumnya MTN ini menggunakan suku bunga mengambang dengan mengacu pada suatu acuan suku bunga yang dikenal dalam dunia keuangan internasional misalnya MTN yang diterbitkan dalam mata uang euro maka akan digunakan patokan suku bunga Euribor(Euro Interbank Offered Rate) sebagai acuan fluktuasi bunga.
Di Indonesia istilah MTN ini digunakan secara umum dalam berbagai peraturan yang ada , yang berarti surat hutang yang dikeluarkan oleh perusahaan terdaftar kepada Pemegang MTN untuk jangka waktu tertentu terhitung sejak tanggal penerbitan. Suku bunga MTN dalam denominasi rupiah ini biasanya menggunakan acuan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Program surat utang jangka menengah
Program surat utang jangka menengah (MTN) adalah merupakan program pendanaan yang digunakan oleh penerbit untuk memperoleh hutang secara teratur. Program ini dapat melibatkan lebih dari satu penerbit walaupun masing-masing penerbitan adalah berdiri sendiri hingga jumlah tertentu yang diperbolehkan. Keuntungan si penerbit adalah tidak perlu menyiapkan dokumen-dokumen hukum secara secara lengkap setiap kali akan menerbitkan MTN, dimana hal ini akan menjadikan pembiayaan hutang menjadi mudah dan murah. Program ini didaftarkan pada otoritas pengawas seperti London Stock Exchange dan Luxembourg Stock Exchange.
Banyak perusahaan besar menerbitkan program MTN untuk membiayai kebutuhan dana jangka menegah mereka. Negara juga dapat menggunakan program ini untuk memasuki bursa efek
Beberapa penerbit yang merupakan bank investasi seperti Morgan Stanley dan Merril Lynch juga telah menggunakan program MTN ini untuk menerbitkan surat hutang yang rumit seperti surat hutang yang terhubung dengan harga saham dari perusahaan publik tertentu (equity-linked notes) atau dihubungkan dengan indeks saham seperti FTSE 100 atau NASDAQ (index-linked notes).
Pengertian Rekening
Nomor Rekening Bank Internasional (Inggris: International Bank Account Number, disingkat IBAN), adalah sebuah sistem standar penomoran rekening bank. Sistem ini mulanya hanya digunakan oleh bank-bank di Eropa untuk menyederhanakan transaksi yang berkaitan dengan rekening perbankan antarnegara. Akan tetapi, lama kelamaan sistem ini diakui dan diadaptasi oleh dunia perbankan internasional. Sistem ini kemudian diadopsi oleh Komite Eropa untuk Standar Perbankan (bahasa Inggris: European Committee for Banking Standards). Secara resmi, IBAN masuk dalam turunan ISO 13616 (SWIFT) sejak tahun 1997 sehingga untuk saat ini IBAN lebih dikenal sebagai kode SWIFT.
Struktur IBAN
Penomoran terpadu IBAN berisikan dua huruf kode negara sesuai ISO 3166-1 alpha-2 lalu diikuti dengan dua nomor kontrol dilanjutkan dengan gabungan huruf dan angka sepanjang 13 karakter yang merupakan nomor rekening bank (bahasa Inggris: basic bank account number, disingkat BBAN). BBAN dibuat berdasarkan standar ketentuan masing-masing negara.[1]
Diagram kode IBAN untuk bank-bank di Inggris.
Contoh:
Belanda
NL44 RABO 0123 4567 89
NL69 PSTB 0001 2345 67
NL91 ABNA 0417 1643 00
Belgia
BE62 5100 0754 7061
Jerman
DE89 3704 0044 0532 0130 00
Rekening pengguna digunakan sebagai identitas berupa runtutan karakter yang secara unik merujuk ke pengguna tertentu. Kata sandi; runtutan karakter berupa kunci yang dijaga kerahasiaannya terhadap orang lain. Kedua pasang runtutan karakter itu harus tepat dan keduanya adalah pasangan yang tidak bisa dipisahkan. Kata sandi dapat berubah sesuai dengan kebutuhan, sedangkan akun pengguna tidak pernah diubah karena berupa identitas unik yang merujuk ke pengguna tertentu.
Proses ini akan membuat sesi pada mesin tujuan untuk pengguna yang melakukan log masuk. Dalam kasus pengaksesan situs Internet, situs acapkali meletakkan cookies pada komputer pengguna. Log keluar (logout, juga biasa disebut sebagai log out, log off, logoff, signoff, sign off, signout, sign out) digunakan untuk mengakhiri sesi.
Pengertian Dana
Dana umum atau general fund dalam akuntansi dana adalah dana yang paling penting dalam suatu entitas dalam akuntansi dana. Tidak seperti dana lain (contoh : Capital Project Fund atau Debt Service Fund), General Fund merupakan dana yang going-conceren, apabila dana ini dibubarkan berarti suatu entitas ini bubar.
Dalam Persamaanya, General Fund ini memiliki persamaan akuntansi CA=E+CL contoh konkrit dalam penjurnalan dana ini adalah :
1. Jurnal Anggaran (jurnal penetapan anggaran dimana anggaran memiliki fungsi sebagai alat kontrol)
Estimated Revenue XXX
Estimated Other Financing Source XXX
Apropriations XXX
Fund Balance XXX
yang perlu di perhatikan adalah adalah estimasi pendapatan kenapa harus dibedakan yaitu Estimasi Revenue yaitu untuk pendapatan yang merupakan pendapatan yang biasa diterima oleh dana tersebut (contoh pendapatan pajak) sedangkan untuk Estimated Other Financing Source merupakan pendapatan dari sumber yang lain contoh penerimaan dari Bond atau transfer dari dana lain yang disebut juga Operating Transfer. Sedangakan Apropriasi merupakan estimasi belanja yang dianggarkan.
2. Jurnal Realisasi
contohnya adalah penerimaan pajak dengan jurnal :
Cash XXX
Tax-Revenue XXX
contoh dalam pengeluaran belanja :
Expenditure XXX
Voucher Payable XXX
Voucher Payable XXX
Cash XXX
3. Jurnal Penutup
Jurnal yang digunakan untuk menutup akun nominal.
Apropriation XXX
Tax Revenue XXX
Estimated Revenue XXX
Estimated Other Financing Source XXX
Expenditure XXX
Fund Balance
Fund Balance adalah semacam Retained Earning dalam dana dan dia termasuk ekuitas.
Dana Pensiun adalah sekumpulan aset yang dikelola dan dijalankan oleh suatu lembaga untuk menghasilkan suatu manfaat pensiun yaitu suatu pembayaran berkala yang dibayarkan kepada peserta pada saat dan dengan cara yang ditetapkan dalam ketentuan yang menjadi dasar penyelenggaraan program pensiun dimana pembayaran manfaat tersebut dikaitkan dengan pencapaian usia tertentu.
Program Pensiun
Terdapat dua jenis program pensiun yaitu:
1. Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP)/ Defined Benefit. Pada PPMP, besar manfaat pensiun ditentukan berdasarkan rumus tertentu yang telah ditetapkan di awal. Rumus tersebut biasanya dikaitkan dengan masa kerja dan besar penghasilan kita. Rumus manfaat pensiun tersebut sudah ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun, sedangkan besar iuran pensiun ditetapkan berdasarkan perhitungan aktuaria, kecuali iuran peserta yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun. Dengan kata lain, pada PPMP besar iuran adalah perkiraan kebutuhan dana yang harus disisihkan sekarang untuk merealisasikan pembayaran manfaat pensiun
2. Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP) / Defined Contribution. Pada PPIP, besar manfaat pensiun sangat tergantung pada besar iuran yang disetor dan hasil pengembangan dana. Jadi sifatnya mirip tabungan, namun memiliki kelebihan fasilitas penundaan pajak dari pemerintah. Besar iuran baik dari Pemberi Kerja maupun peserta ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun.
Dana Abadi Umat (DAU; dahulu bernama Dana ONH Indonesia) adalah dana yang dikumpulkan pemerintah Indonesia dan diperoleh dari hasil efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji dan dari sumber lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Saat ini pengumpulan dana ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2001.
Fungsi dan pemanfaatan
Dana Abadi Umat digunakan untuk membantu umat dalam bidang:
1. pendidikan dan dakwah;
2. kesehatan;
3. sosial;
4. ekonomi;
5. pembangunan sarana dan prasarana ibadah;
6. penyelenggaraan ibadah haji.
Hanya bunga dari dana ini yang boleh digunakan, sedangkan dana pokoknya tidak. Dana Abadi Umat termasuk kategori non-APBN dan dikelola oleh sebuah Badan Pengelola Dana Abadi Umat yang diketuai oleh Menteri Agama. Seluruh dana disimpan di bank dengan rekening atas nama Menteri Agama. Organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dilibatkan sebagai pengawas.
Pengertian Investasi
Investasi adalah suatu istilah dengan beberapa pengertian yang berhubungan dengan keuangan dan ekonomi. Istilah tersebut berkaitan dengan akumulasi suatu bentuk aktiva dengan suatu harapan mendapatkan keuntungan dimasa depan. Terkadang, investasi disebut juga sebagai penanaman modal.
Berdasarkan teori ekonomi, investasi berarti pembelian (dan berarti juga produksi) dari kapital/modal barang-barang yang tidak dikonsumsi tetapi digunakan untuk produksi yang akan datang (barang produksi). Contoh termasuk membangun rel kereta api, atau suatu pabrik, pembukaan lahan, atau seseorang sekolah di universitas. Untuk lebih jelasnya, investasi juga adalah suatu komponen dari PDB dengan rumus PDB = C + I + G + (X-M). Fungsi investasi pada aspek tersebut dibagi pada investasi non-residential (seperti pabrik, mesin, dll) dan investasi residential (rumah baru). Investasi adalah suatu fungsi pendapatan dan tingkat bunga, dilihat dengan kaitannya I= (Y,i). Suatu pertambahan pada pendapatan akan mendorong investasi yang lebih besar, dimana tingkat bunga yang lebih tinggi akan menurunkan minat untuk investasi sebagaimana hal tersebut akan lebih mahal dibandingkan dengan meminjam uang. Walaupun jika suatu perusahaan lain memilih untuk menggunakan dananya sendiri untuk investasi, tingkat bunga menunjukkan suatu biaya kesempatan dari investasi dana tersebut daripada meminjamkan untuk mendapatkan bunga.
Bentuk-bentuk investasi
1. Investasi tanah diharapkan dengan bertambahnya populasi dan penggunaan tanah; harga tanah akan meningkat di masa depan.
2. Investasi pendidikan dengan bertambahnya pengetahuan dan keahlian, diharapkan pencarian kerja dan pendapatan lebih besar.
3. Investasi saham diharapkan perusahaan mendapatkan keuntungan dari hasil kerja atau penelitian.
Risiko investasi
Investasi selain juga dapat menambah penghasilan seseorang juga membawa risiko keuangan bilamana investasi tersebut gagal. Kegagalan investasi disebabkan oleh banyak hal, di antaranya adalah faktor keamanan (baik dari bencana alam atau diakibatkan faktor manusia), ketertiban hukum, dan lain-lain.
Pengertian Pembangunan
Pembangunan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan" (menurut Brundtland Report dari PBB, 1987. Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
Banyak laporan PBB, yang terakhir adalah laporan dari KTT Dunia 2005, yang menjabarkan pembangunan berkelanjutan sebagai terdiri dari tiga tiang utama (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat.
Untuk sebagian orang, pembangunan berkelanjutan berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari jalan untuk memajukan ekonomi dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan modal alam. Namun untuk sebagian orang lain, konsep "pertumbuhan ekonomi" itu sendiri bermasalah, karena sumberdaya bumi itu sendiri terbatas.
Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan. Lebih luas daripada itu, pembangunan berkelanjutan mencakup tiga lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan. Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumen hasil World Summit 2005 menyebut ketiga hal dimensi tersebut saling terkait dan merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan.
Scheme of sustainable development: at the confluence of three preoccupations.
Skema pembangunan berkelanjutan:pada titik temu tiga pilar tersebut, Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO, 2001) lebih jauh menggali konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa "...keragaman budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman hayati bagi alam". Dengan demikian "pembangunan tidak hanya dipahami sebagai pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral, dan spiritual". dalam pandangan ini, keragaman budaya merupakan kebijakan keempat dari lingkup kebijakan pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan Hijau pada umumnya dibedakan dari pembangunan bekelanjutan, dimana pembangunan Hijau lebih mengutamakan keberlanjutan lingkungan di atas pertimbangan ekonomi dan budaya. Pendukung Pembangunan Berkelanjutan berargumen bahwa konsep ini menyediakan konteks bagi keberlanjutan menyeluruh dimana pemikiran mutakhir dari Pembangunan Hijau sulit diwujudkan. Sebagai contoh, pembangunan pabrik dengan tekhnologi pengolahan limbah mutakhir yang membutuhkan biaya perawatan tinggi sulit untuk dapat berkelanjutan di wilayah dengan sumber daya keuangan yang terbatas.
Beberapa riset memulai dari definisi ini untuk berargumen bahwa lingkungan merupakan kombinasi dari ala dan budaya. Network of Excellence "Sustainable Development in a Diverse World" SUS.DIV, sponsored by the European Union, bekerja pada jalur ini. Mereka mengintegrasikan kapasitas multidisiplin dan menerjemahkan keragaman budaya sebagai kunci pokok strategi baru bagi pembangunan berkelanjutan.
Beberapa peneliti lain melihat tantangan sosial dan lingkungan sebagai kesempatan bagi kegiatan pembangunan. Hal ini nyata di dalam konsep keberlanjutan usaha yang mengkerangkai kebutuhan global ini sebagai kesempatan bagi perusahaan privat untuk menyediakan solusi inovatif dan kewirausahaan. Pandangan ini sekarang diajarkan pada beberapa sekolah bisnis yang salah satunya dilakukan di Center for Sustainable Global Enterprise at Cornell University.
Divisi PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan mendaftar beberapa lingkup berikut ini sebagai bagian dari Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara.
Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth); pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi.
Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional[1]. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.
Perbedaan antara keduanya adalah pertumbuhan ekonomi keberhasilannya lebih bersifat kuantitatif, yaitu adanya kenaikan dalam standar pendapatan dan tingkat output produksi yang dihasilkan, sedangkan pembangunan ekonomi lebih bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga terdapat perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, dan teknik.
Pengertian daerah
Daerah, dalam konteks pembagian administratif di Indonesia, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Daerah terdiri atas Provinsi, Kabupaten, atau Kota. Sedangkan kecamatan, desa, dan kelurahan tidaklah dianggap sebagai suatu Daerah (daerah otonom). Daerah dipimpin oleh Kepala Daerah (gubernur/bupati/walikota), dan memiliki Pemerintahan Daerah serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Di Malaysia, "daerah" adalah bagian dari negeri (negara bagian), kecuali di Malaysia Timur (Sabah dan Sarawak) di mana "daerah" adalah bagian dari "bahagian", yang sendirinya merupakan bagian dari negeri.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
• Pemerintahan Daerah Provinsi terdiri atas Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi.
• Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kotaterdiri atas Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota
Pengertian Penjualan
Pemasaran (Inggris:Marketing) adalah proses penyusunan komunikasi terpadu yang bertujuan untuk memberikan informasi mengenai barang atau jasa dalam kaitannya dengan memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia.
Pemasaran dimulai dengan pemenuhan kebutuhan manusia yang kemudian bertumbuh menjadi keinginan manusia. Contohnya, seorang manusia membutuhkan air dalam memenuhi kebutuhan dahaganya. Jika ada segelas air maka kebutuhan dahaganya akan terpenuhi. Namun manusia tidak hanya ingin memenuhi kebutuhannya namun juga ingin memenuhi keinginannya yaitu misalnya segelas air merek Aqua yang bersih dan mudah dibawa. Maka manusia ini memilih Aqua botol yang sesuai dengan kebutuhan dalam dahaga dan sesuai dengan keinginannya yang juga mudah dibawa.
Proses dalam pemenuhan kebutuhan dan keinginan manusia inilah yang menjadi konsep pemasaran. Mulai dari pemenuhan produk (product), penetapan harga (price), pengiriman barang (place), dan mempromosikan barang (promotion). Seseorang yang bekerja dibidang pemasaran disebut pemasar. Pemasar ini sebaiknya memiliki pengetahuan dalam konsep dan prinsip pemasaran agar kegiatan pemasaran dapat tercapai sesuai dengan kebutuhan dan keinginan manusia terutama pihak konsumen yang dituju.
Marketing Mix / Bauran Pemasaran
Marketing mix adalah empat komponen dalam pemasaran yang terdiri dari 4P
• Product (produk)
• Price (harga)
• Place (tempat, termasuk juga distribusi)
• Promotion (promosi)
Karena pemasaran bukanlah ilmu pasti seperti keuangan (finance), teori Marketing mix juga terus berkembang. Dalam perkembangannya, dikenal juga istilah 7P dimana 3P yang selanjutnya adalah People (Orang), Physical Evidence (Bukti Fisik), Process (Proses). Penulis buku Seth Godin, misalnya, juga menawarkan teori P baru yaitu Purple Cow.[1]
Pemasaran lebih dipandang sebagai seni daripada ilmu, maka seorang ahli pemasaran tergantung lebih banyak pada ketrampilan pertimbangan dalam membuat kebijakan daripada berorientasi pada ilmu tertentu.
Pandangan ahli ekonomi terhadap pemasaran adalah dalam menciptakan waktu, tempat dimana produk diperlukan atau diinginkan lalu menyerahkan produk tersebut untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen (konsep pemasaran).
Metode pemasaran klasik seperti 4P di atas berlaku juga untuk pemasaran internet, meskipun di internet pemasaran dilakukan dengan banyak metode lain yang sangat sulit diimplementasikan diluar dunia internet.
Pengertian Aset
Aset atau Aktiva adalah sumber ekonomi yang diharapkan memberikan manfaat usaha di kemudian hari. Aktiva dimasukkan dalam laporan neraca dengan saldo normal debit.
Aktiva biasanya dikelompokkan menjadi beberapa kategori, seperti
1. Aktiva lancar
2. Investasi jangka panjang
3. Aktiva tetap
4. Aktiva tak berwujud
5. Aktiva pajak tangguhan
6. Aktiva lain
Aktiva lancar (Inggris: current asset) dalam akuntansi adalah jenis aktiva yang dapat digunakan dalam jangka waktu dekat, biasanya satu tahun. Contoh aktiva lancar antara lain adalah kas, piutang, investasi jangka pendek, persediaan, dan beban dibayar di muka. Pada suatu laporan neraca, aktiva biasanya dikelompokkan menjadi aktiva lancar dan aktiva tidak lancar.
Perbandingan antara aktiva lancar dan kewajiban lancar disebut sebagai rasio lancar. Nilai ini sering digunakan sebagai tolak ukur likuiditas suatu perusahaan, yaitu kemampuan perusahaan untuk dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya.
Aktiva tetap dalam akuntansi adalah aktiva berwujud yang memiliki umur lebih dari satu tahun dan tidak mudah diubah menjadi kas. Jenis aktiva tidak lancar ini biasanya dibeli untuk digunakan untuk operasi dan tidak dimaksudkan untuk dijual kembali.
Contoh aktiva tetap antara lain adalah properti, bangunan, pabrik, alat-alat produksi, mesin, kendaraan bermotor, furnitur, perlengkapan kantor, komputer, dll. Aktiva tetap biasanya memperoleh keringanan dalam perlakuan pajak. Kecuali tanah atau lahan, aktiva tetap merupakan subyek dari depresiasi atau penyusutan.
Aktiva tidak berwujud (Inggris: intangible asset) adalah jenis aktiva yang tidak memiliki wujud fisik. Jenis utama aktiva tidak berwujud adalah hak cipta, paten, merek dagang, rahasia dagang, dan goodwill. Aktiva jenis ini mempunyai umur lebih dari satu tahun (aktiva tidak lancar) dan dapat diamortisasi selama periode pemanfaatannya, yang biasanya tidak lebih dari 40 tahun.
Pengertian Privatisasi
Privatisasi (istilah lain: denasionalisasi) adalah proses pengalihan kepemilikan dari milik umum menjadi milik pribadi. Lawan dari privatisasi adalah nasionalisasi.
Privatisasi sering diasosiasikan dengan perusahaan berorientasi jasa atau industri, seperti pertambangan, manufaktur atau energi, meski dapat pula diterapkan pada aset apa saja, seperti tanah, jalan, atau bahkan air.
Secara teori, privatisasi membantu terbentuknya pasar bebas, mengembangnya kompetisi kapitalis, yang oleh para pendukungnya dianggap akan memberikan harga yang lebih kompetitif kepada publik. Sebaliknya, para sosialis menganggap privatisasi sebagai hal yang negatif, karena memberikan layanan penting untuk publik kepada sektor privat akan menghilangkan kontrol publik dan mengakibatkan kualitas layanan yang buruk, akibat penghematan-penghematan yang dilakukan oleh perusahaan dalam mendapatkan profit.
Pengertian BUMN
Badan Usaha Milik Negara merujuk kepada perusahaan atau badan usaha yang dimiliki pemerintah sebuah negara.
Di Indonesia, Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang sebagian atau seluruh kepemilikannya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia. BUMN dapat pula berupa perusahaan nirlaba yang bertujuan untuk menyediakan barang atau jasa bagi masyarakat.
Pada beberapa BUMN di Indonesia, pemerintah telah melakukan perubahan mendasar pada kepemilikannya dengan membuat BUMN tersebut menjadi perusahaan terbuka yang sahamnya bisa dimiliki oleh publik. Contohnya adalah PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk.
Sejak tahun 2001 seluruh BUMN dikoordinasikan pengelolaannya oleh Kementerian BUMN, yang dipimpin oleh seorang Menteri Negara BUMN.
Jenis-Jenis BUMN
Jenis-jenis BUMN yang ada di Indonesia adalah:
1. Perusahaan Perseroan (Persero)
Perusahaan persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas (PT) yang modal/sahamnya paling sedikit 51% dimiliki oleh pemerintah, yang tujuannya mengejar keuntungan. Maksud dan tujuan mendirikan persero ialah untuk menyediakan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat dan mengejar keuntungan untuk meningkatkan nilai perusahaan.
Ciri-ciri Persero adalah sebagai berikut:
• Pendirian persero diusulkan oleh menteri kepada presiden
• Pelaksanaan pendirian dilakukan oleh mentri dengan memperhatikan perundang-undangan
• Statusnya berupa perseroan terbatas yang diatur berdasarkan undang-undang
• Modalnya berbentuk saham
• Sebagian atau seluruh modalnya adalah milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan
• Organ persero adalah RUPS, direksi dan komisaris
• Menteri yang ditunjuk memiliki kuasa sebagai pemegang saham milik pemerintah
• Apabila seluruh saham dimiliki pemerintah, maka menteri berlaku sebagai RUPS, jika hanya sebagian, maka sebagai pemegang saham perseroan terbatas
• RUPS bertindak sebagai kekuasaan tertinggi perusahaan
• Dipimpin oleh direksi
• Laporan tahunan diserahkan ke RUPS untuk disahkan
• Tidak mendapat fasilitas negara
• Tujuan utama memperoleh keuntungan
• Hubungan-hubungan usaha diatur dalam hukum perdata
• Pegawainya berstatus pegawai swasta
Fungsi RUPS dalam persero pemerintah ialah memegang segala wewenang yang ada dalam perusahaan tersebut. RUPS juga berwenang untuk mengganti komisaris dan direksi. Direksi persero adalah orang yang bertanggung jawab atas pengurusan persero baik didalam maupun diluar pengadilan. Pengangkatan dan pemberhentian dilakukan okeh RUPS. Komisaris adalah organ persero yang bertugas dalam pengawasan kinerja persero itu, dan melaporkannya pada RUPS.
Persero terbuka sesuai kebijakan pemerintah tentang privatisasi. Privatisasi adalah penjualan sebagian atau seluruh saham persero kepada pihak lain untuk peningkatan kualitas. Persero yang diprivatisasi adalah yang unsur usahanya kompetitif dan teknologinya cepat berubah. Persero yang tidak bisa diubah ialah:
• Persero yang menurut perundang-undangan harus berbentuk BUMN
• Persero yang bergerak di bidang hankam negara
• Persero yang diberi tugas khusus untuk kepentingan masyarakat
• Persero yang bergerak di bidang Sumber Daya Alam yang secara tegas dilarang diprivatisasi oleh UU
Di Indonesia sendiri yang sudah menjadi Persero adalah PT Bank BNI Tbk, PT Kimia Farma Tbk, PT Indo Farma Tbk, PT Tambang Timah Tbk, PT Indosat Tbk (pada akhir tahun 2002 41,94% saham Persero ini telah dijual kepada Swasta sehingga perusahaan ini bukan BUMN lagi), dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk.
2. Perusahaan Jawatan (Perjan)
Perusahaan Jawatan (perjan) sebagai salah satu bentuk BUMN memiliki modal yang berasal dari negara. Besarnya modal Perusahaan Jawatan ditetapkan melalui APBN.
3. Perusahaan Umum (Perum)
Sejenis perusahan badan pemerintah yg mengelola sarana umum.
Contohnya : Perum Pegadaian, Perum Jasatirta, Perum DAMRI.
4. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
Ciri-ciri BUMD adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah memegang hak atas segala kekayaan dan usaha
2. Pemerintah berkedudukan sebagai pemegang saham dalam pemodalan perusahaan
3. Pemerintah memiliki wewenang dan kekuasaan dalam menetapkan kebijakan perusahaan
4. Pengawasan dilakukan alat pelengkap negara yang berwenang
5. Melayani kepentingan umum, selain mencari keuntungan
6. Sebagai stabillisator perekonomian dalam rangka menyejahterakan rakyat
7. Sebagai sumber pemasukan negara
8. Seluruh atau sebagian besar modalnya milik negara
9. Modalnya dapat berupa saham atau obligasi bagi perusahaan yang go public
10. Dapat menghimpun dana dari pihak lain, baik berupa bank maupun nonbank
11. Direksi bertanggung jawab penuh atas BUMN, dan mewakili BUMN di pengadilan
Tujuan Pendirian BUMD:
1. Memberikan sumbangsih pada perekonomian nasional dan penerimaan kas negara
2. Mengejar dan mencari keuntungan
3. Pemenuhan hajat hidup orang banyak
4. Perintis kegiatan-kegiatan usaha
5. Memberikan bantuan dan perlindungan pada usaha kecil dan lemah
BUMN utama berkembang dengan monopoli atau peraturan khusus yang bertentangan dengan semangat persaingan usaha sehat (UU no. 5 tahun 1999), tidak jarang BUMN bertindak selaku pelaku bisnis sekaligus sebagai regulator. BUMN kerap menjadi sumber korupsi, yang lazim dikenal sebagai sapi perahan bagi oknum pejabat atau partai.
Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan mengakhiri berbagai praktek persaingan tidak sehat. Fungsi regulasi usaha dipisahkan dari BUMN. Sebagai akibatnya, banyak BUMN yang terancam gulung tikar, tetapi beberapa BUMN lain berhasil memperkokoh posisi bisnisnya.
Pengertian Restrukturisasi
Restrukturisasi kredit adalah terminologi keuangan yang banyak digunakan dalam perbankan, yang artinya adalah upaya perbaikan yang dilakukan dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya. Restrukturisasi yang dilakukan antara lain melalui:
1. penurunan suku bunga
2. perpanjangan jangka waktu kredit
3. pengurangan tunggakan bunga kredit
4. pengurangan tunggakan pokok kredit
5. penambahan fasilitas kredit
6. konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara
Dalam perbankan, Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan terhadap debitur yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. debitur mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga kredit; dan
2. debitur memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah kredit direstrukturisasi.
Bank dilarang melakukan restrukturisasi kredit dengan tujuan hanya untuk menghindari:
1. penurunan penggolongan kualitas kredit
2. peningkatan pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA)
3. penghentian pengakuan pendapatan bunga secara akrual
Pengertian Pemerintah
Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu. Ada beberapa definisi mengenai sistem pemerintahan. Sama halnya, terdapat bermacam-macam jenis pemerintahan di dunia. Sebagai contoh: Republik, Monarki / Kerajaan, Persemakmuran (Commonwealth). Dari bentuk-bentuk utama tersebut, terdapat beragam cabang, seperti: Monarki Konstitusional, Demokrasi, dan Monarki Absolut / Mutlak.
Pemerintah Indonesia menganut sistem presidensial yang dikepalai oleh seorang presiden yang dibantu beberapa menteri yang tergabung dalam suatu kabinet. Sebelum tahun 2004, sesuai dengan UUD 1945, presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pada Pemilu 2004, untuk pertama kalinya Presiden Indonesia dipilih langsung oleh rakyat.
Kewenangan
Dalam kaitannya dengan pemerintahan daerah, Pemerintah Indonesia merupakan pemerintah pusat. Kewenangan pemerintah pusat mencakup kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan lainnya seperti: kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi strategis, konservasi dan standardisasi nasional. Kewenangan lainnya diserahkan kepada pemerintah daerah.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
Pemerintah Daerah dan DPRD adalah penyelenggara pemerintahan daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dipilih secara demokratis. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Susunan
Pemerintah Daerah adalah unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang terdiri dari Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah.
Pemerintah Daerah dapat berupa:
1. Pemerintah Daerah Provinsi (Pemprov), yang terdiri atas Gubernur dan Perangkat Daerah, yang meliputi Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan Lembaga Teknis Daerah
2. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Pemkab/Pemkot) yang terdiri atas Bupati/Walikota dan Perangkat Daerah, yang meliputi Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan Kelurahan.
Peraturan Pemerintah (disingkat PP) adalah Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.didalam UU No.10 Tahun 2004 tentang teknik pembuatan undang-undang, bahwa Peraturan Pemrintah sebagai aturan organik daripada Undang-Undang menururt hirarkinya tidak boleh tumpangtindih atau bertolak belakang . Peraturan Pemerintah ditandatangani oleh Presiden.
Pengertian Struktur
Struktur adalah bagaimana bagian-bagian dari sesuatu berhubungan satu dengan lain atau bagaimana sesuatu tersebut disatukan. Struktur adalah sifat fundamental bagi setiap sistem. Identifikasi suatu struktur adalah suatu tugas subjektif, karena tergantung pada asumsi kriteria bagi pengenalan bagian-bagiannya dan hubungan mereka. Karenanya, identifikasi kognitif suatu struktur berorientasi tujuan dan tergantung pada pengetahuan yang ada.
Menurut Prof. Benny H. Hoed, struktur adalah bangun (teoritis) yang terdiri atas unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain dalam satu kesatuan. Struktur ada struktur atas, struktur bawah. Struktur mempunyai sifat : Totalitas Transformatif Otoregulatif
Struktur abstrak adalah suatu kumpulan entitas tak terdefinisi (Inggris: undefined terms) yang didefinisikan secara umum (atau secara universal) melalui berbagai aksioma atau postulat. Contoh-contoh struktur abstrak adalah konsep group, gelanggang (Inggris: ring), ruang vektor (atau ruang linear), konsep garis, konsep titik, dan sebagainya.
Bahkan sebuah bilangan asli pun sebenarnya adalah sebuah konsep abstrak walaupun biasanya diasumsikan bahwa setiap orang secara intuitif 'sudah tahu' dan sudah 'cukup mengenal' bilangan asli sehingga tak perlu lagi diajar, diberitahu atau sekedar diperkenalkan dengan definisi formal bilangan asli.
