Bookmark and Share

Minggu, 08 Agustus 2010

MYOPIA MUTU SEBAGAI LATENT DALAM PERSAINGAN DAN PERTUMBUHAN (KEMAMPUAN) BISNIS

(Suatu Tinjauan Terhadap Arah Perkembangan Pasar dalam Kaitannya dengan Pengertian Mutu
Sebagai Suatu Strategi Pasar dan Peran Bisnis Perusahaan- Perusahaan Negara (BUMN) dan
Perusahaan- Perusahaan Lokal di Indonesia)
Oleh :
Haery Sihombing (IP)
Abstrak
Pasar modern dewasa ini adalah pasar yang sedikit memberikan celah bagi (calon) pelaku- pelaku bisnis
konvensional untuk bertahan dan mampu unggul terhadap pesaing- pesaingnya. Khususnya di negaranegara
berkembang, pasar menjadi sangat kejam ketika hukum dan aturan- aturan yang ada belum
cukup dan reliable keandalannya terhadap pengaturan ‘permainan’ dalam ‘perang’ bisnis antar
organisasi- organisasi bisnis yang ada.
Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi yang terus bergerak naik sebagai gambaran dari kesadaran
ekonomi masyarakat di negara- negara berkembang, penggunaan sumber- sumber daya yang ada didan
ter-‘eksploitasi’ sebesar- besarnya untuk mendapatkan dan mengejar angka pertumbuhan ekonomi
yang ‘fantastis’ sebagai citra dari gempitanya pembangunan yang berhasil dilakukan pemerintah terhadap
negaranya.
Kerangka standar dan ‘pengertian baru’ , seperti kepuasan pelanggan, bentuk- bentuk sertifikasi produk
maupun managemen sistem (mis : ISO dan sejenisnya, bentuk- bentuk metode dan konsep mutu : QCC,
Six Sigma, Balanced Scorecard, BPR, dsb.), konsultan- konsultan managemen dan finansial lokal atau
asing, terhadap organisasi- organisasi bisnis yang ada dianggap sebagai suatu pencerahan dan bentuk
organisasi bisnis yang unggul. Pengertian akan mutu tidak ditempatkan dalam suatu kesadaran strategi
bisnis modern yaitu menjadi organisasi bisnis yang berdaulat.
Pasar di negara- negara berkembang menjadi kolonial ekonomi pelaku- pelaku bisnis internasional yang
secara mudah mendikte arah pembangunan dengan eksploitasi sumber- sumber daya yang ada di
negara- negara tersebut tanpa membawanya menjadi suatu negara yang memiliki kesadaran terhadap
organisasi- organisasi bisnis yang tumbuh agar berkemampuan unggul secara internasional, sehingga
pada gilirannya dapat mendukung kemampuan ekonomi negara- negara tersebut. Pasar negara- negara
berkembang, khususnya Indonesia, sekalipun pada masa ini kembali ‘menggeliat’ bangun, ternyata
menyimpan potensi- potensi untuk runtuh kembali serta ter-‘penjara’ (potensi latent) dalam kerangka
peng-‘hisap’-an kekayaan semua sumber daya alamnya hingga pada saatnya habis untuk kembali
ditinggalkan. (“habis manis sepah dibuang”)
I. PENDAHULUAN
Sejak pertengahan tahun 90-an ketika beberapa negara- negara Asia dan Timur Jauh (far-east and
south east asia) yang digambarkan sebagai suatu regional pertumbuhan ekonomi baru, yang
dikatakan sebagai daearh muculnya ‘macan asia’, mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi
yang ‘gempita’ dibanding regional- regional ekonomi di belahan dunia lainnya. Kedaan tersebut
tidak terlepas dari peran dan menjadi sorotan pelaku- pelaku bisnis internasional sehingga
investasi- investasi dari negara- negara maju mengalir deras untuk memenuhi wilayah tersebut.
Namun demikian, ‘gempitanya’ pertumbuhan ekonomi tadi segera diguncang dengan resesi
ekonomi yang berawal dari naiknya mata uang dollar terhadap mata uang lokal dikarenakan
kondisi pertumbuhan tadi begitu memanas dengan ‘pinjaman- pinjaman’ asing sehingga pada
kondisi klimaks menjadi penghancur. Kasus tersebut dapat dianalogikan seperti halnya
terhadap penggunaan energi nuklir sebagai suatu sumber energi murah yang memiliki potensi
dan energi yang sangat besar. Namun karena pengelolaannya tidak cukup baik, maka energi
tersebut kemudian tidak terkendali (reaksi berantainya) hingga menjadi penghancur besar.
Beberapa negara pada kawasan tersebut mampu lolos dan kembali bertumbuh pada arah
semula untuk membangun infrastruktur ekonominya secara perlahan. Pada sisi lain, untuk
beberapa negara yang runtuh tersebut, hanya terpengaruh sejenak dan kemudian bangkit
secepatnya. Indonesia sendiri, yang juga kondisi ekonominya terguncang dengan keadaan
tersebut, pada kenyataannya memiliki kesulitan untuk bangkit dibandingkan negara- negara
lainnya pada kawasan tersebut. Keadaan tadi juga kemudian dipengaruhi oleh pertumbuhan
daerah- daerah investasi baru seperti Vietnam dan kawasan sekitarnya (China, Thailand, dsb.)
yang mampu memberikan tawaran yang lebih menarik bagi pelaku- pelaku bisnis internasional
untuk menanamkan modalnya, selain dari kesadaran dan kemampuan infrastruktur internalnya
yang telah terbangun menjadi bangunan persaingan bisnis.