Struktur pohon adalah sebuah cara untuk menggambarkan sifat dari sebuah struktur secara hirarki dalam bentuk grafik. Ini dinamakan "struktur pohon" karena grafiknya agak menyerupai sebuah pohon, sekalipun pohon ini biasanya digambarkan dari atas kebawah dibandingkan dengan pohon sesungguhnya. Pohon ini digambarkan dengan akar yang terletak paling atas dan daun terletak baling bawah.
Pengertian Tren
Tren harga dan volume atau lebih dikenal dengan istilah Price and Volume Trend yang disingkat biasa disingkat dengan singkatan "PVT" atau "PV" adalah merupakan suatu indikator dalam analisis teknis yang ditujukan untuk menggabungkan harga dan volume pada pasar modal. PVT adalah berdasarkan volume transaksi berjalan, dengan penambahan volume berdasarkan persentase perubahan harga pada saat penutupan pasar dibandingkan dengan harga penutupan sebelumnya.
Rumusan PVT adalah sebagai berikut :
PVT adalah serupa dengan On-balance Volume (OBV), tetapi apabila OBV menggunakan volume hanya berdasarkan saat mencapai harga penutupan tertinggi atau terendah maka pada PVT juga dimasukkan besaran nilai tertinggi atau terendah yang terjadi.
PVT diartikan dengan cara yang serupa dengan OBV. Pemikiran umumnya adalah bahwa volume akan meningkat pada hari dimana harga bergerak pada arah yang dominan, misalnya saja pada tren kenaikan yang kuat maka volume akan lebih tinggi daripada hari dimana harga mengalami penurunan. Jadi apabila harga mengalami kenaikan maka PVT akan naik juga dan sewaktu harga menciptakan tingkat tertinggi barunya maka PVT juga akan demikian. Apabila PVT gagal untuk mencapai reli harga tertinggi sebelumnya maka ini adalah merupakan diverjensi negatif yang menandakan melemahnya pergerakan.
Pengertian Implikasi
Implikasi dapat merujuk kepada:
Dalam manajemen:
1. Implikasi prosedural meliputi tata cara analisis, pilihan representasi, perencanaan kerja dan formulasi kebijakan
2. implikasi kebijakan meliputi sifat substantif, perkiraan ke depan dan perumusan tindakan
Dalam logika:
1. Implikasi logis dalam logika matematika
2. kondisional Material dalam falsafah logika
Dalam linguistik:
1. Implikasi (pragmatis)
2. Entailmen (pragmatics)
Kegunaan lain:
1. Dalam matematika, fungsi dapat merupakan implisit.
2. Diagnosa medis (penyelidikan ilmiah), dalam ilmu kedokteran forensik, hipotesis penyebab adalah implikasi atau indikasi alasan pada kondisi yang dapat ditemukan yang dapat memberikan penyebab.
Pengertian Fiskal
Fiskal (Latin: Fiscus) berasal dari nama pribadi dari pemegang keuangan pertama pada zaman Kekaisaran Romawi, secara harfiah dapat diartikan sebagai "keranjang" atau "tas" [ ] , (inggris: fisc) berarti perbendaharaan negara atau kerajaan. fiskal digunakan untuk menjelaskan bentuk pendapatan negara atau kerajaan yang dikumpulkan berasal dari masyarakat dan oleh pemerintahan negara atau kerajaan dianggap sebagai pendapatan lalu digunakan sebagai pengeluaran dengan program-program untuk menghasilkan pencapaian terhadap pendapatan nasional, produksi dan perekonomian serta digunakan pula sebagai perangkat keseimbangan dalam perekonomian. Dua unsur utama dari fiskal adalah perpajakan dan pengeluaran publik.
Prinsip dasar fiskal
Adam Smith
1. Keadilan (Equality)
2. Kepastian (Certainty)
3. Kemudahan (Convenience)
4. Efisiensi (Efficiency) [ ]
Edwin R.A. Seligman
1. Fiskal (Fiscal)
2. Administratif (Administrative)
3. Ekonomi (Economic)
4. Etika (Ethical) [ ]
Fritz Neumark
1. Kesepadanan pembiayaan (Revenue productivity)
2. Keadilan sosial (Social justice)
3. Pencapaian ekonomi (Economic goals)
4. Kemudahan (Ease Administration and compliance) [ ]
KONSEP EKONOMI ISLAM BAGI BUDGET DEFISIT
I . Pembiayaan Defisit Anggaran
Sasaran kebijakan fiskal ditetapkan secara konsisten berdasarkan pada target ekonomi makro yang hendak dicapai dalam kurun waktu tertentu. Selanjutnya, dengan mempertimbangkan kondisi terkini disusun kebijakan operasional untuk mencapai target-target yang hendak dicapai tersebut. Kerangka ekonomi makro disusun oleh Pemerintah untuk selanjutnya dibahas bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pembahasan difokuskan pada kebijakan umum yang hendak ditempuh oleh Pemerintah dan prioritas-prioritas kegiatan yang hendak dilakukan oleh Kementerian Negara/Lembaga untuk mendorong sasaran makro dimaksud, yang diterjemahkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah dan diwujudkan melalui rencana belanja negara. Rencana belanja disusun dengan memperhatikan kemampuan Pemerintah untuk menghimpun seluruh potensi penerimaan negara. Dalam hal terjadi kekurangan akibat belanja negara melampaui penerimaan negara, maka Pemerintah harus mencari sumber-sumber pembiayaan defisit. Pencarian sumber pembiayaan tersebut dilakukan dengan terlebih dahulu memperhitungkan seluruh kewajiban Pemerintah di sisi pembiayaan yang mengikat dan tidak mungkin ditangguhkan. Agar kesinambungan fiskal tetap terjaga, maka besarnya sasaran defisit ditetapkan pada tingkat yang terkendali dalam jangka panjang. Penyusunan perkiraan penerimaan, pemilihan kegiatan prioritas, dan penentuan sumber pembiayaan dalam hal terjadi defisit, merupakan proses yang dinamis dan diperhitungkan secara cermat hingga dicapai suatu keseimbangan dan kombinasi yang optimal diantara ketiga komponen tersebut, sehingga APBN dapat secara obyektif mencerminkan upaya pencapaian target.
Dalam penentuan besaran pembiayaan defisit dan identifikasi sumber-sumber pembiayaan, Pemerintah harus senantiasa mempertimbangkan batasan-batasan risiko yang dihadapi karena besaran defisit yang tidak terkendali dapat mengganggu kesinambungan fiskal. Indikator kesinambungan fiskal antara lain dapat diukur dari rasio defisit terhadap kemampuan perekonomian secara keseluruhan (rasio defisit terhadap PDB) yang berada pada tingkat yang cukup terkendali. Di samping itu, kesinambungan fiskal juga ditunjukkan oleh rasio besarnya jumlah utang terhadap kemampuan perekonomian secara nasional (rasio utang terhadap PDB) yang harus menunjukkan penurunan. Rasio utang menjadi indicator yang lazim digunakan untuk mengukur kesinambungan fiskal mengingat utang sebagai sumber pembiayaan defisit pada waktu yang telah diperjanjikan harus dibayar kembali.
Dengan demikian, apabila kemampuan utang untuk menutup defisit dan kemampuan membayar kembali tidak diperhitungkan, dikhawatirkan dapat menganggu fungsi kebijakan fiskal dalam mendorong perekonomian dan menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi.
I .1. Kebijakan Umum dan Kebutuhan Pembiayaan
Kebijakan umum pembiayaan anggaran sebagai sasaran kebijakan fiskal yang ditetapkan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunjukkan arah kebijakan defisit. Kebijakan pembiayaan defisit APBN, dalam kurun waktu delapan tahun terakhir menunjukkan pergeseran kebijakan yang cukup signifikan, terutama ditunjukkan oleh trend penggunaan sumber pembiayaan defisit yang dilakukan. Pemilihan terhadap sumber pembiayaan tersebut merefleksikan ketersediaan sumber pembiayaan yang semula berasal dari nonutang, seperti penjualan aset, privatisasi BUMN, menjadi berasal dari utang.
Dalam beberapa tahun terakhir ini juga muncul beberapa kebutuhan pengeluaran pembiayaan dengan jumlah yang cenderung meningkat. Pengeluaran pembiayaan tersebut perlu dilakukan terutama untuk investasi pemerintah pada kegiatan pembangunan infrastruktur yang melibatkan peran swasta dalam kerangka kerja sama (public private partnership, PPP), penjaminan terhadap kewajiban PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN) untuk menambah kapasitas dalam menjalankan fungsi publik, dan penyertaan modal Negara pada BUMN sektor-sektor tertentu.
Dari waktu ke waktu, arah kebijakan defisit anggaran dapat mengalami perubahan prioritas, dari konsolidasi fiskal menjadi stimulus fiskal maupun sebaliknya, tergantung dari kondisi keuangan dan prioritas rencana kerja pemerintah. Arah kebijakan defisit melalui konsolidasi fiskal telah dilakukan Pemerintah pada tahun 2001- 2005, yang ditunjukkan oleh penurunan defisit dari sebesar 2,4 persen terhadap PDB pada tahun 2001 menjadi 0,5 persen terhadap PDB pada tahun 2005. Pada tahun 2006, dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, arah kebijakan defisit mengalami perubahan orientasi menjadi stimulus fiskal melalui peningkatan target defisit menjadi 0,9 persen terhadap PDB. Pada tahun 2007, stimulus fiskal kembali dilanjutkan melalui peningkatan defisit menjadi 1,5 persen terhadap PDB walaupun dalam realisasinya hanya mencapai 1,3 persen terhadap PDB. Meskipun terjadi penurunan defisit dalam realisasi tahun 2007 tersebut, namun realisasi pertumbuhan ekonomi yang dicapai relatif sesuai dengan target yang ditetapkan semula yaitu 6,3 persen terhadap PDB.
Pada APBN tahun 2008, defisit tetap diarahkan untuk stimulus fiskal sebesar 1,6 persen terhadap PDB dalam mendukung pencapaian target pembangunan ekonomi nasional jangka panjang. Penetapan defisit ini akan tetap dijaga pada tingkat yang masih dapat memberikan peluang bagi Pemerintah untuk secara kredibel mempertahankan stabilitas ekonomi makro guna menjaga momentum peningkatan kinerja perekonomian dalam jangka panjang.
Penetapan defisit tersebut disusun berdasarkan proyeksi kondisi makro ekonomi yang mengacu pada kondisi paruh pertama tahun 2007 yang masih relatif stabil. Namun dalam perkembangan selanjutnya, perubahan ekonomi dunia menunjukkan tanda-tanda
pelambatan yang dipicu oleh krisis subprime mortgage dan kecenderungan peningkatan
harga komoditi dunia terutama minyak, yang memicu peningkatan ekspektasi inflasi baik di tingkat global maupun lokal. Perubahan tersebut secara cukup signifikan telah mempengaruhi asumsi makro yang telah ditetapkan semula sehingga mendorong Pemerintah untuk melakukan perubahan APBN. Tidak sebagaimana biasanya, Pemerintah dan DPR telah melakukan perubahan APBN pada awal triwulan kedua. Perubahan cukup besar terjadi di dalam APBN-P tahun 2008 yang melonggarkan defisit anggaran hingga menjadi sebesar 2,1 persen terhadap PDB untuk mengakomodir perkembangan kondisi ekonomi. Peningkatan defisit tersebut berdampak pada penambahan pembiayaan yang terutama akan dibiayai dari utang, baik dalam bentuk pinjaman luar negeri melalui pinjaman program, maupun penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Sebagaimana tahun sebelumnya, dalam tahun 2008, Pemerintah masih memiliki beberapa sumber pembiayaan anggaran dari nonutang yaitu melalui rekening Pemerintah, privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan penjualan aset negara melalui PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA) dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Namun dalam kapasitas untuk membiayai defisit, sumber-sumber tersebut tidak cukup memadai, mengingat adanya kebutuhan pembiayaan nonutang yang juga harus dipenuhi, seperti untuk penyertaan modal negara, pembiayaan infrastuktur dan penjaminan Pemerintah, serta adanya kebutuhan untuk menjaga rekening pemerintah berada pada tingkat yang aman pada akhir tahun untuk membiayai kebutuhan awal tahun anggaran yang akan datang. Untuk itu, pembiayaan utang secara neto diharapkan dapat memenuhi seluruh kekurangan pembiayaan tersebut. Dari kebutuhan pembiayaan defisit sebesar 2,1 persen terhadap PDB, maka jumlah pembiayaan bersih utang (neto) yang harus dilakukan dalam tahun 2008 mencapai sebesar 2,3 persen.
Perkembangan pembiayaan anggaran sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 disajikan dalam Tabel VI.1 berikut ini.
Pada tahun anggaran 2009, ditengah kondisi ekonomi dunia yang masih penuh ketidakpastian, kebijakan defisit anggaran lebih diarahkan untuk konsolidasi fiskal dengan tetap mempertahankan adanya stimulus bagi perekonomian. Defisit pada tahun 2009 direncanakan sebesar 1,5 persen terhadap PDB, lebih rendah 0,6 persen dibandingkan target defisit pada perubahan APBN tahun 2008. Penurunan defisit tersebut sejalan dengan:
(1) upaya-upaya untuk meningkatkan penerimaan negara,
(2) upaya penurunan belanja
subsidi terutama melalui pengendalian konsumsi BBM bersubsidi dan listrik, dan
(3) upaya untuk membagi beban yang dihadapi antara Pemerintah pusat dan daerah melalui reformulasi dana perimbangan yang lebih adil.
Defisit yang mencapai 1,5 persen terhadap PDB tersebut, sebagaimana kecenderungan beberapa tahun terakhir, akan lebih banyak dipenuhi dari utang terutama penerbitan surat berharga. Dalam tahun 2009, pembiayaan nonutang secara neto akan lebih bersifat pengeluaran pembiayaan, mengingat semakin terbatasnya sumber pembiayaan yang berasal dari penjualan aset. Sementara dari privatisasi BUMN, terdapat kebutuhan yang sangat besar untuk melakukan restrukturisasi BUMN, sehingga penerimaan pembiayaan yang diperoleh dari privatisasi BUMN secara neto tidak dapat memberikan kontribusi pada pembiayaan defisit APBN tahun 2009, namun sebaliknya berdampak pada peningkatan pengeluaran pembiayaan. Kebutuhan untuk penyertaan investasi dalam kerangka PPP dan dianggarkannya dana kontinjensi untuk pemberian jaminan terhadap proyek ketenagalistrikan berbahan bakar batubara 10.000 MW, juga telah mengakibatkan adanya kebutuhan pengeluaran di sisi pembiayaan. Sebagai hasil akhirnya pembiayaan melalui utang secara neto diperkirakan mencapai 1,5 persen terhadap PDB, atau relatif sama dengan kebutuhan pembiayaan defisit.
Pembiayaan melalui utang tersebut akan dilakukan baik secara tunai untuk keperluan umum maupun merupakan pinjaman yang terkait dengan kegiatan tertentu yang dilaksanakan oleh kementerian negara/lembaga. Pinjaman kegiatan (pinjaman proyek) pada dasarnya merupakan sumber pembiayaan yang earmarked dengan belanja negara, sehingga tidak dapat secara serta merta digunakan untuk memenuhi pembiayaan umum (general financing) dari APBN. Dari sumber utang, alternatif pembiayaan yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan umum APBN yang tersedia adalah pinjaman program dan penerbitan surat berharga negara. Dalam menentukan besarnya pinjaman dan penerbitan surat berharga negara yang dapat dilakukan, Pemerintah memperhitungkan seluruh aspek yang menentukan dapat tidaknya jumlah utang tersebut dilakukan. Pinjaman program diperhitungkan dengan melakukan penjajakan terhadap kemampuan pemberi pinjaman, konsistensi dengan kebijakan jangka menengah pemberian pinjaman yang telah dibahas antara Pemerintah dengan lender, dan kesesuaian dengan matriks kebijakan (policy matrix) yang dipersyaratkan. Sementara, pembiayaan melalui penerbitan SBN, akan tetap diprioritaskan dari sumber dalam negeri. Untuk mengakomodir kebutuhan pembiayaan yang meningkat, penerbitan dapat dilakukan di pasar internasional. Perhitungan terhadap penerbitan surat berharga di pasar internasional dilakukan tidak saja melihat pada kebutuhan pembiayaan semata-mata, namun secara lebih luas juga mempertimbangkan kondisi pasar, biaya dan risiko, karena akan berakibat pada kerentanan Indonesia terhadap faktor eksternal (external vulnerability). Secara normatif, guna mengurangi risiko terhadap faktor eksternal pembiayaan melalui utang yang diperoleh dari sumber-sumber di pasar internasional dalam kerangka fiskal perlu memperhitungkan sisi kewajiban dalam valuta asing sehingga terjadi natural hedging.
Berdasarkan kebijakan pembiayaan yang telah berjalan pada tahun-tahun sebelumnya, pada masa mendatang sumber pembiayaan anggaran masih akan tetap diprioritaskan pada penerbitan SBN khususnya SBN rupiah di pasar domestik dengan pertimbangan utama:
(i) semakin terbatasnya sumber pembiayaan defisit dari nonutang;
(ii) semakin beragamnya instrumen surat berharga negara termasuk diantaranya Surat Berharga Syariah Negara (SBSN);
(iii) mengurangi exposure pinjaman luar negeri guna mengurangi risiko nilai tukar (exchange rate risk). Jumlah penerbitan SBN akan tetap didasarkan pada kebutuhan untuk pembiayaan, dengan mempertimbangkan daya serap pasar dan kapasitas Pemerintah dalam mengelola tambahan utang secara efisien. Prioritas penerbitan SBN rupiah juga didasari pada pertimbangan strategis lainnya yang sangat terkait dengan peranan instrument tersebut dalam pengelolaan ekonomi makro (fiskal dan moneter), pengelolaan keuangan Negara baik pengelolaan utang maupun pengelolaan kas, pertumbuhan industri keuangan domestik, serta pengembangan pasar uang dan pasar modal domestik yang sehat (sounds) secara menyeluruh.
Penggunaan SBN pada prinsipnya memiliki beberapa manfaat yang satu sama lain saling mendukung yaitu:
(i) sebagai instrumen fiskal, SBN mempunyai beragam variasi instrumen yang dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan yang tepat, baik dari sisi biaya maupun profil risiko;
(ii) (ii) sebagai instrumen moneter, SBN dapat digunakan dalam melakukan operasi pasar terbuka (open market operation) oleh otoritas moneter. Hal ini lazim dilakukan di banyak negara terutama dengan menggunakan surat berharga jangka pendek yang diperdagangkan di pasar sekunder atau dengan melakukan transaksi surat berharga untuk dibeli kembali (REPO);
(iii) sebagai instrumen untuk pengelolaan portofolio utang negara, misalnya dalam rangka reprofiling struktur jatuh tempo SBN maupun refinancing pinjaman komersial luar negeri dalam rangka mengoptimalkan porsi SBN dalam struktur portofolio utang negara;
(iv) (iv) adanya pasar sekunder SBN yang likuid sehingga menghasilkan benchmark yield curve yang diperlukan sebagai referensi harga wajar suatu aset finansial, yang dapat memberi dampak semakin berkembangnya pasar modal secara keseluruhan; dan (v) sebagai instrumen dalam pengelolaan kas negara.
Strategi pembiayaan melalui utang yang diimplementasikan secara terkoordinasi oleh berbagai otoritas akan dapat mendukung pencapaian pengelolaan fiskal secara hati-hati (prudent), kebijakan moneter yang kredibel, pasar keuangan yang dalam dan likuid (deep and liquid financial market), dan pengelolaan utang yang sehat (sound) serta pengelolaan kas negara yang efisien. Apabila pada suatu saat APBN mengalami surplus dan pembiayaan melalui utang tidak lagi diperlukan, maka penerbitan SBN akan tetap dilakukan untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya pengembangan pasar keuangan dalam pembentukan benchmark, pengelolaan portofolio utang termasuk perubahan struktur portofolio dan refinancing utang yang jatuh tempo, dan pengelolaan kas negara.
Sebagai konsekuensi dari penggunaan SBN sebagai instrumen pembiayaan akan menyebabkan semakin tingginya exposure risiko pasar dalam pengelolaan APBN. Oleh karena itu, dalam pengelolaan utang diperlukan penerapan disiplin pasar secara konsisten agar proses pengambilan keputusan dapat berlangsung secara hati-hati, cepat, tepat, dan efisien dengan memperhatikan penerapan prinsip-prinsip tatakelola yang baik (good governance principles).
Kebijakan pembiayaan yang ditetapkan, mempengaruhi kebutuhan pembiayaan dimana jumlah kebutuhan pembiayaan ditentukan berdasarkan besaran target defisit, kebutuhan investasi pemerintah, dan refinancing utang. Pada tahun anggaran 2009, target deficit ditetapkan 1,5 persen terhadap PDB atau sebesar Rp79,4 triliun, yang akan bersumber dari utang sebesar Rp81,1 triliun, sedangkan nonutang secara neto mengalami pengeluaran pembiayaan sebesar Rp1,7 triliun. Dalam pembiayaan utang tersebut telah diperhitungkan pembayaran pokok utang luar negeri yang jatuh tempo sebesar Rp59,6 triliun dan SBN jatuh tempo diperkirakan Rp56,7 triliun.
I.2. Sumber Pembiayaan
I . 2. 1. Pembiayaan Melalui Nonutang Tahun 2005 - 2008
Pembiayaan anggaran yang bersumber dari nonutang pada tahun anggaran 2005-2008 secara umum terdiri atas dua sumber, yaitu
(i) perbankan dalam negeri yang berasal dari setoran Rekening Dana Investasi (RDI) dan pelunasan piutang negara; dan
(ii) (ii) nonperbankan dalam negeri yang berasal dari penerimaan privatisasi BUMN, penjualan aset, dan dana investasi pemerintah dan restrukturisasi BUMN.
I . 2 . 2 . Pembiayaan Melalui Rekening Dana Investasi dan Rekening Pembangunan Daerah
Sejak tahun 2005 sampai tahun 2008, Rekening Dana Investasi (RDI) dan Rekening Pembangunan Daerah (RPD) telah mempunyai peran dalam struktur APBN yaitu berfungsi sebagai penerimaan dalam negeri dan pembiayaan. Penerimaan dalam negeri dimasukkan kedalam kelompok penerimaan PNBP lainnya yaitu pelunasan piutang nonbendahara.
Sedangkan untuk pembiayaan dikelompokkan ke dalam pembiayaan dalam negeri. Posisi saldo RDI dan RPD dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 dan perkiraan tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel VI.2.
Pada tahun 2005 penggunaan rekening RDI untuk pembiayaan defisit APBN mencapai Rp7,2 triliun atau 58,4 persen terhadap saldo 2005 dan tahun 2006 mencapai Rp2,0 triliun atau 34,9 persen terhadap saldo awal tahun 2006 serta pada tahun 2007 mencapai Rp4,0 triliun atau 93,8 persen saldo awal dari tahun 2007. Tahun 2008 diperkirakan saldo rekening RDI yang digunakan pembiayaan defisit sebesar Rp0,3 triliun atau 66,3 persen terhadap saldo awal tahun 2008.
Besar kecilnya sumber pembiayaan yang berasal dari RDI/RPD sangat dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan penerusan pinjaman maupun kebijakan terkait dengan pengelolaan RDI/RPD. Kebijakan pengelolaan penerusan pinjaman luar negeri memperhatikan prioritas pembangunan berdasarkan rencana pembangunan jangka menengah. Sebagai pedoman dalam melakukan penerusan pinjaman telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tersebut ditegaskan bahwa yang berhak menerima penerusan pinjaman yaitu BUMN dan Pemerintah Daerah (Pemda). Selanjutnya khusus untuk mengatur tata cara pemberian pinjaman kepada daerah dari pemerintah yang bersumber dari luar negeri melalui skema penerusan pinjaman telah dibuat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/KMK.010/2006 tentang Tata Cara Pemberian Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang Dananya Bersumber dari Luar Negeri.
Sementara itu, kebijakan yang terkait dengan pengelolaan RDI/RPD, diantaranya dapat dilihat dari upaya melakukan optimalisasi piutang negara yang bersumber dari tagihan kewajiban terhadap penerusan pinjaman luar negeri telah dilakukan program restrukturisasi pinjaman. Pada tahun ini telah diupayakan restrukturisasi piutang Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan BUMN. Proses restrukturisasi RDI/RPD/SLA untuk PDAM telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 107/PMK.06/2005 dan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 53/PB/2006 sebagai dasar pelaksanaannya dengan tahapan penjadwalan ulang, perubahan persyaratan, dan penghapusan. Untuk saat ini sudah ada beberapa PDAM yang menyatakan keinginannya untuk ikut serta dalam program restrukturisasi ini.
Adapun untuk pelaksanaan restrukturisasi BUMN telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.05/2007 tanggal 19 Februari 2007 dengan tahapan penjadwalan ulang, perubahan persyaratan, penyertaan modal negara dan penghapusan dan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 31/PB/2007 tentang Petunjuk Teknis Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman (NPPP) dan Perjanjian Pinjaman Rekening Dana Investasi pada Badan Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas.
Untuk melakukan proses restrukturisasi tersebut Pemerintah telah membentuk Komite Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari NPPP dan Perjanjian Pinjaman RDI pada BUMN/Perseroan Terbatas (Komite) melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 356/KMK.05/2007. Dengan adanya mekanisme Komite, maka penyelesaian piutang Negara diharapkan dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip kehati-hatian serta lebih menjamin terselenggaranya tata kelola keuangan negara yang baik, akuntabel, dan transparan. Selain itu, penyelesaian piutang negara juga mempertimbangkan rencana jangka panjang pengelolaan BUMN sebagaimana tertuang dalam master plan Kementerian Negara BUMN.
I . 2 . 3 . Pembiayaan Melalui Penjualan Aset
Pemerintah menyerahkelolakan aset negara eks BPPN kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) (Persero) berdasarkan Perjanjian Pengelolaan Aset yang ditandatangani pada tanggal 24 Maret 2004. Aset negara yang diserahkelolakan kepada PT PPA (Persero) memiliki karakteristik yang khusus berupa sifat penguasaan sementara oleh negara. Dengan penguasaan sementara tersebut, maka tujuan dari pengelolaan aset negara oleh PT PPA (Persero) adalah mengembalikan aset-aset tersebut ke pasar melalui proses penjualan yang transparan, akuntabel, dan wajar.
Dalam rangka pengelolaan aset negara tersebut, PT PPA (Persero) melakukan kegiatan penagihan, restrukturisasi, peningkatan nilai aset, dan penjualan. Dengan kegiatan-kegiatan tersebut, PT PPA (Persero) telah memperoleh pengembalian penerimaan negara yang cukup signifikan guna memberikan kontribusi bagi APBN. Data sumber pembiayaan yang berasal dari hasil pengelolaan PT PPA (Persero) dapat dilihat pada Grafik VI.1.
Sebagaimana terlihat pada grafik tersebut, kontribusi sumber pembiayaan yang berasal dari PT PPA (Persero) semakin berkurang. Jika pada tahun 2005 kontribusinya mencapai Rp6,6 triliun maka pada tahun 2008 PT PPA (Persero) hanya ditargetkan sebesar Rp3,0 triliun dari total target penjualan aset pada tahun 2008 sebesar Rp3,85 triliun. Pengurangan ini sejalan dengan makin berkurangnya aset yang dikelola oleh PT PPA (Persero). Setelah pelaksanaan pengelolaan (divestasi) aset tahun 2005-2007 maka sisa aset yang masih dikelola oleh PT PPA (Persero) di awal tahun 2008 sebagian besar, berupa aset hak tagih (kredit), aset properti dan aset saham nonbank. Dengan kondisi tersebut, PT PPA (Persero) berupaya melakukan optimalisasi penerimaan Hasil Pengelolaan Aset dengan melakukan divestasi aset-aset saham nonbank dan properti serta melakukan penagihan/penyelesaian terhadap aset hak tagih.
I . 2 . 4 . Pembiayaan Melalui Privatisasi BUMN
Sumber pembiayaan APBN selama ini sebagian berasal dari hasil privatisasi BUMN. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, pengertian privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesarmanfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat. Sebagian dari dana yang diperoleh dari privatisasi (melalui divestasi) digunakan sebagai salah satu sumber pembiayaan APBN. Sumber pembiayaan yang berasal dari privatisasi dapat dilihat pada Grafik VI.2.
Dari grafik di samping dapat dilihat sumber pembiayaan melalui privatisasi cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, selama periode 2006 sampai dengan 2008 peningkatannya rata-rata mencapai 46,8 persen per tahun. Peningkatan ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dalam pengelolaan BUMN. Dimana peningkatan target sumber pembiayaan melalui privatisasi senantiasa dilakukan dengan tetap memperhatikan kepentingan jangka panjang pemerintah untuk mengembangkan BUMN sebagai entitas bisnis yang sehat dengan tatakelola yang baik (well-governed), sehingga dapat berperan sebagai agent of development secara optimal.
Privatisasi sebagai salah satu bentuk restrukturisasi, dilakukan bukan hanya dalam rangka memperolah dana segar, melainkan juga untuk menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme antara lain melalui pembenahan pengurusan dan pengawasan berdasarkan prinsip-prinsip tatakelola perusahaan yang baik. Privatisasi tidak lagi diartikan secara sempit sebagai penjualan saham pemerintah semata ke pihak nonpemerintah, tetapi dilakukan sebagai upaya untuk mencapai beberapa sasaran sekaligus, termasuk di dalamnya adalah peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif, pemberdayaan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global, penyebaran kepemilikan oleh publik serta pengembangan pasar modal domestik (privatisasi diupayakan dilakukan melalui initial public offering/IPO).
Dalam periode 1991-2007, upaya privatisasi BUMN telah menghasilkan Rp25,9 triliun dan US$653 sebagai setoran bagi pemerintah dan Rp12,2 triliun bagi perusahaan, yang dilakukan melalui initial public offering (IPO), strategic sales (SS), placement, secondary offering (SO), dan employee management buy out (EMBO). Hingga tahun 2008, BUMN yang tercatat di pasar modal sebanyak 14 BUMN.
Program privatisasi tahun 2008 dilakukan berdasarkan keputusan Komite Privatisasi Nomor KEP-04/M.EKON/01/2008 tanggal 31 Januari 2008 dan rekomendasi Menteri Keuangan Nomor S-41/MK.06/2008 tanggal 30 Januari 2008 yang menyetujui untuk melakukan privatisasi terhadap 44 BUMN, yang antara lain dari sektor pekerjaan umum, perkebunan, industri dan keuangan. Dari jumlah ini, sebanyak 38 perusahaan dengan kepemilikan Negara mayoritas dan 6 perusahaan dengan kepemilikan negara minoritas. Privatisasi BUMN yang telah disetujui oleh DPR adalah PT Atmindo, PT Intirub, PT Prasidha Pamunah Limbah Industri, PT Jakarta International Hotel Development, Tbk, PT Kertas Blabak, dan PT Kertas Basuki Rahmat. Sedangkan sisanya masih menunggu konsultasi dan persetujuan dari DPR.