Masalah- masalah yang berkenaan dengan divestasi perusahaan- perusahaan yang runtuh
ketika resesi ekonomi terjadi di Indonesia, serta usaha- usaha penyehatan yang dilakukan
pemerintah dengan penyuntikan dana melalui pinjaman- pinjaman dari investor moneter asing,
ternyata tidak segera dengan cepat membangunkan kondisi perekonomian Indonesia untuk
bangun, sekalipun pada saat kini telah mulai pulih. Indonesia membutuhkan waktu yang cukup
lama untuk membangun kembali kondisi ekonominya.
Selayaknya orang sakit, kepulihan belum berarti kembali sehat, namun masih perlu perawatan
yang cukup dan intensif untuk dikatakan sehat dan kuat. Hal ini juga berlaku terhadap
kemampuan bersaing organisasi- organisasi bisnis yang ada di dalamnya, khususnya
perusahaan- perusahaan negara (BUMN) yang memiliki ciri yang kental dari campur tangan
pemerintah di dalam kepentingan bisnis merujuk kepada tujuan awal dari didirikannya, serta
‘pengkondisiannya’ untuk bersaing terhadap pasar lokal maupun internasional.
II. MYOPIA BISNIS : KEPUASAN PELANGGAN = MUTU.
Adalah hal yang umum ketika suatu organisasi bisnis dikaitkan dengan strategi yang berkenaan
dalam hal mutu, baik terhadap produk maupun service yang diberikan. Kata mujarab
:”Kepuasan Pelanggan” menjadi suatu ‘paradigma’ baru bagi pelaku- pelaku bisnis di
Indonesia setelah sebelumnya ke- ‘candu’-an trend standar intenasional seperti ISO 9001, 14001,
dsb., yang menjadi suatu ‘kebanggaan’ bagi pelaku- pelaku bisnis. Keadaan tersebut juga terjadi
bersamaan dengan suburnya pengertain dan pemahaman terhadap konsep- konsep manajemen
dan kepemimpinan yang sebenarnya bukan hal yang baru. Merujuk kepada sejarah dan ajaranajaran
filosofi maupun agama yang dianut, secara eksplisit maupun implist, telah mengatakan
mengenai sesuatu yang dapat dipahami sebagai suatu sistem manajemen dan kepemimpinan
tersebut. Hal ini terlihat dari logika- logika perumpamaan- perumpamaan dan kisah- kisah si
‘pelaku’, maupun yang berkenaan dengan ‘perilaku-perilaku’ dalam situasi dan kondisi yang
dihadapinya seperti diceritakan di banyak buku- buku kepemimpinan dan manajemen ‘best
seller’ yang menjadi bacaan umum dan populer. Covey, dengan “The Seven Habit” dan beberapa
tulisan lainnya, Aa Gym dengan “Manajemen Qalbu”, atau Gede Parama dan banyak penulis
lainnya menyerap pemahaman yang terdapat dalam ajaran agama untuk diartikusasikan
sebagai suatu konsep manajemen dan kepemimpinan. Tidaklah asing jikalau kita sendiri dapat
menggalinya dalam pemahaman anutan agama yang kita yakini, bukan?
Dikaitkan dengan masalah mutu, mutu bukan suatu keunggulan bila dikatakan sebagai
pembeda, namun suatu pemberian dikarenakan bagaimana mengenal dan mencintai konsumen
adalah bukan suatu pembeda(2) Maka selayaknya organisasi- organisasi bisnis memberikan
mutu bagi layanan dan produknya terhadap konsumen adalah sebagai suatu keharusan yang
wajar. Sehingga dengan demikian, maka suatu hal yang kritis dalam persaingan efektif adalah
ketika kemampuan untuk mengidentifikasikan peluang dijadikan suatu prasyarat tertinggi
dalam usaha pengembangan bisnis (baik terhadap produk dan layanan yang diberikan) yang
dilakukan oleh organisasi bisnis untuk membawanya ke pasar produk baru melalui suatu
proses secara cepat(3).
Pelanggan puas adalah kondisi ketika pelanggan beropini puas terhadap produk dan layanan
yang diterimanya, baik secara sadar maupun tidak. Tidak dikatakan apakah pengertian tadi
dalam konteks pelanggan memiliki perasaan bebas atau terpaksa, sadar atau tidak. Jika
kepuasan pelanggan menjadi suatu kata ajaib dalam persaingan bisnis, maka kepuasan tersebut
adalah suatu pemberian yang diusahakan oleh organisasi bisnis (produsen) dan bukan tidak
terbatas, karena tidak semua pelanggan (konsumen) puas.
Konsumen tidaklah selalu benar. Mereka bingung dan pada dasarnya emosional. Mereka
membuat kesalahan- kesalahan dan mereka lupa sesuatu(2). Komponen emosional dalam diri
konsumen pada pasar modern dewasa ini adalah obyek yang menjadi motivasi konsumen
untuk membeli, sekalipun pada akhirnya tidak ada jaminan bahwa konsumen akan bertahan
dengan apa yang dihasilkan oleh satu produsen yang bagaimanapun baiknya suatu produk dan
layanan yang mampu dan telah diberikan oleh produsen tersebut(4).
Ketika organisasi- organisasi bisnis hanya menfokuskan kepuasan dalam kerangka pengejaran
apa yang diinginkan oleh konsumen sebagai pengertian mutu tradisional dari bisnis, maka
potensi- potensi yang dimiliknya ter-plot kepada bentuk- bentuk yang mudah dilakukan dan
diketahui oleh pesaing siapapun, serta mudah dipatahkan oleh pesaing- pesaing lainnya bila
dikatakan sebagai suatu strategi. Misal: Harga murah, siapapun tahu dan ingin. Tepat waktu,
siapapun mau dan ada, serta wajar dalam keseharian manusia modern yang mempergunakan
waktu.