Di samping dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dalam pengelolaan BUMN, sumber pembiayaan yang berasal dari privatisasi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal. Hal ini misalnya nampak pada perubahan target sumber pembiayaan yang berasal dari privatisasi pada tahun 2008. Kecenderungan kenaikan harga minyak serta beberapa komoditi penting pada perekonomian global yang terjadi sejak semester kedua tahun 2007. Kenaikan ini disebabkan oleh tidak hanya faktor fundamental yaitu: sisi permintaan dan penawaran, namun juga oleh faktor nonfundamental misalnya faktor geopolitik dan perubahan aliran dana dari pasar keuangan ke pasar komoditi yang telah menciptakan ketidakpastian dan pada akhirnya meningkatkan kekhawatiran investor akan keamanan portofolio investasinya.
Kekhawatiran ini telah menyebabkan investor mengalihkan dananya pada instrumeninstrumen yang relatif aman dan menghindari instrumen investasi yang berasal dari negaranegara berkembang termasuk Indonesia. Kondisi pasar keuangan yang tidak kondusif ini kemudian menjadi salah satu alasan pemerintah untuk mengubah target penerimaan privatisasi dari Rp1,5 triliun pada APBN menjadi hanya Rp0,5 triliun pada APBN-P 2008.
I . 2 . 5 . Dana Investasi Pemerintah dan Restrukturisasi BUMN
Perkembangan Dana Investasi Pemerintah dan Restrukturisasi BUMN selama periode 2005- 2008 dapat dilihat pada Grafik VI.3.
Dana investasi pemerintah dan restrukturisasi BUMN terdiri dari beberapa komponen, diantaranya, dana yang dialokasikan untuk investasi pemerintah yang mengacu kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, penyertaan modal negara, dana restrukturisasi BUMN, dan dana kontinjensi untuk PT PLN. Pada setiap tahun anggaran tidak semua jenis alokasi ini ada pada dana investasi pemerintah.
a. Investasi Pemerintah.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mengamanat-kan pemerintah untuk melakukan investasi jangka panjang dengan tujuan untuk memberikan manfaat ekonomi, manfaat sosial, dan manfaat lainnya. Investasi jangka panjang tersebut merupakan wujud dari peran pemerintah dalam rangka memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kebijakan investasi yang dilakukan oleh pemerintah mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah sebagai penjabaran dari Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Investasi pemerintah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi investasi jangka panjang nonpermanen yang terdiri dari pembelian surat berharga, dalam bentuk saham dan surat utang, dan investasi langsung. Investasi langsung tersebut adalah investasi langsung jangka panjang yang bersifat nonpermanen dengan cara pola kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur dan noninfrastruktur.
Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah telah mengalokasikan dana dukungan infrastruktur pada tahun anggaran 2006 dan 2007 masing masing Rp2,0 triliun. Mengingat dana investasi dimaksud berbunyi dana dukungan infrastruktur, Pemerintah menyalurkan dana pada investasi bidang infrastruktur dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur di Indonesia diantaranya pembiayaan pembebasan lahan jalan tol dan sisanya ditempatkan pada instrumen jangka pendek untuk mengoptimalkan return, mengingat pelaksanaan mandat untuk pembentukan Joint Investment Company terutama di bidang infrastruktur, saat ini masih dalam proses penyelesaian.
Pada tahun anggaran 2008 telah dialokasikan Rp2,8 triliun dengan peruntukan yang telahdisesuaikan dengan peraturan yang mengatur tentang investasi pemerintah, yaitu sebagai “Dana Investasi”. Dana ini kemudian dialokasikan untuk kegiatan dana infrastruktur, restrukturisasi BUMN dan pencadangan penjaminan listrik.
b. Penyertaan Modal Negara (PMN) dan Restrukturisasi BUMN.
Alokasi PMN di dalam APBN mengalami fluktuasi sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam pengelelolaan BUMN serta kinerja BUMN itu sendiri. Pada tahun 2005 dana yang dialokasikan untuk PMN sebesar Rp5,2 triliun, sebagian besar dana ini dialokasikan untuk pendirian dua institusi baru yaitu lembaga yang didirikan untuk melakukan penjaminan atas simpanan dana masyarakat yang ada diperbankan dan perusahaan yang bergerak dibidang pengembangan pendanaan perumahan. Sementara itu pada tahun 2006 dan 2007 kebijakan penyertaan modal kembali dipergunakan untuk memberikan tambahan modal bagi beberapa BUMN. Sedangkan pada tahun 2008 Pemerintah tidak mengalokasikan dana untuk PMN.
c. Dana Kontinjensi untuk PT PLN.
Dana ini merupakan dana cadangan yang dialokasikan Pemerintah untuk mengantisipasi risiko fiskal yang bersumber dari jaminan penuh yang diberikan oleh pemerintah kepada PT PLN dalam rangka pelaksanaan Proyek Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW. Pada tahun 2008, dana yang dialokasikan untuk dana kontinjensi ini sebesar Rp323,1 miliar.
I . 2 . 6 . Pembiayaan Melalui Nonutang Tahun 2009
Pembiayaan anggaran yang bersumber dari nonutang pada tahun anggaran 2009 secara umum terdiri atas dua sumber, yaitu: (i) perbankan dalam negeri yang berasal dari setoran rekening dana investasi (RDI) dan pelunasan piutang negara, dan (ii) nonperbankan dalam negeri yang berasal dari penerimaan privatisasi BUMN, penjualan aset, dan dana investasi pemerintah dan restrukturisasi BUMN.
a. Rekening Dana Investasi.
Pada prinsipnya, seluruh saldo yang terdapat dalam RDI akan disetorkan ke APBN dalam rangka membantu pengelolaan keuangan negara. Dalam RAPBN 2009, setoran RDI yang masuk dalam kategori PNBP direncanakan sebesar Rp1,5 triliun (65 persen dari total RDI tahun 2009) dan setoran RDI yang masuk sebagai pembiayaan direncanakan sebesar Rp0,7 triliun atau 26 persen dari total RDI tahun 2009.
I . 2. 7. Pembiayaan Melalui Penjualan Aset.
Sesuai dengan Anggaran Dasar Perusahaan, PT PPA (Persero) akan berakhir masa tugasnya pada bulan Februari 2009. Terkait dengan pengakhiran masa tugas tersebut, pemerintah dan DPR meminta PT PPA (Persero) untuk mempersiapkan dan menempuh langkah pengakhiran bersama-sama dengan Departemen Keuangan dan Kementerian Negara BUMN dalam rangka mempertanggungjawabkan pengelolaan asset eks BPPN oleh PT PPA secara transparan dan akuntabel.
Oleh karena itu, PT PPA (Persero) telah melakukan persiapan pengakhiran tugas perusahaan dan berkoordinasi dengan instansi terkait, antara lain:
Berkoordinasi secara intensif dengan Departemen Keuangan, dengan melaksanakan proses transfer of asset dan transfer of knowledge yang saat ini masih berlangsung, sehingga direncanakan pada bulan September 2008 aset negara yang dikelola PT PPA sudah dapat dikembalikan seluruhnya kepada Menteri Keuangan.
Persiapan internal terkait dengan proses kearsipan, dokumentasi pelaporan pertanggungjawaban, dan persiapan lainnya.
Dengan kondisi tersebut di atas, selama masa peralihan dari PT PPA ke Pemerintah c.q. Departemen Keuangan, pada tahun 2009 Pemerintah masih mentargetkan untuk memperoleh penerimaan sebesar Rp565,0 miliar yang berasal dari penjualan aset, yang akan diperoleh diantaranya dari hasil penagihan aset kredit yang saat ini diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).
a. Privatisasi.
Kebijakan privatisasi tahun 2009 diarahkan bukan semata-mata untuk pemenuhan pembiayaan APBN, tetapi lebih diutamakan untuk mendukung pengembangan perusahaan dengan metode utama melalui penawaran umum di pasar modal. Di samping itu juga untuk lebih mendorong penerapan prinsip-prinsip good corporate governance. Privatisasi yang dilakukan tidak melalui metode penawaran umum lewat pasar modal, akan dilakukan dengan sangat selektif dan hati-hati. Metode ini terutama digunakan untuk BUMN-BUMN yang memerlukan pendanaan yang tidak diperoleh/dipenuhi dari pasar modal dan/atau pemerintah serta memerlukan peningkatan kompetensi teknis, manajemen dan pemasaran.
Pada tahun anggaran 2009 Pemerintah menargetkan penerimaan dari hasil privatisasi BUMN sebesar Rp1,0 triliun.
I . 2 . 8 Pembiayaan Melalui Utang
Secara garis besar sumber pembiayaan melalui utang berasal dari utang dalam negeri dan utang luar negeri. Komponen utang dalam negeri berupa penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto di pasar domestik, baik surat berharga konvensional maupun surat berharga berbasis syariah. Dalam tahun 2009 terbuka alternatif bagi Pemerintah untuk melakukan pinjaman dalam negeri, yang dapat digunakan untuk pembiayaan kegiatan. Sedangkan komponen utang luar negeri terdiri dari penerbitan SBN valas, baik surat berharga konvensional maupun surat berharga berbasis syariah, dan penarikan pinjaman luar negeri.
Pada masing-masing kelompok tersebut diperhitungkan juga jumlah pembayaran pokok yang jatuh tempo, baik sebagai cicilan bagi pinjaman luar negeri maupun pelunasan (redemption) bagi SBN di pasar dalam negeri.
Penerbitan SBN di pasar domestik direncanakan berasal dari penerbitan Obligasi Negara (ON) dengan jangka waktu lebih dari satu tahun, maupun surat perbendaharaan Negara (SPN) dengan jangka waktu sampai dengan satu tahun. Saat ini di pasar dalam negeri, ON yang diterbitkan mencakup ON dengan tingkat bunga tetap (fixed rate), tingkat bunga mengambang (variable rate), ON tanpa kupon, dan Obligasi Negara Ritel (ORI). Tenor untuk ON tanpa kupon dan ORI adalah antara 2-5 tahun, sedangkan FR dapat mencapai 30 tahun. Di pasar domestik, sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, Pemerintah dapat menerbitkan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), yang dapat diterbitkan dalam berbagai struktur kontrak (akad) antara lain sewa hak atas aset (ijarah), kerjasama penyediaan modal (mudarabah), kerjasama penggabungan modal (musyarakah) dan jual beli aset sebagai obyek pembiayaan (istishna’). Pengembangan instrumen pembiayaan berbasis syariah ini dilakukan sebagai bagian dari upaya pengembangan instrumen utang, perluasan basis investor, dan peningkatan kapasitas pembiayaan. Dalam tahap awal, Pemerintah akan lebih memprioritaskan pembiayaan dengan kontrak al-ijarah (sewa-menyewa) yang mensyaratkan adanya underlying asset. Walaupun terbuka untuk melakukan transaksi penerbitan dengan akad mudarabah, musyarakah dan istisna’, namun ketiga instrument tersebut akan digunakan bila seluruh prakondisi, persyaratan dan infrastruktur peraturan yang mendukung telah tersedia.
Di pasar internasional, penerbitan SBN direncanakan berasal dari penerbitan Obligasi Negara valas dan SBSN valas. Berkenaan dengan obligasi negara valas konvensional, terbuka kemungkinan untuk menerbitkan dalam mata uang selain USD seperti Euro atau Yen. Penerbitan SBN valas dalam mata uang selain USD tersebut dapat dilakukan sepanjang persyaratannya memungkinkan untuk dipenuhi, namun sudah barang tentu setelah memperhitungkan biaya, risiko, dan pertimbangan lainnya. Dalam hal penerbitan SBN valas dilakukan dalam mata uang USD, walaupun Pemerintah sudah menjadi penerbit yang cukup reguler (frequent issuer), namun penerbitan untuk investor Amerika, akan tetap ditawarkan hanya kepada investor institusi (qualified institutional buyer, QIB), dan belum menerbitkannya secara public offering. Struktur penerbitan SBSN di pasar internasional, sama halnya dengan di pasar domestik, akan dilakukan dengan akad al-ijarah.
Pada tahun 2009, Pemerintah memiliki satu alternatif pembiayaan yang berasal dari pinjaman dalam negeri. Pinjaman dalam negeri merupakan pinjaman untuk pembiayaan kegiatan (proyek) yang memenuhi persyaratan tertentu berupa kegiatan pembangunan infrastruktur yang menjadi prioritas kementerian negara/lembaga untuk memanfaatkan industri dalam negeri. Pinjaman dalam negeri pada prinsipnya dapat bersumber dari BUMN Perbankan dalam negeri dan Pemerintah Daerah. Pinjaman dalam negeri dilakukan terutama untuk mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman komersial luar negeri dan mendorong substitusi komoditas industri dalam negeri.
Pinjaman luar negeri meliputi penarikan pinjaman program, yaitu pinjaman luar negeri dalam valuta asing yang dapat dikonversikan ke rupiah dan digunakan untuk membiayai kegiatan umum atau belanja pemerintah, dan pinjaman proyek yaitu pinjaman luar negeri yang penggunaannya sudah melekat pada (earmark dengan) kegiatan tertentu Pemerintah yang dilaksanakan oleh kementerian negara/lembaga. Dalam realisasi pencairannya, pinjaman program akan dilakukan setelah persyaratan yang tertuang dalam perjanjian pinjaman dipenuhi, misalnya dalam bentuk policy matrix atau trigger policy. Pada tahun 2009 pinjaman program direncanakan bersumber dari Asian Development Bank (ADB), World Bank, Jepang melalui JBIC, dan Perancis melalui Agence Française de Développement (AFD). Sejak tahun 2008, World Bank memberikan pinjaman program yang bersifat penggantian pembiayaan kegiatan (refinance), dimana persyaratan pencairan dari pinjaman program adalah telah dilaksanakannya suatu kegiatan tertentu yang telah disepakati sebagai prasyarat (trigger).
Pinjaman proyek selain digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan tertentu pada kementerian negara/lembaga, juga akan digunakan untuk penerusan pinjaman kepada BUMN atau Pemerintah Daerah. Pinjaman proyek selain diperoleh dari lembaga keuangan multilateral maupun bilateral (diantaranya ADB, World Bank, Islamic Development Bank (IDB), JBIC, Kreditanstalt fur Wiederaufbau (KfW)) juga dapat diperoleh dari lembaga keuangan komersial. Dilihat dari persyaratannya, pinjaman proyek dapat bersifat concessional, non concessional, dan komersial. Porsi pinjaman komersial luar negeri secara bertahap akan semakin dikurangi dan pengadaannya akan dilakukan secara selektif, yaitu hanya untuk pembiayaan pengadaan barang yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri.
Dalam hal pembiayaan pengadaan barang, Pemerintah mempunyai diskresi untuk menentukan alternatif sumber pembiayaan yang paling efisien dengan risiko yang minimal. Pinjaman dari multilateral dan bilateral diupayakan untuk semaksimal mungkin memiliki persyaratan yang lunak (concessional) dengan tingkat bunga rendah dan jangka waktu panjang. Pada kenyataannya, seiring dengan perbaikan rating dan fundamental ekonomi, Indonesia akan makin sulit untuk memperoleh pinjaman lunak dari luar negeri, terutama yang berasal dari lembaga pinjaman multilateral. Sejak tahun 2008 Indonesia tidak lagi dapat memperoleh pinjaman dari World Bank, Asian Development Bank dan Islamic Development Bank yang memiliki term lunak (concessional), mengingat tingkat pendapatan perkapita Indonesia dalam standard lembaga multilateral tersebut masuk kategori Negara berpenghasilan menengah. Sebagai konsekuensi terhadap kondisi ini, maka pinjaman luar negeri yang dilakukan, harus dimanfaatkan pada sektor dan kegiatan pembangunan yang produktif dan investasi yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.
I . 3. Struktur Pembiayaan Nonutang
Struktur pembiayaan anggaran yang bersumber dari nonutang pada tahun anggaran 2009 direncanakan melalui dua sumber:
1. Perbankan dalam negeri, yang berasal dari setoran rekening dana investasi (RDI) dan pelunasan piutang negara yang ada pada Pertamina sebesar Rp9,8 triliun.
2. Non perbankan dalam negeri yang berasal dari:
a. Penerimaan privatisasi BUMN direncanakan sebesar Rp1,0 triliun;
b. Penjualan aset direncanakan sebesar Rp565,0 miliar;
c. Dana investasi pemerintah dan restrukturisasi BUMN direncanakan sebesar negative Rp13,1 triliun, yang akan dialokasikan untuk:
i. Investasi pemerintah sebesar Rp1,0 triliun
ii. Penyertaan modal Negara dan restrukturisasi BUMN direncanakan sebesar Rp11,1 triliun
iii. Dana kontinjensi untuk PT PLN (Persero) direncanakan sebesar Rp1,0 triliun.
Postur dari struktur pembiayaan nonutang untuk tahun anggaran 2009 disajikan pada Tabel VI.4.
I . 4 . Struktur Pembiayaan Utang
Struktur pembiayaan yang berasal dari utang pada tahun 2009 direncanakan melalui:
1. Pembiayaan Utang Dalam Negeri, yang terdiri dari:
a. Penerbitan Surat Berharga Negara dalam negeri neto sebesar Rp58,3 triliun yang berasal dari penerbitan SBN yang terdiri dari Obligasi Negara, SPN dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) di pasar domestik;
b. Penarikan pinjaman dalam negeri, dalam RAPBN belum direncanakan mengingat belum ada kegiatan yang akan dilaksanakan dalam tahun 2009 memenuhi syarat dan ketentuan untuk dapat dibiayai dengan pinjaman dalam negeri.
2. Pembiayaan Utang Luar Negeri, yang terdiri dari:
a. Penerbitan Surat Berharga Negara valuta asing (valas) sebesar Rp36,4 triliun yang berasal dari penerbitan SBN dan SBSN di pasar internasional;
b. Penarikan pinjaman luar negeri sebesar Rp46,0 triliun yang berasal dari penarikan pinjaman program sebesar Rp21,2 triliun dan pinjaman proyek sebesar Rp24,9 triliun;
c. Pembayaran cicilan pokok utang luar negeri sebesar Rp59,6 triliun.
Secara neto pembiayaan yang bersumber dari utang dalam tahun 2009 direncanakan kan mencapai Rp81,1 triliun. Struktur pembiayaan utang disajikan dalam Tabel VI.5. berikut.
Mengikuti ketentuan Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, target pembiayaan melalui Surat Berharga Negara (SBN) tiap tahun disajikan dalam jumlah tambahan nilai bersih (neto). Hal ini terutama dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada Pemerintah agar dapat menerbitkan dan/atau membeli kembali utang baik untuk pengelolaan portofolio dan risiko maupun untuk pengembangan pasar serta mengakomodasi dinamika yang terjadi di pasar keuangan. Secara bruto (gross) berapapun jumlahnya, Pemerintah dapat menerbitkan SBN sepanjang jumlah neto SBN yang diterbitkan selama tahun 2009 tidak melampaui jumlah maksimal yang telah mendapatkan persetujuan DPR dengan tetap memperhatikan tingkat biaya dan risiko yang terkendali. Persetujuan DPR tersebut hanya terbatas pada jumlah tambahan nilai bersih penerbitan SBN tanpa melihatc rincian jumlah dan jenis instrumen utangnya. Hal ini salah satunya bertujuan untuk memberikan fleksibilitas bagi Pemerintah dalam menentukan komposisi jumlah dan jenis instrumen utang yang akan diterbitkan, dengan tetap memperhatikan kondisi pasar. Pada akhir tahun Pemerintah akan melaporkan dan mempertanggungjawabkan pada DPR secara lebih terinci hasil penerbitan untuk pembiayaan yang telah dilakukan, termasuk kegiatan pengelolaan portofolio utang.
Pada masa mendatang Pemerintah memandang fleksibilitas pembiayaan yang disetujui oleh DPR tidak hanya diberlakukan pada pembiayaan SBN neto, akan tetapi hal ini juga diberlakukan terhadap tambahan nilai bersih pembiayaan utang secara keseluruhan mengingat pembiayaan melalui utang yang semakin dominan. Untuk itu, diperlukan suatu tingkat fleksibilitas dalam penggunaan instrumen utang, baik surat berharga maupun pinjaman, sepanjang kebutuhan pembiayaan dapat dipenuhi pada biaya dan risiko yang terkendali. Dengan demikian Pemerintah dapat melakukan pemilihan sumber secara lebih tepat, dengan memperhitungkan dan membandingkan efisiensi biaya dan minimalisasi risiko sehingga pada akhirnya pengelolaan utang dapat dilakukan secara optimal dalam mengakomodasi perkembangan kondisi ekonomi makro dan pasar keuangan yang dinamis.
I . 5 . Tren Pembiayaan Anggaran
Dalam kurun waktu 2004-2008 pembiayaan defisit menunjukkan pola yang konsisten dimana pembiayan nonutang menunjukkan pola yang menurun bahkan negatif, sebaliknya pembiayaan yang bersumber dari utang (neto) meningkat secara signifikan, bahkan pembiayaan melalui penerbitan surat berharga neto jauh melampaui kebutuhan pembiayaan defisit. Hal ini menunjukkan adanya suatu kecenderungan pergeseran pola pembiayaan yang mengarah pada market financing. Tren perkembangan pembiayaan defisit dapat dilihat pada Grafik VI.7 berikut.
Pada tahun 2004 pembiayaan nonutang (neto) masih dapat memenuhi seluruh kebutuhan pembiayaan defisit. Dari kebutuhan untuk pembiayaan defisit sebesar Rp20,8 triliun, pembiayaan dari nonutang mencapai Rp42,0 triliun. Ini berarti bahwa kebutuhan untuk membayar kembali utang (neto) dapat dipenuhi dari sumber nonutang. Kondisi ini berubah pada tahun 2005 dan selanjutnya, seiring dengan makin berkurangnya jumlah asset restrukturisasi perbankan dan makin rendahnya jumlah saldo rekening pemerintah yang diakumulasikan dari kelebihan dana tunai akhir tahun anggaran sebelumnya yang dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan. Sejak tahun 2005, terjadi pergeseran sumber pembiayaan ke utang, dimana dari kebutuhan pembiayaan defisit sebesar Rp11,1 triliun, seluruhnya dipenuhi dari sumber utang, bahkan sebagian dari sumber utang, yaitu sebesar Rp1,2 triliun, digunakan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran pembiayaan nonutang karena adanya kebutuhan untuk dana investasi dukungan infrastruktur. Dalam tahun 2005 kebutuhan untuk dukungan infrastruktur mencapai Rp5,2 triliun. Pola ini terus berlanjut, bahkan dengan peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan ini ditunjukkan oleh jumlah utang neto yang meningkat dari Rp12,3 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp33,3 triliun pada tahun 2007 dan meningkat menjadi Rp104,7 triliun atau lebih dari tiga kali lipat pada tahun 2008.
Di dalam pembiayaan utang sendiri terdapat pola yang konsisten, dimana utang dalam bentuk pinjaman (non market debt) menunjukkan pola negatif atau menurun. Sementara utang yang berasal dari surat berharga (market debt) terus meningkat dan menjadi sumber untuk pembayaran kembali (refinancing) pinjaman dan pemenuhan kebutuhan defisit. Di sisi sumber penerbitan SBN, pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2005 penerbitan di pasar valuta asing masih relatif memainkan peran yang besar dibanding penerbitan (neto) di pasar domestik. Baru mulai tahun 2006, penerbitan neto di pasar domestik menunjukkan peningkatan yang berarti. Sebagai gambaran, kebutuhan pembiayaan surat berharga neto tahun 2004 dan 2005 masing-masing mencapai Rp6,9 triliun dan Rp22,6 triliun, dimana dalam dua tahun tersebut seluruh surat berharga yang jatuh tempo adalah surat berharga di pasar domestik, sementara penerbitan di pasar internasional pada tahun 2004-2005, masing-masing mencapai Rp9,0 triliun dan Rp24,5 triliun. Penerbitan di pasar internasional yang lebih tinggi ini dilakukan karena daya serap di pasar domestik masih sangat terbatas.
Hal ini mengingat perbankan yang secara alamiah merupakan pemegang surat berharga pada saat itu, lebih banyak melakukan pelepasan kepemilikan (penjualan) dan adanya krisis likuiditas di pasar domestik sebagai akibat dari terjadinya krisis di industri reksadana. Pada tahun-tahun selanjutnya terjadi pergeseran, dimana penerbitan neto di pasar domestik jauh melampaui penerbitan di pasar valuta asing. Kondisi ini selain didukung oleh likuiditas di pasar domestik, juga didukung oleh partisipasi investor asing untuk berinvestasi di SBN rupiah dan munculnya tipe investor baru yaitu investor ritel di pasar domestik. Adanya pergeseran sebagaimana diilustrasikan di atas menunjukkan bahwa daya serap pasar dan dinamika pasar merupakan faktor yang menjadi pertimbangan dalam menentukan strategi pembiayaan melalui utang. Di samping itu terdapat faktor lain yang tetap diperhatikan dalam penentuan strategi seperti pemenuhan kebutuhan pembiayaan pada biaya minimal dan risiko yang dapat ditolerir dan pencapaian struktur portofolio utang yang optimal dalam jangka panjang.
Dalam pinjaman luar negeri (non market debt) juga terjadi kecenderungan peningkatan pada pinjaman program. Pada tahun 2004, jumlah pinjaman program yang ditarik dan digunakan sebagai sumber pembiayaan mencapai Rp5,1 triliun (ekuivalen dengan USD400 juta). Jumlah tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi Rp12,3 triliun (ekuivalen dengan USD993 juta) dan Rp13,6 triliun (ekuivalen dengan USD1.300 juta) selama tahun 2005-2006. Pada tahun 2008 diperkirakan jumlah pinjaman program yang dapat ditarik mencapai USD2,750 juta, jumlah ini merupakan jumlah tertinggi yang pernah dilakukan sampai saat ini.
I . 6 . Implikasi Pembiayaan terhadap Kesinambungan Fiskal
Konsep kesinambungan fiskal secara umum mengandung pengertian akan suatu kondisi dimana struktur APBN secara dinamis mampu menjalankan fungsi sebagai katalisator dan stabilisator perekonomian serta mampu memenuhi berbagai kebutuhan belanja atau kewajiban secara aman dalam jangka panjang. Indikator ketahanan fiskal ditunjukkan oleh rasio defisit APBN terhadap PDB yang berada pada tingkat yang relatif rendah atau cenderung menurun dan dapat dikelola (manageable). Kondisi tersebut disertai pula dengan semakin menurunnya rasio kewajiban jangka panjang terhadap PDB.
Pembiayaan yang bersumber dari nonutang bukanlah sumber pembiayaan yang bersifat permanen yang dalam jangka panjang dapat terus menerus digunakan, mengingat sumber pembiayaan tersebut memiliki batas. Sementara sumber pembiayaan yang berasal dari utang, merupakan sumber yang dapat terus menerus dimanfaatkan, namun dengan kompensasi tertentu dalam bentuk biaya dan risiko yang dihadapi.
Kecenderungan peningkatan sumber pembiayaan dari utang yang makin besar akan membawa konsekuensi langsung pada pengelolaan fiskal Pemerintah. Konsekuensi tersebut antara lain:
pertama, adanya kebutuhan yang makin besar terhadap alokasi belanja untuk pembayaran bunga atas utang. Secara nominal dari waktu ke waktu jumlah biaya utang yang harus dibayarkan terus menunjukan adanya peningkatan. Dalam tahun 2004 jumlah bunga yang harus dibayarkan mencapai Rp62,5 triliun. Jumlah tersebut meningkat tajam menjadi Rp79,1 triliun pada tahun 2006, dan berlanjut sehingga dalam tahun 2008 diperkirakan mencapai Rp94,8 triliun (APBN-P 2008). Agar peningkatan biaya utang tersebut tidak mengurangi peran fiskal sebagai katalisator, maka secara relatif biaya tersebut harus menunjukkan penurunan. Penurunan tersebut dapat ditunjukkan dari rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan negara, atau rasio pembayaran bunga terhadap belanja negara. Rasio tersebut harus terus diupayakan untuk menurun. Penurunan rasio belanja bunga yang juga diimbangi dengan penurunan rasio belanja mengikat lainnya (nondiscretionary) seperti subsidi dan belanja rutin operasional, akan memberikan ruang yang cukup bagi Pemerintah untuk adanya kontribusi fiskal terhadap pemenuhan investasi publik yang makin besar dan diharapkan dapat menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi;
kedua, mengingat makin besarnya peran utang terutama yang bersumber dari pasar, dan makin menurunnya tingkat kelunakan (concessionality) pinjaman yang bersumber dari lembaga multilateral dan bilateral, maka APBN dan pengelolaan fiskal cukup rentan terhadap dinamika pasar. Beberapa variabel yang dapat mempengaruhi kinerja fiskal antara lain adalah nilai tukar, tingkat bunga baik domestik maupun internasional, inflasi dan ekspektasi terhadap inflasi, serta likuiditas dan sentimen pasar. Pergerakan variabel-variabel tersebut akan dapat memberikan tekanan pada fiskal baik pada biaya yang harus ditanggung apabila tingkat bunga meningkat, pelemahan nilai tukar dari mata uang pinjaman yang outstanding, dan kenaikan inflasi yang mendorong kenaikan suku bunga. Ekspektasi terhadap inflasi, yang walaupun belum terjadi, dapat memberikan tekanan yang besar pada fiskal terutama karena ekspektasi inflasi dapat mendorong meningkatnya kurva imbal hasil (yield curve) yang akan mengakibatkan terjadinya price-in yang ditunjukkan oleh peningkatan bunga terhadap pinjaman/penerbitan baru SBN;
ketiga, makin sulitnya memperoleh pinjaman yang memiliki tingkat kelunakan yang tinggi maka mendorong Pemerintah mencari dari sumber pasar modal, baik untuk menutup deficit maupun membayar kembali utang (refinancing). Kebutuhan refinancing yang makin besar harus diimbangi dengan kapasitas pasar yang memadai untuk meng-absorbsi atau sebaliknya jumlah kebutuhan pembiayaan harus mampu mempertimbangkan kapasitas pasar, terutama bila pasar dalam negeri menjadi tujuan utama. Dengan demikian, untuk mengimbangi kebutuhan pembiayaan maka pengembangan pasar modal dan pasar keuangan, yang diiringi dengan peningkatan kapasitas dan pembangunan industri keuangan, termasuk ketersediaan infrastruktur yang mendukung merupakan suatu keharusan. Hal ini dimaksudkan agar terjadi pasar keuangan yang cukup sehat, dalam dan likuid.
keempat, biaya utang yang meningkat dan harus dibayar tepat pada waktunya, interaksi pasar yang cukup intens karena tuntutan kebutuhan pembiayaan sehingga penerbitan harus dilakukan sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan dimaksud dan pada saat yang sama harus menjaga keseimbangan ketersediaan SBN di pasar termasuk untuk dilakukannya refinancing utang, memberi konsekuensi diperlukannya pengelolaan kas yang makin baik. Kehandalan proyeksi arus kas, optimalisasi biaya pengelolaan kas (opportunity cost) juga merupakan faktor yang menentukan kontribusi pembiayaan terhadap kesinambungan fiskal.