Keunggulan dalam persaingan pasar bukan berarti kepuasan konsumen dengan hal- hal yang
sudah wajar dalam hal yang seharusnya diberikan. Pengertian mutu dari kepuasaan pelanggan
seperti hal tersebut terlalu naif dan sempit. Kepuasan konsumen ideal adalah kepuasan yang
berfokus kepada penemuan oleh konsumen sebagai suatu kesadaran terhadap suatu kebutuhan
baru melalui penterjemahan yang dilakukan oleh organisasi- organisasi bisnis dalam
mengartikulasikan abstraknya keinginan konsumen, serta membawa organisasi- organisasi
bisnis tadi berada pada posisi yang aman untuk tidak runtuh dan bangkrut! Apapun bentuk
penghargaan mutu yang didapatkan oleh organisasi- organisasi bisnis, termasuk juga
penghargaan karena kepuasaan konsumen yang diberikan, tidaklah berarti bila organisasi
bisnis tadi kian melemah daya saingnya.
Dalam kaitannya dengan peranan BUMN, sebagai suatu organisasi bisnis yang diinisiatif dan
dikelola oleh negara dengan dasar tujuan sebagai penopang dan pilar dari tujuan negara dalam
kerangka pembangunan ekonomi, selama masa krisis terbantu dengan peran pemerintah untuk
tetap berdiri (‘exist’). Namun demikian, apakah perusahaan- perusahaan negara tersebut telah
berjalan efektif sebagai suatu organisasi bisnis atau keberadaannya sekedar semata- mata
sebagai perpanjangan tangan pemerintah sebagai stabilator dan strategi dari penerapan
kebijakan pemerintah dalam level operasional? Pada kenyataannya, beberapa BUMN sebagai
perusahaan negara digerakkan dalam kerangka roda ekonomi. Namun disisi lain, dituntut
aspek tanggungjawab secara sosial dalam satu kesatuan dari strategi pembangunan sesuai
kebijakan pemerintah ditingkat operasional terhadap masyarakat. Lebih membingungkan lagi,
beberapa BUMN didorong kepada bentuk kapitalis dengan beberapa diantaranya telah go
public.
Segambar dengan organisasi- organisasi bisnis swasta lainnya, beberapa BUMN berada pada
landasan pacu yang sama sebagai organisasi profit, namun strategi dan karakter- karakter
unsur- unsur yang ada di dalamnya lebih kepada birokrasi dari pemerintah dan kurang berasal
dari pelaku- pelaku bisnis. Hal demikian menjadi salah satu penghalang atau bahkan dalam hal
resiko terkecil sekalipun, adalah tersimpannya potensi rapuh internal atau latent.
Sekalipun penerapan sistem manajemen mutu yang telah dimulai beberapa tahun terakhir
sebagai salah satu usaha pembenahan sistem manajemen lebih didorong kepada ‘pemberesan’
sistem manajemen menurut trend yang berlaku seperti halnya organisasi- organisasi bisnis yang
lain, dimana mutu ditempatkan sebagai keunggulan, namun keunggulan tersebut hanyalah
‘virtual’’ dan bukan sebagai keunggulan bersaing yang ideal sebagai organisasi yang siap
tarung dan unggul! Kasus ini pun dialami oleh perusahaan- perusahaan besar lokal lainnya,
dimana hak kepemilikan semula telah beralih ke tangan investor- investor lain. Sebutlah Astra,
BCA, dan banyak lagi. Bukankah kepemilikannya telah berpindah kepada tangan- tangan
pemain baru? Jikalau organisasi- organisasi tersebut dikatakan bermutu, maka keadaan tadi
selayaknya tidaklah boleh terjadi, bukan? Dan sekalipun jika organisasi- organisasi tersebut
masih tetap berdiri (misal: BCA) setelah terjual hanya dengan besaran 26% dari nilai yang
sebenarnya layak untuk didapat oleh Negara berdasarkan ‘pengorbanan’ yang telah dilakukan
untuk menyehatkannya: Apakah keadaan tersebut menguntungkan bagi rakyat dan Negara
yang memiliki beban hutang yang cukup besar ?
Menjadi organisasi bisnis yang siap tarung dan unggul bukanlah organisasi bisnis yang hanya
cukup menerapkan sistem dan metode- metode mutu yang sudah dilakukan oleh organisasiorganisasi
bisnis lainnya. Tidak pula organisasi yang hanya cukup ‘bangga’ dengan seberapa
besar profit atau pangsa pasar yang telah dihasilkan dan didapatkan. Namun lebih kepada
ketahanan organisasi bisnis terhadap gejolak ekonomi yang mungkin akan timbul sebagai hasil
dari kebijakan politik, pasar global dengan masuknya produk- produk pesaing yang memiliki
keunggulan daya jual, serta pertarungan- pertarungan yang akan terjadi dengan pemainpemain
asing atau baru di tingkat lokal maupun internasional, baik secara institusi atau
perorangan seiring dengan berjalannya waktu. Sebutlah perusahaan- perusahaan raksasa asing
seperti AT&T, Toyota, Hewlett Packard, Motorola,
GE, dsb. Perusahaan- perusahaan tersebut tidak lagi ‘bertarung’ kepada apakah perusahaanperusahaan
tersebut telah memiliki sertifikasi mutu atau tidak. Konsumen tidak lagi
menanyakan apakah produk- produk perusahaan- perusahaan tersebut berstandar mutu
internasional atau tidak. Konsumen percaya penuh bahwa produk- produk yang dihasilkan
oleh perusahaan- perusahaan tersebut adalah bermutu dan diakui secara internasional sebagai
brand.