Seluruh hal tersebut menjadi pertimbangan Pemerintah untuk menjaga terjadinya kesinambungan fiskal dalam pemenuhan kebutuhan pembiayaan. Dalam operasionalisasinya, diperlukan pengelolaan utang dan pengelolaan kas yang efisien, yang terkoordinasi dengan baik yang mampu menjamin ketersediaan kebutuhan pembiayaan secara tepat waktu, dengan biaya yang minimal.
Dominannya peran pembiayaan utang melalui SBN memerlukan pengelolaan utang yang memadai dan diimbangi dengan upaya pengembangan kapasitas pasar SBN yang optimal. Apabila hal tersebut tidak dilakukan maka penggunaan utang sebagai sumber pembiayaan yang semakin besar akan berakibat, antara lain, pada: (i) terjadinya crowding-out bila kapasitas permintaan (demand) pasar modal domestik belum mampu untuk menyerap seluruh penawaran (supply) SBN baik untuk tambahan pembiayaan maupun untuk kebutuhan refinancing utang yang jatuh tempo. Hal ini dapat menyebabkan kenaikan biaya utang (imbal hasil/yield) atau penurunan harga pasar SBN. Bagi korporasi, tingginya supply SBN dan kenaikan imbal hasil SBN berdampak pada meningkatnya kesulitan dalam mencari sumber pembiayaan dari pasar modal dan meningkatnya imbal hasil yang diminta investor obligasi korporasi, karena SBN menjadi referensi pembentukan harga obligasi korporasi terutama yang memiliki peringkat kredit lebih rendah dari SBN; (ii) pasar SBN menjadi rentan terhadap terjadinya pembalikan modal bila terjadi turbulensi di pasar keuangan.
Keterbukaan pasar modal Indonesia di satu sisi memberikan keuntungan karena akan menciptakan likuiditas dan kompetisi, serta menunjukkan tingkat kepercayaan investor pada Indonesia. Namun dalam kondisi pasar yang kurang stabil, investor asing yang memiliki kemampuan lebih luas dalam membaca situasi pasar, dan kemampuan untuk memindahkan serta mengubah penempatan portofolio, akan lebih mudah melakukan pembalikan (reversal). Pembalikan ini apabila belum didukung oleh basis investor dalam negeri yang kuat akan berakibat pada penurunan kinerja pasar obligasi. Sampai dengan akhir semester I 2008 jumlah investasi yang dilakukan oleh investor asing pada SBN mencapai lebih dari Rp94 triliun atau 18,0 persen dari total SBN yang dapat diperdagangkan; dan (iii) apabila terjadi peningkatan supply, dan pasar tidak mampu lagi untuk meng-absorbsi atau pasar meminta premi yang lebih besar, dapat mendorong munculnya persepsi publik yang negative terhadap kapasitas Pemerintah untuk membayar utang, yang akan tercermin dalam sovereign credit rating RI.
II . Strategi Pengelolaan Utang
Pengelolaan utang dilakukan dengan tujuan agar dalam jangka panjang dapat dicapai biaya utang yang minimal dengan tingkat risiko yang terkendali, memerlukan strategi yang terarah dan mampu digunakan sebagai pengukuran kinerja. Secara garis besar, strategi yang ditetapkan oleh Pemerintah mengarah pada tujuan pengelolaan utang yang dapat:
(i) menjamin terpenuhinya kebutuhan pembiayaan secara efisien dan mendukung kesinambungan fiskal;
(ii) (ii) menjaga agar pengelolaan dilakukan secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel sehingga dapat menjaga prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang terutama untuk meminimalkan risiko; dan
(iii) mengembangkan upaya-upaya agar pinjaman yang sudah direncanakan dapat dilaksanakan sesuai jadwal dan sesuai dengan perkiraan biaya.
Dalam penyusunan strategi utang, Pemerintah akan memperhatikan dan memasukan berbagai faktor baik eksternal maupun internal yang secara langsung maupun tidak langsung menjadi bahan pertimbangan yang akan mempengaruhi strategi yang ditempuh. Faktorfaktor yang mempengaruhi strategi yang ditempuh antara lain adalah:
(i) posisi dan struktur utang saat ini,
(ii) kebutuhan pembiayaan yang harus dipenuhi,
(iii) daya dukung operasional dalam pengelolaan utang,
(iv) kondisi pasar baik global maupun domestik,
(iv) aturan-aturan yang mendukung baik terkait dengan instrumen, aturan pasar dan aturan yang mengatur investor dan investasi, dan lain-lain,
(v) (vi) status kemajuan dari beberapa hal terkait dengan pengelolaan utang seperti komitmen utang, rencana penarikan utang, perjanjian penundaan utang, dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut bersifat dinamis dan berkembang, yang perlu direspon secara periodik dengan meninjau kembali strategi dan membuat penyesuaian terhadap strategi tersebut agar tetap berada pada upaya untuk pencapaian tujuan.
Dalam lima tahun terakhir, meskipun secara persentase terhadap PDB utang menunjukkan besaran yang cenderung semakin menurun, namun secara nominal jumlah utang Pemerintah terus mengalami peningkatan. Peningkatan nominal utang dipengaruhi oleh:
(i) penambahan utang neto , dan
(ii) perubahan berbagai nilai tukar dari utang yang dimiliki.
Kecenderungan peningkatan pembiayaan melalui utang sudah barang tentu akan secara nominal meningkatkan jumlah utang pemerintah. Kebutuhan pembiayaan yang bersumber dari utang neto yang meningkat telah berakibat pada peningkatan outstanding utang dari Rp1.294,8 triliun pada tahun 2004 dan secara gradual meningkat menjadi Rp1.465,1 triliun pada bulan Juni 2008. Walaupun terjadi peningkatan dalam posisi utang, namun secara relatif rasio utang terhadap PDB mengalami penurunan. Penurunan ini juga diimbangi dengan penurunan komposisi utang dalam valuta asing dari 50 persen pada akhir tahun 2004 menjadi 47 persen pada akhir tahun 2007. Masalah yang masih dihadapi saat ini adalah pada struktur jatuh tempo, yang masih cukup tinggi hingga beberapa tahun ke depan.
Dengan melihat kondisi portofolio, pengelolaan utang akan lebih diarahkan untuk menyeimbangkan struktur utang baik dari sisi komposisi nilai tukar, maupun dari sisi struktur jatuh temponya. Pemenuhan kebutuhan pembiayaan akan diarahkan pada tujuan tersebut secara konsisten dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi. Melihat kondisi tersebut, dalam upaya menyeimbangkan struktur portofolio, maka pemenuhan kebutuhan pembiayaan yang dapat menambah posisi (outstanding) utang, diupayakan semaksimal mungkin diperoleh dari sumber-sumber dalam negeri. Dari sisi struktur jatuh tempo, dengan melihat kondisi saat ini, tambahan kebutuhan pembiayaan akan semaksimal mungkin diupayakan dapat dipenuhi dari utang dengan tenor yang panjang. Keseimbangan dalam struktur tersebut akan dilakukan dengan tetap memperhatikan biaya yang diperlukan agar efisensi pengelolaan utang dapat dicapai.
Dalam konteks pengelolaan SBN, upaya yang dapat mendukung pencapaian struktur portofolio dilakukan dengan:
(i) Memperkaya jenis instrumen yang mampu mendukung kebutuhan investasi dari kelompok investor yang beragam,
(ii) Mendukung pembangunan infrastruktur pasar yang dapat mendukung aktivitas dan likuditas perdagangan dan efisiensi pasar, dan
(iii) Menganalisis potensi permintaan secara lebih cermat dan memanfaatkan setiap momentum pasar yang terbuka yang sejalan dengan pencapaian tujuan pengelolaan.
Momentum pasar yang terbuka diantaranya dapat dimanfaatkan untuk melakukan penukaran utang (debt switch) dalam rangka restrukturisasi utang jatuh tempo.
Dalam konteks pengelolaan pinjaman luar negeri, pencapaian struktur portofolio untuk pembiayaan melalui pinjaman saat ini baru dilakukan dengan melihat pilihan yang terbuka dan dapat dinegosiasikan terutama terkait dengan tingkat kelunakan (concessionality) pinjaman, pilihan jenis bunga yang tersedia, pilihan nilai tukar yang ditawarkan, pilihan pola pelunasan, atau pilihan lain misalnya konversi nilai tukar. Dalam hal pinjaman kegiatan (project loan), upaya untuk mempercepat penarikan dengan menerapkan readiness criteria yang tegas juga akan sangat mendukung upaya pencapaian efisiensi pengelolaan utang.
Sementara, untuk pinjaman yang sudah outstanding, pengelolaan portofolio dapat dilakukan dengan upaya restrukturisasi pinjaman, penyederhanaan komposite nilai tukar terutama untuk pinjaman dalam nilai tukar Special Drawing Rights (SDR), dan memanfaatkan tawaran yang sekiranya favourable seperti melakukan debt swap dengan lender.
II . 1 . Gambaran Umum
Sampai dengan akhir semester I tahun 2008 jumlah sementara utang negara mencapai USD158,82 miliar atau ekuivalen Rp1.465,1 triliun, yang terdiri atas pinjaman luar negeri sebesar USD63,17 miliar (ekuivalen dengan Rp582,7 triliun) dan Surat Berharga Negara Rupiah sebesar Rp779,0 triliun dan surat berharga dalam valuta asing USD11,2 miliar (ekuivalen Rp103,3 triliun).
Selama kurun waktu 2004 – 2008 baik dalam nilai ekuivalen USD maupun rupiah, jumlah utang menunjukkan kenaikan sebagai akibat meningkatnya pembiayaan defisit melalui utang. Pelemahan USD terhadap beberapa mata uang dunia seperti JPY dan EUR, akhirakhir ini, juga memberikan dampak pada jumlah ekuivalen pinjaman Indonesia yang mata uang pinjamannya (original currency) berdenominasi JPY dan EUR. Dampak tersebut terlihat pada saat pinjaman dalam original currency tersebut dikonversi menjadi USD dan Rupiah, yang berkontribusi pada peningkatan nilai rupiah utang Pemerintah. Dalam nilai ekuivalen rupiah, selama tahun 2007 sampai dengan semester I 2008 jumlah pinjaman luar negeri meningkat. Hal ini akibat apresiasi mata uang JPY, EUR, dan GBP terhadap USD, masing-masing sebesar 5,12 persen, 7,99 persen dan 0,30 persen. Pengaruh apresiasi JPY, terhadap outstanding sangat signifikan mengingat sekitar 40 persen dari pinjaman luar negeri Indonesia adalah dalam bentuk JPY.
Kecenderungan lain yang nampak dalam kurun waktu tersebut adalah terjadinya pergeseran komposisi instrumen utang. Persentase utang melalui pinjaman luar negeri (nonmarket debt) mengalami kecenderungan penurunan pada periode 2004-2008 sebagai dampak dari semakin menurunnya kegiatan yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri, disamping karena negative net additional external loans, akibat jumlah pinjaman yang jatuh tempo jauh melampaui jumlah pinjaman baru yang dilakukan.
Pada periode yang sama, tahun 2004 - 2007, instrumen utang melalui pasar (SBN) mengalami peningkatan baik dari nilai maupun persentase terhadap total utang. Hal tersebut sejalan dengan peningkatan penggunaan SBN sebagai sumber utama pembiayaan defisit APBN secara terus menerus.
Secara persentase, peningkatan penerbitan SBN berdenominasi valas lebih tinggi dibanding SBN berdenominasi Rupiah, meskipun porsi outstanding SBN berdenominasi Rupiah masih sangat dominan dibanding total SBN. Dari gambaran ini juga nampak bahwa pinjaman luar negeri yang jatuh tempo di-refinance dengan pinjaman yang bersumber dari penerbitan valuta asing, sehingga terjadi natural hedging dalam pengelolaan utang.
Dari sisi struktur mata uang utang Indonesia, nampak bahwa sebagian besar pinjaman yang berdenominasi valuta asing cukup terkonsentrasi pada 4 (empat) mata uang utama yaitu JPY, USD, EUR, dan GBP. Oleh karena itu posisi utang equivalen yang dinilai dalam rupiah, sangat sensitif terhadap pergerakan keempat mata uang tersebut. Sementara, kurang dari 5 persen dari total utang Indonesia menggunakan denominasi 11 valuta asing lainya seperti Australia dollar, Korea Won, China Reminbi, SDR dan lain-lain. Walaupun terdapat kerentanan terhadap pergerakan nilai tukar, konsentrasi pada beberapa mata uang tersebut sedikit banyak memudahkan untuk pengelolaan utang, terutama dalam mengelola risiko nilai tukar.
Hal yang perlu dicermati adalah peningkatan komposisi utang pemerintah dalam denominasi USD, yang meningkat cukup tinggi terutama pada tahun 2005, 2007 dan posisi sampai dengan semester I 2008. Kecenderungan meningkatnya porsi USD ini terutama disebabkan penerbitan SBN berdenominasi USD dalam jumlah yang cukup signifikan.
Sejak tahun 2005 penerbitan SBN dalam valuta asing rata-rata mencapai jumlah di atas USD2,0 miliar per tahunnya, sehingga pembayaran kembali pinjaman luar negeri tidak diikuti dengan penurunan utang dalam USD.
Secara keseluruhan, apabila dilihat dari komposisi utang menurut nilai tukar (rupiah dan valuta asing) menunjukkan adanya pergeseran dari utang dalam valuta asing ke utang dalam rupiah. Hal ini sejalan dengan stategi yang ditempuh untuk secara bertahap mengurangi utang dalam valuta asing.
Walaupun peningkatan nilai nominal utang yang terjadi selama kurun waktu lima tahun terakhir cukup tinggi, namun peningkatan tersebut masih berada pada tingkat yang relative aman, bila dilihat dari ketahanan fiskal, yang ditunjukkan oleh rasio utang terhadap PDB yang secara konsisten menunjukkan penurunan, sebagaimana nampak dalam Grafik VI.8.
Dalam tahun 2004 rasio utang masih berada pada tingkat 56 persen terhadap PDB. Dalam kurun waktu empat tahun, hingga akhir tahun 2008, rasio utang terhadap PDB diperkirakan akan turun hingga level 33 persen terhadap PDB. Peningkatan utang secara nominal, yang diimbangi dengan penurunan rasio utang terhadap PDB, tingkat pertumbuhan ekonomi yang stabil, nilai tukar yang relatif stabil dan inflasi serta tingkat bunga yang terkendali, memberikan indikasi bahwa perekonomian masih cukup kuat memenuhi kewajiban atas utang. Diperkirakan pada akhir tahun 2009 rasio utang terhadap PDB akan semakin menurun hingga berada pada level di bawah 30 persen terhadap PDB.
Dari posisi utang sebagaimana nampak dalam Grafik VI.9, bahwa sampai dengan 5 tahun kedepan kewajiban untuk membayar kembali utang sesuai jatuh temponya cukup tinggi ratarata sekitar Rp89,2 triliun per tahun. Melihat pada kondisi tersebut, maka dalam 5 tahun ke depan risiko pembayaran kembali utang (refinancing) relatif tinggi. Bagian terbesar dari utang yang harus dibayarkan adalah utang dalam valuta asing, sehingga kerentanan terhadap nilai tukar dapat menambah beban pembayaran kembali pokok utang. Tingginya refinancing ini juga menambah tantangan pada pengelolaan utang mengingat utang yang jatuh tempo merupakan pinjaman yang berasal dari non-market. Melihat tren pembiayaan melalui utang, dimana SBN menyediakan sumber bagi pembiayaan kembali utang luar negeri, maka kapasitas pengelolaan, kapasitas pasar, kinerja perekonomian harus mendukung agar risiko yang ada dapat dikelola dengan baik.
Salah satu langkah yang dapat diambil dalam pengelolaan utang saat ini dalam mengendalikan risiko refinancing tersebut antara lain melakukan pengurangan (smoothing-out) jumlah utang pada periode puncak melalui pertukaran utang (debt switch), dalam hal terdapat kelebihan dana tunai tahun berjalan dapat dilakukan pembelian kembali (buyback) untuk mengurangi pokok utang yang jatuh tempo dalam jangka pendek, dan mengimbangi dengan penerbitan SBN dengan jangka panjang. Di sisi pinjaman luar negeri, semaksimal mungkin akan diupayakan untuk melakukan negosiasi terhadap masa tenggang (grace period) terutama untuk pinjaman baru, sehingga pembayaran cicilan pokok akan melampaui periode kritis tersebut, apabila tersedia kemungkinan dapat dilakukan pemilihan metode amortisasi terhadap pinjaman baru, dan melakukan kajian atas tawaran untuk merestrukturisasi utang, atau melakukan pengurangan utang melalui debt swap.
47 %
39%
35% 33%
Di samping terekspos dengan pergerakan nilai tukar, posisi portofolio utang saat ini juga cukup terekspos dengan pergerakan tingkat bunga. Sekitar 24,9 persen dari utang pemerintah memiliki bunga mengambang (floating), yang menggunakan berbagai referensi bunga pasar, seperti SBI untuk utang dalam negeri, LIBOR, EURIBOR atau referensi lain yang disesuaikan kembali (reset) secara periodik. Adanya utang yang secara periodik di-reset sesuai dengan suku bunga referensi ini mengakibatkan adanya risiko tingkat bunga dalam pengelolaan utang. Apabila kondisi (environment) tingkat bunga cenderung menurun maka akan menguntungkan Indonesia dan begitupun sebaliknya. Dengan kata lain, utang yang menggunakan referensi tingkat bunga mengambang, pada tingkat tertentu memberikan ketidakpastian (uncertainty) bagi Pemerintah dalam memperkirakan besarnya kewajiban.
Namun demikian, tidak berarti utang dengan tingkat bunga tetap akan memberikan beban yang lebih rendah bagi Pemerintah. Utang yang diterbitkan atau disepakati dengan tingkat bunga tetap ketika environment tingkat bunga tinggi, dapat memberikan biaya yang lebih mahal, terutama ketika environment tingkat bunga bergerak cenderung menurun.
Melihat kenyataan tersebut, penerbitan surat berharga atau pengadaan pinjaman dengan tingkat bunga tetap masih merupakan strategi yang hendak ditempuh. Dalam kaitannya dengan penerbitan SBN, penerbitan surat berharga dengan tingkat bunga tetap akan menjadi prioritas, mengingat imbal hasil SBN dengan suku bunga tetap yang dapat diperdagangkan di pasar sekunder akan menjadi referensi pasar bagi pembentukan harga (benchmark).
Pada masa yang akan datang, agar pengelolaan utang dapat dilakukan secara efisien, perlu ditempuh mekanisme untuk melakukan praktik lindung nilai (hedging) terhadap kewajiban portofolio utang pemerintah. Praktik tersebut dapat dilakukan melalui transaksi pertukaran (swap) maupun kontrak pembelian forward terutama untuk memberikan kepastian terhadap kewajiban utang dalam valuta asing. Swap dapat dilakukan terutama dengan interest rate swap, yaitu dalam kondisi suku bunga yang volatile dan menuju pada peningkatan dapat dilakukan pertukaran antara kewajiban utang dengan tingkat bunga mengambang dengan pelaku pasar yang memiliki kewajiban dengan tingkat bunga tetap dengan biaya (swap rate) tertentu, dan sebaliknya.
Dalam pengelolaan utang, selain mempertimbangkan kondisi portofolio dan risiko utang pemerintah, hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengukuran ketahanan fiskal melalui efisiensi utang baik dari sisi pengelolaannya maupun penggunaannya. Beberapa indikator ketahanan fiskal yang dapat digunakan selain perkembangan rasio terhadap PDB, adalah rasio pembayaran pokok dan bunga terhadap PDB, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan negara dan rasio pembayaran bunga terhadap belanja negara.
Parameter untuk mengukur kapasitas perekonomian untuk membayar kembali utang (debt capacity) tanpa menggangu ketahanan perekonomian adalah rasio pembayaran pokok dan bunga utang terhadap PDB. Rasio kewajiban utang terhadap PDB menjadi indikator atas relative efisiennya utang yang dilakukan. Dengan demikian, semakin rendah rasio kewajiban terhadap PDB, maka penurunan manfaat yang seharusnya diterima saat ini akibat telah digunakan dimasa lalu menjadi relatif rendah. Semakin rendah rasio kewajiban utang terhadap PDB, menunjukkan semakin efisien utang yang dilakukan.
Dalam perkembangannya, selama 5 tahun terakhir, rasio ini menunjukkan adanya tingkat yang relatif konsisten dari tahun ke tahun, yaitu berada sekitar 4,7 persen
terhadap PDB.
Indikator lainnya adalah rasio pembayaran kewajiban utang terhadap penerimaan negara dan terhadap belanja negara. Semakin rendah rasio pembayaran kewajiban utang terhadap penerimaan negara dan terhadap belanja negara maka ketahanan fiskal, dalam kaitannya dengan utang, akan semakin baik. Semakin rendah rasio, menunjukkan bahwa kemampuan penerimaan negara untuk memenuhi keperluan yang lain selain utang akan semakin besar, sehingga fungsi kebijakan fiskal sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dapat lebih dimaksimalkan. Dalam beberapa tahun
terakhir walaupun relatif kecil, rasio tersebut cenderung menunjukkan penurunan. Hal ini berarti bahwa ruang untuk kebijakan fiskal Pemerintah memberikan stimulus dan melakukan investasi publik akan makin besar, terlebih bila diikuti dengan penurunan belanja pemerintah untuk subsidi atau nondiscretionary expenditures lainnya.
II . 2 . Pelaksanaan Pengelolaan Utang Tahun 2004 - 2008
Dalam mencapai tujuan pengelolaan utang, kebijakan pengelolaan utang berpedoman pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur bahwa jumlah kumulatif pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak melebihi 60 persen terhadap PDB tahun bersangkutan. Kebijakan pengelolaan utang dalam jangka panjang, berpedoman juga pada:
(i) penurunan rasio utang terhadap PDB secara bertahap yang dilakukan dengan mempertahankan stabilitas ekonomi makro sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi,
(ii) penetapan target tambahan utang bersih maksimal (maximum additional debt) terhadap PDB dengan kisaran kurang lebih 1 persen, dan
(iii) pengurangan secara bertahap ketergantungan pada pinjaman luar negeri.
Dalam rangka mencapai tujuan jangka panjang pengelolaan utang diperlukan beberapa upaya strategis melalui:
(1) pengurangan utang negara melalui pelunasan tunai secara bertahap;
(2) prioritas penerbitan/pengadaan utang dalam mata uang Rupiah;
(3) peningkatan porsi utang Negara dengan bunga tetap;
(4) mengutamakan pengadaan/penerbitan utang negara dengan tenor yang relatif panjang;
(5) mengupayakan penyederhanaan struktur portofolio utang negara.
Pengelolaan utang pemerintah secara umum dilakukan terhadap SBN dan pinjaman pemerintah. Pengelolaan SBN meliputi aspek pengelolaan portofolio SBN dan aspek pengembangan pasar SBN untuk meningkatkan kedalaman dan likuiditas pasar sekunder. Sedangkan pengelolaan pinjaman meliputi aspek pengelolaan portofolio dan peningkatan kualitas pengelolaan pinjaman.
Dalam pengelolaan utang, kebijakan yang dijalankan Pemerintah selama ini mencakup upaya-upaya untuk melakukan diversifikasi instrumen dan upaya untuk meminimalkan risiko-risiko yang ada (risiko nilai tukar, risiko pembiayaan kembali, risiko tingkat bunga, risiko operasional, dan lain-lain), diantaranya melalui: (1) memprioritaskan penerbitan/ pengadaan utang dalam mata uang rupiah, (2) meningkatkan porsi utang negara dengan bunga tetap (fixed rate), dan (3) mengutamakan utang berjangka waktu relatif panjang.
II . 2 . 1 . Realisasi Pembiayaan dan Pengelolaan Utang Tahun 2004 - 2007
Dalam kurun waktu 2004 – 2007 realisasi pembiayaan utang neto menunjukkan peningkatan dari sebesar negatif Rp21,2 triliun, atau terjadi pengeluaran utang neto (net
debt payment) pada tahun 2004 menjadi sebesar Rp33,3 triliun pada tahun 2007. Peningkatan tersebut terutama terjadi pada SBN, karena sejak tahun 2005, penerbitan SBN juga berperan sebagai instrumen pembiayaan bagi pembayaran kembali utang (refinancing) bagi pinjaman luar negeri. Secara bertahap penerbitan SBN neto meningkat dari Rp6,9 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp57,2 triliun pada tahun 2007, atau hampir sepuluh kali lipat.
Sementara pinjaman luar negeri secara konsisten menunjukkan penurunan secara ratarata selama empat tahun tersebut sekitar Rp22 triliun per tahun. Dalam kurun waktu 2004 - 2007 jumlah surat berharga yang telah diterbitkan mencapai Rp240,6 triliun yang terdiri dari penerbitan di pasar domestik sebesar Rp175,1 triliun dan sebesar Rp65,5triliun (ekuivalen USD7 miliar) diterbitkan di pasar internasional. Sementara jumlah surat berharga yang dilunasi, baik karena jatuh tempo atau dibeli kembali (buy back) mencapai Rp117,7 triliun. Seluruh surat berharga yang dilunasi tersebut merupakan surat berharga yang diterbitkan di dalam negeri, dan sebagian diantaranya yaitu Rp16,8 triliun adalah surat berharga yang tidak dapat diperdagangkan yang diterbitkan kepada Bank Indonesia. Dengan demikian, secara neto pembiayaan SBN yang telah dilakukan sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 mencapai Rp121,2 triliun.
Di pasar domestik jumlah surat berharga yang diterbitkan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Dalam tahun 2004 dan 2005 penerbitan di pasar domestik secara neto menunjukkan jumlah yang negatif. Hal ini mengingat jumlah surat berharga yang jatuh tempo di pasar domestik jauh lebih besar dari pada yang diterbitkan, sementara kapasitas pasar dalam negeri dalam me-refinance seluruh surat berharga yang jatuh tempo belum mencukupi. Kapasitas pasar yang terbatas ini terjadi karena banyak bank yang semula memegang SUN hasil obligasi rekap mulai menjual di pasar sekunder karena akan menambah kapasitas dalam memberikan pinjaman. Penjualan oleh bank di pasar sekunder tersebut di-absorbsi oleh tipe investor yang lain seperti reksadana, asuransi, dana pensiun, bahkan oleh individu. Dalam tahun 2006 - 2007, penerbitan di pasar domestik menunjukkan jumlah neto yang positif karena adanya tambahan kebutuhan penerbitan, yang didukung oleh diversifikasi instrumen (penerbitan ORI), dan peningkatan basis investor terutama partisipasi investor asing. Peningkatan partisipasi oleh asing ini terutama didukung oleh environment interest rate dunia yang rendah dan likuiditas pasar dunia yang cukup tinggi.
Di pasar internasional, sejak tahun 2004 pemerintah mulai menerbitkan SUN, dengan jumlah yang memadai untuk digunakan sebagai referensi (benchmark size) yaitu USD1,0 miliar. Penerbitan di pasar internasional ini tidak semata-mata didasari oleh kebutuhan pembiayaan, namun juga sebagai upaya penciptaan referensi harga (benchmark pricing) untuk surat berharga yang diterbitkan oleh perusahaan Indonesia atau aset-aset keuangan Indonesia. Secara bertahap jumlah penerbitan meningkat, berturut-turut USD2,5 miliar di tahun 2005, USD1,5 miliar di tahun 2006 dan USD2,0 miliar di tahun 2007. Peningkatan ini bukan sepenuhnya menunjukkan indikasi adanya ketergantungan sumber pembiayaan terutama untuk me-refinance pinjaman luar negeri atau mengisi gap kebutuhan pembiayaan dalam valuta asing, namun juga sebagai alternatif sumber pembiayaan agar tidak terjadi crowdingout effect di pasar dalam negeri. Walaupun demikian, pemerintah akan tetap memperhatikan dan menjaga upaya-upaya untuk menurunkan pembiayaan utang secara keseluruhan yang bersumber dari luar negeri, yang ditunjukkan oleh tetap terjadinya pengurangan pembiayaan utang luar negeri neto (net declining external debt), agar tidak menambah kerentanan factor external dalam utang pemerintah (external vulnerability).
Dari sisi tenor, SBN yang diterbitkan selama horizon waktu tersebut terdapat perbaikan yang cukup mendasar. Bila dalam tahun 2004, SBN yang dapat diterima dengan baik oleh pasar domestik mempunyai tenor terpanjang sampai dengan sepuluh tahun, maka secara bertahap, dalam tahun 2005 pemerintah dapat menerbitkan dengan tenor sampai dengan 15 tahun, selanjutnya pada tahun 2006 hingga 20 tahun. Di tahun 2007, bahkan pemerintah dapat menerbitkan SBN di pasar domestik dengan tenor 30 tahun. Dari pengalaman dalam menerbitkan surat berharga sebagai sumber pembiayaan, banyak negara memerlukan waktu yang cukup lama untuk bisa menerbitkan surat berharga yang bisa dianggap sangat panjang (super long tenor), dan sangat jarang yang dapat menerbitkan dalam waktu kurang dari satu dekade sejak mulai berkembangnya surat berharga. Walaupun ada beberapa Negara yang dalam sejarah penerbitannya mampu menerbitkan surat berharga hingga 50 tahun dan surat berharga tanpa batas tenor (perpetual), namun tenor 30 tahun dianggap sebagai tenor yang paling panjang yang diterbitkan oleh suatu negara (sovereign) sebagai sumber pembiayaan permanennya. Di pasar internasional, sejak penerbitan perdana (debut) obligasi internasional pada tahun 2004, upaya untuk mengurangi refinancing risk secara konsisten dilakukan. Penerbitan di pasar internasional diupayakan agar semaksimal mungkin dilakukan dengan tenor lebih dari 10 tahun. Di tahun 2005, pemerintah bahkan dapat menerbitkan surat berharga dengan tenor 30 tahun. Dari komposisi tenor, surat berharga yang diterbitkan dengan tenor panjang, jauh lebih mendapat sambutan. Hal ini terjadi karena cukup tingginya minat investor jangka panjang (real asset) seperti asuransi dan dana pensiun yang memiliki profil kewajiban jangka panjang.
Dari sisi instrumen yang telah diterbitkan, dari waktu ke waktu pemerintah berupaya untuk dapat menjaring (tapping) jumlah investor yang makin banyak dengan diversifikasi yang lebih luas. Upaya tersebut tidak semata-mata dilakukan dengan melakukan diversifikasi tenor yang sesuai dengan preferensi berbagai jenis investor, namun juga dilakukan dengan diversifikasi instrumen yang diterbitkan. Selama tahun 2004-2007, instrumen SUN yang paling banyak diterbitkan adalah obligasi jangka panjang dengan tingkat bunga tetap, yang secara bruto mencapai sekitar Rp141,3 triliun. Instrumen ini merupakan instrumen yang paling lazim ditransaksikan, mengingat instrumen ini memberikan return (yield) yang mencerminkan ekspektasi pasar. Di tahun 2006 pemerintah juga mulai menerbitkan SBN yang di pasar perdana hanya bisa dibeli oleh investor ritel (ORI). Penerbitan instrumen ini disamping untuk menumbuhkan investment society di kalangan individu, juga dimaksudkan sebagai upaya untuk menjaring tipe investor perorangan yang dapat membeli obligasi dalam jumlah yang lebih kecil sesuai dengan keputusan investasinya. Obligasi ini memberikan kupon secara bulanan dengan tingkat bunga tetap sampai dengan jatuh tempo. Dari tahun ke tahun minat investor individu untuk melakukan investasi pada surat berharga Negara menunjukkan peningkatan. Walaupun di pasar sekunder obligasi ini dapat dibeli oleh investor institusi, namun secara keseluruhan sekitar 40-50 persen investor individu masih tetap bertahan untuk memegangnya.
Dalam rangka pengelolaan portofolio, selama tahun 2004-2006 pemerintah telah melakukan beberapa tindakan antara lain dengan melakukan penukaran utang (switching), pembelian kembali sebelum jatuh tempo (buyback) dan restrukturisasi utang. Switching dilakukan dengan menukar SBN yang mempunyai jatuh tempo jangka pendek dengan SBN dengan jatuh tempo yang lebih panjang melalui mekanisme pasar. Switching dilakukan dalam rangka mengurangi risiko pembiayaan kembali terutama untuk jangka pendek, sampai dengan tiga tahun ke depan. Switching dengan mekanisme pasar untuk pertama kalinya dilakukan pada tahun 2005. Selama tiga tahun sejak tahun 2005, jumlah SBN yang berhasil ditukar mencapai Rp52,6 triliun, dengan menukar SBN yang akan jatuh tempo dalam 2-5 tahun ke depan, dengan SBN yang akan jatuh tempo antara 10 sampai dengan 20 tahun ke depan.
Dalam melakukan switching, pemerintah akan mempertimbangkan kondisi pasar dan minat pelaku pasar untuk berpartisipasi. Hal ini dimaksudkan agar tujuan switching dapat dicapai dan dilakukan pada biaya yang wajar. Buyback dilakukan oleh pemerintah untuk beberapa tujuan diantaranya mengurangi refinancing risk dengan mengurangi outstanding dari SBN yang jatuh tempo pendek (1-2 tahun) dan menjaga stabilitas pasar ketika pasar surat utang mengalami kelesuan. Selama empat tahun sejak 2004, jumlah pembelian kembali yang pernah dilakukan mencapai Rp10,0 triliun. Masih rendahnya pembelian kembali yang dilakukan karena keterbatasan sumber dana tunai pemerintah untuk operasi tersebut. Secara ideal, dalam konsep utang neto, seharusnya pemerintah dapat melakukan buyback terutama untuk stabilitas pasar dengan cara menerbitkan jumlah yang cukup besar ketika pasar cukup liquid, dan melakukan stabilitas pasar ketika terdapat kecenderungan kelesuan pasar. Baik switching maupun buyback untuk tujuan pengembangan pasar juga dapat dilakukan dengan menerbitkan obligasi yang dapat menjadi benchmark dan aktif ditransaksikan (on the run) dengan obligasi yang tidak aktif (off the run) dalam rangka meningkatkan likuiditas pasar.
Terkait dengan restrukturisasi, pemerintah melakukan restrukturisasi surat utang kepada bank Indonesia, pada tahun 2006. Surat utang yang direstrukturisasi adalah SU-002/MK/ 1998 dan SU-004/MK/1999 yang amortisasi pembayarannya akan berakhir pada tahun 2018. Restrukturisasi kedua SU dimaksud dilakukan terhadap tingkat bunga dan jangka waktu pembayarannya. Bunga SU yang semula 3 persen dari pokok yang diindeksasi terhadap inflasi, direstruktur sehingga masing-masing menjadi 1 persen dan 3 persen dari pokok tanpa indeksasi. Jangka waktu pembayaran, direstruktur dari semula amortisasi dibayar tunai secara prorata sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2018, menjadi amortisasi secara eksponensial yang dapat dibayar baik secara tunai atau dengan surat berharga sejak tahun 2009 hingga tahun 2025. Disamping itu, pemerintah juga menerbitkan SU-007/MK/2006 untuk membayar tunggakan atas bunga dan indeksasi SU-002 dan SU-004 yang seharusnya dibayar sejak tahun 1999 sebesar Rp54,9 triliun.
Selama tahun 2004-2008, Pemerintah melakukan beberapa inisiasi pasar yang dapat mendukung pengembangan pasar surat berharga pemerintah. Hal tersebut dilakukan dengan menerbitkan surat berharga secara reguler (regular issuance) melalui penyusunan kalender penerbitan. Mulai tahun 2004, kalender penerbitan disampaikan tiga bulan di depan, dan terhitung sejak tahun 2006 kalender penerbitan diumumkan sejak awal tahun, untuk penerbitan selama satu tahun. Dalam rangka mencakup jenis investor yang lebih luas dengan horison investasi yang lebih beragam, sejak tahun 2005 pemerintah melakukan penerbitan dengan seri yang berbeda untuk setiap kali penerbitan (multi trance issuance atau dual issuance). Sejak tahun 2007, dalam rangka memastikan daya serap di pasar primer dan meningkatkan likuiditas di pasar sekunder, pemerintah memperkenalkan sistem dealer utama (primary dealer). Dealer utama terdiri dari pelaku pasar yang memiliki persyaratan tertentu dan berkomitmen untuk melakukan market making terhadap SBN.
Di sisi pinjaman luar negeri, selama tahun 2004-2007 pemenuhan defisit pembiayaan yang dilakukan melalui penarikan pinjaman program mencapai Rp50,5 triliun atau ekuivalen dengan USD4,5 miliar. Dari tahun ke tahun, pembiayaan yang bersumber dari pinjaman program menunjukkan kecenderungan yang meningkat, dari USD400 juta pada tahun 2004 meningkat menjadi USD993 juta pada tahun 2005, dan USD1.300 juta tahun 2006. Pada tahun 2007, terjadi peningkatan pinjaman program yang cukup tinggi lebih dari 60 persen dari tahun sebelumnya, yaitu mencapai USD2.100 juta termasuk didalamnya USD200 juta dalam bentuk pembiayaan tunai dari Islamic Development Bank (IDB). Pinjaman tersebut terutama berasal dari 3 lender besar, yaitu ADB, Bank Dunia dan JBIC. Selama kurun waktu tersebut terdapat beberapa pinjaman yang karena pemenuhan policy matrix-nya tidak dapat dipenuhi, maka diputuskan untuk dibatalkan. Kekurangsesuaian antara perencanaan dan realisasi juga terjadi karena perubahan kebijakan pemberi pinjaman terutama terkait dengan jumlah pinjaman yang dapat disediakan (lending limit), serta perubahan/penundaan realisasi penarikan seperti yang terjadi pada tahun 2007 pada I-DPL 1 dari Bank Dunia yang realisasi penarikannya terjadi pada tahun 2008. Perbandingan antara perencanaan dengan realisasi penarikan pinjaman program dapat diikuti dalam Tabel VI.9 berikut.
Realisasi penarikan pinjaman proyek sangat terkait dan ditentukan oleh perkembangan kemajuan pelaksanaan kegiatan yang dibiayainya. Berbeda dengan penarikan pinjaman program, penarikan pinjaman proyek biasanya dilakukan lebih dari satu kali (multi trances) mengingat sebagian besar pinjaman proyek digunakan untuk membiayai kegiatan dengan tahun jamak (multi years) dan atau kegiatan yang tersebar di berbagai daerah. Besarnya penarikan pinjaman proyek dalam satu tahun anggaran ditentukan oleh rencana penarikan (disbursement plan) yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan pelaksanaan kegiatan. Realisasi penarikan pinjaman luar negeri secara keseluruhan dibandingkan dengan rencana penarikan dalam APBN tahun 2004 – 2007 dapat disajikan dalam Grafik VI.12.
Dalam grafik tersebut terlihat bahwa realisasi penarikan pinjaman pada tahun 2004 – 2007 belum sebanding dengan rencana/pagu yang ditetapkan dalam APBN/APBN-P. Persentase realisasi penarikan pinjaman yang tertinggi terjadi pada tahun 2004 mencapai 85 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN, sedangkan yang terendah pada tahun 2006 hanya mencapai 70 persen dari target. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah dalam menetapkan defisit sebagai stimulus fiskal belum dapat sepenuhnya direalisasikan oleh Kementerian/ Lembaga yang kegiatannya dibiayai dengan pinjaman proyek. Adapun beberapa faktor yang menyebabkan belum dapat dipenuhinya target penarikan pinjaman tersebut antara lain:
(i) adanya kelambatan dalam pelaksanaan kegiatan khususnya bagi pinjaman-pinjaman baru misalnya belum dipenuhinya berbagai persyaratan administratif pada saat penuangan dalam dokumen anggaran,
(ii) terdapat kecenderungan pelaksanaan kegiatan tidak sesuai dengan rencana (target) awal, sebagaimana tertuang dalam desain proyek, yang akan berpengaruh terhadap realisasi penarikan dana, dan
(iii) kegiatan tertentu yang telah direncanakan tidak dapat dilakukan tepat waktu karena memerlukan proses pengadaan barang dengan spesifikasi khusus sehingga memerlukan waktu yang relatif lama.
Secara keseluruhan selama tahun 2004-2007, pengelolaan utang memerlukan biaya terutama untuk pembayaran bunga dan biaya administrasi kepada pemberi pinjaman terkait dengan pengelolaan utang sebesar Rp286,6 triliun atau rata-rata Rp71,6 triliun per tahun. Biaya tersebut relatif berfluktuasi yang dipengaruhi oleh pergerakan tingkat bunga pasar, pergerakan nilai tukar, dan jumlah kebutuhan pembiayaan. Secara proporsi, sekitar 70 persen realisasi pembayaran bunga dan biaya digunakan untuk utang dalam negeri. Hal ini mengingat sebagian besar instrumen utang dalam negeri menggunakan commercial/market rate, sedang pinjaman luar negeri yang outstanding sebagian besar dalam pinjaman lunak (concessional) yang diperoleh di masa lalu. Secara keseluruhan pengelolaan utang tahun 2004-2008 dapat diikuti dalam Tabel VI.10.
II . 2 . 2 . Realisasi dan Proyeksi Pembiayaan Utang Tahun 2008
Pada paruh kedua tahun 2007 dan awal tahun 2008 terjadi perubahan situasi perekonomian dunia yang berpengaruh kepada perekonomian domestik. Hal ini membuat Pemerintah perlu melakukan penyesuaian kebijakan fiskal tahun 2008 yang telah ditetapkan pada akhir 2007. Sebagian besar komponen dalam APBN mengalami perubahan dan penyesuaian yang juga berdampak pada perubahan struktur pembiayaan. Akibat kenaikan defisit APBN dari Rp73,3 triliun (1,7 persen terhadap PDB) menjadi Rp94,5 triliun (2,1 persen terhadap PDB) dalam APBN-P, pembiayaan melalui utang (neto) juga meningkat dari Rp74,9 triliun menjadi Rp104,7 triliun atau 39 persen. Dalam jumlah kenaikan pembiayaan tersebut Rp12,0 triliun diantaranya akan digunakan untuk kepentingan pengelolaan kas dalam memenuhi kebutuhan APBN pada awal tahun anggaran 2009. Pembiayaan dari SBN akan dipenuhi baik dari pasar dalam negeri maupun pasar internasional, dengan prioritas pasar dalam negeri dan berjangka waktu (tenor) panjang. Hingga semester I tahun 2008 realisasi pembiayaan bersih utang mencapai Rp63,1 triliun atau 60,3 persen dari sasaran pembiayaan utang yang ditetapkan dalam APBN-P 2008. Realisasi pembiayaan bersih utang tersebut berasal dari penerbitan SBN (neto) sebesar Rp81.6 triliun dan penarikan pinjaman luar negeri sebesar Rp9,9 triliun dan dikurangi pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri yang jatuh tempo sampai bulan Juni 2008 sebesar Rp28,5 triliun. Dengan demikian sampai dengan semester I tahun 2008, realisasi penerbitan SBN (neto), penarikan pinjaman luar negeri, dan pembayaran pokok pinjaman yang jatuh tempo apabila dibandingkan dengan jumlah kebutuhan sebagaimana dalam APBN-P 2008 masing-masing mencapai 69,3 persen, 20,6 persen dan 46,5 persen.
Pembiayaan dari penerbitan SBN (neto) sampai dengan bulan Juni 2008 tersebut berasal dari total penerbitan sebesar Rp96.9 triliun dan pelunasan pokok SBN jatuh tempo serta pembelian kembali SBN sebelum jatuh tempo sebesar Rp15,3 triliun. Dari jumlah penerbitan tersebut, Rp39,3 triliun (40,6 persen) diantaranya diterbitkan di pasar internasional. Di pasar dalam negeri, SBN yang telah diterbitkan meliputi SBN yang ditawarkan pada investor institusi maupun investor individu, yang selama ini dikenal dengan Obligasi Negara Retail (ORI).
SBN yang diterbitkan terutama untuk investor institusi diantaranya dalam bentuk instrument jangka pendek dengan bunga diskonto, yaitu Surat Perbendaharaan Negara, dan instrument jangka panjang yang meliputi obligasi dengan tingkat bunga tetap (FR), obligasi dengan tingkat bunga mengambang (VR) dan obligasi tanpa kupon (zero coupon, ZC). Penerbitan VR untuk kepentingan pembiayaan merupakan penerbitan yang pertama kali dilakukan, dalam jumlah yang sesuai dengan permintaan dan daya serap pasar.
Sementara itu, untuk mengurangi beban pembayaran bunga dan penerbitan gross SBN dalam tahun 2008 akibat besarnya tambahan pembiayaan melalui SBN (neto), Panja DPR meminta Pemerintah dan Bank Indonesia melakukan pembahasan moratorium kewajiban pembayaran bunga dan cicilan pokok surat utang kepada Bank Indonesia. Bunga yang dimoratorium adalah bunga SU-002, SU-004 dan SU-007 dengan total sebesar Rp1,87 triliun, sedangkan cicilan pokok utang yang dimoratorium adalah pokok SU-007 sebesar Rp1,2 triliun. Pemerintah merencanakan akan membayar kewajiban bunga dan cicilan pokok surat utang yang dimoratorium tersebut pada tahun 2009. Selain moratorium pembayaran kewajiban, Panja DPR juga meminta agar dilakukan restrukturisasi tingkat bunga SU-002, SU-004 dan SU-007 menjadi sebesar 0,1 persen sebagaimana tingkat bunga SRBI-001.
Pembahasan mengenai moratorium dan restrukturisasi tingkat bunga SU-002, SU-004 dan SU-007 saat ini sedang dilakukan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia. Dalam tahun 2008, Pemerintah tetap semaksimal mungkin mengupayakan penerbitan yang berasal dari sumber dalam negeri, dengan tetap mempertimbangkan dan menghitung kapasitas daya serap pasar dalam negeri serta mendukung pengembangan pasar surat berharga secara berkesinambungan. Dengan melihat cukup besarnya kebutuhan pembiayaan yang bersumber dari utang, di sisi lain kondisi perekonomian dan pasar keuangan belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan, maka Pemerintah harus berhati-hati dalam menyusun strategi penerbitannya. Berbagai faktor yang harus dipertimbangkan dalam penerbitan antara lain waktu penerbitan, jenis instrumen, dan jumlah yang diterbitkan. Hal tersebut harus pula didukung dengan kemampuan dalam menganalisa kondisi pasar surat berharga. Terkait dengan waktu dan jumlah surat berharga yang diterbitkan, Pemerintah menerapkan strategi front loading issuance yaitu dengan menerbitkan surat berharga, baik di pasar domestic maupun internasional, dalam jumlah lebih besar pada awal-awal tahun anggaran. Alasan utama dilakukan front loading adalah untuk:
(i) memanfaatkan likuiditas yang besar pada awal tahun sehingga yield penerbitan relatif lebih rendah;
(ii) menghindari beban penerbitan terkonsentrasi pada akhir tahun anggaran sehingga berpotensi terjadinya cornering mengingat target gross issuance yang besar; dan
(iii) mengantisipasi ketidakpastian kondisi pasar keuangan global dan domestik.
Berdasarkan hasil analisis yang cukup mendalam, Pemerintah memandang bahwa kondisi pasar dalam negeri kurang dapat mendukung pencapaian kebutuhan pembiayaan sampai dengan akhir tahun anggaran. Hal ini membuat Pemerintah mengambil langkah untuk melakukan penerbitan SUN di pasar internasional lebih banyak dan lebih cepat. Dalam semester I 2008, Pemerintah melakukan penerbitan di pasar internasional sebanyak dua kali, yang dilakukan pada bulan Januari 2008 untuk memanfaatkan likuiditas di pasar keuangan yang masih relatif besar pada awal tahun dan pada bulan Juni dalam rangka mengantisipasi kondisi pasar finansial dunia yang belum menunjukkan perbaikan. Penerbitan kedua dilakukan setelah adanya keputusan untuk melakukan penyesuaian APBN yang berdampak pada penyesuaian kebutuhan pembiayaan. Dari jumlah yang telah diterbitkan di pasar internasional, hampir seluruhnya merupakan surat berharga dengan jangka waktu lebih dari 10 tahun, bahkan lebih dari 50 persen diantaranya memiliki jatuh tempo sampai dengan 30 tahun.
Apabila diasumsikan seluruh kebutuhan pembiayaan yang bersumber dari SBN dapat dipenuhi sesuai dengan target dan memperhitungkan realisasi penerbitan SBN (neto) sampai bulan Juni 2008, maka sampai dengan akhir tahun 2008 masih dibutuhkan penerbitan SBN (neto) sebesar Rp36,2 triliun. Jumlah ini telah memperhitungkan kebutuhan penerbitan SBN untuk menambah SAL sebesar maksimal Rp12,0 triliun. Selain itu, apabila memperhitungkan SBN yang jatuh tempo sampai dengan akhir 2008 sebesar Rp24,9 triliun, maka masih harus dilakukan penerbitan SBN secara gross sebesar Rp61,1 triliun.
Sementara itu, pembiayaan dari penarikan pinjaman luar negeri, sekitar 55 persen akan dipenuhi dari pinjaman program. Pinjaman program sebagian besar akan berasal dari World Bank terutama untuk Development Program Loan IV (DPL-IV) dan Infrastructure DPL (IDPL). Dalam tahun 2008 juga dilakukan pinjaman program dengan tipe/sifat refinancing, yakni BOS KITA (Bantuan Operasional Sekolah – Knowledge Improvement for Transparency and Accountability). BOS-KITA akan dilaksanakan dalam 2 tahun (2008 dan 2009), dimana untuk tahun 2008 pinjaman akan dicairkan segera setelah negosiasi, sementara untuk pencairan kedua (tahun 2009) akan dilaksanakan setelah improvement terhadap pelaksanaan BOS sebagaimana disepakati telah dipenuhi. Selanjutnya, ADB di samping memberikan pinjaman program co-financing dengan Bank Dunia dan JBIC melalui development policy support, juga akan memberikan pinjaman program untuk reformasi kebijakan infrastruktur, dan reformasi governance untuk pengelolaan keuangan daerah. Sedangkan Jepang memberikan pinjaman sebagai co-financing dari DPL-IV, dan pinjaman program yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup (Cool Earth Program Loan). Dalam tahun 2008, untuk pertama kalinya Perancis melalui Agence Française de Développement (AFD) memberikan pinjaman program sebagai co-financing terhadap Cool Earth program loan yang diinisiasi oleh Jepang.
Sampai dengan semester I 2008, realisasi penarikan pinjaman mencapai sebesar Rp9,9 triliun yang terdiri dari penarikan pinjaman proyek sebesar Rp6,1 triliun dan penarikan pinjaman program Rp3,8 triliun. Sedangkan pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri sampai dengan bulan Juni 2008 telah mencapai Rp28,5 triliun. Jumlah pembayaran cicilan pokok tersebut merupakan 46,5 persen dari jumlah yang diperkirakan akan dibayar kembali dalam tahun 2008. Rendahnya realisasi penarikan pinjaman luar negeri sampai dengan akhir semester I tersebut disebabkan antara lain karena pengadaan barang dan jasa masih dalam proses pelaksanaan terutama untuk kegiatan yang dibiayai dengan pinjaman proyek.
Sedangkan pinjaman program sebagian besar dalam tahapan pemenuhan policy matrix oleh kementerian negara/lembaga. Berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, penarikan pinjaman luar negeri sebagian besar dilakukan pada semester II.
Sebagai konsekuensi dari perubahan kondisi makro ekonomi dan kebutuhan pembiayaan tahun 2008, menyebabkan pembayaran bunga juga mengalami penyesuaian. Perubahan pada asumsi nilai tukar berdampak pada pembayaran bunga utang luar negeri dan surat berharga yang diterbitkan di pasar internasional. Sementara pergerakan bunga baik di dalam dan luar negeri akan sangat berpengaruh pada utang yang memiliki tingkat bunga mengambang. Pergerakan tingkat bunga juga berakibat pada peningkatan perkiraan bunga yang harus diberikan pada SBN yang akan diterbitkan. Dalam tahun 2008, pembayaran bunga utang diperkirakan akan mencapai Rp94,8 triliun atau meningkat 3,8 persen disbanding perkiraan dalam APBN semula. Jumlah tersebut diperlukan untuk membayar bunga utang dalam negeri sebesar Rp65,8 triliun (70 persen dari total) dan utang luar negeri sebesar Rp29,0 triliun (30 persen).
II . 3 . Proyeksi Pembiayaan dan Pengelolaan Utang
Tahun 2009
Dalam tahun 2009 proyeksi pembiayaan disusun berdasarkan beberapa asumsi yang relevan bagi pengelolaan utang yaitu defisit sebesar 1,5 persen terhadap PDB, inflasi 6,5 persen, SBI (3 bulan) rata-rata 8,5 persen. Setelah memperhitungkan besarnya kebutuhan di sisi pembiayaan dan jumlah pembiayaan yang bersumber dari nonutang, maka pembiayaan anggaran yang berasal dari utang direncanakan adalah sebesar Rp81,1 triliun (1,5 persen dari PDB). Jumlah tersebut akan berasal dari penerbitan SBN neto sebesar Rp94,7 triliun atau sebesar 1,8 persen terhadap PDB dan pinjaman luar negeri neto sebesar negatif Rp13,6 triliun atau negatif 0,3 persen terhadap PDB. Pembiayaan dari SBN neto akan diperoleh baik dari penerbitan di pasar dalam negeri, maupun penerbitan di pasar internasional. Dari sisi jangka waktu, dapat berupa SBN jangka pendek maupun jangka panjang, sedangkan dari strukturnya dapat berupa SBN konvensional maupun SBN berbasis syariah (SBSN).
Sedangkan pembiayaan yang bersumber dari pinjaman sepenuhnya direncanakan berasal dari pinjaman luar negeri. Penarikan pinjaman luar negeri direncanakan mencapai Rp46,0 triliun atau 0,9 persen terhadap PDB yang akan berasal dari pinjaman program sebesar Rp21,2 triliun atau ekuivalen dengan USD2,3 miliar dan pinjaman proyek sebesar Rp24,9 triliun. Pembiayaan yang bersumber dari utang (neto) tersebut mengalami penurunan Rp23,5 triliun dibanding pembiayaan utang APBN-P 2008. Penurunan yang cukup signifikan tersebut mengindikasikan bahwa utang hanya akan dilakukan untuk keperluan tertentu dan hanya akan dilakukan sesuai kebutuhan. Di sisi pinjaman luar negeri, jumlah neto pembiayaan utang yang akan dilakukan di tahun 2009 tidak berbeda dengan tahun 2008, yaitu sekitar negatif Rp13 triliun, yang artinya pada tahun tersebut porsi outstanding pinjaman luar negeri akan secara neto menurun. Dalam nilai valuta asing, penurunan tersebut tidak akan setara, mengingat adanya fluktuasi antar nilai tukar.
Di sisi SBN akan terjadi penurunan penerbitan neto sebesar Rp23,1 triliun. Walaupun terjadi penurunan yang signifikan, namun penerbitan di pasar domestik akan tetap diprioritaskan dan secara neto diperkirakan tidak jauh berbeda dengan penerbitan di tahun 2008. Penurunan dalam neto penerbitan SBN tersebut akan dikompensasi melalui penurunan jumlah penerbitan di pasar valuta asing. Apabila penerbitan pada tahun 2008 diperkirakan sekitar USD5 miliar, maka di tahun 2009 diharapkan akan berkurang menjadi berkisar antara USD2,5 miliar–USD3,0 miliar. Dalam penerbitan SBN, walaupun secara neto akan terjadi penurunan yang cukup tajam, namun secara bruto diperkirakan hanya akan terjadi sedikit penurunan dibanding tahun sebelumnya, mengingat dalam tahun 2009, jumlah SBN yang akan jatuh tempo jauh lebih besar. Hal ini terjadi sebagai akibat dari rencana pembayaran kewajiban pokok atas SU-007 yang pernah dimoratorium tahun 2008 sebesar Rp1,2 triliun, di samping pembayaran kewajiban atas SU lainnya kepada BI, sesuai jadwal yang disepakati.
Dalam tahun 2009 direncanakan akan ditarik pinjaman program sebesar Rp21,2 triliun, lebih rendah dibandingkan dengan APBN-P tahun 2008 sebesar Rp26,4 triliun (USD2,9 miliar). Penurunan tersebut terjadi karena turunnya kebutuhan pembiayaan dan adanya penyesuaian dengan lending program dari lender. Untuk tahun 2009, pinjaman program masih akan tetap bersumber dari Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), Japan International Cooperation Agency (JICA) sebagai tindak lanjut dari proses reorganisasi di Japan Bank for International Cooperation (JBIC), dan Agence Française de Développement (AFD, Perancis). Di sisi penarikan pinjaman proyek, dalam tahun 2009 direncanakan akan mencapai Rp24,9 triliun atau 0,5 persen terhadap PDB. Jumlah tersebut berarti mengalami peningkatan kurang lebih Rp3,1 triliun jika dibandingkan dengan target APBN-P tahun 2008 sebesar Rp21,8 triliun. Pinjaman proyek tersebut akan digunakan untuk membiayai berbagai proyek yang tersebar di berbagai kementerian negara/lembaga yang sumber pembiayaannya berasal dari lembaga multilateral (ADB, World Bank, dan IDB), kreditur bilateral (diantaranya JBIC, KfW), dan lembaga pemberi pinjaman komersial luar negeri dan pemberi pinjaman dalam negeri.
Dengan melihat kebutuhan pembiayaan dalam tahun 2009 yang berasal dari utang neto sebesar Rp81,1 triliun, dan kondisi struktur portofolio utang saat ini, maka di tahun 2009 diperlukan pengalokasian anggaran untuk membayar biaya utang dalam bentuk pembayaran bunga utang sebesar Rp109,3 triliun rupiah (2,1 persen terhadap PDB). Sekitar 70 persen dari total alokasi bunga tersebut akan digunakan untuk membiayai pembayaran bunga utang dalam negeri, yaitu sebesar Rp76,0 triliun. Sedangkan sekitar 30 persennya, akan digunakan untuk membiayai utang luar negeri. Tingginya kebutuhan pembayaran bunga utang dalam negeri tersebut karena dalam tahun 2009 Pemerintah akan melunasi kewajiban terhadap bunga SU-002, SU-004 dan SU-007 yang sempat ditunda pembayarannya dalam tahun 2008 sebesar Rp1,9 triliun. Di samping itu, peningkatan kebutuhan pembayaran bunga utang dalam negeri juga terjadi karena jumlah penerbitan yang dilakukan pada tahun 2008 cukup tinggi dan disertai pula dengan relatif tingginya penetapan bunga (kupon), akibat kondisi pasar keuangan yang belum stabil. Antisipasi masih belum stabilnya kondisi pasar keuangan di tahun 2009, juga berdampak pada tingginya perkiraan kebutuhan pembayaran bunga utang dalam negeri.
II . 3 . 1 . Strategi Pengelolaan dan Faktor-Faktor yang Menentukan
Pembiayaan Utang Tahun 2009
Pada tahun 2009 jenis instrumen surat berharga yang digunakan Pemerintah menjadi semakin beragam, terutama setelah instrumen Surat Berharga Syariah Negara menjadi salah satu instrumen pembiayaan. Instrumen ini masih perlu terus dikembangkan mengingat peluangnya masih sangat terbuka. Saat ini baru satu instrumen yaitu al-ijarah yang akan digunakan Pemerintah. Sementara menurut aturan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, masih terdapat tiga instrumen lainnya yang tersedia diantaranya musyarakah, mudarabah, dan istisna’. Dari sisi pinjaman, instrumen pinjaman dalam negeri saat ini juga dapat menjadi salah satu alternative pembiayaan bagi kegiatan-kegiatan tertentu. Instrumen pinjaman dalam negeri ini dimaksudkan untuk mengurangi eksposur risiko nilai tukar, mengingat pinjaman akan dilakukan dalam mata uang Rupiah. Pemerintah dapat memperoleh pinjaman dalam negeri dari BUMN sesuai bidang tugasnya, dan/atau Pemerintah Daerah, dalam hal mengalami surplus dan hendak menempatkan dananya dengan meminjamkan pada Pemerintah Pusat.
Sejak tahun 2008, Indonesia telah dinyatakan oleh beberapa lender tidak layak lagi memperoleh pinjaman lunak, mengingat Indonesia telah masuk dalam kategori low middle income country. Sebagai konsekuensinya dalam memenuhi defisit pembiayaan APBN ke depan, Indonesia akan memperoleh dari sumber-sumber keuangan dengan perhitungan tingkat bunga dengan basis pasar (market base). Dengan demikian, untuk saat ini perbedaan biaya efektif antara pinjaman dalam bentuk surat berharga atau pinjaman dalam bentuk pembiayaan kegiatan menjadi semakin sempit.
Menghadapi situasi dan kondisi yang terjadi akhir-akhir ini dan dengan mempertimbangkan faktor internal maupun eksternal, maka beberapa langkah strategis perlu dipertimbangkan dan dilakukan dalam pelaksanaan pengelolaan utang.
a. Strategi pengelolaan SBN (SUN dan SBSN)
1. Memaksimalkan penerbitan SBN domestik dengan keseimbangan antara tenor dan jenis instrumen, yang dilakukan dengan mempertimbangkan antara kebutuhan investor dan tingkat risiko atau biaya yang wajar bagi portofolio Pemerintah. Penerbitan di pasar domestik juga dimaksudkan untuk meningkatkan likuiditas dan kedalaman pasar dalam negeri;
2. Penerbitan SBN valas akan dilakukan dalam jumlah yang terukur dengan mempertimbangkan daya serap pasar SBN domestik. Penerbitan di pasar internasional juga dilakukan sebagai upaya menghindari crowding out effect di pasar keuangan domestik;
3. Terus dilakukan upaya-upaya untuk perluasan dan pemupukan basis investor melalui penyempurnaan fitur instrumen, komunikasi investor, edukasi investor terutama investor ritel;
4. Terus melanjutkan upaya restrukturisasi profil jatuh tempo portofolio SBN terutama hingga lima tahun ke depan melalui buyback dan debt switching;
5. Meningkatkan likuiditas dan daya serap pasar SBN melalui diversifikasi instrumen, pengelolaan benchmark, dan peningkatan infrastruktur pendukung;
6. Meningkatkan koordinasi dan kualitas komunikasi dengan pemangku kepentingan seperti Bank Indonesia, regulator pasar modal dan industri, primary dealers/investors, dan self regulatory organization lainnya yang berperan dalam pengelolaan utang dan pengembangan pasar surat berharga.