Mutu adalah bagian dari keseharian organisasi bisnis, sehingga mutu bukanlah kekuatan yang
dihandalkan. Namun, mutu harus ditempatkan sebagai suatu kesehatan yang diperlukan
sebagaimana layaknya seorang petarung. Mutu harus diarahkan sebagai prakarsa- prakarsa
perbaikan kinerja proses yang mempunyai dampak terbesar pada apa yang harus terjadi jika
organisasi bisnis ingin mencapai sasarannya(5). Kegagalan memperbaiki kinerja proses
mengakibatkan kegagalan dalam memperbaiki kinerja organisasi. Kegagalan mengelola proses
secara efektif adalah kegagalan mengelola bisnis secara efektif(6). Maka, menjadi petarung yang
unggul adalah petarung yang sehat dan selalu dalam kondisi ‘fit’ , serta kemudian terusmenerus
melatih dirinya untuk trampil dengan strategi dan ‘jurus- jurus’ pertarungan,
disamping jeli melihat dan cerdik mengantisipasi lawan. Dengan demikian, bila mutu hanya
ditempatkan sebagai suatu keunggulan, maka organisasi bisnis hanya berada pada kondisi
sehat, namun belum mampu untuk bertanding baik secara institusi maupun kepemilikan
pelaku bisnis di dalamnya terhadap pesaing dan pasar. Kasus spin off-nya Motorola pada bulan
oktober lalu terhadap bisnis microelectronic, menunjukkan bahwa seberapa baiknya konsep
mutu yang ditumbuhkan oleh organisasi bisnis tersebut ternyata tidak mampu membawa
organisasi bisnis tersebut menjadi pemenang di bisnis tersebut.
Seberapa derajat sehatnya organisasi bisnis, adalah tergantung kepada ketatnya persaingan dan
jenis pertarungan menurut tingkat kesehatan pesaing yang ada. Padahal pada keadaan
sebenarnya, pesaing – pesaing yang telah ada maupun baru (yang akan segera muncul)
memadukan kombinasi jenis kekuatan dan tingkat kesehatan yang berlainan. Kemampuan
organisasi bisnis dalam bertanding dikatakan unggul adalah ketika tingkatan pada organisasiorganisasi
bisnis yang ada dengan berbagai macam pesaing, sekalipun begitu sehatnya, masih
mampu unggul dan keluar sebagai pemenang baik secara sendiri maupun beraliansi dari waktu
ke waktu.
III. MUTU = STRATEGI BISNIS UNTUK KEPUASAN STAKEHOLDER
Organisasi- organisasi bisnis yang baik adalah memandang pada peranan unsur- unsur yang
terkait di dalamnya. Dalam hal ini pekerja- pekerja, sebagai aset dari perusahaan. Dengan
demikian, maka kehilangan aset atau ‘terbang’-nya aset tadi dari perusahaan akan memberikan
pengaruh yang besar bagi daya tahan dan sehatnya perusahaan. Organisasi- organisasi bisnis
yang sehat selalu memperbaharui dirinya dengan menempatkan pekerja- pekerja kepada suatu
zona nyaman yang membantu mereka dapat melepaskan energi kreatifnya sebagai suatu
kekuatan dari perusahaan dan memfokuskan potensi- potensi yang ada sebagai suatu kekuatan
‘pemukul’ (daya saing) terhadap pesaing- pesaing organisasi bisnis yang ada. Peran dan tempat
pekerja- pekerja yang ada di dalamnya dihargai sedemikian rupa sehingga organisasi bisnis
tersebut menumbuhkan rasa kepemilikan bagi pekerja dalam perasaan bangga, berikut
keluarganya. Bisnis yang mampu unggul dan bertahan adalah usaha bersama yang melibatkan
keluarga pekerja sebagai indikator asset kesehatan perusahaan. Bukan hanya kepada seberapa
besar pangsa pasar yang diperoleh, seberapa besar profit yang didapatkan, dan seberapa besar
dan lama revenue terhadap investasi yang ditanamkan, serta seberapa puas konsumen
(pengguna produk) terhadap produk dan layanan yang diberikan.
Organisasi- organisasi bisnis yang ideal adalah organisasi bisnis yang mampu menancapkan
ingatan pada konsumennya sebagai organisasi bisnis yang handal terhadap produk- produk
yang dihasilkannya, tanpa ragu, dan menentukan ke arah mana teknologi dan esensi dari
produknya tersebut mempengaruhi arah inovasi dan teknologi dunia serta mempengaruhinya
secara ekonomi selain bentuk trend yang diciptakan untuk menggejala di masyarakat. Hal ini
sebagai penterjemahan dari karakter masyarakat pasar yaitu pengawasan ada di tangan
konsumen(8) di mana organisasi bisnis perlu membangun strategi yang secara simultan
mengelola produk dan konsumennya secara keseluruhan terhadap siklus umur penggunaan
dan yang mengkerangkakan strategi brand dan produk dalam konteks dampaknya terhadap
kesetaraan (tanggungjawab) konsumen (9).
Kepuasan pekerja terhadap lingkungan, sistem dan manajemen organisasi bisnis merupakan
sesuatu yang abstrak dan dipengaruhi banyak faktor. Oleh karenanya, semakin besar struktur
sistem dan jumlah pekerja suatu organisasi bisnis, maka semakin banyak pula indikatorindikator
yang harus dipertimbangkan sebagai gambaran dari interaksi kepentingankepentingan
dan keinginan pribadi pekerja yang beragam. Dengan demikian, semakin besar
jumlah pekerja dalam suatu organisasi bisnis, maka semakin besar pula resiko yang harus
ditanggung oleh organisasi bisnis agar tetap sehat, kuat dan siap terhadap persaingan. Hal ini
dikarenakan potensi- potensi pribadi pekerja dan energi- energi yang dimiliki dapat menjadi
daya rusak ke dalam bila tidak tersalurkan secara benar, selain kemungkinan adanya eksodus
berpindahnya aset- aset tadi kepada pesaing- pesaing, serta latent yang disebabkan karena
memendamnya potensi tadi menjadi suatu bentuk lingkungan psikologis yang tidak energik
dan kurang peduli dengan kesehatan perusahaan.