Koordinasi dengan Bank Indonesia dimaksudkan untuk melihat implikasi moneter dari penerbitan Surat Utang Negara secara timbal balik, agar keselarasan antara kebijakan fiskal, termasuk manajemen utang, dan kebijakan moneter dapat tercapai. Komunikasi yang berkualitas secara berkelanjutan dengan primary dealers (PD) dan investor perlu dilakukan mengingat PD merupakan jembatan utama antara penerbit dengan investor yang dapat memberikan umpan balik terhadap kebijakan yang diambil sehingga terdapat keseimbangan manfaat (equal benefit) antara Pemerintah sebagai penerbit dengan investor. Dealer utama di pasar perdana sangat berperan dalam menjamin berhasilnya lelang yang dilakukan, sedangkan di pasar sekunder sebagai penggerak pasar/market makers untuk menjaga likuiditas dengan melakukan kuotasi harga dua arah (two-way prices) sebagai sarana terjadinya pembentukan harga yang transparan dan efisien.
7. Pengkajian penerapan transaksi derivatif untuk kepentingan lindung nilai (hedging).
b. Faktor-faktor yang menentukan pembiayaan melalui SBN:
1. Daya serap pasar SBN, perlu dipertimbangkan agar tidak terjadi crowding out di pasar dalam negeri yang dapat berdampak pada naiknya biaya utang yang ditanggung. Faktor yang mempengaruhi daya serap pasar terutama adalah kapasitas industri keuangan di dalam negeri yang merupakan sisi permintaan dari surat berharga dan preferensi investasi dari investor domestik terhadap instrumen SBN.
2. Indikator makro perekonomian nasional
a. Nilai tukar, yang akan mempengaruhi seberapa besar minat investor asing terhadap instrumen domestik, dan seberapa besar nilai penerbitan dipasar valuta asing;
b. Inflasi dan ekspektasi terhadap inflasi, karena secara langsung akan berpengaruh terhadap biaya penerbitan SBN serta perkiraan minat beli. Dalam beberapa tahun terakhir pergerakan imbal hasil SBN bergerak searah dengan ekspektasi inflasi;
c. Harga minyak dunia dan arah kebijakan subsidi. Dalam tahun terakhir kenaikan harga minyak memberikan andil cukup besar terhadap peningkatan deficit akibat peningkatan subsidi. Peningkatan kebutuhan pembiayaan yang tidak diikuti peningkatan sumber pembiayaan nonutang telah mendorong peningkatan pembiayaan utang, yang sumber utamanya adalah penerbitan SBN.
3. Identifikasi aset milik negara sebagai underlying penerbitan SBSN terutama SBSN dengan struktur Ijarah, baik dari sisi jenis maupun nilainya.
c. Strategi Pengelolaan Pinjaman
1. Mengupayakan pinjaman dengan persyaratan yang wajar, yaitu persyaratan pinjaman yang sesuai dengan kondisi perekonomian Indonesia, dengan melakukan:
(i) Identifikasi karakteristik dan spesialisasi masing-masing pemberi pinjaman,
(ii) Peningkatan kualitas analisa terhadap tawaran persyaratan pinjaman, dan
(iii) Peningkatan kualitas proses pengadaan pinjaman dari sejak perencanaan dan pemilihan kegiatan yang dapat dibiayai dari pinjaman, negosiasi pinjaman, tahap pelaksanaan kegiatan sampai dengan tahap evaluasi;
2. Memanfaatkan semaksimal mungkin tawaran untuk melakukan restrukturisasi portofolio pinjaman luar negeri melalui: (i) konversi tingkat bunga pinjaman multilateral, dan (ii) konversi nilai tukar, yang didasari dengan analisis kondisi portofolio;
3. Mengupayakan peningkatan kualitas negosiasi pinjaman untuk efektifitas
pelaksanaan kegiatan yang dapat difokuskan melalui:
(i) percepatan waktu penyelesaian penyusunan perjanjian pinjaman dengan tetap menjaga kualitas hasil negosiasi, dan
(ii) (ii) peningkatan koordinasi dan komunikasi antara unit-unit internal Pemerintah yang terlibat dalam proses bisnis pengelolaan utang untuk pembiayaan kegiatan.
Peningkatan kualitas negosiasi secara optimal untuk mendukung efektifitas pelaksanaan dapat terjadi bila ada:
(i) pemilihan kegiatan yang disesuaikan dengan prioritas kebutuhan Pemerintah, dan
(ii) peningkatan pemenuhan kriteria kesiapan kegiatan untuk mengurangi terjadinya pembatalan (cancellation) dan atau peningkatan biaya pinjaman dalam bentuk commitment fee;
4. Peningkatan ketepatan waktu penyerapan/penarikan pinjaman dengan semaksimal mungkin meningkatkan penelitian terhadap kriteria kesiapan kegiatan. Upaya yang dapat ditempuh adalah dengan memastikan tidak terjadinya:
(i) Kelambatan pemenuhan dokumen pengefektifan pinjaman,
(ii) Kelambatan proses pengadaan barang/jasa,
(iii) Kekurangsiapan pelaksana kegiatan, dan
(iv) Penyesuaian/ perubahan desain pelaksanaan kegiatan untuk pinjaman yang sudah berjalan;
5. Mengoptimalkan pinjaman program yang sudah tersedia untuk membiayai defisit, dengan menegosiasikan prasyarat (trigger) pencairan dana yang dapat diperkirakan pencapaiannya, baik dari sisi kualitas untuk mendukung tata kelola kepemerintahan (governance) dan dari sisi waktu;
6. Mengoptimalkan pemanfaatan tawaran untuk melakukan pengurangan pinjaman luar negeri melalui debt to development swap.
d. Faktor-faktor yang menentukan besarnya pembiayaan melalui pinjaman
1. Rencana penarikan (disbursement plan), baik untuk pinjaman baru maupun kelanjutan dari pinjaman untuk pembiayaan multi-years project. Ketepatan jumlah rencana penarikan akan sangat mendukung pencapaian target pembiayaan APBN. Secara ideal seharusnya rencana penarikan dapat menggambarkan kesiapan kegiatan dan perkiraan kemajuan kegiatan.
2. Ketersediaan matrik kebijakan (policy matrix) sebagai dasar pemberian pinjaman program.
3. Batas pinjaman yang dapat diberikan oleh lender dan kebijakan pemberian pinjaman.
Mengingat proses pemberian pinjaman terutama pinjaman kegiatan memerlukan waktu yang tidak pendek, maka dalam praktiknya lender, baik multilateral maupun bilateral, telah menyusun perencanaan pemberian pinjaman. Perencanaan tersebut pada umumnya bersifat jangka menengah dan dapat disesuaikan dari waktu ke waktu. Perencanaan tersebut dapat menjadi pedoman bagi Pemerintah untuk melihat seberapa besar pinjaman yang dapat dilakukan dan disesuaikan dengan prioritas kegiatan. Dokumen perencanaan tersebut merupakan dokumen yang disusun lender dengan mengakomodasi masukan Pemerintah, sehingga dapat diselaraskan antara kebutuhan jangka menengah Pemerintah dan kapasitas lender dalam memberi pinjaman.
II . 3 . 2 . Isu, Tantangan dan Dinamika Pengelolaan Utang
1. Kondisi Pasar SBN Dalam Negeri
Sistem keuangan global merupakan suatu sistem yang terintegrasi, sedemikian sehingga gejolak pasar keuangan eksternal dapat berpengaruh pada pasar keuangan domestik, termasuk pasar SBN domestik. Krisis subprime mortgage yang berawal dari Amerika Serikat pada pertengahan 2007, berakibat pada besarnya kerugian yang dialami oleh beberapa institusi keuangan terkemuka di dunia. Kondisi ini mengakibatkan perlunya suntikan modal baru yang pada akhirnya menimbulkan keringnya likuiditas (liquidity crunch) di pasar keuangan dunia. Dalam kondisi tersebut, umumnya pelaku pasar global melepas sebagian risky assets dan beralih kepada riskfree assets (flight to quality). Hal ini selanjutnya akan berpengaruh terhadap penurunan harga risky assets, karena meningkatnya risk premium yang diminta oleh investor, yang ditunjukkan oleh peningkatan yield. Mengingat rating Indonesia yang masih berada pada non-investment grade, maka SBN dapat dipandang sebagai risky asset. Pasar keuangan domestik khususnya pasar obligasi yang didominasi oleh investor asing juga ikut merasakan dampak tersebut, yang ditandai dengan meningkatnya yield curve dan menurunnya transaksi perdagangan SBN domestik.
Pasar SBN domestik pada semester I 2008 mengalami tekanan yang cukup besar akibat:
(i) Dampak krisis subprime mortgage terhadap pasar Indonesia masih belum sepenuhnya mereda,
(ii) Meningkatnya ekspektasi kenaikan inflasi 2008 akibat kenaikan harga minyak dunia yang diterjemahkan pelaku pasar dalam peningkatan yield curve, dan
(iii) Kekhawatiran oversupply SBN di tahun 2008 akibat peningkatan defisit. Penurunan harga selama semester I 2008 mencapai 1.486 bps sampai dengan 1.979 bps atau terdapat kenaikan yield seri benchmark sebesar 286 bps sampai dengan 400 bps. Selain itu, volume perdagangan harian di pasar sekunder mengalami penurunan dari Rp5,9 triliun dengan frekuensi per hari mencapai 232 transaksi di tahun 2007 menjadi Rp4,3 triliun dengan frekuensi per hari 156 transaksi. Di pasar perdana, tekanan ini ditunjukkan oleh relative turunnya total bid yang masuk dengan tawaran yield yang meningkat cukup signifikan dibandingkan tahun 2007.
Pelaku pasar mengkhawatirkan oversupply SBN akibat besarnya kebutuhan pembiayaan APBN yang terjadi bersamaan dengan situasi pasar keuangan yang cenderung melemah (bearish) dan masih terbatasnya daya serap pasar domestik akibat rendahnya penambahan aset kelolaan industri keuangan untuk ditempatkan pada SBN serta turunnya risk limit untuk pembelian SBN pada beberapa pelaku pasar. Selain itu pelaku pasar juga telah menyesuaikan harga SBN dengan ekspektasi kenaikan inflasi tahun 2008 sebagai akibat:
(i) Meningkatnya inflasi global,
(ii) Naiknya harga minyak yang mencapai rekor harga tertinggi (USD146 per barrel),
(iii) Naiknya harga komoditi primer lainnya seperti beras dan crude palm oil, dan antisipasi dampak kenaikan harga BBM domestik. Selain itu, factor berkurangnya kepercayaan investor akan keamanan kondisi fiskal karena belum adanya penyesuaian harga BBM turut menekan harga SBN dengan cukup dalam. Dalam rangka menjaga stabilitas pasar SBN, berbagai langkah kebijakan dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan pelaku pasar SBN. Kebijakan yang ditempuh diantaranya ialah melakukan komunikasi yang aktif baik kepada Dealer Utama (Primary Dealers), maupun kepada para investor dan analis; melaksanakan pembelian kembali SBN; dan mengurangi tekanan supply di pasar domestik dengan melihat kesempatan untuk menerbitkan Obligasi Negara di pasar valuta asing. Pelaku pasar umumnya memberikan respon positif dengan kebijakan antisipatif Pemerintah dalam merespon gejolak pasar SBN yang ada.
Meskipun pasar SBN domestik tertekan, minat beli investor khususnya asing atas SBN domestik masih cukup besar bahkan menunjukkan kecenderungan meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya porsi pembelian SBN oleh investor asing, baik di pasar primer maupun di pasar sekunder. Sebagai gambaran, selama tahun 2008 sampai dengan semester I kepemilikan oleh investor asing menunjukkan peningkatan dari semula Rp78,2 triliun (16,4 persen dari total) pada bulan Desember 2007 menjadi menjadi Rp94,1 triliun (18,1 persen dari total) pada akhir semester I 2008 atau naik Rp15,9 triliun. Sekitar 60 persen dari porsi kepemilikan asing adalah untuk SBN jangka menengah dan jangka panjang (di atas 5 tahun). Posisi kepemilikan asing pada SBN domestik tetap perlu diwaspadai, karena dengan tidak adanya pembatasan aliran modal asing, investor asing dapat sewaktu-waktu melepaskan kepemilikannya pada waktu bersamaan (sudden reversal) sehingga dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas pasar SBN maupun sistem keuangan domestik.
Peningkatan minat investor asing disebabkan oleh menariknya yield SBN domestik, yang tercermin dengan lebarnya interest rate differential dengan Fed Fund Rate. Selain itu, beberapa sentimen positif lainnya ialah adanya kebijakan pengelolaan fiskal termasuk pengelolaan utang yang prudent, kebijakan moneter yang credible, dan membaiknya faktor fundamental dalam jangka panjang.
Bagi investor domestik, suksesnya penerbitan global bond pada Juni 2008, turut berperan dalam mengurangi kekhawatiran oversupply SBN di pasar domestik. Selain itu, disahkannya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara yang memungkinkan Pemerintah untuk menerbitkan instrumen syariah di pasar domestic maupun internasional dan upaya Pemerintah untuk menjangkau investor berbasis syariah juga turut mengurangi kekhawatiran tersebut.
2. Pengelolaan Risiko Melalui Kontrak Lindung Nilai (Hedging)
Derivatif adalah suatu kontrak yang menggunakan instrumen keuangan sebagai underlying (dasar), sehingga nilai kontraknya ditentukan oleh perubahan nilai aset yang menjadi underlyingnya. Kontrak derivatif dapat dilakukan untuk dua tujuan yang berbeda, yaitu
(i) Sebagai cara untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar (return enhancement); dan
(ii) Sebagai cara untuk lindung nilai baik terhadap aset maupun kewajiban dari perubahan yang terjadi di pasar. Terdapat berbagai jenis instrumen derivatif yang kontraknya dilakukan melalui bursa maupun di luar bursa (over the counter, OTC), antara lain swap, forward, futures, dan option.
Penggunaan instrumen derivatif dalam pengelolaan utang digunakan untuk memitigasi risiko pasar yaitu risiko fluktuasi tingkat bunga dan nilai tukar valuta asing. Kontrak yang lazim dilakukan oleh pengelola utang adalah forward, swap dan/atau option. Bagi pengelola utang, instrumen derivatif tersebut memiliki beberapa kegunaan antara lain:
Sebagai mekanisme lindung nilai untuk memberikan kepastian besarnya biaya utang pada tingkat yang telah direncanakan Besarnya pembayaran pokok dan bunga utang yang direncanakan dalam APBN disusun berdasarkan asumsi tingkat bunga dan nilai tukar atas nominal pokok yang diperkirakan sesuai jadwal pembayaran. Dalam realisasinya, tingkat bunga dan nilai tukar dapat berubah mengikuti fluktuasi pasar. Perubahan tersebut dapat menjadi sangat ekstrem, dan apabila terjadi pergerakan tingkat bunga yang naik atau nilai tukar yang melemah, maka kewajiban pembayaran pokok dan bunga akan meningkat mengikuti pergerakan tersebut. Untuk mengurangi risiko tersebut, Pemerintah dapat melakukan kontrak forward dan atau membeli option.
Mengelola biaya dan risiko portofolio utang Untuk mencapai komposisi portofolio utang yang optimal dari sisi biaya dan risiko (benchmark portfolio) dari kondisi portofolio yang ada saat ini, pengelola utang dapat melakukannya dengan menggunakan instrumen derivative swap. Dalam hal diperlukan optimalisasi portofolio utang dari sisi komposisi tingkat bunga, maka pengelola utang dapat melakukan transaksi swap tingkat bunga (interest rate swap). Sedangkan dalam hal diperlukan optimalisasi portofolio utang dari sisi komposisi mata uang, maka pengelola utang dapat melakukan transaksi swap mata uang (currency swap).
Untuk menyesuaikan penerbitan utang dengan permintaan pasar. Dengan menggunakan instrumen derivatif dapat dipisahkan antara kepentingan strategi penerbitan untuk menyesuaikan dengan pasar, dengan kebutuhan pengelolaan portofolio utang. Sebagai contoh Pemerintah dapat menerbitkan SUN berbunga variabel sesuai keinginan pasar. Namun untuk kepentingan pengelolaan portofolio dalam rangka mengurangi risiko tingkat bunga, Pemerintah dapat menggunakan instrumen derivatif swap tingkat bunga.
Perlu disadari bahwa penggunaan instrumen derivatif akan menuntut Pemerintah mencermati dan memperhatikan semua faktor yang akan mempengaruhi pergerakan pasar. Dalam pelaksanaannya, penggunaan instrumen derivatif tentunya perlu didasarkan pada sebuah sistem hukum, norma dan nilai yang berlaku umum baik domestik maupun internasional. Untuk itu Pemerintah perlu melakukan kajian terhadap penggunaan perjanjian yang mendasari pengesahan semua bentuk transaksi derivatif yang dikeluarkan oleh ISDA (International Swaps and Derivative Association) yang disebut ISDA Master Agreement. Perjanjian ini memuat berbagai hal penting yang harus dipersiapkan secara matang oleh Pemerintah, seperti jumlah nominal yang disetujui, jangka waktu pelaksanaan, jangka waktu penghitungan, jadwal pelaksanaan, biaya-biaya, metode perhitungan, konfirmasi transaksi dan lain-lain.
Dalam menghadapi situasi pasar domestik dan global yang semakin susah ditebak dan adanya globalisasi pasar yang menyebabkan pengaruh kondisi suatu negara akan mempengaruhi pasar di negara lain, maka penggunaan instrumen derivatif dalam pengelolaan utang menjadi semakin penting. Untuk itu, saat ini tengah dipersiapkan landasan hukum transaksi derivative oleh Pemerintah, termasuk sistem penganggaran dan sistem akuntansinya.
3. Penetapan Batas Maksimum Pinjaman Sebagai Bagian dari Pengelolaan
Portofolio dan Risiko Utang
Tujuan utama dari pengelolaan utang pemerintah adalah memenuhi pembiayaan deficit APBN dari sumber-sumber pembiayaan dengan memperhatikan struktur portofolio utang yang optimal, sehingga diperoleh biaya utang yang rendah dengan tingkat risiko yang terkendali. Komposisi portofolio utang yang optimal dapat dicapai melalui berbagai cara, di antaranya dengan analisis komposisi pembiayaan utang yang optimal antara sekuritas dengan non sekuritas. Salah satu hasil dari analisis tersebut dituangkan dalam bentuk batas maksimum pinjaman (luar negeri maupun dalam negeri) untuk periode tertentu. Batas maksimum pinjaman merupakan jumlah maksimum pembiayaan APBN melalui pinjaman, dan sudah mempertimbangkan kebutuhan portofolio utang dan ketersediaan sumber pinjaman pada tingkat biaya yang wajar.
Batas maksimum pinjaman dapat digunakan oleh perencana kegiatan untuk merencanakan kegiatan yang akan dibiayai dari pinjaman Pemerintah setiap tahunnya. Bagi pengelola utang, batas maksimum pinjaman merupakan target pembiayaan yang harus dipenuhi melalui pinjaman dan harus dicari dari sumber-sumber pinjaman dengan terms and condition yang wajar/menguntungkan. Dengan demikian, batas maksimum pinjaman diharapkan dapat membantu pemisahan fungsi perencanaan kegiatan yang dibiayai dari pinjaman dan fungsi pembiayaan itu sendiri, sedemikian rupa sehingga masing-masing fungsi dapat berjalan lebih efektif dan efisien.
Dalam menetapkan batas maksimum pinjaman, Pemerintah akan mempertimbangkan hal-hal berikut:
1. Garis besar kebijakan pembangunan pemerintah yang dituangkan dalam RPJM;
2. Kapasitas meminjam, yang terdiri dari:
a. Assessment jumlah pinjaman yang mendukung kesinambungan fiskal:
i. memperhitungkan kemampuan pembayaran kembali;
ii. memperhitungkan rencana penyerapan pinjaman dari pinjaman yang telah ada.
b. Ketersediaan sumber pinjaman dengan terms and condition yang wajar.
3. Analisis portofolio utang yang optimal.
Saat ini Pemerintah tengah menyiapkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri, agar dapat mencakup mekanisme batas maksimum pinjaman sebagaimana dijelaskan di atas. Pemerintah memperkirakan mekanisme ini baru mulai diterapkan pada tahun anggaran 2010, setelah dilakukannya revisi PP tersebut dan disiapkannya standard operating procedure (SOP) serta mekanisme kerja antara perencana anggaran, perencana kegiatan dan perencana pembiayaan.
4. Cool Earth Program Loan
Isu pemanasan global sebagai akibat dari terjadinya efek rumah kaca, penggunaan emisi karbon yang meningkat, berkurangnya hutan hujan tropis, dan lain-lain telah mengemuka selama lebih dari satu dekade terakhir. Pemanasan global menyebabkan kenaikan suhu permukaan bumi, kenaikan permukaan air laut dan adanya perubahan cuaca yang berpotensi mengakibatkan bencana alam. Mempertimbangkan berbagai konsekuensi yang terjadi akibat pemanasan global tersebut, berbagai upaya dilakukan negara-negara dunia. Selama kurun waktu 10 tahun terakhir telah disusun kesepakatan untuk mengurangi laju pemanasan global diantaranya melalui Kyoto Protocol dan terakhir pada tahun 2007 melalui Bali Road Map. Dalam merespon hal tersebut, Pemerintah Indonesia turut berpartisipasi diantaranya melalui penyusunan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup (environtmental management).
• Latar Belakang Dukungan Jepang terkait Cool Earth Program untuk
Indonesia
Pada bulan Agustus 2007, Pemerintah RI dan Jepang telah menyepakati kerjasama dalam rangka penanganan masalah perubahan iklim, lingkungan hidup dan energi. Dalam pembicaraan tingkat tinggi antara Indonesia dan Jepang bulan Desember 2007 yang lalu, telah dimulai diskusi awal untuk merumuskan “Cool Earth Program Loan”.
• Tujuan Program Loan
Selain dalam rangka pembiayaan defisit APBN, tujuan program loan itu sendiri adalah untuk menjalankan reformasi kebijakan yang terkait dengan isu-isu pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan pada kerangka kerja Rencana Aksi Nasional yang disusun
oleh Pemerintah Indonesia. Diharapkan pinjaman program tersebut dapat mendorong kebijakan pembangunan yang ramah lingkungan seperti antara lain pembangunan hutan tanaman pada lahan hutan yang rusak, rehabilitasi areal bekas kebakaran, rehabilitasi hutan mangrove dan hutan gambut, perlindungan terhadap forest reserve yang rawan perambahan, dan perlindungan terhadap hutan yang rawan kebakaran dan perambahan.
• Skim Program Loan
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang secara secara bersama-sama akan merumuskan rencana aksi/matrik kebijakan (policy matrix) terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia dalam kerangka waktu yang ditetapkan. Namun demikian, pada prinsipnya, policy matrix tersebut dirumuskan dan dilaksanakan berdasarkan pada “ownership” Pemerintah Indonesia sendiri. Selama pelaksanaan program loan tersebut, kedua negara akan melaksanakan monitoring terhadap pelaksanaan policy matrix tersebut.
Program loan terkait dengan pengelolaan lingkungan tersebut akan dilaksanakan selama 3 tahun (2007-2009). Pencapaian terhadap action plan akan dikonfirmasikan oleh kedua negara, yang selanjutnya akan menjadi dasar bagi Pemerintah Indonesia untuk mengusulkan Cool Earth Program Loan yang akan dibiayai melalui Japanese ODA Loan. Dana pinjaman program loan tersebut akan disediakan oleh Japan Bank for
International Cooperation dan realisasi pencairan dananya akan secara langsung ditampung dalam rekening Pemerintah Indonesia. Pada tahun pertama (2008), pelaksanaan disbursement atas pinjaman program ini akan direalisasikan berdasarkan pemenuhan/pencapaian atas rencana aksi 2007. Adapun indikasi total pinjaman yang akan dicairkan oleh Pemerintah Jepang yang melalui Japanese ODA Loan pada tahun 2008 ini mencapai USD300 juta. Selain itu, dalam rangka Cool Earth Program Loan tersebut, Pemerintah Perancis melalui Agence Française de Développement (AFD) akan berpartisipasi untuk pembiayaan program loan tersebut (co-financing) mencapai USD150-200 juta.
• Outline Policy Matrix untuk Cool Earth Program Loan
Secara umum, policy matrix mencakup 3 area, yaitu mitigation, adaptation dan crosscutting issue. Untuk area mitigation antara lain menitikberatkan pada konservasi hutan dan penghijauan, penghematan energi dan renewable energy. Area adaptation antara lain menitikberatkan pada sumber daya air seperti watershed management, penyediaan air dan sanitasi serta pertanian. Sedangkan untuk area cross-cutting issues antara lain menitikberatkan pada structure arrangement yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup, clean development mechanism, cobenefit dan fiscal incentive.
5. Keterbatasan Alternatif Pinjaman Murah
Pinjaman lunak pada dasarnya merupakan pinjaman yang memiliki persyaratan (terms and conditions) lebih rendah dari pinjaman yang ada di pasar keuangan pada umumnya. Terms and conditions pinjaman lunak biasanya memiliki tenor dan tenggang waktu (grace period) yang lebih panjang, tingkat bunga di bawah tingkat bunga pasar dan biaya lainnya yang sangat ringan. Berdasarkan definisi yang disusun oleh Organization of Economic Cooperation and Development (OECD), sebuah pinjaman dapat dikategorikan sebagai pinjaman lunak apabila memiliki tingkat kelunakan (grant element) sebesar minimal 35 persen Pengukuran tingkat kelunakan dari suatu pinjaman, dihitung sebagai selisih antara face value (jumlah pinjaman) dengan nilai sekarang (present value) dari kewajiban pembayaran pinjaman (termasuk biaya-biaya yang dikenakan) yang harus dibayar oleh peminjam yang dinyatakan sebagai persentase dari face value pinjaman. Menurut konvensi (DAC-OECD), untuk menghitung present value digunakan discount rate 10 persen.
Pinjaman lunak ini biasanya disediakan oleh beberapa lender, diantaranya: (i) lembaga multilateral dimana Indonesia menjadi salah satu anggotanya dan biasanya dikategorikan sebagai concessional loan, sebagai contoh Bank Dunia memiliki International Development Assistance (IDA) dan ADB memiliki Asian Development Fund (ADF); (ii) lembaga keuangan bilateral misalnya Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) memiliki pinjaman lunak yang dikategorikan sebagai Official Development Assistance (ODA); dan (iii) negara-negara kreditur tertentu yang menyediakan pinjaman lunak.
Dalam pelaksanaannya, tidak semua kegiatan Pemerintah dapat dibiayai dengan pinjaman lunak, mengingat pemberi pinjaman mempunyai alasan, tujuan, dan kriteria-kriteria tertentu dalam penyediaan pinjaman lunak. Bagi lembaga keuangan multilateral dan bilateral, pinjaman lunak utamanya diberikan kepada negara-negara yang masuk dalam kategori low income countries dan digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Negara tersebut. Selain itu, beberapa pemberi pinjaman menyediakan pinjaman lunak bagi pembiayaan sektor-sektor tertentu seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Bagi sektor pertahanan dan keamanan, khususnya untuk pengadaan alutsista TNI, dan dalam upaya meningkatkan hubungan kerja sama bilateral yang saling menguntungkan, beberapa negara memberikan pinjaman lunak, akan tetapi hal tersebut masih relatif sedikit (baik dilihat dari sisi jumlah pemberi pinjaman maupun nilai nominal pinjaman tersebut) jika dibandingkan dengan kebutuhan di sektor pertahanan dan keamanan.
Pinjaman dengan terms lunak (concessional) ditujukan utamanya bagi negara-negara yang berpendapatan rendah (low income countries). Indonesia saat ini tergolong sebagai Negara yang per kapita income-nya melampaui batas maksimum yang dipersyaratkan oleh pemberi pinjaman. Sebagai contoh, Bank Dunia menetapkan batas per kapita income-nya sebuah negara untuk dapat menerima pinjaman dengan terms lunak yang berasal dari International Development Assistance (IDA) sebesar maksimum USD1.095. Dengan demikian, Indonesia sudah tidak layak lagi (tidak eligible) memperoleh pinjaman dengan terms lunak khususnya dari lembaga multilateral. Pada tahun 2009, beberapa pemberi pinjaman akan mempersyaratkan tingkat bunga sesuai kondisi pasar yaitu LIBOR+margin.
Bagi beberapa negara kreditur, pinjaman lunak ini diberikan dalam konteks kerjasama bilateral dan dapat dikombinasikan dengan pinjaman komersial dalam bentuk pinjaman campuran (mixed credit/loan). Dalam pinjaman campuran terms and condition telah disesuaikan dengan policy pemberi pinjaman dan ditawarkan kepada negara peminjam. Bentuk-bentuk policy tersebut selain menyediakan dana pinjaman lunak bagi pembiayaan kegiatan tertentu juga dapat berbentuk pengurangan/penghapusan tingkat bunga (subsidi bunga pinjaman), maupun pengurangan/penghapusan biaya-biaya lain.
6. Restrukturisasi Utang
Restrukturisasi utang dilakukan baik pada utang yang sifatnya sekuritas (instrumen Surat Berharga Negara) maupun nonsekuritas (pinjaman pemerintah). Pada intinya restrukturisasi utang dilakukan untuk memperoleh terms and condition (misalnya: tingkat bunga dan jangka waktu utang) yang lebih favorable sesuai analisis biaya dan risiko.
Berkenaan dengan pinjaman, proses restrukturisasi dilakukan melalui berbagai macam bentuk, antara lain melalui moratorium yang mencakup penundaan pembayaran kembali pinjaman serta perpanjangan jangka waktu pinjaman, dan konversi persyaratan pinjaman yang di dalamnya mencakup perubahan tingkat suku bunga, perubahan mata uang, ataupun perubahan metode pembayaran kembali pinjaman.
Restrukturisasi utang dalam bentuk pinjaman pada tahap awal dilakukan dengan
memanfaatkan tawaran konversi terhadap perubahan tingkat suku bunga dan mata uang
pinjaman, khususnya dari lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia dan ADB. Sedangkan pada tahap selanjutnya akan dikaji kemungkinan konversi terhadap metode pembayaran kembali pinjaman dan bentuk-bentuk konversi lainnya. Konversi tingkat suku bunga dan mata uang pinjaman, dari lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia dan ADB akan menyelaraskan persyaratan pinjaman dengan kondisi pasar, sehingga diperoleh pinjaman dengan terms and condition yang market based. Hal ini akan mempermudah Pemerintah dalam pengelolaan portofolio pinjaman, melalui pemanfaatan instrumen-instrumen keuangan yang semakin berkembang di pasar.
Sementara itu, restrukturisasi utang dalam bentuk Surat Berharga Negara dapat dilakukan dengan metode pertukaran dan pembelian kembali obligasi sebelum jatuh tempo. Pertukaran obligasi atau debt switching umumnya dilakukan dengan dua alasan utama, yaitu:
(i) Memperbaiki struktur jatuh tempo pokok SBN, oleh karena itu sering juga disebut sebagai debt reprofiling/maturity profile smoothening.