Bentuk resiko lain dari suatu organisasi bisnis yang melemah secara internal ketika energi dan
potensi pekerja- pekerja tidak tersalurkan adalah rentannya organisasi- organisasi bisnis tadi
terhadap intelijen- intelijen bisnis pesaing yang aktif ‘mencuri’ rahasia perusahan. Tanpa sadar,
pekerja- pekerja yang ada menjadi mata- mata perusahaan pesaing untuk terus ‘membocorkan’
rahasia keunggulannya hingga kepada suatu saat di mana perusahaan tersebut kalah dalam
persaingan tanpa disadari.
Organisasi- organisasi bisnis yang unggul memandang bahwa bahaya latent tadi sebagai
kelemahan yang tidak boleh terjadi, serta sesuatu yang harus dicermati dan dicari-selidiki
terhadap organisasi- organisasi pesaing agar dapat mempertahankan dan meningkatkan
keunggulannya. Banyak organisasi bisnis besar atau kecil ‘lupa’ bahwa masalah kritikal dalam
suatu organisasi adalah juga potensi latent yang bila dibiarkan berkembang hingga pada suatu
saat organisasi bisnis tadi collapse. Sebutlah PT Dirgantara Indonesia yang baru- baru ini mem-
PHK sejumlah karyawannya karena bentuk pengelolaan bisnis yang benar- benar blunder!
Bukan cara- cara PHK-nya yang patut disesalkan, namun pijakan strategi bisnisnya yang selama
ini berjalan yang merupakan bentuk pengelolaan organisasi bisnis yang konyol! Belum lagi
perusahaan- perusahaan negara (BUMN) atau perusahaan- perusahaan lokal lainnya, sekalipun
tindak mengalami hal yang separah itu. Namun memiliki karakter ‘daya rusak ke dalam’ yang
sama.
Sebagai perusahaan yang unggul, yang didalamnya sehat dan cerdik, tidak harus menanamkan
suatu dana investasi yang besar. Ketika kesehatannya dijamin dan keterampilannya ada, maka
cukup dengan kecerdikan dan kejelian yang dimiliki sebagai fokus dari saluran energi dan
potensi- potensi yang ada pada pekerjanya adalah dengan cara melakukan tindakan subversive
terhadap perusahaan pesaing.
Investasi sumber daya manusia terhadap teknologi dapat dikurangi dengan cara ‘membajak’
sumber daya manusia di perusahaan pesaing, baik dengan cara meng-‘hire’-nya sebagai pekerja
penuh atau sebagai pekerja sewa. Investasi di bidang peralatan dapat dikurangi dengan cara
kerjasama dengan penyedia- penyedia jasa lokal atau internasional yang memiliki kompetensi
dalam pengerjaan manufakturnya atau lingkungan pendidikan. Untuk mengambil posisi aman
terhadap perusahaan pesaing yang besar, cukup dengan melakukan penetrasi melalui pekerjapekerja
(agen) di dalamnya untuk membuat tindakan- tindakan strategis yang mengarah
kepada suatu skenario yang diinginkan demi kepentingan perusahaan. Sehingga ketika strategi
tersebut dilakukan, maka organisasi bisnis tadi siap dan tepat waktu serta kondisi untuk
tumbuh bersama atau makin menguat. Microsoft secara tepat waktu siap dan bertumbuh kuat
ketika Intel bekerja sama dengan IBM setelah sebelumnya IBM mempergunakan produknya
untuk memukul produk PC pesaingnya : Apple, hingga kemudian Microsoft dianggap pesaing
oleh IBM. Namun karena kekuatannya masih tetap prima maka Intel masih
mempergunakannya dalam kerjasamaa untuk ‘menghajar’ Motorola.
Penempatan perusahaan pesaing bagi organisasi bisnis yang unggul adalah dijadikan kawan
ketika kepentingan bisnisnya dapat menguntungkan, dan ditempatkan sebagai pesaing harus
dilawan ketika pesaing dapat mengganggu hidup dan lancarnya usaha bisnis.
IV. BISNIS= POLITIK. (Kapitalis Internasional Terhadap Pertumbuhan Bisnis di
Indonesia)
Menarik benang merah pada kasus resesi ekonomi yang terjadi di Indonesia, maka pelakupelaku
bisnis asing melihat bahwa kasus KKN yang menjadi momok secara umum di negaranegara
berkembang adalah sesuatu yang ‘menarik’. Demi kepentingan bisnis semata, maka
KKN dapat dijadikan suatu sumber kemampuan untuk membentuk colonial ekonomi baru.
Misal, untuk menguasai pasar semen di Indonesia, maka pebisnis asing tidak perlu mengimpor
semen- semen impor dengan resiko bersaing diharga murah. Namun hanya dengan mencermati
kesehatan keuangan perusahaan yang terus digerogoti dari dalam beserta KKN-nya dan jikalau
bisa, keadaan tadi dapat dibuat semakin buruk dengan mempengaruhi perilaku negatif yang
ada pada pekerja- pekerjanya dengan menimbang dan memperkirakan potensi pasar dan
produksinya apakah menguntungkan untuk kemudian diadakan kerjasama atau dikalahkan.
Hal ini dilakukan pula terhadap produsen- produsen semen lainnya dengan cara- cara yang
sama atau berbeda, termasuk melalui kebijakan hukum dan politik yang berlaku yang
mempengaruhinya yang memungkinkan pebisnis tersebut memiliki kebebasan dan kedaulatan
yang cukup besar yang dapat diraih dalam mempengaruhi pembangunan Negara sehingga
perusahaan tadi terskenario kepada starategi organisasi bisnis tersebut.
Dengan demikian maka, organisasi bisnis tadi dapat melakukan penetrasi dengan cara membeli
saham kepemilikan perusahaan tersebut hingga mampu menempatkan pekerja kunci yang
dapat mempengaruhi dan mengambil informasi yang berguna untuk kemudian digunakan
sebagai sumber informasi bagi kepentingan bisnis organisasi tadi demi kepentingannya,
termasuk bila digunakan untuk menurunkan daya saing perusahaan yang kemudian dijadikan/
dianggap pesaing atau memperkuat posisi organisasi bisnis dengan mengalahkan pesaingpesaing
lainnya di bidang yang sama.
Menilik kasus penggelapan dan ‘kekeliruan’ yang berkenaan dengan 1,7 triliun rupiah di Bank
BNI, maka sangat dimungkinkan bagi kapitalis- kapitalis global mengambil keuntungan
terhadap keadaan tersebut. Bank BNI adalah Bank Negara terbesar di Indonesia yang diakui
sangat besar pengaruh dan peranannya bagi pertumbuhan ekonomi melalui campur tangannya
dalam penyaluran kredit dalam lingkungan bisnis. Sebagai organisasi bisnis, dapat dipastikan
bahwa Bank BNI telah menjalankan beberapa konsep mutu sebagai suatu organisasi yang baik,
termasuk bagaimana pengertian kepuasan pelanggan dalam misi maupun visinya. Namun
demikian, ketika kepuasaan pelanggan dikatakan sebagai kepuasaan stakeholder, maka
pengertian tersebut masih cukup jauh untuk diraih. Apalagi bila dikatakan mutu sebagai suatu
keunggulan.
Sangat dimungkinkan bahwa dengan kasus yang terjadi tersebut akan membawa keadaan di
mana kesempatan untuk bangkit bagi organisasi- organisasi bisnis yang mempergunakan
jasanya malah tidak berjalan atau jikalau sekalipun berjalan dan tidak terpengaruh, namun telah
terjebak secara sadar atau tidak, kepada skenario kepentingan kapitalis global. Siapa yang tahu
bila ternyata dengan kasus tersebut maka akan membesarkan ‘anak singa’ yang ada sebagai
‘agen’ di dalam tubuh Bank BNI sehingga pada gilirannya serta bersamaan dengan berjalannya
waktu, akan muncul sejumlah kebijakan- kebijakan yang merupakan keuntungan kepentingan
kapitalis global, baik terhadap kekuatan kedaulatan BNI sebagai Bank maupun Negara?
Bukankah selama ini (sebelum Indonesia keluar dari IMF) kasus KKN dijadikan sebagai momok
bagi Negara yang juga dijadikan sorotan IMF dalam pengucuran dana pinjaman melalui
persyaratan- persayaratan yang mempengaruhi sektor- sektor kepentingan ekonomi lainnya
dengan ‘pesan- pesan’ politis terhadap kebijakan pemerintah yang diarahkan oleh kepentingan
IMF?
Masuknya investor- investor asing kepada beberapa perusahaan- perusahaan besar dalam
negeri, dalam hal ini perusahaan- perusahaan negara (BUMN), harus dicermati sebagai peluang
terjatuhnya negara dan bangsa kepada sistem kolonial ekonomi selain dari keuntungan dan
peluang bertumbuhnya laju ekonomi yang selama ini didengung- dengungkan oleh
pemerintah. Bukankah dalam sistem ekonomi kapitalis, suatu organisasi bisnis yang lemah
akan hancur dan hanya menyisakan sedikit organisasi bisnis yang kuat saja yang mampu
unggul. Sekalipun demikian, dalam bentuk lain adalah terbentuknya suatu aliansi bisnis
dengan organisasi- organisasi bisnis lainnya (baik pesaing atau pemain baru) yang datang
bekerjasama. Namun, hukum dari kerjasama adalah kemitraan dari kepentingan bersama yang
saling menguntungkan dengan derajat keseimbangan baik terhadap aset atau kemampuan atau
potensi yang saling melengkapi. Bukan dengan derajat ketidakseimbangan! Karena pada
dasarnya kerjasama adalah tindakan strategi untuk profit, bukan belas kasihan.
Setiap tindakan adalah politik (7) dalam setiap tindakan organisasi bisnis, terkecuali organisasi
charity atau sosial. Sehingga kerjasama hanya berlaku ketika terdapatnya suatu kepentingan
bersama dan kemampuan masing- masing yang dapat saling melengkapi seperti halnya
tindakan politik. Oleh karenanya, sekalipun organisasi bisnis telah melakukan suatu kerjasama,
maka bukan berarti harus luput untuk meningkatkan terus menerus kemampuannya terhadap
persaingan pasar hingga mampu menjadi suatu organisasi bisnis penentu arah pasar atau rule
maker . Sedangkan organisasi bisnis yang unggul di bidang teknologi adalah organisasi bisnis
yang berperan sebagai standar setter terhadap arah dari pembangunan, baik terhadap ekonomi
berdasarkan teknologi atau sebaliknya.
Misalkan: FCC yang merupakan suatu badan/ komisi Federal Amerika Serikat untuk
telekomunikasi menentukan suatu standar terhadap teknologi elektronik dan listrik sehingga
mempengaruhi standar pembagian frekuensi hingga kepada bentuk standar besar medan
elektromagnetik dari suatu produk elektronik yang dampaknya menjadi suatu track terhadap
pertumbuhan produk- produk elektronik sebagai hasil dari teknologi. Peran FCC tidak terlepas
dari pengaruh departemen pertahanan Amerika Serikat (DoD=Departement of Defense) yang
juga sangat dipengaruhi oleh Bell Labs (suatu perusahaan riset di bawah AT&T). Oleh
karenanya, sekalipun AT&T dewasa ini tidak lagi menjadi perusahaan raksasa dan super kuat
seperti yang didengung- dengungkan dalam telekomunikasi, namun kekuatannya tertanam dan
mengakar kuat sebagai penentu teknologi perkembangan dunia berikut patent-nya, baik melalui
perusahaan- perusahaan ‘tunas’nya (red. Baby Bell) dan juga terhadap perusahaan- perusahaan
telekomunikasi besar dunia lainnya. Bell Pacific, Bell Atlantic, NCR, Digital Equipment, dsb.
Bell Labs sendiri membuat 3 hak patent perharinya. Dengan demikian, maka konsumen
terartikusasikan keinginannya berdasarkan produk yang diciptakan dan diberikan melalui
skenario bisnis yang diciptakannya sebagai kebijakan bisnis jangka panjang yang menjadikan
organisasi bisnis tadi sebagai organisasi bisnis yang memiliki tingkat kemandirian yang tinggi:
bebas dan berdaulat!
Suatu contoh, bahwa sebesar apapun perusahaan negara (BUMN) di bidang telekomunikasi, PT.
TELKOM atau PT. Indosat, di Indonesia, namun peran perusahaan AT&T dengan berbagai
produknya hampir menguasai begitu luas jaringan di seluruh wilayah Indonesia terutama di
wilayah perkotaan. Keadaan demikian membuat kesukaran bagi perusahaan negara tersebut
untuk tidak bergantung dan pindah kepada perusahaan penyedia teknologi lainnya seperti
Siemens, Alcatel, atau NEC, dsb. Dalam keadaan ini, maka sangat dimungkinkan adanya suatu
resiko besar yang akan dihadapi ketika pasar bebas begitu ditekankan. Resiko tersebut yakni:
terbukanya peluang bagi penyedia jasa telekomunikasi internasional untuk menyediakan jasa
telekomunikasi yang yang benar- benar murah, yang dampaknya akan menghacurkan bisnis
telekomunikasi lokal yang sebelumnya telah ada dan berada dalam zona nyaman tersebut atau
bahkan lalu lintas informasi yang berhubungan dengan komunikasi rahasia negara yang praktis
mempergunakan produk dari penyedia teknologi tersebut akan mudah untuk disadap, baik
untuk kepentingan bisnis semata maupun negara ‘penguasa’.
V. PENUTUP
(a) Bisnis adalah perang strategi dan kejam tanpa ampun, bukan karena keinginan konsumen,
namun karena perang antar pesaing. Konsumen tidak menentukan suatu organisasi bisnis
menang atau kalah, yang ada hanyalah perang antar pesaing dalam persaingan dan konsumen
mengambil keuntungan ketika antar pesaing tadi menawarkan berbagai tawaran menarik
(misal: harga murah, kemudahan pengurusan, layanan jarak jauh+elektronik, dsb.) . Ketika
persaingan semakin tajam, maka bentuk aliansi sebagai posisi tawar hanya akan terjadi bila
posisi tawar tersebut didukung oleh kemampuan strategis dan kompetensi masing- masing
organisasi bisnis yang bermaksud tersebut untuk pada akhirnya melakukan kerjasama yang
menguntungkan dan berdiri sama tinggi dengan suatu penghormatan yang seimbang sampai
pada keadaan di mana strategi revolusi kemudian diarahkan untuk menguasai pasar secara
bersama- sama dengan bagaimana seharusnya suatu revolusi dimulai melalui jalan
mendefinisikan produk maupun layanan, ruang pasar dan juga keseluruhan dari struktur suatu
industri (1).
(b) Dalam persaingan global, dengan munculnya suatu standar global dari persaingan di mana
mereka- mereka yang mampu mengadopsi standar- standar global akan dapat kaya sedangkan
yang tidak, akan diabaikan terhadap pasar- pasar yang kurang dapat diransang. Kemampuan
organisasi- organisasi bisnis untuk menanggapi secara cepat terhadap permintaan- permintaan
yang kerap berubah dari pasar akan menentukan siapa pemenang dan yang kalah dalam
peliknya persaingan (10).
(c) Teknologi+Tujuan+Metode adalah keuntungan persaingan. Oleh karenanya, maka isu
masalah teknologi dalam pembangunan ekonomi, dalam hal ini dilakukan oleh perusahaanperusahaan
negara (BUMN) dan perusahaan- perusahaan besar lokal, harus dipandang dalam
konteks di mana teknologi tersebut digunakan dan mengapa digunakan, serta apa hasil- hasil
yang diharapkan dari penggunaannya. Sehingga diharapkan, bahwa organisasi bisnis tersebut
dalam pengelolaan dan pengaturannya dapat memastikan suatu kemampuan dalam
menghasilkan tidak hanya produk- produk standar, namun juga secara efisien produk yang
sesuai dengan kebutuhan paling khusus dari konsumennya.
(d) Perusahaan di masa depan harus lebih variatif dalam bentuk maupun tindakannya. Bahkan
sebaiknya perusahaan menjadikan dirinya sebagai “Protean Corporation”. (Dalam mitologi
Yunani, Dewa Protean memilih kemampuan mengubah dirinya menjadi apa saja sesuai dengan
keinginannya, baik menjadi air atau api misalnya. Di dalam dirinya, ada bekal pengetahuan
agar ia mampu melihat jauh ke masa depan) (11).
(e) Mutu ditempatkan dalam pemahaman bahwa suatu organisasi bisnis dikatakan bermutu
dengan kondisi dan lingkungan yang sehat terhadap unsur- unsur yang ada di dalamnya
(shareholer) serta ‘hangatnya’ interaksi dan sistem sebagai lalu lintas hubungan kerja berikut
informasi dan/ atau kebijakan antar manusia dalam organisasi tersebut untuk menjadi suatu
organisasi yang berorientasi profit dan elegan terhadap persaingan dan pasar, serta
memberikan ruang sempit bagi terjadinya resiko latent terhadap persaingan.
(f) Kapitalisasi bisnis melalui go public dapat dijadikan keuntungan persaingan sekalipun
dengan resiko dari adanya campur tangan berbagai kepentingan, terutama terhadap
perusahaan- perusahaan negara (BUMN) yang tidak terlepas dari dan kepada campur tangan
maupun kebijakan pemerintah yang telah ada maupun akan dibuat, demi kepentingan
pembangunan ekonomi negara sepanjang dilakukan dengan cara- cara yang efektif dan
terbebas dari kepentingan KKN, serta kepentingan- kepentingan asing yang melemahkan
kedaulatan kebijakannya sebagai agen negara dalam perannya untuk memberikan kontribusi
yang penting bagi pertumbuhan dan kemajuan ekonomi nasional.
(g) Bentuk-bentuk inefisiensi secara internal yang terjadi di dalam organisasi bisnis dikarenakan
dampak samping dari interaksi antar unsur- unsur yang terlibat harus terus menerus dibenahi
dengan menanamkan pengertian mutu di dalam tingkat operasional dan strategi, sehingga
menjadi suatu lingkungan sistem yang sehat. Mutu seharusnya ditempatkan sebagai ‘bahasa
kerja dan interaksi’ dengan menempatkannya sebagai suatu kesadaran bersama untuk
kemudian diserap secara berproses sebagai budaya kerja.
(h) Dalam mengantisipasi bentuk- bentuk inefisiensi di lingkungan eksternal dikarenakan
dampak kebijakan hukum, politik, dan ekonomi, maka harus dicermati oleh organisasiorganisasi
bisnis sebagai motivasi untuk terus menerus membangun dirinya agar trampil dan
cekatan untuk melihat setiap peluang maupun hambatan yang dapat memberikan dampak
buruk bagi organisasi bisnisnya menjadi suatu tantangan. Menjadi ‘Protean Company’ dalam
keadaan tersebut adalah dengan mengkondisikan organisasi bisnis untuk siap berubah hingga
kemudian strateginya berhasil mengakarkan pengaruhnya kepada ‘aktor- aktor’ pembuat
kebijakan maupun aturan- aturan yang ada, serta pada akhirnya secara implisit menjadi ‘aktor’
penentu arah kebijakan dan arah kepentingan pembangunan ekonomi negara yang terus
menguat sekalipun pesaing- pesaing baru dan global datang dan turut campur. Dengan
demikian, maka organisasi bisnis tersebut tidaklah hanya menjadi pemenang sesaat namun
menjadi organisasi bisnis yang berdaulat sebagai suatu pengertian mutu. Secara sederhana
dapat pengertian tersebut dikerangkakan sebagai suatu siklus, bahwa:
VI. PUSTAKA RUJUKAN
1. Hamel.,G.,”Strategy as Revolution.” Harvard Business Review, July-August, 1996. p69~82.
2. Trout, J., Rivkin, S.,”Differentiate or Die : Survival in Our era of Killer Competition.” John Willey&Sons
Inc. 2000.
3. Wheelwright, S.C., Clark, K.B.,”Revolutionizing Product Development: Quantum Leaps in Speed,
Efficiency, and Quality.” Free Press, 1992.
4. Barlow, J.,Maul, D. ,”Emotional Value: Creating Strong Bonds with Your Customers.” Berret-Koshler
Pubs, 2000.
5. Brelin, K.H., Davenport, K.S., Jennings, L.P., Murphy, P.F.,”Focused Quality.”
6. Rummler, G.,Allan, B. ,” Improving Performance: How to Manage the White Space on the
Organization Chart.” Jossey-Bass, 1990.
7. Farson,R. ,”Management of the Absurb.” Simon&Schuster, 1996.
8. Heilbroner, R. ,”The Making of Economic Society.” Prentice Hall, 1982
9. Blattberg, R.C., Getz, G., Thomas, J.S.,”Customer Equity.” HBS Press, 2001.
10. Levitt, S. ,”Quality is Just the Beginning: Managing for Total Responsiveness.” Mc Graw Hill, 1994.
11. Horton, T., Reid, P.C., ”Beyond the Trust Gap : Forging A New Partnership Between Manager and
Their Employees.” Irwin, 1991.
PENULIS :
Haery Sihombing bekerja sebagai dosen paruh waktu di beberapa universitas swasta di Jakarta dengan mengkhususkan diri
dalam mengajar mata kuliah : Perencanaan Perancangan Produk, Manajemen Mutu dan Manajemen Operasi sejak tahun 2001.
Setelah meninggalkan pekerjaan regularnya di beberapa perusahaan asing seperti: AT&T(1995), Sinoca Corp (1996), Ironhill
Microelectonic (1998), dan Chubb Lips Ind. (2001), Haery aktif memberikan konsultasi dan pelatihan mengenai penerapan
sertifikasi ISO 9001, 14000, 18000, SA8000, TS 16949 serta applikasi DOE dan SPC, selain sebagai Projek Manager untuk
beberapa proyek engineering.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download Lagu Gratis, MP3 Gratis