Dalam kondisi tertentu, misalnya kondisi pasar yang tidak mendukung, program
penerbitan SBN dimungkinkan untuk menyesuaikan dengan kehendak pelaku pasar misalnya menerbitkan Obligasi Negara (ON) berbunga tetap jangka pendek atau ON berbunga mengambang. Kondisi ini membuat durasi portofolio utang menjadi lebih pendek sehingga meningkatkan risiko refinancing. Oleh karena itu, untuk mengurangi risiko tersebut, saat kondisi pasar sudah membaik, dapat dilakukan program debt switching untuk menukar ON jangka pendek dengan ON jangka panjang.
(ii) Meningkatkan likuiditas pasar sekunder SBN.
Debt switching juga diperlukan dalam rangka menarik ON yang kurang likuid dan menggantinya dengan menerbitkan ON yang lebih likuid. ON dapat menjadi kurang likuid jika terjadi antara lain: (i) kuponnya tinggi sehingga investor lebih senang menahannya dalam portofolionya, (ii) size-nya relatif kecil, sehingga kurang supply untuk diperdagangkan, (iii) struktur kepemilikan seri tersebut terkonsentrasi pada sedikit investor, atau investor yang tipenya hold-to-maturity, dan (iv) ON yang sudah lama diterbitkan, dan tidak direncanakan untuk dilakukan reopening (sudah tidak lagi menjadi benchmark).
Transaksi penukaran/debt switching dilakukan secara one-to-one (jumlah unit yang ditarik sama dengan yang diterbitkan), sehingga tidak ada dampak langsung terhadap net additional debt, sedangkan selisih harga diselesaikan secara tunai.
Untuk mekanisme restrukturisasi utang melalui pembelian kembali (cash buyback), pelaksanaannya di lapangan dilakukan secara terbatas, mengingat terbatasnya kondisi keuangan pemerintah. Dalam beberapa kasus, sumber dana untuk cash buyback dapat berasal dari penerbitan SBN pada tahun berjalan. Namun sesuai konsep SBN neto, hal ini berarti meningkatkan jumlah penerbitan SBN untuk menjaga agar SBN neto tetap.
Dalam kondisi pasar SBN yang masih belum berkembang, pembelian kembali SBN secara tunai dengan sumber dana dari penerbitan SBN, dilakukan secara terbatas.
III . Risiko Fiskal
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), minyak bumi mempunyai peranan yang cukup besar. Dari sisi penerimaan negara, khususnya untuk penerimaan negara bukan pajak, minyak bumi masih memberikan sumbangan penerimaan paling besar. Namun dari sisi belanja, minyak bumi juga merupakan sumber pengeluaran yang paling besar terutama dalam rangka subsidi energi. Sebagaimana dimaklumi bahwa dewasa ini Indonesia telah menjadi net importir sehingga perubahan harga minyak di pasaran internasional memiliki sensitivitas yang sangat tinggi terhadap APBN.
Harga minyak dunia dewasa ini cenderung mengalami kenaikan. Perkembangan harga minyak dunia dipengaruhi oleh tingginya demand atas energi dari negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti China dan India, sementara pertumbuhan supply relatif rendah. Pertumbuhan supply minyak mentah dewasa ini hanya berkisar 1 persen per tahun, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan energi untuk pertumbuhan ekonomi dunia yang berkisar antara 3-4 persen, akibatnya harga minyak dunia cenderung meningkat. Dalam waktu yang bersamaan, di Amerika Serikat (AS) terjadi krisis perumahan (subprime mortgage) yang membawa dampak pada pelemahan nilai tukar mata uang dolar AS terhadap beberapa mata uang internasional. Krisis subprime mortgage juga membawa dampak lebih jauh sehingga menyebabkan timbulnya gejolak di pasar keuangan AS dan diperkirakan akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi AS di tahun 2008.
Dalam era globalisasi saat ini dan melihat signifikannya pengaruh perekonomian AS pada perekonomian dunia, maka adanya gejolak perekonomian di AS tersebut akan berimbas pada pasar keuangan negara-negara di dunia. Hal ini ditandai antara lain terjadinya perubahan kepemilikan institusi keuangan dunia pasca subprime. Menurunnya perekonomian AS juga berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Pelemahan nilai tukar mata uang dolar AS diduga juga berdampak pada peta investasi. Investor di bursa cenderung mengalihkan investasinya dan memilih minyak sebagai lahan menciptakan yield sehingga menaikkan harga minyak. Kondisi lainnya yang terjadi di pasar dunia adalah trend meningkatnya harga komoditas primer, terutama pangan, seperti crude palm oil (CPO), beras, dan kedelai yang akhirnya menimbulkan tekanan inflasi pada Negara-negara pengimpor komoditas primer tersebut.
Pada tahun 2009 trend kenaikan harga minyak dunia diperkirakan masih akan berlangsung. Sementara itu dampak negatif perubahan ekonomi global terhadap perkembangan perekonomian di dalam negeri juga masih akan terjadi, baik di pasar keuangan, ekonomi makro, maupun besaran APBN tahun 2009.
III . 1 . Sensitivitas Asumsi Ekonomi Makro
Dalam penyusunan RAPBN, indikator-indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai dasar penyusunan adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan, nilai tukar rupiah, harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ ICP), dan lifting minyak. Indikator-indikator tersebut merupakan asumsi dasar yang menjadi acuan bagi penghitungan besaran-besaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam APBN.
Apabila realisasi variabel-variabel tersebut berbeda dengan asumsinya, maka besaran-besaran pendapatan, belanja dan pembiayaan dalam APBN juga akan ikut berubah. Atas dasar itu, variasi indikator ekonomi makro merupakan salah satu faktor risiko dalam APBN.
Tabel VI.12 menunjukkan selisih antara perkiraan awal besaranbesaran asumsi makro yang digunakan dalam penyusunan RAPBN dan realisasinya untuk tahun 2005-2008. Selisih tersebut mengakibatkan terjadinya perbedaan antara target defisit dengan
realisasinya. Apabila realisasi deficit melebihi target defisit yang ditetapkan dalam RAPBN, maka hal tersebut merupakan risiko fiskal yang harus dicarikan sumber pembiayaannya. Risiko fiskal akibat variasi asumsi ekonomi makro dapat digambarkan dalam bentuk analisis sensitivitas parsial terhadap angka baseline defisit dalam RAPBN. Analisis sensitivitas parsial digunakan untuk melihat dampak perubahan atas satu variabel asumsi ekonomi makro dengan mengasumsikan variabel asumsi ekonomi makro yang lain tidak berubah (ceteris paribus).
Pertumbuhan ekonomi mem-pengaruhi besaran APBN, baik pada sisi pendapatan maupun belanja negara. Pada sisi pendapatan negara, pertumbuhan ekonomi antara lain akan mempengaruhi penerimaan pajak terutama PPh dan PPN. Pada sisi belanja negara, pertumbuhan ekonomi antara lain mempengaruhi besaran nilai Dana Perimbangan dalam anggaran belanja ke daerah sebagai akibat perubahan pada penerimaan pajak. Untuk RAPBN 2009, apabila pencapaian pertumbuhan ekonomi lebih rendah 0,1 persen dari angka yang diasumsikan, maka tambahan defisit APBN diperkirakan akan berada pada kisaran Rp0,46 triliun sampai dengan Rp0,54 triliun.
Inflasi mempengaruhi besaran APBN, baik pada sisi pendapatan maupun belanja negara. Pada sisi pendapatan negara, inflasi antara lain akan mempengaruhi penerimaan pajak terutama PPh dan PPN. Pada sisi belanja negara, inflasi antara lain mempengaruhi besaran nilai belanja Pemerintah Pusat dan Dana Perimbangan dalam anggaran belanja ke daerah sebagai akibat perubahan pada penerimaan pajak. Untuk RAPBN 2009, apabila angka inflasi lebih tinggi 0,1 persen dari angka yang diasumsikan, maka penurunan defisit APBN diperkirakan akan berada pada kisaran Rp0,46 triliun sampai dengan Rp0,54 triliun. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat memiliki dampak pada semua sisi APBN, baik pendapatan, belanja, maupun pembiayaan. Pada sisi pendapatan negara, depresiasi nilai tukar rupiah antara lain akan mempengaruhi penerimaan minyak dan gas bumi (migas) dalam denominasi dolar Amerika Serikat serta PPh Migas dan PPN. Pada sisi belanja negara, yang akan terpengaruh antara lain adalah:
(i) Belanja dalam mata uang asing;
(ii) Pembayaran bunga utang luar negeri;
(iii) Subsidi BBM dan listrik; dan
(iv) Belanja ke daerah dalam bentuk dana bagi hasil migas.
Sedangkan pada sisi pembiayaan, yang akan terkena dampaknya adalah:
(i) Pinjaman luar negeri baik pinjaman program maupun pinjaman proyek;
(ii) Pembayaran cicilan pokok utang luar negeri; dan
(iii) Privatisasi dan penjualan aset program restrukturisasi perbankan yang dilakukan dalam mata uang asing.
Untuk RAPBN 2009, apabila nilai tukar rupiah rata-rata per tahun terdepresiasi sebesar Rp100 dari angka yang diasumsikan, maka tambahan defisit APBN diperkirakan akan berada pada kisaran Rp0,6 triliun sampai dengan Rp0,8 triliun. Tingkat suku bunga yang dijadikan asumsi penyusunan APBN adalah tingkat suku bunga SBI 3 bulan. Perubahan tingkat suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan hanya akan berdampak pada sisi belanja. Dalam hal ini, peningkatan tingkat suku bunga SBI 3 bulan berakibat pada peningkatan pembayaran bunga utang domestik. Untuk RAPBN 2009, apabila tingkat suku bunga SBI 3 bulan lebih tinggi 0,25 persen dari angka yang diasumsikan, maka tambahan defisit APBN diperkirakan akan berada pada kisaran Rp0,3 triliun sampai dengan Rp0,5 triliun.
Harga minyak ICP mempengaruhi APBN pada sisi pendapatan dan belanja negara. Pada sisi pendapatan negara, kenaikan harga minyak ICP antara lain akan mengakibatkan kenaikan pendapatan dari kontrak production sharing (KPS) minyak dan gas melalui PNBP. Peningkatan harga minyak dunia juga akan meningkatkan pendapatan dari PPh Migas dan penerimaan lainnya. Pada sisi belanja negara, peningkatan harga minyak ICP antara lain akan meningkatkan belanja subsidi BBM dan dana bagi hasil ke daerah. Untuk RAPBN 2009, apabila rata-rata harga minyak ICP lebih tinggi US$1 per barel dari angka yang diasumsikan, maka tambahan defisit APBN diperkirakan akan berada pada kisaran Rp0,4 triliun sampai dengan Rp0,6 triliun.
Penurunan lifting minyak domestik juga akan mempengaruhi APBN pada sisi pendapatan dan sisi belanja negara. Pada sisi pendapatan, penurunan lifting minyak domestik akan menurunkan PPh Migas dan PNBP migas. Sementara pada sisi belanja negara, penurunan lifting minyak domestik akan menurunkan dana bagi hasil ke daerah. Untuk RAPBN 2009, apabila realisasi lifting minyak domestik lebih rendah 10.000 barel per hari dari yang diasumsikan, maka tambahan defisit APBN diperkirakan akan berada pada kisaran Rp1,46 triliun sampai dengan Rp1,54 triliun.
a. Pengaruh Harga Minyak Dunia terhadap APBN
b. Dampak Perubahan Harga Minyak Mentah terhadap Pendapatan Negara
Salah satu faktor yang berpengaruh cukup besar terhadap perubahan APBN, baik pendapatan negara maupun belanja negara adalah perkembangan harga minyak mentah Indonesia di pasar internasional atau Indonesia Crude Oil Price (ICP). Perubahan harga minyak mentah akan berpengaruh terhadap pendapatan negara, baik penerimaan SDA migas dan PPh migas, maupun PNBP lainnya yang berasal dari pendapatan minyak mentah DMO (Domestic Market Obligation). Penerimaan yang disebut terakhir ini bersifat kontijensi (contingency), karena penerimaan ini bisa menjadi nihil, apabila harga jual minyak mentah DMO tersebut sama dengan harga beli pemerintah atau harga minyak mentah DMO milik Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dibeli oleh pemerintah dengan harga ICP. Secara umum, persentase penerimaan
negara dari sektor migas terhadap total penerimaan negara menunjukkan trend meningkat, rata-rata terendah tahun 2007 sebesar 25,0 persen dan tertinggi tahun 2008 sebesar 33,4 persen. Rendahnya penerimaan negara dari sektor migas pada tahun 2007 disebabkan oleh menurunnya
penerimaan SDA minyak bumi dari Rp125,1 triliun tahun 2006 (audited) menjadi Rp93,6 triliun tahun 2007 (audited).
Variabel lain yang berpengaruh terhadap besaran defisit adalah volume konsumsi BBM domestik. RAPBN 2009 mengasumsikan konsumsi BBM domestik untuk tahun 2009 sebesar 38,9 juta kiloliter yang terdiri atas konsumsi premium sebesar 18,62 juta kiloliter, konsumsi minyak tanah sebesar 8,29 juta kiloliter, dan konsumsi solar sebesar 11,99 juta kiloliter. Peningkatan konsumsi BBM domestik rata-rata sebesar 0,5 juta kiloliter untuk setiap jenis BBM berpotensi menambah defisit RAPBN 2009 pada kisaran Rp2,8 sampai dengan Rp3,01 triliun.
Dari analisis sensitivitas di atas maka besaran risiko fiskal, berupa tambahan defisit, yang berpotensi muncul dari variasi asumsi-asumsi makroekonomi yang digunakan untuk menyusun RAPBN 2009 dapat digambarkan dalam Tabel VI.13.
III . 2 . Risiko Utang Pemerintah
Salah satu aspek pengelolaan risiko fiskal adalah pengelolaan risiko utang pemerintah. Pengelolaan risiko utang pemerintah sangat mempengaruhi kesinambungan fiscal pemerintah pada tahun berjalan dan masa yang akan datang. Pengelolaan risiko utang pemerintah adalah bagian yang tak terpisahkan dari pengelolaan utang pemerintah. Risiko yang dihadapi dalam pengelolaan risiko utang pemerintah dapat muncul dari lingkungan eksternal maupun internal organisasi pengelola utang. Risiko-risiko dimaksud antara lain:
(i) Risiko keuangan yaitu risiko tingkat bunga, risiko nilai tukar, dan risiko refinancing, dan
(ii) Risiko operasional. Berbagai jenis risiko tersebut memiliki dampak langsung terhadap efisiensi dan efektifitas pengelolaan utang secara keseluruhan. Kondisi risiko keuangan portofolio utang pemerintah terus membaik sejalan dengan semakin baiknya pengelolaan risiko utang pemerintah yang merupakan bagian integral dari strategi pengelolaan utang pemerintah. Perkembangan risiko utang pemerintah dapat dilihat pada Tabel VI.14 berikut ini.
Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel VI.14 tentang indicator risiko portofolio utang tahun 2006 - 2009, risiko tingkat bunga diperkirakan akan menurun seiring dengan upaya pemerintah untuk mengurangi porsi utang dengan tingkat bunga mengambang dengan menerbitkan obligasi negara seri fixed rate. Hal ini nampak dari proyeksi menurunnya proporsi utang dengan tingkat bunga mengambang terhadap total
portofolio utang, dari realisasi sementara sebesar 27,35 persen pada akhir 2007 menjadi 23,36 persen pada akhir 2009.
Indikator lain, misalnya rasio porsi utang yang rentan terhadap perubahan suku bunga (interest rate fixing) juga mengalami penurunan dari 30,97 persen tahun 2007 dan diproyeksikan menjadi 26,3 persen pada tahun 2009. Dengan demikian, dalam jangka panjang exposure risiko utang terhadap volatilitas suku bunga pasar semakin menurun. Sementara itu risiko nilai tukar menunjukkan adanya perbaikan yang ditunjukkan oleh rasio utang valas terhadap PDB yang turun dari 16,43 persen tahun 2007 menjadi 12,88 persen proyeksi 2009, dan rasio utang valas terhadap total utang yang turun dari 46,94 persen tahun 2007 menjadi 46,11 persen pada akhir 2007.
Turunnya rasio-rasio tersebut menunjukkan risiko nilai tukar semakin berkurang. Risiko refinancing akan sedikit meningkat akibat semakin besarnya pinjaman luar negeri (PLN) yang mendekati jatuh tempo (mature), sebagaimana ditunjukkan oleh rata-rata jatuh tempo PLN (ATM PLN) yang turun dari 8,56 tahun pada akhir 2007 menjadi 5,67 tahun proyeksi akhir 2009. Meningkatnya risiko refinancing PLN diimbangi oleh semakin berkurangnya risiko refinancing SUN, sebagaimana ditunjukkan oleh ATM SUN yang meningkat dari 9,95 tahun pada 2007 menjadi 11,02 tahun untuk proyeksi 2009.
Berdasarkan proyeksi utang yang jatuh tempo pada tahun 2009 akan melewati angka Rp100 triliun dengan memperhitungkan adanya penerbitan surat perbendaharaan negara yang memiliki maturity di bawah 1 tahun pada semester ke II tahun 2008, sedangkan jumlah outstanding utang diperkirakan akan mencapai Rp1.614,04 triliun, yang terdiri dari SUN sebesar Rp1.015,4 triliun dan PLN sebesar Rp598,7 triliun. Upaya perbaikan tingkat risiko utang di atas dilakukan dengan strategi antara lain:
- Mengutamakan penerbitan/penarikan utang yang memiliki jenis bunga tetap (Fixed Rate) untuk mengurangi risiko tingkat bunga, selain itu juga melalui konversi utang yang memiliki bunga mengambang atau variabel menjadi berbunga tetap.
- Mengutamakan penerbitan surat utang di pasar domestik dengan mata uang rupiah dengan memperhitungkan daya serap pasar.
- Pemilihan jenis mata uang valas dalam penarikan/penerbitan utang dengan mempertimbangkan tingkat volatilitas nilai tukar terhadap rupiah.
- Mengupayakan penarikan utang baru dengan term and condition yang lebih baik di antaranya mengurangi pengenaan komitmen fee untuk komitmen utang yang belum dicairkan.
- Terus dilakukan operasi pembelian kembali (buy back) dan penukaran (switching) untuk pengelolaan portofolio dan risiko Surat Berharga Negara.
- Melakukan monitoring penarikan utang yang efektif, sehingga komitmen utang yang tidak efisien untuk diteruskan dapat segera ditutup.
- Selain strategi tersebut di atas juga sedang dikaji pengelolaan utang secara aktif dengan menggunakan instrumen financial derivative dalam rangka hedging.
a. Pengelolaan Risiko Operasional
Upaya yang dilakukan Pemerintah untuk mengendalikan risiko operasional dalam pengelolaan utang antara lain dengan:
- Mengembangkan dan melaksanakan standar prosedur pengelolaan utang, baik untuk internal unit pengelola utang maupun terkait dengan mekanisme hubungan antara unit pengelola utang dengan stakeholders;
- Menegakkan kode etik pegawai unit pengelola utang;
- Meningkatkan kompetensi pegawai unit pengelola utang;
- Mengembangkan sistem teknologi informasi yang mendukung pelaksanaan kegiatan pengelolaan utang secara efektif, efisien, aman, transparan, dan akuntabel; serta
- Menyusun dan menyempurnakan peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan utang, sebagai landasan hukum untuk melaksanakan pengelolaan utang secara transparan, aman, akuntabel, dan bertanggung jawab.
III . 3 . Proyek Pembangunan Infrastruktur
Risiko fiskal yang terkait dengan proyek pembangunan infrastruktur berasal dari dukungan/jaminan yang diberikan oleh Pemerintah terhadap beberapa proyek, yaitu Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW, Proyek Pembangunan Jalan Tol Trans Jawa, Proyek Pembangunan Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road II (JORR II), dan Proyek Pembangunan Monorail Jakarta.
1. Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga
Listrik 10.000 MW
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2007, Pemerintah memberikan dukungan dalam bentuk jaminan penuh terhadap pembayaran kewajiban PT PLN (Persero) kepada kreditur perbankan yang menyediakan pendanaan/ kredit untuk proyek-proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik (10.000 MW) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 71 tersebut. Penjaminan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kelayakan PT PLN (persero) dalam memperoleh kredit (creditworthiness) dan sekaligus menurunkan biaya modal proyek. Hal ini diharapkan akan mempercepat penyelesaian Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW sehingga masalah kekurangan pasokan listrik dapat teratasi. Terkait dengan upaya untuk menghindari terulangnya kekurangan pasokan listrik, saat ini Pemerintah tengah merencanakan pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 MW tahap II. Proyek 10.000 MW tahap II diharapkan dapat dimulai prosesnya pada tahun 2009 dengan skema jaminan pemerintah seperti halnya pada proyek 10.000 MW yang saat ini sedang memasuki tahap penyelesaian.
Nilai investasi keseluruhan proyek 10.000 MW diperkirakan sekitar Rp99,4 triliun, dengan rincian Rp73,5 triliun untuk pembangkit dan Rp25,9 triliun untuk transmisi. Sekitar 85 persen kebutuhan dana proyek pembangkit dan transmisi dipenuhi melalui pembiayaan kredit perbankan baik dari dalam maupun luar negeri.
Nilai pinjaman yang diperoleh PT PLN (Persero) sampai akhir tahun 2008 diperkirakan sebesar Rp84,5 triliun. Hingga Juni 2008, sumber pembiayaan yang telah diperoleh (ditandatangani dan ditetapkan pemenang lelang) dapat dilihat pada Tabel VI.15.
Risiko fiskal dengan adanya jaminan pemerintah (full guarantee) ialah ketika PT PLN (Persero) tidak mampu memenuhi kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu, dan oleh karenanya pemerintah wajib memenuhi kewajiban tersebut. Pemenuhan kewajiban pemerintah tersebut dilaksanakan melalui mekanisme APBN. Beberapa faktor risiko yang dapat mengurangi kemampuan PT PLN (Persero) dalam memenuhi kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu antara lain: pertumbuhan penjualan energi listrik yang tinggi, tarif, fluktuasi nilai tukar, kenaikan harga BBM, peningkatan biaya pemeliharaan mesin, serta kekurangan pasokan batubara.
Kewajiban PT PLN (Persero) kepada kreditur pada tahun 2009 masih terbatas pada kewajiban pembayaran bunga atas pinjaman. Bila seluruh kebutuhan pembiayaan dapat diperoleh pada tahun 2008 maka Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran guna mengantisipasi risiko fiskal atas kewajiban PT PLN (Persero) dalam pembayaran bunga kredit tersebut sebesar Rp1,0 triliun. Peningkatan alokasi anggaran risiko ini dikarenakan atas dua pertimbangan utama. Pertama, peningkatan kewajiban pembayaran bunga di tahun ini karena pencairan kredit di tahun 2009 diperkirakan meningkat hingga 2/3 (dua pertiga) dari total pinjaman yang telah diperoleh. Kedua, probability atau kemungkinan terjadinya default PT PLN (Persero) diperkirakan juga meningkat akibat fluktuasi harga minyak dan batubara.
Mengingat hal tersebut dapat berdampak pada kinerja keuangan/cash flow PT PLN (Persero) dua tahun terakhir.
2. Proyek Pembangunan Jalan Tol
Risiko fiskal pada proyek pembangunan jalan tol berasal dari dukungan pemerintah dalam menanggung sebagian dari kelebihan biaya pengadaan tanah sebagai akibat adanya kenaikan harga pada saat pembebasan lahan. Sebanyak 28 proyek pembangunan jalan tol mendapat dukungan dimaksud, diantaranya adalah proyek-proyek Jalan Tol Trans Jawa dan Jakarta Outer Ring Road II (JORR II).
Pemberian dukungan Pemerintah atas kenaikan biaya pengadaan tanah pada 28 ruas jalan tol dimaksudkan untuk mendorong percepatan pembangunan jalan tol yang tersendat. Hal mana disebabkan oleh permasalahan kenaikan harga dalam pembebasan tanah yang akan digunakan dalam pembangunan jalan tol. Di samping itu, dukungan juga dimaksudkan untuk menjaga tingkat kelayakan finansial dari proyek jalan tol sehingga diharapkan investor segera menyelesaikan pembangunannya.
Pemberian dukungan pemerintah dimaksud akan dialokasikan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun anggaran yakni tahun 2008 hingga tahun 2010 dengan total nilai dukungan sebesar Rp4,89 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp2,0 triliun akan dialokasikan pada tahun 2009. Mengingat jangka waktu tersebut, kiranya dukungan pemerintah ini bersifat temporer. Arah kebijakan mendatang untuk percepatan pembangunan jalan tol, risiko land capping akan ditanggulangi dengan melakukan penyediaan lahan terlebih dahulu oleh kementerian negara/ lembaga.
Atas dukungan tersebut, Pemerintah menetapkan suatu kebijakan dimana Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) diminta untuk mengembalikan dukungan yang diperolehnya apabila tingkat pengembalian proyek yang didapat BUJT lebih tinggi dari tingkat pengembalian yang direncanakan dalam perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT). Kebijakan ini akan diberlakukan setelah BUJT mencapai periode pengembalian atas investasi mereka.
3. Proyek Pembangunan Monorail Jakarta
Proyek infrastruktur lain yang juga mendapat dukungan pemerintah adalah Proyek Pembangunan Monorail Jakarta (green line dan blue line). Dukungan pemerintah diberikan dalam bentuk pemberian jaminan untuk menutup kekurangan (shortfall) atas batas minimum penumpang (ridership) sebesar 160.000 penumpang per hari. Nilai jaminan maksimum sebesar US$11,25 juta per tahun selama lima tahun, terhitung sejak proyek tersebut beroperasi secara komersial dengan kemampuan angkut sebesar 270.000 penumpang per hari.
Jaminan berlaku efektif sejak tanggal 15 Maret 2007 untuk jangka waktu 36 bulan. Apabila ketentuan dimaksud tidak dapat dipenuhi, maka berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 30/PMK.02/2007 pemberian jaminan dinyatakan batal dan tidak berlaku. Sampai pertengahan tahun 2008, investor Proyek Pembangunan Monorail Jakarta belum berhasil mendapatkan fasilitas pembiayaan (financial close) sesuai dengan perjanjian perjasama yang telah ditandatangani bersama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Terkait dengan hal tersebut, terdapat kemungkinan proyek ini akan ditinjau kembali oleh pihak-pihak terkait. Mengingat hal tersebut, untuk tahun 2009 diperkirakan belum ada risiko fiskal terkait dengan proyek ini karena proyek monorail belum beroperasi pada tahun 2009 mendatang.
4. Pendirian Guarantee Fund untuk Infrastruktur
Sebagaimana telah diamanatkan dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Kebijakan Ekonomi tahun 2008–2009, maka pendirian dan pengoperasian lembaga penjaminan infrastruktur (guarantee fund) dibutuhkan untuk mendorong keterlibatan sector swasta dalam pembangunan infrastruktur. Pendirian lembaga ini, merupakan kebijakan jangka panjang dalam mengembangkan tatanan kelembagaan sektor keuangan agar lebih mampu mendukung pembangunan infrastruktur. Di masa yang akan datang, proyek-proyek infrastruktur yang dipersiapkan sesuai peraturan perundang-undangan dapat memperoleh fasilitas penjaminan dari lembaga ini.
Tujuan utama dari didirikannya guarantee fund ini adalah untuk memberikan kemudahan bagi proyek infrastruktur dalam mencapai pembiayaan (financial close) dan memperoleh biaya modal (cost of capital) yang terbaik melalui peningkatan kelayakan memperoleh kredit (creditworthiness) dari proyek infrastruktur tersebut. Bagi keuangan negara, keberadaan guarantee fund akan mendorong pengelolaan kewajiban kontinjen yang lebih transparan dan akuntabel. Keberadaan guarantee fund diharapkan dapat meningkatkan kualitas pengelolaan risiko fiskal terutama atas risiko-risiko yang dijamin Pemerintah terhadap proyek-proyek infrastruktur sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.01/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Risiko atas Penyediaan Infrastruktur.
Meskipun demikian, hal tersebut tidak berarti menghilangkan sama sekali exposure risiko fiskal dari proyek infrastruktur karena guarantee fund dapat mengajukan penggantian (recourse) kepada Pemerintah terhadap klaim yang dibayarkan. Keterlibatan pendanaan pemerintah dalam pendirian lembaga tersebut diwujudkan dalam bentuk penempatan penyertaan modal negara (PMN) sebagai modal awal untuk pendiriannya. Untuk itu pada tahun anggaran 2009 Pemerintah merencanakan mengalokasikan dana sebesar Rp1,0 triliun. Dengan jumlah PMN tersebut, porsi kepemilikan pemerintah dalam lembaga ini mencapai 100 persen.
III . 4 . Risiko Badan Usaha Milik Negara (BUMN):
Sensitivitas Perubahan Harga Minyak, Nilai Tukar,
dan Suku Bunga terhadap Risiko Fiskal BUMN
Perubahan harga minyak, nilai tukar, dan suku bunga akan menimbulkan dampak pada kinerja keuangan BUMN yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kontribusi BUMN terhadap APBN. Penurunan kontribusi ini merupakan bagian dari risiko fiskal yang bersumber dari BUMN. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh perubahan tersebut Pemerintah telah melakukan pengujian sensitivitas atau macro stress test dengan menggunakan beberapa indikator risiko fiskal yang meliputi:
(i) Kontribusi bersih BUMN terhadap APBN;
(ii) Utang bersih BUMN; dan
(iii) Kebutuhan pembiayaan bruto BUMN. Simulasi ini dilakukan sebagai upaya untuk dapat mengidentifikasi secara dini risiko fiskal yang bersumber dari BUMN, sehingga kesinambungan APBN dapat lebih terjaga.
Simulasi macro stress test dilakukan pada PT Pertamina, PT PLN, PT PGN, PT Telkom, PT PELNI, PT KAI, dan PT PUSRI. Pengujian ini dilakukan secara parsial dan baseline berdasarkan kinerja keuangan ketujuh BUMN pada tahun 2007. Hasil macro stress test menunjukkan bahwa kenaikan nilai tukar, harga minyak dan tingkat bunga mengakibatkan kontribusi bersih BUMN terhadap APBN tahun 2009 semakin negatif. Sebagai contoh, pada saat harga minyak meningkat sebesar USD20 per barel maka arus kas dari Pemerintah ke BUMN juga meningkat antara Rp1.350,9 miliar sampai dengan Rp1.375,7 miliar. Kenaikan ini terutama disebabkan oleh kenaikan subsidi minyak dan listrik yang diberikan melalui PT Pertamina dan PT PLN.
Kenaikan ketiga variabel makro ini juga meningkatkan kebutuhan pembiayaan bruto BUMN. Sebagai contoh, pada saat nilai tukar rupiah terhadap USD mengalami depresiasi sebesar 20 persen menyebabkan kebutuhan pembiayaan bruto BUMN tahun 2009 meningkat antara Rp106,72 s.d. 107,9 miliar agar BUMN tetap tumbuh. Terkait hal ini terdapat beberapa BUMN yang mengalami kesulitan dalam mencari sumber-sumber pembiayaan tanpa mendapatkan dukungan Pemerintah. Pada aspek total utang bersih BUMN, kenaikan ketiga variabel makro tersebut juga semakin memperlebar selisih antara total kewajiban BUMN dengan aktiva lancar yang dimiliki BUMN.
Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap USD sebesar 20 persen pada tahun 2009 berpotensi menurunkan kemampuan aktiva lancar terhadap total kewajiban antara Rp774,3 s.d. Rp756,9 miliar. Uji sensitivitas juga menunjukkan bahwa depresiasi nilai tukar rupiah terhadap US$ mempunyai dampak yang cukup signifikan terhadap risiko fiskal BUMN selain kenaikan harga minyak dan tingkat bunga. Besarnya pengaruh depresiasi ini disebabkan tingginya denominasi dolar Amerika Serikat dalam aktivitas operasional BUMN dan komposisi utang BUMN. Sebagai contoh, utang PT PLN dalam mata uang asing pada tahun 2007 mencapai sekitar 71,54 persen dari total utang.
Terkait dengan uraian tersebut di atas, berikut ini disajikan hasil pengujian sensitivitas macro stress test risiko fiskal BUMN dan kinerja beberapa BUMN serta potensi risiko fiskal yang ditimbulkannya pada Boks VI.6. Sedangkan untuk risiko fiskal terkait dengan PSO berikut ini disajikan pada Boks VI.7 dan Boks VI.8. Untuk risiko fiskal terkait dengan PMN disajikan pada Boks VI.9 dan Boks VI.10.
III . 5 . Sektor Keuangan
Risiko fiskal yang terkait dengan sektor keuangan diantaranya bersumber dari Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
1. Bank Indonesia
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 diatur bahwa modal Bank Indonesia sekurang-kurangnya harus Rp2 triliun. Dalam hal terjadi risiko atas pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia yang mengakibatkan modal tersebut menjadi kurang dari Rp2 triliun, maka Pemerintah wajib menutup kekurangan dimaksud yang dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan kesepakatan bersama antara Pemerintah dan Bank Indonesia mengenai Penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) serta hubungan keuangan Pemerintah dan Bank Indonesia, disepakati bahwa Pemerintah membayar charge kepada Bank Indonesia apabila rasio modal terhadap kewajiban moneter Bank Indonesia kurang dari 3 persen. Sebaliknya apabila rasio modal terhadap kewajiban moneter Bank Indonesia mencapai di atas 10 persen, maka kelebihan di atas 10 persen tersebut menjadi bagian Pemerintah. Data historis rasio modal Bank Indonesia dari tahun 2005 sampai dengan 2007 serta proyeksi untuk 2008 dan 2009 dapat dilihat pada
Grafik VI.16.
Perum Jaminan Kredit Indonesia (Perum Jamkrindo)
Sejak tanggal 1 Juli 2008 nama Perum Sarana Pengembangan Usaha (Perum SPU) berubah menjadi Perum Jaminan Kredit Indonesia (Perum Jamkrindo) berdasarkan PP Nomor 1 tahun 2008 tanggal 19 Mei 2008. Perum Jamkrindo bertugas menyelenggarakan kegiatan usaha di bidang penjaminan kredit bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah, serta Koperasi (UMKMK), termasuk kegiatan penjaminan kredit perorangan, jasa konsultasi dan jasa manajemen kepada UMKMK.
Secara umum kinerja keuangan dari Perum Jaminan Kredit Indonesia (Perum
Jamkrindo) adalah sebagai berikut. Perum Jamkrindo merupakan salah satu perusahaan yang diminta oleh DPR untuk lebih berperan dalam pengembangan UMKM, khususnya dalam penjaminan kredit UMKM. Untuk meningkatkan kapasitas penjaminan, dalam tahun 2007, Perum Jamkrindo menerima dana PMN sebesar Rp600 miliar.
Dari grafik di samping dapat dilihat pada tahun 2008 dan 2009 diperkirakan akan terjadi penurunan rasio modal Bank Indonesia dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2008 dan 2009 rasio modal diperkirakan masing-masing sebesar 7,60 persen dan 5,54 persen. Penurunan ini diantaranya disebabkan oleh peningkatan biaya pengendalian moneter untuk menjaga stabilitas ekonomi makro yang menjadi tugas Bank Indonesia. Berdasarkan perkiraan di atas, Pemerintah tidak perlu menganggarkan dana charge untuk Bank Indonesia pada RAPBN Tahun 2009.
2. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, modal awal LPS ditetapkan sekurang-kurangnya Rp4,0 triliun dan sebesarbesarnya Rp8,0 triliun. Dalam hal modal LPS kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan DPR akan menutup kekurangan tersebut. Tabel VI.17 menggambarkan posisi permodalan LPS untuk tahun 2006 dan 2007, serta proyeksinya untuk tahun 2008 dan 2009.
Simpanan layak bayar atau jumlah klaim yang harus dibayar LPS dalam tahun 2009 tidak dapat diestimasi karena bank yang berada dalam pengawasan khusus Bank Indonesia pada akhir tahun 2008 atau yang dicabut izin usahanya dalam tahun 2009 juga tidak dapat diestimasi. Dengan demikian, kemungkinan Pemerintah harus menyediakan dana charge untuk LPS juga belum dapat ditentukan.
III . 6 . Program Pensiun dan Tunjangan Hari Tua (THT)
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Sumber risiko fiskal yang berasal dari program pensiun PNS diantaranya berasal dari sharing pembayaran pensiun antara APBN dan PT Taspen yang jumlahnya secara signifikan meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun anggaran 2008 Pemerintah telah menetapkan sharing pembayaran pensiun antara APBN dan PT Taspen sebesar 91 : 9. Pada tahun 2009 Pemerintah merencanakan untuk memperbaiki sharing APBN dalam pembayaran pensiun, sesuai dengan rencana pengembalian pola pendanaan pensiun secara bertahap menjadi 100 persen beban APBN. Estimasi beban APBN untuk pembayaran manfaat pensiun periode 2009-2012 dapat dilihat pada Grafik VI.17.
Dari grafik di samping dapat dilihat kebijakan perubahan sharing dari 91 persen menjadi 100 persen pada tahun 2009 berpotensi meningkatkan pengeluaran Pemerintah dari Rp37,2 triliun menjadi Rp40,8 triliun atau meningkat sekitar 9,7 persen. Dengan terus meningkatnya beban APBN untuk pembayaran pensiun dan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai, Pemerintah perlu membentuk suatu Dana Pensiun dan menerapkan sistem fully funded dalam program pensiun PNS, yaitu Pemerintah sebagai pemberi kerja bersama-sama PNS memupuk dana untuk dikelola oleh suatu Dana Pensiun sehingga pembayaran pensiun di kemudian hari tidak akan membebani APBN. Konsekuensinya, Pemerintah melalui APBN perlu menyediakan dana awal yang cukup besar untuk menunjang penerapan sistem fully funded.
Adapun untuk program THT, beberapa kebijakan Pemerintah, antara lain kenaikan gaji pokok PNS dan perubahan formula perhitungan manfaat, menimbulkan risiko pada APBN terkait dengan kekurangan pendanaan Pemerintah (unfunded liability), dengan rincian sebagai berikut:
a. Perubahan formula perhitungan manfaat THT pada tahun 2004 PT Taspen mencatat adanya kekurangan pendanaan pemerintah sebesar Rp1,97 triliun. Untuk kewajiban ini, Pemerintah mulai tahun 2005 mencicil sebesar Rp250,2 miliar per tahun. Pada tahun anggaran 2008 Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp500,2 miliar. Besarnya cicilan pembayaran kekurangan pendanaan ini akan disesuikan dengan kemampuan keuangan negara.
b. Akibat adanya kenaikan gaji pokok PNS pada tahun 2001, 2003, dan 2007, PT Taspen mencatat adanya kekurangan pendanaan pemerintah dalam program THT sebesar Rp1,9 triliun.
c. Kenaikan gaji PNS pada tahun 2008 sebesar 20 persen PT Taspen mencatat adanya kenaikan kekurangan pendanaan sebesar Rp2,5 triliun.
III . 7 . Desentralisasi Fiskal
Kebijakan desentralisasi fiskal dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan berjalannya waktu, pelaksanaan kebijakan ini telah berhasil mendorong perkembangan pembangunan daerah yang mengalami pemekaran. Namun demikian, kebijakan desentralisasi fiskal perlu didukung dengan tersedianya SDM yang mampu menyelenggarakan pengelolaan keuangan daerah yang baik dan benar. Tanpa dukungan tersebut, kebijakan ini dapat menimbulkan risiko yang berdampak tidak hanya pada keuangan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
Beberapa sumber risiko fiskal yang terkait dengan desentralisasi fiskal diantaranya: (i) pemekaran daerah, (ii) hold harmless, dan (iii) alokasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam.
1. Pemekaran Daerah
Penambahan daerah otonom baru memiliki dampak terhadap APBN yaitu pada (i) Dana Alokasi Umum (DAU); (ii) Dana Alokasi Khusus (DAK); dan (iii) kebutuhan pada instansi vertikal. Jumlah daerah otonom baru sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 telah mengalami penambahan sebanyak 31 daerah. Tabel VI.18 berikut menunjukkan perkembangan jumlah daerah otonom baru tahun 2005 sampai dengan tahun 2008.
Setiap penambahan daerah otonom baru mengakibatkan menurunnya alokasi riil DAU bagi daerah otonom lainnya. Apabila kebijakan hold harmless masih dipertahankan, penurunan alokasi DAU tersebut memberi konsekuensi kepada APBN untuk menyediakan Dana Penyesuaian. Sarana dan prasarana pemerintahan di daerah sangat dibutuhkan oleh daerah otonom baru. Mulai tahun 2003, Pemerintah telah mengalokasikan sejumlah dana pada DAK untuk bidang prasarana pemerintahan guna mendukung kelancaran penyelenggaraan pemerintahan daerah pemekaran. Adapun yang menerima dana ini adalah daerah yang terkena dampak pemekaran (daerah otonom baru dan daerah induk). Sejak tahun 2003 sampai dengan 2008, DAK bidang prasarana pemerintahan ini dialokasikan dengan kisaran Rp3,3 miliar– Rp4,3 miliar kepada tiap daerah penerima. Pemerintah diperkirakan membutuhkan dana dengan kisaran yang sama untuk tiap penambahan daerah baru.
Dengan berjalannya waktu, pelaksanaan kebijakan ini telah berhasil mendorong
perkembangan pembangunan daerah yang mengalami pemekaran. Namun demikian, kebijakan desentralisasi fiskal perlu didukung dengan tersedianya sumber daya manusia
yang mampu menyelenggarakan keuangan daerah serta sistem administrasi yang baik dan benar. Tanpa dukungan tersebut, kebijakan ini dapat menimbulkan risiko yang berdampak pada keuangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Konsekuensi lain dari pemekaran daerah terhadap keuangan negara adalah penambahan kantor-kantor untuk instansi vertikal guna melakukan kegiatan pemerintahan yang merupakan kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Pusat, antara lain: pertahanan; keamanan; agama; kehakiman; dan keuangan. Dengan dibukanya kantor-kantor tersebut, Pemerintah Pusat harus menyediakan dana untuk sarana dan prasarana gedung kantor, belanja pegawai, dan belanja operasional lainnya. Berdasarkan data RKA-KL tahun 2005- 2008, jumlah dana APBN yang dialokasikan kepada daerah otonom baru berkisar antara Rp6,3 triliun-Rp14,0 triliun). Berdasarkan data RKA-KL tahun 2008, jumlah dana APBN yang dialokasikan untuk kebutuhan instansi vertikal pada daerah otonom baru adalah sebesar Rp14,0 triliun.
2. Hold Harmless
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengatur bahwa pemberian dana alokasi umum (DAU) ke daerah dilakukan berdasarkan suatu formula tertentu. Lebih lanjut disebutkan bahwa formula ini digunakan mulai tahun anggaran 2006, akan tetapi sampai dengan tahun anggaran 2007 alokasi DAU yang diberlakukan untuk masing-masing daerah ditetapkan tidak lebih kecil dari tahun anggaran 2005. Apabila DAU untuk provinsi tertentu lebih kecil dari tahun anggaran 2005, kepada provinsi yang bersangkutan dialokasikan dana penyesuaian yang besarnya sesuai dengan kemampuan dan perekonomian negara, kebijakan ini dikenal sebagai hold harmless.
Pada tahun 2008 kebijakan hold harmeless telah dikurangi, meskipun belum seratus persen dihapuskan. Pemerintah masih mengalokasikan dana penyesuaian DAU sejumlah Rp271,7 miliar untuk menutup DAU bagi daerah yang mengalami penurunan DAU sebesar 75 persen atau lebih dibandingkan dengan DAU tahun 2007. Pada tahun 2009 Pemerintah berencana untuk murni tidak memberlakukan kebijakan hold harmlesss yang berarti DAU untuk tiap daerah dialokasikan murni berdasarkan formula.
Keberhasilan penerapan formula murni ini sangat ditentukan oleh political will Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, serta DPR RI dalam upaya mengoptimalkan alokasi DAU bagi kepentingan seluruh daerah. Kesamaan political will antara tiga pihak ini diharapkan dapat mengurangi potensi bertambahnya beban APBN 2009.
3. Alokasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Dana Bagi Hasil (DBH) disalurkan berdasarkan realisasi penerimaan tahun berjalan. Oleh karena itu, selama tahun anggaran berjalan terdapat potensi perbedaan antara DBH yang dianggarkan (alokasi) dalam APBN atau APBN-P dengan realisasi. Apabila perhitungan realisasi DBH suatu daerah lebih tinggi daripada alokasi, Pemerintah harus mentransfer selisih dana tersebut ke daerah yang bersangkutan. Berdasarkan data tahun 2000 s.d. 2007, rata-rata selisih DBH alokasi dengan realisasi adalah sebesar - 3,05 persen (tanda minus berarti realisasi lebih tinggi daripada alokasi) dan selisih tersebut berkisar antara negatif Rp5,3 triliun s.d. Rp2,9 triliun (lihat Grafik
VI.18).
III . 8 . Tuntutan Hukum kepada Pemerintah
Pihak ketiga mengajukan tuntutan hukum kepada Pemerintah melalui pengadilan antara lain dalam kasus pengadaan listrik swasta (Independent Power Producers/IPPs) dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Masalah listrik swasta, diselesaikan melalui tiga pola dalam penyelesaian sengketa, yaitu (i) closed-out atau penghentian kontrak dengan beberapa disertai pemberian kompensasi (7 kontrak); (ii) renegosiasi terms and conditions kontrak (17 kontrak); dan (iii) ajudikasi atau arbitrase-litigasi (3 kontrak, yaitu PLTP Dieng, PLTP Patuha, dan PLTP Karaha Bodas). Tidak terdapat lagi risiko fiskal yang terkait dengan kasus PLTP Dieng, PLTP Patuha dan
PLTP Karaha Bodas. Sengketa atas kontrak PLTP Dieng dan PLTP Patuha telah dapat diselesaikan melalui settlement agreement dengan Overseas Private Investment Corporation (OPIC) selaku perusahaan asuransi dari kedua proyek tersebut. Sesuai settlement agreement, Pemerintah berkewajiban membayar cicilan dengan jadual yang ditentukan. Pemerintah selalu mengalokasikan anggaran untuk pembayaran cicilan tersebut setiap tahun anggaran. Sedangkan untuk kasus PLTP Karaha Bodas, Arbitrase telah memberikan putusan final dan sejumlah dana pada beberapa trusts accounts di New York pada tahun 2006 telah dieksekusi untuk memenuhi seluruh putusan arbitrase tersebut.
Dalam sengketa yang terkait dengan kegiatan BPPN, jumlah perkara yang ditangani hingga saat ini adalah 494 perkara terdiri dari 432 Perkara Perdata (termasuk 20 perkara baru), 30 Perkara Niaga (termasuk 1 perkara baru), 7 Perkara Tata Usaha Negara (PTUN), 1 Perkara Pidana dan 24 Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Beberapa perkara yang mewajibkan Pemerintah membayar dan yang berpotensi membayar adalah sebagai berikut:
a. Perkara yang mewajibkan Pemerintah membayar (perkara yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap) adalah sebesar Rp12,2 miliar dan US$104,7 juta. Dengan rincian sebesar Rp7,6 miliar sudah dibayar kepada satu pemilik dana, Rp240 juta masih dalam proses pembayaran terhadap satu pemilik dana. Sementara itu sebesar Rp4,4 miliar dan US$104,7 juta belum dibayar terhadap dua pemilik dana.
b. Sedangkan perkara yang berpotensi Pemerintah membayar (perkara masih dalam proses di pengadilan) adalah 18 perkara dengan nilai sebesar Rp915,4 miliar dan US$38,2 juta.
III . 9 . Keanggotaan pada Organisasi dan Lembaga Keuangan Internasional
Keanggotaan Indonesia pada organisasi dan lembaga keuangan internasional dapat menimbulkan risiko fiskal terkait dengan adanya komitmen Pemerintah untuk memberikan kontribusi dan penyertaan modal kepada organisasi-organisasi atau lembaga keuangan internasional tersebut.
Untuk tahun 2009, diperkirakan jumlah dana yang harus dipersiapkan oleh Pemerintah untuk membayar kontribusi dan penyertaan modal kepada organisasi internasional (OI) dan lembaga keuangan internasional (LKI) adalah sebesar Rp582,4 miliar. Kontribusi kepada OI disalurkan melalui DIPA Departemen Luar Negeri sebagaimana diatur dalam Keppres Nomor 64/1999 dengan jumlah sebesar Rp300 miliar. Dalam hal trust fund dan penyertaan modal pada OI dan LKI, dana dialokasikan pada DIPA Departemen Keuangan dan mencapai nilai sebesar Rp282,4 miliar dengan rincian sebagaimana tertera pada Tabel VI.19.
III . 10 . Bencana Alam
Indonesia merupakan negara yang wilayahnya memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang
disebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan maupun kerugian harta benda. Berdasarkan data tahun 2007 beberapa bencana yang mengancam wilayah Indonesia diantaranya adalah banjir, banjir dan tanah longsor, gunung berapi serta bencana lainnya sebagaimana dapat dilihat pada Grafik VI.19 berikut ini.
Dasar hukum penanggulangan bencana mengacu kepada UU Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana. Berdasarkan undang-undang tersebut tanggung jawab Peme-rintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana diantara-nya perlindungan masyarakat dari dampak bencana, pemulihan kondisi dari dampak bencana dan pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam APBN.
Anggaran tersebut diperuntukan untuk kegiatan-kegiatan tahap prabencana, saat tanggap darurat bencana, dan pascabencana. Untuk tahun 2007, Pemerintah mengalokasikan dana kontinjensi untuk penanggulangan bencana sebesar Rp2,7 triliun. Dari anggaran tersebut, 99 persen telah direalisasi antara lain untuk penanganan gempa di Manggarai, Bengkulu, Sumatera Barat dan sekitarnya serta banjir di Morowali dan Gorontalo.
Sedangkan untuk tahun 2008, Pemerintah mengalokasikan dana kontinjensi bencana sebesar Rp3,0 triliun. Untuk tahun 2009, Pemerintah mengusulkan dana kontinjensi bencana sebesar Rp3,0 triliun, sama dengan tahun anggaran sebelumnya.
IV . PENUTUP
IV . 1 . KESIMPULAN
Keputusan penambahan defisit APBN 2009 masih menunggu kejelasan sumber pembiayaan, kapasitas anggaran, dan kemampuan optimalisasi penyerapan anggaran Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan pemerintah belum mengubah defisit APBN 2009 sebesar 1% kendari perekonomian nasional mulai melambat dan membutuhkan stimulus yang lebih besar guna menjaga stabilitas ekonomi. Meski demikian, kemungkinan pelebaran defisit anggaran tetap ada. "Kemungkinan itu [memperlebar defisit] tidak kami anulir.
Seandainya kondisi ekonomi berubah sangat signifikan, bisa saja struktur dan komposisi APBN diubah. Pemerintah masih perlu mengamati kondisi perekonomian tahun depan dan membahasnya dengan DPR," tegasnya seusai membuka forum desentralisasi ekonomi, kemarin.
Dari sisi penerimaan negara, katanya, kalau aktivitas ekonomi menurun, kemungkinan target penerimaan mengikuti secara otomatis. Selanjutnya, apabila belanja anggaran tidak dipotong, defisit akan membengkak.
IV . 2 . SARAN
Pemerintah membantah kebiasaan mengadakan utang setiap tahun, baik utang dalam negeri maupun luar negeri, sebagai suatu bentuk ketagihan terhadap utang yang sangat kental bernuansa strategi "gali lubang tutup lubang". kepentingan menutup defisit hanya salah satu alasan pemerintah terus menambah utang setiap tahun. Ada beberapa alasan lain mengapa pemerintah terus terperangkap dalam rutinitas membuat utang baru, khususnya lewat penerbitan instrumen surat utang negara.
Salah satunya, penerbitan utang baru diperlukan dalam rangka pengelolaan risiko pembiayaan (financing). Hal ini dilakukan dengan menerbitkan surat utang baru bertenor lebih panjang untuk membayar utang lama (baik dalam negeri maupun luar negeri) yang jatuh tempo. Tidak dapat disetujui langkah ini disebut sebagai strategi gali lubang tutup lubang. "Memang ini boleh dikatakan gali lubang tutup lubang. Tetapi, di dalam gali lubang tutup lubang ini. kita harus mendapatkan terms yang lebih baik. Ini bisa kita lakukan, misalnya jangka waktunya lebih panjang. Yang tadinya hanya bisa utang lima tahun, sekarang bisa sampai 10 tahun, bahkan 30 tahun, baik itu utang dalam negeri maupun luar negeri. Ini untuk mengurangi refinancing risk." ujarnya.
Penerbitan utang juga diperlukan sebagai acuan (benchmarking) dalam penetapan harga bagi aset finansial lain di pasar modal atau pasar uang. Untuk kepentingan benchmarking ini. Perlu dilakukan penerbitan surat berharga negara (SBN) secara reguler. Pengembangan pasar SBN bukan hanya bisa menjadi tumpuan pembiayaan APBN, tetapi juga landasan bagi pengembangan pasar modal secara keseluruhan. Pasar modal, termasuk pasar uang, itu bertumpu pada sejauh mana pasar surat berharga suatu negara berkembang karena harga surat berharga negara menjadi acuan aset keuangan lainnya.
Ketiga, pengadaan utang baru juga diperlukan dalam rangka meningkatkan likuiditas dan kedalaman pasar (market depth). Hal ini dilakukan dengan menambah jumlah suplai instrumen tertentu ke pasar.
Keempat, penerbitan utang baru juga diperlukan dalam rangka diversifikasi instrumen atau jenis surat berharga negara (SBN) baru guna memperluas basis investor atau sumber pembiayaan, terutama di dalam negeri. Kita tak bisa bergantung pada perbankan saja, apalagi perbankan dalam negeri. Kita sudah belajar dari krisis tahun 1997/1998. Keterpurukan waktu itu dipicu oleh krisis sektor keuangan dan perbankan sehingga dampak-nya terasa sampai sekarang. Pada saat perbankan kolaps, kita tak punya altematif. Berbeda dengan negara maju yang sudah memiliki pasar modal. Pasar modal di negara kita belum berkembang dengan baik.
Penerbitan utang baru juga bisa menjadi instrumen investasi atau instrumen pengelolaan kas negara atau instrumen investasi. Berbagai negara maju menggunakan untuk mengelola kelebihan uang tunai mereka.
Perlu dibantah tudingan tidak adanya strategi yang jelas dalam pengelolaan utang selama ini. Dibandingkan sebelumnya, paradigma pemerintah menyangkut utang kini sangat jauh berbeda. Kalau sebelumnya kita hanya mengenal administrasi utang, kini pemerintah menempatkan pengelolaan utang sebagai suatu aspek prioritas dan bersifat dinamis, terutama karena sebagian besar utang yang ada sekarang ini merupakan utang yang berasal dari pasar. "Dalam pengelolaan utang, kita tak hanya melihat aspek dinamika pasar yang terus bergerak.
Tetapi, ada satu tujuan yang harus dilakukan, yaitu mengelola risiko dan biaya. Intinya, meminimalkan biaya pada tingkat risiko yang bisa dikelola dengan baik (manageable) dalam jangka panjang. Parameternya, antara lain, pengelolaan utang yang semakin efisien. Artinya, setiap sen utang yang diterima benar-benar dipakai untuk menumbuhkan aktivitas ekonomi produktif atau produk domestik bruto (PDB). Selain itu, rasio bunga terhadap belanja juga terus menurun. Demikian pula, tingkat risiko yang juga turun. Penurunan ini, menurut dia, tidak harus dalam arti nominal, tetapi bisa dalam angka rasio. Risiko dalam manajemen utang meliputi antara lain risiko yang dihadapi dalam pembiayaan kembali utang (refinancing risk).
Hal ini terutama penting untuk negara seperti Indonesia yang profil jatuh tempo utangnya cenderung menumpuk pada suatu periode tertentu sehingga tanpa adanya upaya menata kembali profil jatuh tempo utang, risiko gagal bayar utang (default) dan biaya yang diperlukan untuk me-refinancing utang juga sangat besar.
Utang yang semakin besar, tidak perlu dikhawatirkan sejauh itu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan masih dimungkinkan melakukan refinancing. Defisit APBN dan refinancing memang meningkat sehingga utang juga nambah. Tetapi, utang itu harus dilihat untuk apa Kalau itu untuk restrukturisasi atau pengelolaan terhadap risiko refinancing, ya enggak apa-apa dong. Kalau kita menambah utang dan tiap sen utang itu bisa kita keloladengan baik untuk mendorong aktivitas ekonomi produktif sehingga PDB naik dan rasio utang terhadap PDB mengecil, tidak masalah. Sepanjang cosf-nya juga masuk akal. Itu namanya bukan ketagihan.
Risiko lainnya adalah risiko pasar atau risiko finansial, seperti risiko terhadap perubahan suku bunga, risiko nilai tukar mata uang, dan risiko likuiditas. Risiko suku bunga bisa ditekan dengan mengurangi porsi surat utang dengan tingkat suku bunga variabel dalam portofolio utang kita. Sementara risiko nilai tukar bisa dikurangi dengan mengurangi porsi utang dalam denominasi valuta asing. Itu sudah kita lakukan. Porsi obligasi variable rate yang tadinya 55 persen sekarang tinggal 30 persen. Demikian pula porsi pinjaman dalam valas. Porsi utang rupiah sekarang ini masih di atas 50 persen.
Risiko likuiditas bisa ditekan dengan diversifikasi instrumen dipasar. Yang dimaksud risiko likuiditas, kalau orang yang memegang obligasi kita-terutama yang jangka panjang-perlu uang, dia enggak bisa menjual ke market atau bisa jual ke market, tetapi dengan diskon yang sangat besar. Jadi, instrumen tak likuid..
Peran surat berharga negara sebagai instrumen fiskal, instrumen moneter, instrument pengelolaan portofolio utang negara, instrumen benchmarking, dan instrumen pengelolaan kas negara itu membuat penambahan utang atau penerbitan surat utang negara akan tetap dilakukan pemerintah kendati tak ada lagi defisit yang perlu ditutup atau APBN mengalami surplus.
Jadi, kalau ditanya, sampai kapan kita akan bergantung pada utang atau terus membuat utang baru? Mungkin tak ada yang bisa menjawab. Pemerintah sendiri tidak ada target definitif. kalau pinjaman luar negeri mungkin bisa. Sejak tahun 2005. pinjaman luar negeri terus mengalami penurunan sebagai dampak dari semakin menurunnya kegiatan yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri. Selain itu, jumlah pinjaman yang jatuh tempo juga jauh melampaui jumlah pinjaman baru yang dilakukan. Jadi terjadi negative net aafitional external loans," ujarnya
Untuk utang domestik, sampai kapan pun, sepanjang masih ada orang yang kelebihan uang mau investasi, akan tetap diperlukan instrumen seperti SBN. Artinya, ya nambah utang terus.
DAFTAR PUSTAKA
Asmara, Eka Noor, dkk, 1996. Akuntansi Pengantar 1(Proses Penyusunan Laporan Keuangan),
UUP AMP YKPN, Yogyakarta
Bastian, Indra, 2003,Sistem Akuntansi Sektor Publik Modul Pelatihan dan Penyusunan Laporan
Keuangan, Salemba Empat, Jakarta
Halim, Abdul, 2004, Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah, Edisi Revisi. Salemba
Empat, Jakarta
Ikatan Akuntan Indonesia, 2002, Standar Akuntansi Keuangan, Salemba Empat, Jakarta
Kieso, Donald E, dkk, 2004, Intemediate Accounting, Edisi sebelas, John wiley & Sons, Inc,
USA
Mardiasmo, 2002, Akuntansi Sektor Publik, Andi, Yogyakarta
Mulyadi, 2005, Hand Out kuliah Akuntansi Manajemen.
Presiden Republik Indonesia, “Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara”, Pustaka Pergaulan, Jakarta
Suwardjono, 2005, Teori Akuntansi Perekayasaan Pelaporan Keuangan, Edisi ketiga, BPFE,
Yogyakarta.
Menteri Dalam Negeri RI. 2002. Kepmendagri nomor 29 tahun 2002 tentang Pedoman
Pengurusan, pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha
Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah”, Departemen Dalam Negeri.
Presiden Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara
_______________. 2004. “Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara”, Pustaka Pergaulan, Jakarta.
_______________, 2004. “Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara”, Pustaka Pergaulan, Jakarta.
_______________, 2005. “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2005
tentang Standar Akuntansi Pemerintahan”,
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 1999, Jakarta.
Boediono, Dr, Pembenahan Institusi Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi, (Keynote Speech)
disampaikan pada Kongres Ikatan alumni Australia ke-1 di Jakarta, 20 Maret 1999).
Due, John F., Government Finance, Richard D. Erwin, Inc., Homewood, Illinois, 1963.
Hemming, Richard, Daniel P. Hewitt, and G.A. Mackenzie, Public Expenditure Handbook, IMF,
Washington, DC, 1991.
Hyman, David N., Public Finance, Dryden Press, London,1999.
IMF, Unproductive Public Expenditure, Fiscal Affair Department IMF, Washington DC, 1995.
Shaviro, Daniel, Do Deficits Matter ?, The University of Chicago Press, Chicago, 1997.
McConnell, Steve (1996). Rapid Development: Taming Wild Software Schedules, 1st ed.,
Redmond, WA: Microsoft Press. ISBN 1-55615-900-5.
Wiegers, Karl E. (2003). Software Requirements 2: Practical techniques for gathering and
managing requirements throughout the product development cycle, 2nd ed., Redmond: Microsoft Press. ISBN 0-7356-1879-8.
Andrew Stellman and Jennifer Greene (2005). Applied Software Project Management.
Cambridge, MA: O'Reilly Media. ISBN 0-596-00948-8.
Anief, Moh. 2000. Prinsip dan Dasar Manajemen: Pemasaran Umum dan Farmasi. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Bovée. 1986. Contemporary Advertising. Illinois:Richard D. Irwin, Inc.
Rothschild, Michael L.. 1987. Advertising. Canada: D. C. Heath and Company
Jawi, Tiyang. 2007. Yogyakarta : http://prbusiness.blogspot.com
An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776)
The Shifting and Incidence of Taxation, (1892)
Grundsätze gerechter und ökonomisch rationaler Steuerpolitik (1943)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar