Bookmark and Share

Minggu, 08 Agustus 2010

Manajemen Lingkungan: Dulu, Sekarang, dan Masa Depan

Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 1

Preprint; Oleh: Andie T. Purwanto (anditp2000@yahoo.com); 06/04
(Artikel ini bisadidownload di: http://andietri.tripod.com/index.htm)
1. PENDAHULUAN
Manajemen lingkungan saat ini telah banyak mengalami perubahan yang cukup berarti terutama dimulai sejak awal 1990an. Penelitian mengenai efek dan akibat penerapan manajemen lingkungan telah banyak dilakukan terutama sejak munculnya ISO 14001 di tahun 1996.
Makalah ini disusun dengan maksud antara lain memberikan gambaran pada apa itu manajemen lingkungan, evolusinya dari dulu hingga sekarang.
Manfaat yang akan diperoleh pembaca dari makalah ini antara lain:
- pembaca memperoleh pengertian perkembangan manajemen lingkungan dari dulu hingga sekarang
- pembaca memperoleh ide-ide baru untuk menekuni bidang tertentu dari manajemen lingkungan
- pembaca mengerti manfaat dari penerapan manajemen lingkungan yang baik dalam lingkungan perusahaan
- pembaca memperoleh gambaran bagaimana mengembangkan dan antisipasi perkembangan manajemen lingkungan di masa depan
- pembaca memperoleh wawasan baru mengenai perkembangan ilmu manajemen lingkungan
Penerapan manajemen lingkungan yang baik di tingkat organisasi terutama akan memberi manfaat pada umumnya 3 elemen:
- perlindungan lingkungan secara fisik
- membentuk budaya berkelanjutan dalam organisasi
- menanamkan nilai-nilai moral dan saling kepercayaan antar elemen organisasi
1.1 Definisi
Untuk menjelaskan definisi manajemen lingkungan, kita lihat definisi manajemen secara umum sebagai berikut :
? ? Manajemen menurut pengertian Stoner & Wankel (1986) adalah proses merencanakan,
mengorganisasikan, memimpin, mengendalikan usaha-usaha anggota organisasi dan proses
penggunaan sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi yang sudah ditetapkan.
? ? Sedangkan menurut Terry (1982) manajemen adalah proses tertentu yang terdiri dari kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan sumber daya manusia dan sumber daya lain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dan banyak definisi lain, namun pada intinya manajemen adalah sekumpulan aktifitas yang disengaja (merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan) yang terkait dengan tujuan tertentu.
Lingkungan menurut definisi umum yaitu segala sesuatu disekitar subyek manusia yang terkait dengan aktifitasnya. Elemen lingkungan adalah hal-hal yang terkait dengan: tanah, udara, air, sumberdaya alam, flora, fauna, manusia, dan hubungan antar faktor-faktor tersebut. Titik sentral isu lingkungan adalah manusia. Jadi manajemen lingkungan bisa diartikan sekumpulan aktifitas merencanakan, mengorganisasikan, dan menggerakkan sumber daya manusia dan sumber daya lain untuk mencapai
tujuan kebijakan lingkungan yang telah ditetapkan.
Manajemen lingkungan adalah aspek-aspek dari keseluruhan fungsi manajemen (termasuk
perencanaan) yang menentukan dan membawa pada implementasi kebijakan lingkungan (BBS 7750, dalam ISO 14001 oleh Sturm, 1998).
Manajemen lingkungan selama ini sebelum adanya ISO 14001 berada dalam kondisi terpecah-pecah dan tidak memiliki standar tertentu dari satu daerah dengan daerah lain, dan secara internasional berbeda Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 2
penerapannya antara negara satu dengan lainnya. Praktek manajemen lingkungan yang dilakukan secara sistematis, prosedural, dan dapat diulang disebut dengan sistem manajemen lingkungan (EMS).
Menurut ISO 14001 (ISO 14001, 1996), sistem manajemen lingkungan (EMS) adalah ‘that part of the overall management system which includes organizational structure planning, activities, responsibilities, practices, procedures, processes, and resources for developing, implementing, achieving, reviewing, and
maintaining the environmental policy’.
Jadi disimpulkan bahwa menurut ISO 14001, EMS adalah bagian dari sistem manajemen keseluruhan yang berfungsi menjaga dan mencapai sasaran kebijakan lingkungan. Sehingga EMS memiliki elemen kunci yaitu pernyataan kebijakan lingkungan dan merupakan bagian dari sistem manajemen perusahaan yang lebih luas.
Berdasarkan cakupannya, terdapat pendapat yang membagi manajemen lingkungan dalam 2 macam yaitu:
? ? lingkungan internal yaitu di dalam lingkungan pabrik / lokasi fasilitas produksi. Yaitu yang termasuk didalamnya kondisi lingkungan kerja, dampak yang diterima oleh karyawan dalam lingkungan kerjanya, fasilitas kesehatan, APD, asuransi pegawai, dll.
? ? lingkungan eksternal yaitu lingkungan di luar lokasi pabrik / fasilitas produksi. Yaitu segala hal yang dapat menimbulkan dampak pada lingkungan disekitarnya, termasuk masyarakat di sekitar lokasi pabrik, dan pihak yang mewakilinya (Pemerintah, pelanggan, investor/pemilik). Aktifitas yang terkait
yaitu komunikasi dan hubungan dengan masyarakat, usaha-usaha penanganan pembuangan limbah ke saluran umum, perhatian pada keseimbangan ekologis dan ekosistem di sekitar pabrik, dll.
Yang dimaksud dengan lingkungan pada tulisan ini adalah yang dicakup dalam sistem manajemen lingkungan ISO 14001, yaitu yang berkaitan dengan lingkungan internal dan eksternal.
Elemen pokok manajemen lingkungan sesuai dengan definisi diatas terkait dengan aspek lingkungan dan dampak lingkungan.
1.2 Aspek Lingkungan
Diantara definisinya adalah :
? ? Aspek lingkungan didefinisikan adalah elemen dari aktifitas organisasi, produk dan jasa yang dapat berinteraksi dengan lingkungan. Contoh : konsumsi air, pengeluaran zat beracun ke udara (GEMI,
2001).
? ? Elemen dari aktifitas, produk, atau jasa perusahaan yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan dampak lingkungan (EPA, 1999).
Atau dapat dikatakan bahwa aspek lingkungan dalam diagram input-output proses produksi adalah semua elemen yang termasuk dalam non-produk atau by-produk.
Contoh kriteria aspek lingkungan dari Acushnet (EPA, 1999):
? ? Biaya pembuangan limbah
? ? Dampak pada kesehatan manusia
? ? Biaya material
? ? Tingkatan toksisitas
? ? Konsumsi energi
? ? Dampak pada sumberdaya, seperti buruh
? ? Dll.
1.3 Dampak Lingkungan
Antara lain definisinya adalah :
? ? Dampak lingkungan didefinisikan sebagai interaksi aktual dengan atau memberi dampak pada lingkungan (EPA, 1999).
? ? Adalah setiap perubahan pada lingkungan, apakah menguntungkan atau merugikan, secara keseluruhan atau sebagian yang diakibatkan dari aktifitas organisasi, produk atau jasanya. (GEMI, 2001).
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 3
Antara aspek dan dampak lingkungan terdapat hubungan sebab-akibat, dimana dampak lingkungan berasal dari aspek lingkungan, namun aspek lingkungan tidak selalu berdampak lingkungan (EPA, 1999).
Untuk mengukur aspek dan dampak lingkungan ini dilakukan bermacam metoda. Salah satunya adalah metoda 6 langkah pemetaan proses EPA (1999).

2. KEBIJAKAN LINGKUNGAN
Dasar dari manajemen lingkungan seperti dijelaskan dalam definisinya adalah adanya kebijakan lingkungan. Kualitas kebijakan lingkungan tergantung pada tinggi rendahnya orientasi. Yang telah dikenal selama ini yaitu orientasi kebijakan memenuhi peraturan lingkungan (compliance oriented), dan yang
berusaha melebihi standar peraturan tersebut (beyond compliance).
2.1 Evolusi kebijakan lingkungan Kebijakan-kebijakan lingkungan yang diadopsi oleh negara-negara anggota OECD selama 25 tahun terakhir telah menunjukkan evolusi yang tetap. Awalnya kebijakan difokuskan pada membersihkan polusi
yang ada dan mencoba untuk mengurangi polusi dari sumber titik di titik pembuangannya (ukuran end-ofpipe).
Kemudian strategi manajemen berpindah ke arah memodifikasi proses-proses produksi sehingga meminimalkan jumlah polusi yang dihasilkan di saat pertama (cleaner production / pollution prevention).
Sementara masih banyak yang perlu dilakukan untuk menghilangkan masalah-masalah lingkungan jangka panjang di negara-negara OECD, dan untuk tetap pada jalur (stay the course) dengan banyak strategi manajemen sebelumnya, perspektif sustainable development yang telah diadopsi di Konferensi Rio 1992,
merangsang langkah lebih jauh menuju kebijakan berfokus pada pencegahan polusi, integrasi perhatian lingkungan dalam keputusan ekonomi dan sektoral, dan kerjasama internasional (OECD, Environmenal Performance Reviews, 1997).
Kebijakan lingkungan pada awalnya selalu mengambil sikap reaktif, yaitu mengantisipasi dampak merugikan, yang dihasilkan dari suatu aktifitas kegiatan manusia. Ketika pendekatan ini dirasa kurang menguntungkan terutama dari segi perkembangan ilmu lingkungan dekade terakhir ini (seperti menurunkan
daya inovasi dan mengesampingkan kegiatan pengelolaan lingkungan itu sendiri), kemudian beralih menjadi pendekatan lebih proaktif dalam menangani masalah lingkungan. Dalam hal ini fokus perhatian pakar lingkungan adalah pada aspek yang menimbulkan dampak lingkungan, yang menjadi pertanyaan adalah dalam hal apa dan bagaimana aspek lingkungan perusahaan berperan atau diberdayakan. Sedikit
mengenai perpindahan paradigma seperti dilukiskan Ferron berikut ini.
Di AS, fokus dominan adalah pada pemenuhan dengan polusi end-of-pipe. Hal ini tidak menyediakan dasar kompetitif bagi inovasi teknologi masa depan. Sebenarnya, terdapat kasus bahwa pendekatan ini pada perlindungan lingkungan telah mencapai puncak dan sekarang menghambat kreatifitas teknologi di manajemen sektor swasta pada isu-isu lingkungan (Ferron dalam Marcus et.al. (ed.),
1997).
Gambar 1. Perkembangan kebijakan lingkungan di seluruh dunia (Organization for Economic Cooperation and Development (OECD; Long, 1994, h.24)
Efisiensi
1970an 1980an 1990an 2000an
- Pollution cleanup
- Regulation
- Limits to grow
- Single media
- Liability
- Denial
- Anticipate &
prevent
- Regulatory reform
- Taxes & charges
- Tradable permits
- Consumer demand
- Pricing policy
- Multimedia
- Data
- Strategic long term plan
- Sustainable
development
- Regulation & Economic
measures
- Life cycle analysis
- Integrated pollution
prevention & control
- Voluntary agreement
- Dialogue
Command & Control
Market instruments
Hybrid approaches
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 4
Manajemen lingkungan menurut orientasi kebijakannya secara umum dapat dibagi 2 yaitu manajemen berorientasi pemenuhan (regulation compliance) dan orientasi setelah pemenuhan (beyond compliance)
(Marcus et.al., 1997):

1. Berorientasi pemenuhan (regulation compliance).
Kebijakan ini merupakan awal pemikiran manajemen lingkungan di perusahaan. Berangkat dari murni pemikiran akan akibat yang ditimbulkan aktifitas perusahaan jangan sampai merugikan keberlangsungan bisnis perusahaan yaitu dengan menaati peraturan pemerintah semaksimal mungkin untuk menghindari penalti – denda lingkungan, klaim dari masyarakat sekitar, dll. Memakai metoda reaktif, ad-hoc, dan pendekatan end-of-pipe (menanggulangi masalah polusi dan limbah pada hasil
akhirnya, seperti lewat penyaring udara, teknologi pengolah air limbah, dll).
2. Berorientasi setelah pemenuhan (beyond compliance).
Berangkat dari pemikiran bahwa cara tradisional menangani isu lingkungan –dalam cara reaktif, adhoc, pendekatan end-of-pipe- telah terbukti tidak efisien. Seiring kompetisi yang semakin meningkat dalam pasar global yang semakin berkembang, hukum lingkungan dan peraturan menerapkan standar baru bagi sektor bisnis diseluruh bagian dunia. Terdapat pendapat bahwa kinerja lingkungan yang baik
tidak hanya masalah hukum dan moral. Mengurangi polusi berarti juga peningkatan efisiensi dan menghabiskan lebih sedikit sumberdaya. Kondisi kesehatan dan keselamatan yang baik sehingga tenaga kerja dapat lebih produktif.
Sesuai dengan perkembangan pemahaman manajemen lingkungan, orientasi setelah pemenuhan juga bermacam tahapnya, namun umumnya bermuara pada tahap pencapaian kondisi pengembangan berkelanjutan (sustainable development) sekaligus integrasi bisnis lingkungan dalam konsep ‘triple bottom line’, sesuai prinsip yang dinyatakan dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro, 1992.

Gambar 2. Orientasi secara umum kebijakan lingkungan perusahaan
Untuk melangkah ‘beyond compliance’ umumnya perusahaan mengambil pendekatan kebijakan
proaktif untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, atau mulai menjalankan perangkat manajemen atau sistem tertentu yang lebih baik. Perangkat manajemen lingkungan terdiri dari bermacam jenis dan cakupannya antara lain Env. Accounting (EA), DfE, LCA, PP, dll. Perbedaan perangkat manajemen lingkungan dengan sistem manajemen lingkungan adalah perangkat adalah salah satu bagian sistem sesuai tujuan sistem
tersebut, sedangkan sistem merupakan bentuk integrasi bermacam perangkat lingkungan yang digunakan.
Sedangkan sistem lingkungan proaktif yang mulai dikenal salah satunya adalah pendekatan Total Quality Environmental Management (TQEM; GEMI, 1994). Pendekatan ini terutama dikenal karena menjadi jalan menuju tahap ‘sustainable development / growth’ (pembangunan / pertumbuhan berkelanjutan), yang dianggap sementara kalangan kondisi ideal.
Ada bermacam alasan mengapa kondisi ‘sustainable development’ tidak langsung menjadi tujuan perusahaan yang ingin bergerak setelah pemenuhan, antara lain seperti dikemukakan Sammalisto (2001) sebagai berikut :
“Jika kita mengasumsikan tujuan lingkungan akhir bagi perusahaan adalah pengembangan
berkelanjutan (sustainable development) di semua operasi perusahaan, kita harus peduli pada fakta bahwa adalah tidak mungkin bagi perusahaan untuk mencapai tujuan berkelanjutan tersebut dalam Situasi masa lalu Situasi sekarang Situasi masa depan
Kebijakan bisnis perusahaan berorientasi pertumbuhan dan pangsa pasar
berorientasi pemenuhan berorientasi setelah pemenuhan sustainable development,
TQEM
no EM
Perubahan / perkembangan
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 5
masyarakat non-sustainable dan jika hanya sedikit perusahaan mulai berpikir tentang pentingnya kondisi lingkungan setelah EMS atau ISO (beyond EMS). Sehingga langkah paling logis dan efektif yang dapat dilakukan perusahaan sebagai salah seorang pelaku dalam masyarakat adalah melakukan langkah integrasi kebijakan lingkungan dalam bisnisnya dengan prinsip kualitas”
Perbedaan orientasi kebijakan lingkungan tersebut saat ini telah diteliti oleh Brown (1996), Hedborg
(1996), dan Hillary (2000), masing-masing di Australia, Swedia, dan Inggris. Dari hasil penelitian tersebut,
mereka membagi praktek manajemen lingkungan ke dalam berbagai tingkatan mulai dari yang minimalis, hanya bertujuan memenuhi peraturan sampai yang berwawasan kedepan melebihi apa yang dituntut dari segi peraturan menuju penerapan kualitas total dan pengembangan / pertumbuhan berkelanjutan (sustainable development / growth). Dalam penelitian mereka ISO 14001 ditemukan sebagai pembentuk sistem yang mewadahi macam-macam orientasi kebijakan lingkungan tersebut.
Namun orientasi kebijakan ini harus dilihat secara menyeluruh, dan tidak pada pendekatan isu lingkungan tunggal. Akan terdapat pendekatan yang berbeda karena satu perusahaan dapat bersikap reaktif, antisipatif, atau proaktif pada isu-isu lingkungan yang berbeda tergantung pada sentralitasnya pada bisnis,
masyarakat, minat penegak hukum, dll. (Hillary, 2000). Selengkapnya dapat dilihat di Tabel 1 berikut :
Tabel 1. Perbedaan tingkat orientasi kebijakan manajemen lingkungan
Sumber : Tingkat kebijakan
Australia (Brown et.al., 1996) Minimalist Convert Commited
Swedia (Hedborg, 1996; Reaktif Koaktif Orientasi proses
Sammalisto, 2001)
Inggris (Hillary, 2000) End-of-pipe End-of-pipe + Beyond c. Beyond compliance
Praktek pendekatan solusi pada
masalah lingkungan
End-of-pipe End-of-pipe + PP PP + DfE
Fokus orientasi kebijakan EMS + ISO ISO + TQEM TQEM + Sustainable devlp.
Penanggung jawab masalah lingkungan
Ad-hoc, terpisah Ad-hoc, ada usaha terintegrasi Manajemen strategis,
Seluruh anggota organisasi Implementasi kebijakan Minimalis peraturan Beyond compliance minimal Integrasi bisnis, profitabilitas Inovasi pada kebijakan
lingkungan
Relatif rendah Sedang Relatif tinggi Fokus indikator kinerja lingkungan
‘lagging’, pemenuhan peraturan
‘lagging’ + ‘leading’ ‘lagging’, ‘leading’, sustainabilitas
Cara pemecahan masalah lingkungan
Parsial parsial + holistik holistik TQEM dan sustainabilitas
Orientasi kebijakan perusahaan dalam mengimplementasikan ISO 14001 dibedakan dalam 5 tingkatan dari sudut kedekatannya dengan prinsip TQEM yaitu :
1. Pendekatan reaktif. Mereka mempersepsikan dampak lingkungan mereka marjinal sehingga tidak perlu diperhatikan. Mereka tidak akan mencari sertifikat selain karena keperluan pelanggan, yang mana akan sangat terbatas. EMS tidak digunakan sepenuhnya, dan kecenderungan perusahaan ini mengembangkan menuju TQEM sangat minimal. Perubahan dalam perusahaan ini dilakukan dengan pemenuhan standar minimum dan karena itu disebut minimalis.
2. Pendekatan koaktif. Mereka mensertifikasi kerja lingkungan terdokumentasi mereka dan merasa puas dengan komitmen minimum pada pemenuhan hukum dan keperluan pemenuhan lainnya. EMS diimplementasikan dengan cara ‘mengecek item dalam standar’ dan tetap sebagai fail dokumen, yang diperbaharui bila dianggap perlu. Ciri yang lain adalah pelatihan lingkungan sebagian besar terdiri dari
informasi pada masalah lingkungan (lokal, regional, dan global) yang lebih dominan daripada pelatihan menggunakan alat bagi karyawan untuk beraksi dalam pekerjaan sehari-hari. Perusahaan tidak melihat implementasi EMS sebagai proses belajar, yang mana berarti bahwa sistem ini tidak digunakan secara optimum, namun lebih cenderung untuk mampu menunjukkan sertifikat. Namun perusahaan yang mengimplementasi EMS dengan pendekatan ini juga ditemukan mendapatkan peningkatan pesat dalam aktifitas lingkungan mereka. Oleh sebab itu sangat mungkin diharapkan perusahaan semacam ini untuk mengembangkan pemikiran mereka lebih jauh dari koaktif menuju orientasi-proses.
3. Pendekatan convert (‘dipaksa’ ISO, dan menuju TQEM) melangkah setelah tingkat pendekatan koaktif.
Perusahaan ini ‘dipaksa’ sertifikasi pada standar EMS, mereka berkonversi selama proses, melihat Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 6
manfaatnya dan bergerak menuju TQEM. Mereka bersesuaian dengan perusahaan yang memulai sebagai koaktif dan bergerak melewati pendekatan berorientasi proses menjadi commited (Brown et.al., 1996).
4. Pendekatan berorientasi proses (process oriented). Jika visi lingkungan diimplantasikan dalam perusahaan berorientasi proses, kemungkinan mengembangkan komitmen menuju TQEM menjadi sangat mungkin. Bagi mereka sistem standarisasi hanya alat untuk mencapai sasaran lain bagi pengembangan perusahaan. Staf dalam perusahaan ini cenderung telah dilibatkan karena mereka dapat mempengaruhi pekerjaan mereka sendiri dan mendapat informasi bagi keseluruhan perusahaan, yang mana akan memberi mereka perasaan berada dalam keluarga perusahaan.
5. Pendekatan commited (pandangan kualitas lebih lebar atau sukarela EMS dan TQEM) dalam penelitian di Australia, yaitu ketika perusahaan melihat standar sebagai cara untuk memperbaiki operasi bisnis.
Motif bagi implementasi dalam pendekatan ini sebagian besar internal dengan sistem terstandarisasi sebagai alat dalam proses. Pendekatan ini berfokus pada aspek proses ‘soft’ dari usaha kualitas dan mempunyai potensi untuk mengembangkan lebih jauh menuju TQEM, meskipun banyak konsep TQEM tidak terartikulasi di dalamnya dan mungkin perusahaan tetap tidak menyadarinya.
Orientasi kebijakan lingkungan seperti diatas dapat ditempatkan dalam pola sebagai berikut (Gambar 3).
Gambar 3. Perkembangan orientasi kebijakan lingkungan perusahaan menuju TQEM (dikembangkan dari Brown et.al.
(1996) dan Sammalisto (2000))
Perbedaan tingkat orientasi kebijakan perusahaan dalam mengimplementasi sistem manajemen lingkungan (ISO 14001) berdasarkan prinsip TQEM juga dikemukakan oleh Global Environmental Management Initiatives (GEMI) dengan mengemukakan 4 fase perkembangan menuju TQEM yaitu
(GEMI, 1994):
? ? Tingkat 1 – Orientasi pemenuhan. Perusahaan mempunyai kebijakan pemenuhan peraturan. Pada tingkat awal pengembangan, tujuan utama manajemen lingkungan adalah mencapai pemenuhan dengan kebutuhan kesehatan, keselamatan, dan lingkungan yang diamanatkan oleh peraturan pemerintah dan perundangan.
? ? Tingkat 2 – Orientasi pengembangan sistem dan implementasi. Tahap ini ditandai oleh pengembangan dan implementasi EMS formal. Sistem formal tersebut menyediakan metoda pemenuhan manajemen dan juga memfasilitas usaha perusahaan untuk mencapai kinerja lingkungan beyond compliance (setelah pemenuhan peraturan), untuk memenuhi tuntutan kebijakan perusahaan lebih komprehensif.
Sistem ini juga mengidentifikasi peluang-peluang yang menawarkan pengembalian investasi lingkungan atau keuangan dengan memperhatikan biaya dan manfaat.
TQM / TQEM
Commited
Process oriented
Convert
Coactive
Minimalist /
reactive
Inactive
Fokus pada standar Mengembangkan
setelah standar
- Standarisasi aktifitas
- Audit pemenuhan
- Perangkat statistik sebagai
teknik
- Birokratis karena prosedur dan
manual kualitas / lingkungan (Q/
E) tertulis
- Tanggung jawab Q/E pada
manajer Q/E
- Konformitas pada spesifikasi
- Sertifikasi ISO sebagai tujuan
konkrit
- Orientasi internal pada proses
- Fokus pada sasaran Q/E
berdasarkan kemampuan internal
- Perbaikan berkelanjutan
- Penanganan diri (self
assessment) untuk mencari
peluang perbaikan
- Perangkat statistik untuk
mengerti variasi dalam proses
- Orientasi budaya dan
keterlibatan orang yang tinggi
- Tanggungjawab dan peran top
management
- Kepuasan pelanggan dan
berfokus pelanggan
- Perjalanan TQM tanpa akhir
- Orientasi pada organisasi dan
hubungan di dalam dan diluar
organisasi
- Berfokus pada sasaran
berdasarkan ukuran eksternal
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 7
? ? Tingkat 3 – Orientasi integrasi ke dalam fungsi bisnis. Perusahaan telah mempunyai sistem formal
untuk mengintegrasikan perhatian manajemen lingkungan kedalam fungsi manajemennya dan bisnis
umum yang dilakukan secara teratur. Perhatian dan informasi lingkungan digabungkan ke dalam
semua fungsi perencanaan bisnis yang relevan, termasuk kebijakan perusahaan, anggaran modal,
perancangan produk, pengembangan manufaktur, disposisi, strategi pemasaran, pembuatan keputusan,
implementasi program dan pelaporan. Perhatian pada lingkungan meliputi dampak lingkungan
langsung maupun tak langsung pada produk, operasi, dan jasa, yang dikembangkan setelah pemenuhan
peraturan.
? ? Tingkat 4 – Orientasi pendekatan kualitas total. Pada tingkat tertinggi, integrasi EMS diaplikasikan
pada operasi secara global, dan secara terus-menerus dievaluasi bagi peluang-peluang perbaikan.
Perbaikan diimplementasikan menggunakan teknologi terkini dan praktek-praktek manajemen terbaik
jika memungkinkan. Terdapat metoda untuk secara terus-menerus memperbaiki pengetahuan
perusahaan dan mencegah atau mengurangi potensi dampak lingkungan merugikan karena operasinya.
Seluruh fase siklus hidup produk, operasi, dan jasa dievaluasi dalam sistem usaha ini, termasuk efek
langsung maupun tak langsung pada lingkungan.
Bila dibandingkan dengan 5 fase perkembangan TQM European Quality Award / EQA (T.W.Hardjono
et.al., 1996) akan terdapat kemiripan, seperti pada Gambar 4 sebagai berikut.
Gambar 4. Perbandingan 3 konsep orientasi kebijakan
Dalam tahapan manajemen lingkungan dari orientasi pemenuhan menuju kualitas total dan sustainable
development, keperluan minimal apa saja dan kondisi apa saja yang dialami perusahaan? Dapat dilihat pada
Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Perangkat yang diperlukan dan kondisi yang dialami perusahaan sesuai tahap praktek manajemen lingkungan
Orientasi
pemenuhan
Orientasi
perbaikan
proses
Integrasi
sistem
Kualitas total Sustainable development
- kontrol polusi
- end of pipe
- peraturan
lingkungan yang
berlaku
- EMS
pemenuhan
- pencegahan
polusi
- Pendekatan
Sistem
- Perangkat
kualitas
- Kerangka
komprehensif
EMS kualitas
- Fokus pada
sistem bisnis
keseluruhan
- komunikasi interaktif
dengan pelanggan dan
komunitas
- SCM
- Pertimbangan lingkungan
bersatu dengan bisnis
- TQEM
-Fokus pada sistem bisnis
dan peran aktif masyarakat
- Konsep Industrial Ecology
- Bergabung dengan industri lain
dan masyarakat
- kerjasama saling menguntungkan
dengan industri lain dan
masyarakat sekitar
- Fokus maju bersama dengan
aktifitas masyarakat / kebersamaan
sosial
TQM / TQEM
Commited
Process oriented
Convert
Coactive
Minimalist /
reactive
Inactive
Orientasi Pemenuhan
Orientasi
Perbaikan
proses
Orientasi Integrasi
sistem
Orientasi
Kualitas
total
Orientasi
Produk
Orientasi
Proses
Orientasi Rantai
pasokan
Orientasi
Kualitas
total
Fokus pada standar Mengembangkan
setelah standar
Orientasi
Sistem
Konsep TQEM
GEMI (1994)
Konsep TQM
EQA (1991)
Konsep Hedborg
et.al.(1996)
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 8
Perangkat pendukung manajemen lingkungan berfokus aset fisik untuk meningkatkan kualitas
manajemen lingkungan dan melangkah ‘beyond compliance’, yang sudah dikenal dan banyak digunakan
antara lain :
1. Berorientasi pada proses produksi : yang cukup dikenal adalah Produksi Bersih (Cleaner Production /
Pollution Prevention), dan Eko-efisiensi (UNEP, 1998).
2. Berorientasi pada produk akhir: seperti Penanganan Siklus Hidup (Life Cycle Assessment / LCA), dan
Perancangan bagi Lingkungan (Design for Environment),
3. Usaha integrasi ke bahasa keuangan: metode Akuntansi Lingkungan (Environmental Accounting)
bersama-sama Pembiayaan Berbasis Aktifitas (Activity Based Costing / ABC) (EPA, 1998).
2.2. Green Wall Effect
Banyak pemimpin lingkungan dan ahli strategi lingkungan perusahaan menemukan dalam
pekerjaannya yang disebut efek Green Wall (Shelton dalam Piasecki et.al. (1999), yaitu titik dimana
keseluruhan organisasi menolak untuk maju kedepan dengan program manajemen lingkungan strategisnya,
dan inisiatif lingkungan berhenti mati di jalurnya, seperti menabrak dinding.
Gejala menabrak Green Wall antara lain keputusan negatif atau menurun karena kurangnya dukungan
manajemen bagi konsep dan program manajemen lingkungan; program lingkungan, kesehatan, dan
keselamatan (EH&S) yang terasa kurang fokus, dan ketidak mampuan untuk menunjukkan pada fungsi
bagian lain di organisasi, tingkat pengembalian yang menarik pada investasi (ROI) dari program-program
lingkungan yang akan dijalankan.
Akibat efek Green Wall antara lain :
? ? Program lingkungan terasing dari program-program lain di perusahaan
? ? Program lingkungan sering dipinggirkan atau dianggap sebagai program terakhir, tidak diprioritaskan
? ? Pola kerjasama bidang lingkungan dengan bidang-bidang lainnya sering berjalan sendiri-sendiri, tidak
menunjukkan keterkaitan yang erat.
? ? Pertimbangan bidang lingkungan jarang dimasukkan sebagai saran pertimbangan kebijakan
perusahaan.
Penyebab efek Green Wall antara lain :
? ? Sebagai akibat penerapan kebijakan lingkungan satu arah yaitu penekanan pada memenuhi aspek
peraturan lingkungan, sebagai konsekuensi strategi ‘end-of-pipe’.
? ? Bagian lingkungan kurang mampu mengkomunikasikan tugas-tugas dan menunjukkan hasil
pekerjaannya dalam bahasa yang dimengerti elemen bisnis lain di perusahaan (bahasa lingkungan vs
bahasa bisnis).
? ? Kurangnya pemahaman elemen organisasi lain pada fungsi bagian lingkungan dan tugas-tugasnya di
perusahaan, selain sebagai ‘penjaga peraturan’.
? ? Orientasi jangka pendek, pada pemenuhan peraturan Pemerintah, dalam arah strategi kebijakan
lingkungan perusahaan.
Untuk mengatasi atau meminimalkan efek Green Wall ini, ahli strategi lingkungan menyarankan
bentuk integrasi manajemen lingkungan kedalam strategi bisnis, dalam bentuk mendukung ‘core
competence’ perusahaan, memasukkan pertimbangan lingkungan kedalam fungsi bisnis utama perusahaan
(pemasaran, produksi, pembelian, garis rantai suplai), dan merubah cara pandang aspek lingkungan sebagai
senjata peluang membuka celah pasar yang baru, yang mengarah pada bentuk manajemen lingkungan
interaktif. (Shelton dalam Piasecki et.al., 1999).
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 9
manajemen
lingkungan
strategis
bahasa bisnis
cocok dengan
strategi bisnis
melekat dalam
organisasi
manajemen
lingkungan
interaktif
strategi berdiri
sendiri
organisasi matriks
bahasa
‘environmentalis’
manajemen
lingkungan ‘dinding
hijau’
Gambar 5. Potensi Integrasi Manajemen Lingkungan (Piasecki, 1999)
Bila dilukiskan secara umum maka gambaran penerapan manajemen lingkungan di perusahaan adalah
seperti pada Gambar 6 berikut.
TQEM
Mulai kebijakan lingkungan
EMS
Catatan:
A: ISO 14001
B: IEMS-ISO
C: IEMS
Green Wall
Manajemen Lingkungan
Beyond
compliance /
proaktif
Pemenuhan
peraturan /
reaktif
Pengembangan berkelanjutan /
sustainable devalopment
Waktu
end-of-pipe
Sertifikasi ISO 14001
Zona ISO 14001
B C
A
Gambar 6. Penerapan manajemen lingkungan perusahaan yang disederhanakan
2.3. Mengenai kebijakan lingkungan dan pasar bebas
James E.Rogers (Marcus et.al., 1997, p.9) menyatakan bahwa pasar bebas baik bagi aspek lingkungan
karena:
1. Pasar yang kompetitif menginginkan efisiensi, memaksa produsen mengurangi limbah
2. Pasar bebas didorong konsumen, konsumen menginginkan tanggung jawab lingkungan
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 10
3. Pasar bebas menyediakan model dan dasar bagi peraturan lingkungan yang efektif biaya.
Ada 2 pendekatan karakteristik kepemimpinan lingkungan: beyond command and control dan beyond
compliance. Dari sudut pandang perusahaan, keberhasilan beyond command and control adalah
menyeimbangkan peraturan lingkungan yang merefleksikan pemikiran terbaik saat ini, yang mendorong
inovasi.
Michael Porter dari Harvard Business School menyatakan bahwa peraturan lingkungan tidak akan
melanggar daya saing / competitiveness, malah jadi sumber persaingan. Kurangnya standar lingkungan
punya efek sama dengan hambatan perdagangan (protective trade barrier) –akan menyebabkan perusahaan
domestik tertinggal dalam inovasi dan efisiensi. Kemampuan memenuhi standar lingkungan yang ketat
menjadi produk yang bisa diexport. Contohnya perusahaan listrik AS telah mampu mengoperasikan
fasilitas di negara lain dengan keunggulan standar lingkungan. (Marcus et.al., 1997).
Peraturan lingkungan agar efektif harus berfokus pada kinerja daripada keperluan hardware tertentu;
jadi peraturan lingkungan harus:
1. Memungkinkan perusahaan memenuhi standar lewat P2 daripada kontrol end-of-pipe.
2. Menggunakan mekanisme berbasis pasar yang memotivasi perusahaan untuk memenuhi tujuan-tujuan
lingkungan dengan biaya minimal
3. Mendirikan tujuan dan memberikan perusahaan peluang untuk mencapai tujuan tersebut lewat usaha
sukarela
Dari sudut pandang perusahaan, kuncinya beyond compliance ? terdapat kecenderungan bahwa
perusahaan multinasional akan mendirikan operasinya di negara dengan peraturan lingkungan lebih ketat.
Ciri pendekatan beyond compliance:
1. Komitmen perusahaan
2. Pelaporan dan pengukuran kinerja lingkungan
3. Pencegahan polusi dan minimasi limbah
4. Pelatihan dan tanggungjawab karyawan
5. Pengurusan lingkungan
2.4. Struktur organisasi penanggung jawab kebijakan lingkungan
Perusahaan yang tidak memberikan prioritas yang tinggi terhadap praktek manajemen lingkungan
tidak akan mengorganisasikan dalam cara yang sama dengan perusahaan yang memberikan prioritas tinggi
pada program-program lingkungan. Bagaimana perusahaan mengorganisasi dan menstrukturkan
manajemen lingkungan berpengaruh pada evaluasi keseluruhan sistem manajemen lingkungan perusahaan.
Struktur organisasi adalah spesifik masing-masing perusahaan, namun secara umum tanggungjawab
pengelolaan lingkungan eksternal berada pada bagian antara lain (Heidenmark, 1999) :
1. Tanggungjawab direktur pemasaran / CEO berimplikasi bahwa hanya direktur pemasaran / CEO yang
bertanggungjawab pada isu lingkungan eksternal. Pada beberapa kasus, CEO menunjuk seseorang
yang bertanggung jawab pada masalah pemeliharaan dan pemurnian dan sistem pengolahan yang telah
ada. Tingkat manajemen lingkungan tergantung pada sampai sejauh mana komitmen direktur
pemasaran pada isu lingkungan. Struktur ini adalah struktur tradisional dari perkembangan kepedulian
lingkungan awal di dunia industri.
2. Tanggungjawab departemen perawatan. Tanggungjawab bagi isu-isu lingkungan didelegasikan pada
seseorang diluar garis produksi; seringkali staf perawatan. Karyawan bertanggungjawab pada
penghilangan emisi dari sumber-sumber yang tak dapat dia pengaruhi. Dalam prakteknya hanya solusi
filter (end of pipe, kontrol polusi) adalah solusi yang mungkin bagi bentuk organisasi ini. Dari
perspektif lingkungan, bentuk organisasi ini tidak mengarah pada ukuran manajemen lingkungan
konkrit, dengan pengecualian yang mungkin dari pembuangan limbah. Struktur ini perkembangan
lebih lanjut dari kepedulian lingkungan tingkat pertama / tradisional. Di Swedia dalam penelitian 1998
jarang ditemukan pada perusahaan menengah – besar, dibanding tahun 1991.
3. Tanggungjawab manajer produksi. Manajer produksi bertanggungjawab pada isu-isu lingkungan
eksternal. Tergantung pada tingkatan ambisi perusahaan, dan minat manajer produksi, mereka
mungkin meminta pertolongan dari pihak lain dalam organisasi untuk mengurangi dampak lingkungan.
Tipe organisasi ini mungkin adalah tipe paling efisien dari perusahaan menengah – kecil yang tidak
mampu menyewa seseorang untuk bekerja penuh menangani isu lingkungan perusahaan. Manajer
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 11
produksi mempunyai kesempatan untuk menangani masalah di sumbernya dan mengambil ukuran
seketika.
4. Divisi lingkungan, kesehatan dan keselamatan (environment, health, & safety). Manajemen lingkungan
eksternal berada dalam tanggungjawab bagian organisasi kesehatan dan keselamatan yang ada. Bagian
yang bertanggungjawab adalah manajer yang berada dalam komite keselamatan dan kesehatan, atau
teknisi keselamatan. Bagian ini seringkali mempunyai pengetahuan penanganan bahan kimia yang
baik, namun jarang punya pengaruh pada produksi dan karenanya mempunyai kesulitan membawa
perubahan.
5. Tanggungjawab manajer lini produksi / line manager (dengan dibantu staf). Tanggungjawab mencapai
dan menjaga sasaran perusahaan meliputi produksi, kualitas, tingkat emisi, dll., yang tergantung pada
manajer lini produksi. Perusahaan seringkali menambahkan koordinator lingkungan pada stafnya.
Karyawan ini tidak punya kontrol langsung pada emisi, namun punya porsi manajemen lingkungan
dalam perusahaan dan berhubungan dengan otoritas pemerintah, mengumpulkan informasi, koordinasi
proses pengembangan proyek, administrasi dan pendidikan manajemen lingkungan, dll. Jika manajer
operasi dan koordinator lingkungan sukses berkolaborasi, hasilnya akan sangat baik bagi organisasi.
6. Tanggungjawab manajer lini produksi / operasi. Tipe organisasi ini adalah kelanjutan dari tipe yang
disebutkan sebelumnya. Perbedaan termasuk distribusi tanggungjawab yang lebih teliti, dan sistem
metodologi pengumpulan data. Tren perusahaan menengah – besar di Swedia agaknya menuju ke arah
ini,
2.5. Manajemen lingkungan perusahaan
Praktek manajemen lingkungan perusahaan ditujukan agar menyatu dengan praktek manajemen bisnis
umum, seperti telah dinyatakan oleh ISO 14001.
Praktek manajemen lingkungan perusahaan sendiri perkembangannya banyak diinspirasikan oleh
evaluasi implementasi ISO 14001. Seperti saat ini banyak bermunculan unit-unit belajar di perguruan
tinggi seluruh dunia yang khusus mempelajari Corporate Environmental Management, seperti di MIT,
Harvard University, Lund University, dan berbagai kampus ternama lainnya.
Alasan manajemen lingkungan banyak dipelajari adalah karena perkembangan keilmuan manajemen
lingkungan yang dianggap banyak kalangan akademisi ternyata sangat penting dalam ikut menentukan
perkembangan bisnis dunia dimasa mendatang.
Aspek manajemen lingkungan yang berfokus fisik seperti definisi lingkungan secara tradisional,
ternyata berpengaruh pula secara non-fisik dalam hal moralitas dan aspek modal spiritual manusia
pelakunya. Pertanyaan yang terkait dengan ini adalah: Bukankah manajemen lingkungan berfokus pada
fisik dalam bentuk perlindungan lingkungan? Lalu apa hubungannya dengan aspek non-fisik?
Memang praktek manajemen lingkungan selama ini berfokus pada perlindungan lingkungan dan
memang berakar dari sasaran fisik lingkungan tersebut. Namun pada prakteknya, pada perusahaan yang
telah mengimplementasikan ISO 14001, bila melakukannya dengan baik, akan ditanggapi karyawan dengan
lebih banyak menyebutkan dampak intangible-nya yaitu peningkatan motivasi kerja (karena keamanan dan
keselamatan kerja diperhatikan perusahaan), peningkatan kepercayaan karyawan terhadap kebijakan yang
ditempuh manajemen, peningkatan citra perusahaan dikalangan karyawan, dst. (Hillary, 2000; Purwanto,
2002).
Aspek-aspek peningkatan citra dan kepastian kelangsungan bisnis inilah yang juga menjadi sebab
utama banyak perusahaan mencari sertifikasi ISO 14001, dan memang terbukti berpengaruh demikian. Jadi
praktek manajemen lingkungan yang baik akan selalu terkait dengan aspek intangible misalnya citra
perusahaan dan kepercayaan karyawan. Dalam hal lain justru inilah yang diperlukan bila perusahaan
dituntut untuk menjadi sistem organisasi belajar (learning organization) yang diperlukan sistem perusahaan
era informasi masa depan. (Lihat Gambar 7).
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 12
Pengaruh manajemen
lingkungan
aset fisik
aset non-fisik
efisiensi
Pemasaran
mental / rohani
Pencegahan
Polusi / PP
Green
marketing
Nilai-nilai
sustainable
development
ISO 14001 TQEM
tangible
intangible
Gambar 7. Pengaruh manajemen lingkungan dalam perusahaan
Bila kita mengenal perangkat manajemen lingkungannya yang berfokus mengelola aset fisik beyond
compliance seperti adalah LCA, PP, DfE, Env.Acc., Eco-efficiency, dll. Maka dengan menerapkan
program dan perangkat peduli lingkungan seperti diatas, dampak tidak langsungnya akan berupa
pemberdayaan aset virtual seperti:
- training kompetensi SDM lingkungan terkait dengan upaya inovatif Pencegahan Polusi menuju
Sustainable Development lewat Manajemen Lingkungan Terintegrasi,
- pemberdayaan karyawan (lewat alokasi tanggung jawab dan otoritas keputusan),
- upaya peningkatan ketrampilan dan kompetensi pengawasan lingkungan,
- penghargaan pada kebersihan, keteraturan, kedisiplinan,
- upaya mengasah inovasi produk dan proses ramah lingkungan, lewat komunikasi yang erat dengan
interested parties
Praktek perlakuan terhadap karyawan yang lebih baik terbukti terjadi setelah perusahaan mendapat
ISO 14001 (menurut hasil penelitian dengan ukurannya persepsi karyawan). Hal ini akan sangat
menguntungkan bila perusahaan mampu melihatnya sebagai peluang pemberdayaan karyawan. (Purwanto,
2002).
Gambaran pengaruh manajemen lingkungan bila diterapkan di 3 jenis perusahaan sebagai berikut:
? ? Jasa
? ? Investasi keuangan / jasa keuangan
? ? manufaktur
2.5.1. Jasa
Contohnya hotel –> aktifitas terkait jasa kepuasan konsumen yang menginap di hotel tersebut
Pengaruh penerapan manajemen lingkungan yang baik:
? ? Fisik –> dampak lingkungan kecil: – limbah cair rumah tangga
- energi
- limbah dapur
- dst.
? ? Virtual –> manajemen lingkungan bisa menimbulkan kebetahan dari pelanggan terhadap suasana
ramah lingkungan, suasana dekat dengan alam, mendorong kesatuan dengan alam lewat keteraturan,
disiplin, dan pelayanan yang tulus dari karyawan hotel.
Sasaran lingkungan dapat meliputi:
- meminimalkan dampak lingkungan
- kenyamanan lingkungan pada tamu
- moral yang tinggi dari karyawan hotel bisa tercermin dan dirasakan tamu (seperti kepercayaan,
keteraturan, disiplin, customer oriented services).
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 13
2.5.2. Keuangan / investasi
Aktifitas manajemen lingkungan terkait dengan jasa kepuasan konsumen –> besar dana, ketepatan
pembayaran, konsultan finansial, dst. Terkait langsung dengan tingkat kepercayaan antara institusi
pemodalan dan pelanggan.
Tindakan mengawasi permodalan untuk tindakan melindungi lingkungan dan perhatian pada karyawan
akan membuahkan rasa Saling percaya (mutual trust) antara manajemen dan karyawan. Kebutuhan
karyawan tersebut bisa dari segi keselamatan dan kesehatan kerja, kenyamanan dan keamanan kerja. Di
Jepang bahkan termasuk masalah keluarga, suami / istri, anak, juga diperhatikan oleh atasannya di
perusahaan.
Bila manajemen ingin karyawan lebih berprestasi, kembali ke prinsip inner-outer –> upaya harus dari
pembenahan diri sendiri dulu menunjukkan prestasi, baru disebarkan keluar (prinsip inner-outer Covey
(1997), dan manajemen kalbu Aa Gym).
Tingkat kepercayaan (saling percaya) antara karyawan dan manajemen juga dapat ditingkatkan lewat
kesadaran karyawan bahwa upaya manajemen adalah termasuk memperhatikan generasi mendatang
termasuk anak-anak mereka lewat upaya perlindungan lingkungan. Terbukti dalam penelitian sebelumnya,
bila pihak manajemen mempraktekkan hal ini dan disadari karyawan, maka tingkat kepercayaan karyawan
semakin besar. (Purwanto, 2002).
Sasaran lingkungan keuangan bila dikaitkan dengan konsumen lingkungan:
? ? fisik –> meminimalkan dampak lingkungan –> operasional dan perawatan gedung, penggunaan dana
untuk merusak lingkungan baik langsung maupun tak langsung
? ? virtual –> membangun rasa saling percaya bila perusahaan mengetahui penggunaan dana untuk tujuan
melindungi lingkungan, teratur, disiplin, meningkatkan motivasi kerja karyawan.
Konsumen lingkungan adalah juga dikenal sebagai interested parties, minimal 5 aktor: pelanggan,
karyawan, Pemerintah, investor, masyarakat.
2.5.3. Manufaktur
Bila menggunakan pertimbangan siklus hidup akan membawa pada pengurusan produk / product
stewardship yang melibatkan peran serta dari masyarakat dan interested parties lebih besar, dan
peningkatan imej perusahaan dapat efektif dilakukan.
Sasaran lingkungannya:
? ? fisik –> meminimalkan dampak lingkungan lewat PP, DfE, Product Stewardship, dst., meminimalkan
dampak kesehatan dan keselamatan pekerja.
? ? virtual –> meningkatkan motivasi kerja, keteraturan, kedisiplinan, dan kepercayaan karyawan dan
interested parties terhadap apa yang dilakukan perusahaan. Imej bisa diarahkan pada pembentukan
celah pasar / segmen pasar baru.
Dasar kepercayaan tersebut bila dikelola dengan baik dapat meningkatkan motivasi kerja, pada
akhirnya dapat memuluskan upaya menuju organisasi belajar. Menurut Senge (1994), organisasi belajar
memiliki ciri 5 disiplin belajar:
1. Personal mastery
2. Mental model
3. Shared thinking
4. System thinking
5. Team learning
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 14
3. MANAJEMEN LINGKUNGAN BERBASIS KUALITAS
3.1 Definisi
ISO 8402 (1986) mendefinisikan kualitas sebagai : totalitas fitur dan karakteristik produk atau jasa
yang bersandar pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau diimplikasikan.
Manajemen lingkungan berbasis kualitas, atau sering kita sebut Total Quality Environmental
Management (TQEM), sesuai dengan definisi diatas adalah praktek manajemen lingkungan yang mampu
memberikan nilai tambah pada produk atau jasa akhir perusahaan, yang sesuai dengan keinginan konsumen
lingkungan.
3.2 TQEM
TQEM dapat didefinisikan sebagai :
? ? identifikasi, pengkajian, dan perbaikan terus-menerus atribut-atribut lingkungan yang berkontribusi
pada kualitas total dari produk dan operasi perusahaan. (Fiksel, 1996, p.41).
? ? cara pemikiran sistem lingkungan lebih holistik, melalui pengambilan tanggungjawab lingkungan di
seluruh rantai operasi-operasi bisnis (Sammalisto, 2001).
TQEM berangkat dari pandangan bahwa limbah atau polusi dapat dilihat sebagai inefisiensi atau
kecacatan di dalam proses yang berakibat rendahnya kinerja lingkungan perusahaan. Perangkat dan filosofi
Total Quality Management (TQM) dapat digunakan untuk memperbaiki kinerja lingkungan dengan
menghilangkan limbah atau mengurangi dampaknya. Aplikasi perangkat ini dan filosofinya untuk
memperbaiki kinerja lingkungan dikenal sebagai Total Quality Environmental Management (TQEM).
TQEM pertama kali diluncurkan oleh Global Environment Management Initiatives (GEMI, suatu
asosiasi lebih dari 30 perusahaan besar dunia yang menitik beratkan pada kerjasama dalam bidang
pengelolaan lingkungan di perusahaan, 2000), di tahun 1993, yang idenya sebagian diinspirasikan dari
keberhasilan TQM di awal tahun 1990an. TQEM secara umum adalah sistem pengelolaan lingkungan
dengan menerapkan prinsip-prinsip kualitas total. Prinsip kualitas yang dimaksud adalah:
1. Fokus pada pelanggan.
2. Perbaikan terus-menerus.
3. Kerja tim
4. Sistem manajemen.
Perangkat TQEM identik dengan yang digunakan dalam setiap program TQM, meliputi perangkat
Statistical Process Control (SPC) 7 tools (Pareto Chart, Diagram cause and effect, control chart, dll).
Dalam program TQEM setiap perangkat berfungsi dengan kegunaan yang berbeda. Ketika digunakan
dikombinasikan dengan lainnya, perangkat itu berfungsi:
? ? Mengidentifikasi peluang pencegahan polusi
? ? Menentukan kemungkinan penyebab polusi
? ? Mendirikan tingkat polusi yang diharapkan dari proses, dan
? ? Merencanakan aksi mencegah polusi tersebut
TQEM menyarankan kesulitan lingkungan dikomunikasikan melalui perwakilan di masyarakat.
Banyak perusahaan yakin bahwa begitu mereka membangun hubungan yang kuat dengan perwakilan
masyarakat, secara tidak langsung akan memberi nilai pada organisasi dengan mengurangi biaya
pemenuhan dan meningkatkan daya saingnya. Cara pandang holistik kualitas terhadap lingkungan adalah
cara memandang masalah lingkungan secara lebih luas, dengan mengkaji semua aktor yang bermain
didalamnya (seperti prinsip 5M; manusia, material, mesin, metoda, modal), untuk memastikan bahwa
organisasi memenuhi atau mendekati keinginan kebutuhan lingkungan dari interested parties.
Fokus konsumen dan perbaikan terus-menerus biasanya dicapai dengan kerja tim (teamwork),
kolaborasi antara grup yang berbeda dalam organisasi, melewati batasan sub-unit (untuk mendapat manfaat
bagi keseluruhan organisasi dibandingkan sekedar sub-optimalisasi) dengan konsumen, dan dengan bagian
lain yang berkepentingan (sinergi; Sammalisto, 2001).
Fitzgerald (Willig, 1995, h.169) memberikan contoh beberapa metoda pengukuran terpilih di beberapa
perusahaan berdasarkan konsep TQEM yaitu seperti pada Tabel 3 berikut.
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 15
Tabel 3 Sistem pengukuran TQEM terpilih oleh beberapa perusahaan
Perusahaan Kegunaan pengukuran Parameter
AT&T, Intel
joint project
Mengembangkan ‘benchmark’ bagi
program P2 perusahaan
? ? Pembobotan elemen program lingkungan
? ? Evaluasi best of class (benchmarking)
? ? Disain program generik PP
? ? Analisa gap (mis. Dgn. ESAP, CGLI, atau DfE)
Sandoz
Corp.
Kinerja pabrik, keselamatan kerja dan
lingkungan
? ? Tingkat kecelakaan hari hilang dan hari kerja
? ? Total : energi, air, limbah
? ? Safety & environment investment, pengeluaran, personil
? ? Produksi total, personil
Niagara
Mohawk
Menelusuri keefektifan program
perlindungan lingkungan perusahaan
Lembar penilaian dari implementasi program : 25 pertanyaan, dengan
masing-masing berbobot 0-2. Kategori P-D-C-A
Xerox Corp. Integrasi isu lingkungan ke dalam nilai
perusahaan inti
Insentif ekonomi :
?? Dapat pangsa pasar via positioning (spt. Mesin ramah lingk, dst)
?? Pelaporan penghematan biaya (efisiensi PP)
?? Mengurangi resiko, biaya masa depan (evaluasi alternatif)
Perusahaan
3M
Menelusuri perbaikan terus-menerus di
Pollution Prevention Pays (3P), dan
efisiensi produksi
Jumlah limbah mencerminkan 3P, efisiensi:
? ? Nilai absolut (spt. Efisiensi per produk)
? ? Pengurangan sepanjang waktu (spt target 33/50)
? ? Persentasi input (efisiensi material)
US EPA ? ? Mempublikasi poluter
? ? Insentif ekonomis
? ? Mengenali ‘good citizen’
? ? SARA 313 / TRIS (daftar poluter)
? ? Chemical Air Act 1990 Pollution Market (dorongan bagi
perusahaan dengan insentif)
? ? 33 / 50 (target perlindungan lingkungan)
? ? Green light (pengenalan perusahaan berprestasi lingkuhgan)
Sumber : Fitzgerald (Willig (ed.), 1995)
3.3 Perbedaan EMS / ISO 14001 dan TQEM
Standar ISO 14001 disusun dengan tujuan menyediakan pendekatan terstruktur untuk mengelola
kualitas dan lingkungan, untuk menjamin produk dan jasa yang memenuhi kebutuhan bagi kualitas atau
menjaga kebijakan lingkungan (Ollila A., 1995).
Filosofi TQEM menurut Oliver (1996), pada dasarnya serupa dengan konsep TQM yaitu memenuhi
harapan konsumen. Namun TQEM mengidentifikasi dan memasukkan 5 golongan konsumen lingkungan
dalam definisi pelanggannya. Prinsip utama TQEM adalah pencapaian manajemen sumberdaya
berkelanjutan secara efektif dengan mentransformasikannya ke dalam organisasi belajar (learning
organization). Karena itu pendekatan TQEM secara radikal berlainan dari sisi pendekatan sistem, yaitu
merubah fokus organisasi dari menuruti peraturan atau pandangan pemegang saham, menuju ke budaya
proaktif mengelola sumberdaya bagi kepentingan masyarakat.
Perbedaan EMS dan TQEM antara lain (Oliver J., 1996):
1. EMS menolong organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan praktek lingkungan ke dalam
sistem operasi mereka. Batasan pengaruh EMS lebih kecil daripada TQEM karena cenderung
mempunyai keperluan terstruktur bagi hanya kinerja lingkungan dengan integrasi yang kecil dengan
dimensi kemasyarakatan lainnya. Dalam bentuk yang sekarang, EMS hanya menuntut perbaikan terusmenerus
pada tujuan dan sasaran lingkungan setelah memasukkan pertimbangan terhadap peraturan,
dampak yang dipunyai produk terhadap lingkungan, tujuan organisasi, dan pandangan pihak lain yang
relevan (lihat Gambar 8).
2. Filosofi TQEM satu sinergi dengan TQM yaitu prinsip-prinsipnya dikembangkan untuk mencapai
manajemen sumberdaya berkelanjutan untuk memastikan memenuhi kebutuhan masyarakat, baik
sekarang dan dimasa depan. Hal ini dicapai dengan lebih mempromosikan komitmen ‘pengembangan
berkelanjutan’ daripada pemenuhan peraturan spesifik tertentu.
3. TQEM bukan perangkat (tool) namun filosofi manajemen radikal yang mana organisasi perlu
mempertimbangkan kinerja sosial, ekonomi, dan lingkungan untuk menciptakan budaya perbaikan
terus-menerus secara intra dan antar komunitas belajar.
4. Baik TQEM maupun EMS sama-sama mengarah pada isu-isu lingkungan. Namun pendekatan TQEM
pada dasarnya berbeda karena menantang prinsip-prinsip organisasi, terutama yang berhubungan
dengan tanggungjawab sosial. Karena itu, TQEM dengan pandangan holistiknya: memenuhi kebutuhan
masyarakat, “memerlukan struktur baru, dari bawah keatas” bagi terjadinya proses belajar inovatif.
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 16
Dalam jangka menengah dan jangka panjang, TQEM akan mempunyai pengaruh yang lebih besar pada
‘sustainable development’ karena pendekatan filosofi dan dimensi kemasyarakatannya yang lebih tinggi
(lihat Gambar 8 berikut).
Gambar 8. Perbedaan ruang lingkup EMS dan TQEM (Oliver J., 1996)
4. PENGUKURAN KUALITAS MANAJEMEN LINGKUNGAN
Manajemen lingkungan berbasis berkualitas seperti telah dijelaskan diatas adalah sistem pengelolaan
yang bertujuan memuaskan harapan dan keinginan para konsumennya (dalam arti luas; 5 golongan
konsumen lingkungan). Konsep total dimaksudkan mengacu pada usaha memaksimalkan keterkaitan semua
bagian sistem proses operasional untuk memuaskan keinginan konsumen keseluruhan.
Untuk mengukur sejauh mana pencapaian kualitas manajemen lingkungan, para ahli lingkungan
menyarankan menggunakan perangkat antara lain dengan melakukan perbandingan (benchmarking) dengan
perusahaan lain atau ‘gap-analysis’ pada standar kualitas manajemen lingkungan tertentu seperti:
1. Standar peraturan lokal dan internal perusahaan mengenai lingkungan. Audit lingkungan mengenai ini
dikenal sebagai audit pemenuhan (compliance audit) dan audit sistem manajemen .
2. Standar internasional dan regional seperti ISO 14000 dan EMAS (EMS khusus negara-negara Eropa).
Terutama bertujuan agar EMS perusahaan sejalan dengan model yang diakui secara internasional dan
sesuai dengan sistem manajemen lingkungan internasional. Audit lingkungan yang terkait dengan ini
dikenal sebagai audit sistem manajemen (management system audit) dan audit pemenuhan (compliance
audit) (Willig, 1995).
3. Standar regional atau sekelompok perusahaan berfokus hal yang disepakati bersama, seperti TQEM,
dan sustainable development. Terutama bertujuan perbaikan lebih jauh dalam implementasi sistem
manajemen lingkungan menuju sasaran tertentu. Contohnya antara lain matriks penerapan TQM
European Quality Award, Environmental Self-Assessment Program (ESAP) GEMI, dan matriks
penerapan TQEM CGLI. Proses memastikannya dengan management system audit (Willig, 1995).
4.1. Gap analysis / Self-Assessment
Metoda gap analysis adalah metoda untuk mencari kesesuaian kondisi dan situasi aktual perusahaan
dengan kondisi yang digambarkan dalam suatu standar tertentu. Tujuannya adalah untuk menilai apa yang
telah dilakukan perusahaan dibandingkan dengan bentuk pola kondisi penerapan tertentu menuju sistem
tujuan, misalnya kualitas atau ‘green company’. Metoda gap analysis ini sudah sering digunakan kalangan
peneliti dan auditor internal terutama dalam proses awal mengkaji kesesuaian dengan standar tertentu
seperti ISO 14001 atau standar lain. Self assessment pada prinsipnya sama dengan gap analysis namun
dilakukan internal sedangkan gap analysis dapat dilakukan oleh pihak eksternal.
Pemasok Organisasi Pelanggan
Lingkungan
Pemasok Organisasi Pelanggan
Lingkungan
Pemasok Organisasi Pelanggan
Lingkungan
Masyarakat
EMS
Kondisi
sekarang
TQEM
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 17
Perbedaan antara gap analysis / self assessment dengan audit adalah bila audit dilakukan untuk
mencari kesesuaian yang dikatakan dengan yang dilakukan, maka evaluasi diri adalah membandingkan apa
yang dilakukan dengan pola tindakan tertentu yang menjadi ukuran, untuk mencari kesenjangan.
4.2. Audit Lingkungan
Audit ditafsirkan bermacam-macam oleh beragam orang untuk berbagai kepentingan. Definisi yang
paling terbatas adalah proses periodik dimana perusahaan mendokumentasikan bahwa perusahaan
melakukan apa yang dikatakan dilakukannya (documents that it is doing what it says it’s doing)(Wells,
Willig (ed), 1995, h.13).
Terdapat 2 macam audit lingkungan yaitu :
? ? Audit pemenuhan (compliance audit), adalah pola audit yang umum dikenal perusahaan. Biasanya
dilakukan saat proses implementasi ISO 14001, yaitu untuk memastikan perusahaan memenuhi
kebutuhan peraturan yang berkaitan dalam bidangnya. Audit pemenuhan menyediakan mekanisme
bagi manajemen untuk mendapatkan penghargaan obyektif dari kinerja perusahaaan dalam memenuhi
keperluan peraturan sebelum pelanggaran menjadi subyek aksi peraturan.
? ? Audit sistem manajemen berfokus pada keseluruhan struktur manajemen. Untuk memahaminya kita
lihat ilustrasi di Gambar 9 (dalam konteks Evaluasi Kinerja Lingkungan / EPE). Audit sistem
manajemen berupaya menjawab bagian Proses / prosedur, yaitu apakah organisasi telah mempunyai
proses dan prosedur yang diperlukan dan telah dilakukannya.
Audit sistem manajemen mempunyai tiga kegunaan kunci :
1. Indikator kinerja leading, tidak seperti pengukuran Lingkungan Hasil dan Pengukuran Kepuasan
Konsumen, audit sistem manajemen adalah indikator kinerja leading. Audit ini penting untuk
mencegah akibat tiba-tiba dan tak terencana dengan konsekuensi gawat.
2. Alat diagnostik, kegunaan kedua adalah sebagai alat diagnostik. Ketika hasil lingkungan atau
kepuasan konsumen tidak memenuhi kebutuhan, kita harus melihat sistem manajemen untuk
mengidentifikasi akar penyebab kinerja tersebut. Apakah ada prosedur yang dapat diperbaiki?
Audit sistem manajemen dapat sebagai alat yang efektif untuk mengidentifikasi akar penyebab
kesenjangan kinerja lingkungan.
3. Benchmark sistem manajemen. Karena perubahan yang begitu cepat, perusahaan sering
memastikan mereka berada pada jalur menuju proses ‘best-in-class’.
Gambar 9. Model generik Evaluasi Kinerja Lingkungan (EPE) (Wells et.al. dalam Willig, 1995)
Proses / prosedur
Keinginan
konsumen
Lingkungan hasil
dari proses
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 18
5. PELUANG DAN TANTANGAN MANAJEMEN LINGKUNGAN
5.1. Strategi Perusahaan Menghadapi Perubahan
Setiap orang tidak dapat membayangkan dan mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi di masa
mendatang. Banyak usaha untuk meramalkan masa itu, tetapi opini yang dibuat masing-masing sangat
besar perbedaannya sehingga sulit untuk mempercayainya. Beberapa karakteristik umum dapat
digambarkan dengan melihat prediksi paling populer.
Survay Manufaktur Masa Depan tahun 1992 oleh Kim dan Miller (Rolstadas, 1995) di AS
menghasilkan gambaran antisipasi manajer mengenai perubahan dalam lingkungan bisnis (dalam
persentase responden yang menyebutkan masalah ini) :
1. Bertambahnya kompetisi pasar dan kerjasama global (37%)
2. Lebih berfokus pada harapan konsumen untuk mutu dan waktu (24%)
3. Perubahan alamiah tenaga kerja: tugas, perilaku, harapan, dan kemampuan mereka (19%)
4. Bertambahnya perhatian dan peraturan untuk masalah lingkungan (13%)
5. Berkurangnya atau tidak tumbuhnya pasar domestik (12%)
6. Perubahan teknologi yang pesat dan siklus hidup produk (produk life cycle) yang lebih pendek (10%)
7. Bertambahnya tingkat persaingan (9%)
8. Informasi yang tersedia lebih cepat dengan cakupan yang lebih luas (6%)
Gambaran mengenai prediksi situasi masa depan yang dapat dijadikan pertimbangan bagi penentuan
arah kebijakan strategi perusahaan, termasuk bidang lingkungan, antara lain (Mahayana, 1998) :
? ? Masa penyusutan (downsizing) besar organisasi
? ? Organisasi lebih ramping (lean) dan datar (flat)
? ? Organisasi lebih bersih (clean)
? ? Masa maraknya paham ‘sustainable development’, pengembangan / pertumbuhan dengan visi
berkelanjutan.
? ? Tuntutan konsumen diberbagai wilayah akan produk ‘green’ sangat tinggi.
? ? Segi teknologi, masa penggunaan IT sangat intens dan tinggi, hampir semua data tersedia dalam
bentuk digital.
? ? Persaingan antar perusahaan sangat kuat, sebagai imbas sangat luasnya saluran informasi mengenai
produk dan jasa.
? ? Budaya yang dianut organisasi adalah budaya informasi, banyak keputusan didasarkan keakuratan dan
kecepatan informasi.
? ? ‘Borderless competitiveness’ dimana persaingan terjadi tanpa dibatasi sekat negara dan wilayah.
Di sisi lain, sebagai tambahan, hasil studi internasional Kim dan Miller tahun 1992 pada bidang yang
sama untuk melihat apa yang dianggap para manajer di dunia akan menjadi prioritas kompetisi mendatang
tercantum pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Kompetisi keandalan untuk tahun 1990 – 1995
Urutan Eropa Jepang USA
1 Kesesuaian mutu Produk terandal Kesesuaian mutu
2 Penyerahan yang terpercaya Penyerahan yang terpercaya Penyerahan yang terpercaya
3 Produk terandal Perubahan desain yang cepat Produk terandal
4 Kinerja tinggi Kesesuaian mutu Kinerja tinggi
5 Pengiriman yang cepat Produk sistem langganan Harga bersaing
Sumber : Rolstadas, 1995
Yang menarik adalah bagi kalangan pebisnis Jepang, faktor kompetisi terpenting adalah keandalan
produk disusul penyerahan produk tersebut yang terpercaya mutunya, sedangkan di Eropa dan AS, faktor
kompetisi lebih dipandang pada kesesuaian mutu produk baru disusul penyerahan produk yang terpercaya
mutunya.
Untuk mengantisipasi perubahan tersebut, jalan yang ditempuh perusahaan yang hendak bertahan
dalam persaingan global antara lain dengan berusaha memperoleh pengakuan atas sistem yang dikelolanya
secara internasional agar produk mereka tetap diterima dan diakui pasar sebagai produk yang bermutu dan
sistem yang dijalankan telah memperhatikan standar internasional. ISO 14000 sejak diluncurkan tahun
1996, mengikuti kesuksesan peluncuran ISO 9000 telah menjadi acuan di banyak negara dalam mengukur
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 19
tingkat kesadaran dalam pengelolaan lingkungan di suatu perusahaan. Selain itu telah menjadi syarat di
beberapa wilayah dalam penerapan kebijakan perdagangannya.
Melihat gambaran perubahan masa depan diatas yang memerlukan bentuk perusahaan yang mampu
beradaptasi secara cepat, dibutuhkan bentuk perusahaan yang mampu belajar dengan cepat. Karena itu
bentuk organisasi belajar (learning organization) merupakan pilihan yang relevan untuk menjawab
tantangan semacam ini. Ini sesuai dengan tuntutan era bisnis masa depan yang dikenal pula sebagai era
ekonomi pengetahuan.
Jalur informasi yang semakin terbuka dan tanpa batas memungkinkan perkembangan infomasi dan
pengetahuan aktor bisnis semakin cepat. Batasan fisik sudah semakin berkurang, seiring tuntutan pelanggan
yang semakin besar. Untuk mengantisipasinya perusahaan banyak berpaling pada bentuk mengelola aset
non-fisik dari manusia yaitu pengetahuannya. Ini tentu masuk akal karena yang dibutuhkan dan bernilai
bagi perusahaan dalam diri manusia adalah pengetahuannya karena peran fisik sudah banyak diambil alih
teknologi pembantu aktifitas manusia. Sehingga timbul faham mengelola bisnis dalam cara lain yang
disebut manajemen pengetahuan (knowledge management; Pojasek, 2001). Uraiannya sebagai berikut.
Mengelola Pengetahuan (knowledge management) adalah upaya mengelola modal virtual yang
dimiliki para anggota organisasi (termasuk pengalaman, ketrampilan, data, dan informasi), sehingga
tujuan organisasi dapat terwujud. Perspektif kerangka kerja ini adalah memandang semua prosesproses
organisasional sebagai proses pengetahuan. Karyawan dijelaskan sebagai pekerja
pengetahuan yang ditugaskan menyaring isi dan meningkatkan nilai proses pengetahuan dalam
organisasi. Semua karyawan dapat mengkomunikasikan isi yang bernilai karena mereka berbagi
konteks organisasional yang sama. (Pojasek, 2001).
Knowledge Management (KM) adalah kerangka kerja yang sekarang banyak dipakai organisasi
untuk menerjemahkan isi / content kedalam nilai pemegang saham (Pojasek, 2001). KM adalah
bentuk yang sesuai dengan era ekonomi pengetahuan di abad informasi mendatang. (Baca KM dari
www.sveiby.com).
Paham ini tumbuh syaratnya ditunjang arus informasi yang diberi fasilitas sangat tinggi / difasilitasi
sangat baik oleh perusahaan, dan dilandasi semangat moral kerjasama, kepercayaan, dan sinergi
yang tinggi pula. Contoh organisasi KM antara lain konsultan manajemen, IT, perusahaan yang
mengandalkan jasa IT, dsb. (spt. Microsoft, IBM, Intel, Arthur Andersen Consulting, dsb.)
5.2. Perubahan paradigma strategi lingkungan perusahaan
Sekarang ini, manajer lingkungan jarang berpikir bahwa mereka sebagai pemimpin teknologi dalam
area produk dan proses. Inti tantangan bagi semua manajer adalah untuk memposisikan perusahaan
sehingga dapat memperbaiki, berinovasi, dan menciptakan nilai pada produk atau jasa. Karena
lingkungan ditakdirkan untuk bermain dengan peran yang meningkat berpusat pada proses, manajer
lingkungan harus berpikir peran baru mereka (Ferron dalam Marcus et.al. (ed.), 1997, p.80).
Dari sisi perkembangan manajemen lingkungan sendiri, manajemen lingkungan sebagai bagian dari
praktek manajemen bisnis keseluruhan dituntut untuk bersikap proaktif dalam mendukung aktifitas bisnis
perusahaan.
Aktifitas bisnis hanya memiliki 2 fungsi dasar yaitu pemasaran dan inovasi (Drucker, …). Sehingga
inovasi dan pemasaran harus menjadi bagian dari manajemen lingkungan bila tidak ingin tersingkir dari
pertimbangan bisnis.
Inovasi lingkungan termasuk tidak hanya teknologi baru, namun juga sistem manajemen baru yang
mungkin dipandang remeh oleh manajer lingkungan dengan perspektif tradisional. Inovasi lingkungan
sekarang mulai menunjukkan arah dalam perancangan produk baru (DfE, penggunaan energi dan material
lebih efisien), proses manufakturing baru (manufakturing sadar lingkungan), pendekatan baru pada
akunting (eco-accounting), pemasaran produk dalam cara baru (pemasaran green and clean), dan inisiatif
manajemen baru ISO 14001 dan TQEM. (Sammalisto, 2001).
Inovasi lingkungan selalu berfokus meningkatkan nilai tambah pada pemilik saham. Bentuknya dapat
berfokus proses disebut inovasi proses produksi, dan lainnya berfokus inovasi pemasaran, bertujuan
meningkatkan nilai lingkungan pada produk dalam persepsi pelanggan. Sehingga pelanggan mau memberi
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 20
nilai lebih pada produk yang ditawarkan dan berpeluang menciptakan pangsa pasar tersendiri (GEMI,
2001).
Untuk melangkah berfokus proses, profesional lingkungan perlu mempertimbangkan 5 langkahlangkah
dasar berikut:
1. Fokus ke core-competence, visi dan misi perusahaan secara keseluruhan.
2. Fokus ke proses. Ke penyebab masalah lingkungan dan limbah, dengan pertolongan perangkat kualitas
TQEM.
3. Fokus ke nilai tambah lingkungan. Mengetahui nilai tambah lingkungan. Pertanyaan dasar: apa yang
dapat diberikan aspek-aspek lingkungan sebagai nilai tambah pada pemegang saham perusahaan?
4. Menyusun optimalisasi nilai tambah yang dapat dilakukan dalam bentuk strategi lingkungan
perusahaan.
5. Komunikasi hasilnya secara efektif dengan menggunakan sebanyak mungkin bahasa moneter dan
kuantifikasi aspek kualitatif.
Keseluruhan pilihan manajemen lingkungan beyond compliance apakah inovasi proses atau
pemasaran, terangkum dalam strategi manajemen lingkungan perusahaan. Perumusan strategi manajemen
lingkungan tersebut memerlukan perubahan orientasi pemikiran menuju beyond compliance. Perubahan
paradigma kebijakan lingkungan tersebut dinyatakan secara lebih jelas oleh Lynn Johannson :
‘Sesuai dengan perkembangan teknologi, terdapat perubahan cara pandang dalam perumusan
kebijakan lingkungan dan implementasinya di perusahaan, yang terutama dipicu setelah adanya ISO
14000 di pertengahan 1990an, di Amerika dan Eropa’ (Johannson dalam Marcus et.al.(ed), 1997,
p.22).
Tabel 5. Perubahan Paradigma Kebijakan Lingkungan (Johannson dalam Marcus et.al.(ed), 1997)
Lama Baru
? ? Perlindungan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi
terlihat seperti berlawanan
? ? Berfokus pada masalah lokal
? ? Agenda didorong oleh pertimbangan domestik
? ? Publik menunggu peran Pemerintah untuk
memprioritaskan masalah, menemukan solusi
? ? Fragmentasi yuridiksional mengarah pada duplikasi dan
overlap
? ? Pola pikir bereaksi dan penyembuhan (react and cure)
? ? Pendekatan ‘command-and-control’ sebagai instrumen
pilihan
? ? Peraturan menjelaskan solusi teknis, menghambat
inovasi
? ? Mengarah pada titik sumber polusi besar, mudah
teridentifikasi, dan terkelola
? ? Pengembangan berkelanjutan menghubungkan pembuatan
keputusan lingkungan dan ekonomi
? ? Berfokus pada regional, masalah global
? ? Agenda berespon pada perdagangan internasional dan
iklim investasi
? ? Partisipasi publik dalam mengidentifikasi masalah dan
mengembangkan solusi
? ? Kerjasama yuridiksi bertujuan pada menghilangkan
duplikasi dan overlap
? ? Pola pikir mengantisipasi dan mencegah (anticipate and
prevent)
? ? Alat instrumen bermacam-macam, termasuk aksi sukarela
dan instrumen ekonomi juga digunakan
? ? Standar kinerja memberi sektor industri fleksibilitas,
mendorong inovasi
? ? Mengarah pada sumber polusi tersebar dan sulit dikelola
Dikaitkan dengan munculnya ISO 14001 ditahun 1996, dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan adanya
ISO 14001 telah mendorong perubahan orientasi pengelolaan lingkungan di perusahaan seluruh dunia. Dari
mulai pemenuhan sampai membuka jalan menuju beyond compliance.
Kesimpulan pergeseran peran profesional lingkungan (GEMI, 1998) adalah:
? ? Peran professional lingkungan perusahaan bergeser dari spesialis teknis menjadi konsultan lintas
fungsional, pengoptimal proses, dan pemecah masalah bisnis (business problem solver). Memfokuskan
pada nilai bisnis dari sistem manajemen lingkungan menjadi prioritas tinggi bagi para profesional
lingkungan.
? ? Perubahan kenyataan bisnis telah merubah fokus departemen lingkungan dari mengelola konsekuensi
menjadi mengelola sumberdaya
? ? Terdapat tanda2x terjadi pergeseran sikap tersebut. Eksekutif dari perusahaan besar telah semakin
meningkat berbicara mengenai nilai strategis dan operasional dari aktifitas lingkungan. Vernon
R.Loucks Jr, CEO Baxter International Inc. menyatakan : ‘Di Baxter, kita telah menemukan bahwa
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 21
program lingkungan perusahaan seperti pada area kesehatan dan keselamatan (EH&S), menghasilkan
manfaat keuangan penting. Pengalaman kita menghasilkan argumen bottom-line bagi perilaku
perusahaan yang bertanggungjawab secara EH&S, yang juga dapat dilakukan bahkan oleh perusahaan
yang belum mempunyai kebijakan EH&S sebagai prioritas. Contohnya inisiatif lingkungan Baxter
pada 7 tahun terakhir telah menghasilkan penghematan lebih dari $100 juta’.
? ? Dalam sejarahnya banyak eksekutif percaya bahwa aktifitas lingkungan hanya punya pengaruh sedikit
pada kinerja keuangan perusahaan kecuali di industri beresiko tinggi.
? ? Apakah keuntungan dari aktifitas lingkungan perusahaan berakibat pada perbaikan keuntungan dan
peningkatan harga saham? Dari survey penelitian di 300 perusahaan publik oleh ICF Kaiser ditemukan
bahwa mereka yang memperbaiki sistem manajemen lingkungannya mengalami peningkatan harga
saham sebesar 5 %. (Stanley et.al., 1996).
Studi lain menunjukkan bahwa portofolio diversifikasi perusahaan-perusahaan Eco-eficient rata-rata
dapat diharapkan melebihi kompetitor less efficient antara 240 dan 290 basis point pertahun. (Kiernan
et.al., 1997).
? ? Terdapat korelasi positif antara kinerja lingkungan dan kinerja keuangan. Banyak pakar keuangan
percaya bahwa manajemen lingkungan proaktif menyediakan indikator memimpin bagi praktek2x
manajemen umum yang baik dalam perusahaan. Perusahaan yang secara sistematis berusaha
mengoptimalkan efisiensi sumberdayanya dan meminimalkan limbah sering mengintegrasikan aktifitas
lingkungan ke dalam proses2x bisnis inti dan berfokus pada perbaikan terus-menerus.
5.3. Pandangan Integrasi Lingkungan – Bisnis
Integrasi lingkungan – bisnis didefinisikan sebagai koordinasi manajemen lingkungan dengan fungsifungsi
bisnis yang lain seperti proses manufaktur, pembelian, dan pemasaran (Haveman et.al., 1999). Pada
prakteknya adalah memasukkan pertimbangan lingkungan ke dalam proses pengambilan keputusan fungsi
bisnis lain, seperti proses produksi manufaktur dan pembelian material, dengan memperhatikan kemampulabaan
dan core-competence perusahaan. Fungsi ini adalah perkembangan dari cara pandang manajemen
lingkungan lama yang hanya sekedar meminimalkan pertanggungan lingkungan dan resiko lingkungan.
Dengan begitu diharapkan aspek lingkungan juga akan mempunyai nilai tambah dalam aktivitas bisnis
perusahaan.
Apa yang menghambat integrasi bisnis? studi oleh konsultan Arthur D.Little terhadap eksekutif EH&S
(Environment Health & Safety) di Amerika tahun 1995, dan laporan Steven A. Melnyk tahun 1996,
menyebutkan (Piasecki, 1999) :
1. Terdapatnya budaya EH&S yang terpisah dengan budaya perusahaan
2. Kurangnya penerimaan isu-isu EH&S oleh staf bisnis perusahaan
3. Banyak manajer bisnis kurang mengerti kegunaan ‘green manufacturing’, komponennya dan
dampaknya pada kinerja perusahaan. Hubungan antara ‘green manufacturing’ dan ukuran kinerja
bisnis umum –seperti biaya, kualitas, lead time, fleksibilitas– kurang dimengerti.
Terdapat 2 tingkatan integrasi bisnis (Haveman et.al., 1999):
1. Melibatkan kepedulian karyawan dan akuntabilitas pada isu-isu lingkungan, manajer bisnis
diasumsikan ikut bertanggung jawab mencapai tujuan lingkungan, seperti memenuhi peraturan,
mengurangi pengeluaran limbah beracun, meningkatkan efisiensi penggunaan material. Program
lingkungan seperti pencegahan polusi penting sukses di tahap ini. Elemen-elemen penting pada
tingkatan ini antara lain:
1. Mendapatkan komitmen manajemen senior
2. Penataan tujuan (goal-setting), memberi penjelasan harapan spesifik dan ukuran kemajuan
3. Keterlibatan dan tanggungjawab karyawan, mengurangi hambatan organisasional dan
meningkatkan komitmen
4. Ukuran kinerja, memberikan kejelasan pada karyawan hasil usaha
5. Pembiayaan lingkungan, meyakinkan bahwa manajer bisnis membuat keputusan dengan informasi
yang lengkap
2. Integrasi aktual pertimbangan lingkungan ke dalam sistem bisnis dan proses utama, melibatkan
memasukkan pertimbangan lingkungan kedalam sistem bisnis dan disain proses, sehingga perbaikan
lingkungan terjadi hampir secara alami. Akhirnya tingkatan ini mengurangi ketergantungan pada
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 22
program-program dan strategi perlindungan lingkungan terpisah seperti pencegahan polusi, juga
fungsi-fungsi EH&S lainnya. Aturan umumnya antara lain:
1. Mendefinisikan kembali isu-isu manajemen lingkungan sebagai isu-isu penggunaan material.
Perusahaan belajar melihat bahan sisa dan limbah sebagai isu penggunaan material yang tidak
efektif.
2. Mengarahkan isu-isu lingkungan dengan tujuan bisnis kunci. Berarti pemikiran kembali dan
perancangan ulang tujuan bisnis untuk mengakomodasi tujuan lingkungan
3. Merancang secara konsisten kedalam sistem manajemen. Isu kuncinya adalah meyakinkan
perbaikan lingkungan sesuai / compatible dengan tujuan manajemen lain.
Dari pengalaman perusahaan manufaktur SC Johnson (Haveman et.al., 1999), sukses perusahaan
mengintegrasikan lingkungan dapat diarahkan lebih pada ketrampilannya memasukkan pertimbangan
lingkungan dalam pemasaran (sebagai core-competencenya) daripada di manufakturing. Riset pasar dan
analisanya, pengembangan produk, dan manajemen produk adalah tulang punggung perusahaan dan punya
pengaruh besar dalam pembuatan keputusan perusahaan. Staf lingkungan menyadari usaha integrasi yang
sukses harus berhubungan dengan fungsi-fungsi bisnis inti ini. Bagi integrasi bisnis yang sukses, staf
lingkungan harus mendemonstrasikan nilai tambah dari memasukkan isu lingkungan diantara tujuan bisnis
yang ada.
6. SEDIKIT MENGENAI PENGEMBANGAN BERKELANJUTAN (SUSTAINABLE DEVELOPMENT)
Sebenarnya tidak ada definisi secara global bagi Sustainable Development (SD) saat ini. Juga
cenderung tidak akan ada definisi global mengenai konsep-konsep ini, karena konteks sustainabilitas
berbeda-beda diseluruh dunia. Masalah definisi dasar seperti ini seharusnya tidak digunakan sebagai dalih
untuk tidak melakukan proses kerja sustainabilitas, karena perbedaan-perbedaan kecil tidak mempengaruhi
semua implikasi praktis. Titik awal dari pembahasan ini adalah definisi yang digunakan komisi Brundtland.
Pengembangan berkelanjutan (sustainable development, sering diterjemahkan pembangunan bila
berbicara dalam konteks negara) seperti didefinisikan oleh United Nations Commision on Environment and
Development (UNCED) atau komisi Brundtland, adalah : ‘meeting the basic needs of all the world’s people
today without compromising the ability of future generations to meet their needs’. (GEMI, 1998).
Definisi lain: adalah suatu kondisi kemajuan industri yang memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa
mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (Fiksel, 1996, p.4).
Kondisi ini diasumsikan dicapai setelah terlebih dulu pertimbangan aspek lingkungan telah terikat erat
dengan kegiatan bisnis utama perusahaan, menjadi sistem organisasi belajar, dimana proses perbaikan dan
pencarian kesempurnaan berlangsung secara otomatis terus menerus, didasarkan filosofi kualitas total yaitu
memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen.
Alan AtKisson dalam Believing Cassandra (2000) menyatakan bahwa pengembangan tidak sama
dengan pertumbuhan. Terutama jika pertumbuhan berarti peningkatan ‘ever-increasing through-put of
stuff’. Gerakan ke arah kehidupan berkelanjutan akan memerlukan ketrampilan dan fasilitas pasar (dan
menyediakan potensi menghasilkan keuntungan yang tinggi). Untuk bergerak kedepan perlu secara efektif
menyadari bahwa :
? ? Krisis penggunaan berlebihan sumberdaya telah terjadi dan nyata dan menunjukkan jumlah
peningkatan dari waktu ke waktu
? ? Terdapat tren sistematis jangka panjang dan bahkan aksi yang kuat dan seketika tidak cukup untuk
mencegah konsekuensi serius di dekade mendatang atau abad mendatang. Terdapat resiko nyata sistem
yang ada akan runtuh, namun terdapat alasan untuk optimis bahwa hal itu dapat dihindari dan
pembangunan dapat terus berlanjut jika kita melakukan hal-hal tertentu.
? ? Solusi hidup yang mudah –mengurangi kebutuhan kita dan beralih dari teknologi dan ‘pasar’ tertentu–
tidak punya harapan untuk sukses, terutama dengan kenyataan bahwa sejumlah besar masyarakat dunia
ketiga telah teraspirasi pada kenyamanan gaya hidup barat.
? ? Solusi terletak lebih kepada mengarahkan kembali pasar menuju cara berkelanjutan dalam
memproduksi kebutuhan kita, menggunakan teknologi yang secara luas telah tersedia, dan pendekatan
pada aspek produksi, distribusi, dan pemasaran yang telah diaplikasikan secara sukses –dan sangat
menguntungkan– oleh organisasi-organisasi tertentu (perusahaan yang tidak memproduksi limbah).
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 23
Untuk keluar dari keruntuhan sistem alami global, diperlukan ide yang adalah visioner dan
menguntungkan, solusi yang dapat dilaksanakan seseorang yang mementingkan orang lain dan juga pelaku
kapitalis. Sumber harapan yang juga peluang bisnis, investasi yang juga bermuatan idealis. Dan itu semua
terangkum dalam kata ‘berkelanjutan’ (sustainable). (AtKisson, 2000).
Lebih jauh AtKisson menyebutkan tujuh prinsip pengembangan berkelanjutan :
1. Berpikir jangka panjang
2. Mengerti sistem dan dinamikanya
3. Mengenali batas-batas. Pertumbuhan eksponensial telah membawa kita dekat pada atau melebihi batasbatas
alami.
4. Melindungi alam, yang telah menyediakan jumlah tak ternilai pelayanan secara gratis (pelayanan yang
tak tergantikan)
5. Mentransformasi bisnis ‘doing it as usual’ seperti saat ini, dimana saat ini masih sangat sedikit yang
telah dikerjakan masyarakat industri. Yaitu apa yang kita kerjakan seharusnya berkelanjutan dan
masuk akal secara ekonomi.
6. Berlaku adil. Bila kita berlaku adil pada alam, pada sesama, dan pada generasi mendatang,
berkelanjutan akan terjadi secara otomatis.
7. Mengembangkan kreatifitas. Berkelanjutan perlu perubahan yang besar, kita perlu menjadi inovatif,
kreatif, dan senang bermain, slogan kemanusiaan yang masih berlaku hingga saat ini, yaitu
‘pertumbuhan atau mati’, dirubah mulai sekarang dan seterusnya adalah ‘Menjadi kreatif atau jatuh’.
Mengerti difusi inovasi adalah kritis dalam menyebarkan konsep dan praktek berkelanjutan.
Strateginya tidak rumit, temukan agen perubahan dan bekerja melalui mereka. Perlu mengerti sistem untuk
membuat perubahan terasa mudah dengan mengurangi persepsi biaya perubahan.
Untuk berubah dari cara non-berkelanjutan pada hidup dan bekerja berkelanjutan tidak berarti
pengurangan bisnis. Hal ini memerlukan usaha ekonomi berpotensi untung –contohnya adalah penggantian
kendaraan berbahan bakar fosil dengan kendaraan ditenagai sel hidrogen– yang terutama memerlukan
perubahan arah pemikiran.
Dari sudut pandang perusahaan, tahap Sustainable Development tersebut menurut Ranganathan (1998)
dapat dicapai dengan memfokuskan secara seimbang 3 pilar prinsip kebijakan manajemen perusahaan,
yaitu: ekonomi, lingkungan, dan sosial. Ketiga hal ini disebut ‘triple bottom line’ oleh para ahli manajemen
lingkungan (Ranganathan, 1999). Sehingga peran ideal bagi para manajer profesional perusahaan, termasuk
profesional lingkungan adalah yang mampu mengoptimalkan dan menjaga keseimbangan antara ketiga
pilar tersebut. (Lihat Gambar 10).
Gambar 10. Skema pengukuran berkelanjutan (Ranganathan, 1999)
Tahap ‘pembangunan / pengembangan berkelanjutan’ tidak dapat tercipta secara individu per
perusahaan namun diciptakan bersama-sama semua perusahaan di suatu wilayah. Untuk mewujudkannya
diperlukan peran dari banyak aktor, yaitu pihak industrialis, masyarakat, dan Pemerintah. Dalam hal ini
bagi industrialis, untuk berkembang ke tahap itu perlu dorongan eksternal yang paling kuat yaitu dari
pelanggan, masyarakat, dan Pemerintah.
Kinerja
ekonomi
Kinerja
sosial
Kinerja
lingkungan
sosioenvironmental
Integrated
sustainability
measures
sosioeconomic
ecoefficiency
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 24
Dalam skala besar, mengukur pengembangan kinerja berkelanjutan tidak berbeda banyak dari metodametoda
Evaluasi Kinerja Lingkungan (EPE) yang selama ini digunakan, dan mengukur emisi ke udara, air,
dan tanah dan konsumsi sumberdaya juga menjadi dasar bagi sistem Evaluasi Kinerja Berkelanjutan (SPE).
Indikator Kinerja Lingkungan (EPI) menjadi SPI dengan tambahan waktu, batasan, dan target (ISO 14031,
1997).
Prinsip-prinsip Sustainable Development telah dirumuskan oleh ICC Charter berjumlah 16 item seperti
terlihat di Tabel 6 berikut.
Tabel 6. Prinsip-prinsip manajemen lingkungan dari ICC Charter for Sustainable Development
16 Prinsip Manajemen Lingkungan dari International Chamber of Commerce
1. Kebijakan perusahaan
2. Manajemen terintegrasi
3. Proses perbaikan
4. Pendidikan karyawan
5.Penanganan prioritas
6. Produk dan jasa
7. Saran pada pelanggan
8.Fasilitas dan operasi
9. Penelitian
10. Pendekatan pencegahan
11. Kontraktor dan pemasok
12. Kesiapan kondisi darurat
13. Transfer teknologi
14. Kontribusi pada usaha umum
15. Prinsip keterbukaan pada perhatian umum
16. Pemenuhan peraturan dan pelaporan
Sumber: ICC Charter (GEMI, 1998)
Sedikit mengenai ICC Charter for Sustainable Development, terakhir diperbaharui tahun 1997.
Perjanjian ini diciptakan sebagai alat untuk menolong perusahaan-perusahaan menghadapi tantangan dan
peluang isu-isu lingkungan dan saat ini lebih dari 2300 perusahaan telah secara formal komit pada 16
prinsip perjanjian tersebut. Lihat http://www.iccwbo.org/index_sdcharter.asp.
Prinsip-prinsip Kinerja Berkelanjutan (sustainable performance)(Kinlaw, 1993, p 28-29):
1. Kinerja berkelanjutan (KB) adalah proses pemikiran sistem, analisa, dan integrasi, yang memerlukan
organisasi yang mengerti dan mampu menangani SD sebagai suatu sistem seperti diatas.
2. Kinerja berkelanjutan adalah proses saling berkelanjutan secara ekologis dan perlu revisi dari semua
proses-proses, produk, dan sistem organisasi atau bila perlu menggantinya untuk memastikan
kesesuaian dengan ekosistem alaminya.
3. Kinerja berkelanjutan adalah proses berorientasi hasil dan memerlukan komitmen yang ditunjukkan
dair pemimpin organisasi pada hasil yang spesifik dan dapat terukur.
4. Kinerja berkelanjutan adalah proses membangun komunitas. Karena itu perlu organisasi yang saling
bekerjasama satu dengan lainnya, dan menggunakan lingkungan dalam cara yang adil bagi semua
pihak. KB juga memerlukan organisasi yang melibatkan semua pemegang sahamnya dalam proses
perencanaan dan penerapan kinerja berkelanjutan.
5. Kinerja berkelanjutan adalah proses yang terbatas. Perlu organisasi yang mengenali bahwa terdapat
biaya-biaya yang dihubungkan dengan sumber daya bumi dan ekosistem-ekosistem yang harus
dimasukkan dalam proses akuntansi organisasi yang mana akan menempatkan batas-batas pada ukuran
dan kealamian bisnis-bisnis mereka.
6. KB adalah proses terbuka dan memerlukan organisasi-organisasi yang mengkomunikasikan secara
penuh semua aspek-aspek kinerja mereka yang direncanakan dan aktualnya pada seluruh pemegang
saham perusahaan.
7. KB adalah proses perbaikan terus-menerus dari setiap aspek kinerja organisasi dan memerlukan
keterlibatan penuh dari setiap anggota tenaga kerja
8. KB adalah proses berbasis data dan memerlukan informasi kongkrit yang diperoleh dari audit,
pengukuran, dan pelaporan kinerja lingkungan organisasi.
9. KB adalah proses tergantung teknologi dan memerlukan organisasi untuk mengembangkan kemitraan
dengan pemerintah, organisasi lainnya, dunia pendidikan, sumber-sumber pengembangan dan
penelitian, pemasok, dan pelanggan dalam rangka menemukan dan mengimplementasikan cara-cara
memperbaiki kinerja berkelanjutan.
10. KB adalah proses organisasional total dan memerlukan semua tahap perencanaan, pengambilan
keputusan, dan sistem SDM dibuat sesuai sepenuhnya dengan komitmen organisasi untuk KB
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 25
Sustainable Development dianggap sementara kalangan sebagai sasaran lingkungan yang paling ideal
saat ini, membantu mewujudkan visi EMS ideal bagi perusahaan. Dengan EMS yang ideal / optimal / terusmenerus
memperbaiki diri, dapat membantu mewujudkan kondisi moral yang dibutuhkan Organisasi
Belajar. Gambaran manajemen lingkungan yang berperan dalam pembentukan Organisasi Belajar juga
dijelaskan oleh Oliver J. (1996) dalam bentuk TQEM.
7. CONTOH KASUS MANAJEMEN LINGKUNGAN: ECP IBM (KARLSSON, 2001)
Kasus implementasi manajemen lingkungan IBM ini penulis angkat sebagai contoh praktek
manajemen lingkungan proaktif yang telah berpihak pada visi berkelanjutan. Kasus ini merupakan salah
satu kasus terbaik gambaran praktek sukses manajemen lingkungan yang berorientasi pada nilai tambah
pada pemegang saham, yang juga menguntungkan perusahaan, menuju sustainable development.
Program Environmentally Conscious Product (ECP) di perusahaan International Business Machine
(IBM), produsen hardware komputer berpusat di AS, memiliki awal sejarah di pembentukan gugus tugas
bagi ECP di tahun 1991. Ditahun yang sama Engineering Centre didirikan untuk menyediakan dukungan
teknis, laboratorium evaluasi dan teknis untuk atribut-atribut lingkungan bagi produk-produk IBM.
Program ECP secara resmi diluncurkan di tahun 1992, tapi kemudian berevolusi dengan pengenalan pada
perangkat dan rutinitas diseluruh perusahaan di IBM dalam pengembangan produk dan dengan lokasi
industri dan sistem logistiknya, bagi pemulihan produk end-of-life. Sasaran-sasaran dan prioritas bagi
program ECP bagi semua produk-produk baru:
- mengembangkan produk dengan pertimbangkan kemampuan upgrade mereka untuk memperpanjang
waktu hidup produk
- mengembangkan produk dengan pertimbangan bagi reuse mereka dan kemampuan daur ulang mereka
di akhir waktu hidup produk.
- Mengembangkan produk yang dapat dibuang secara aman diakhir waktu hidup produk
- Mengembangkan dan merakit produk yang menggunakan material-material daur ulang dimana
memenuhi aspek teknis dan ekonomis
- Mengembangkan produk-produk yang akan memberikan perbaikan pada efisiensi energi dan atau
pengurangan konsumsi energi.
Secara organisasional, program ECP independent / terpisah dari IBM Corporate Environmental Affair,
dimana adalah fungsi staf yang bertanggungjawab bagi aktifitas-aktifitas umum manajemen lingkungan
lain. Ini termasuk isu-isu seperti pelaporan lingkungan, isu-isu Health & Safety, seperti halnya manufaktur
dan peraturan lingkungan terkait tapak dan pencegahan polusi.
Program ECP IBM dimana sebagian lebih tua daripada sistem ISO 14001, berperan sebagai tulang
punggung manajemen Design for Environment (DfE) di IBM. Program manajemen DfE formal kemudian
dapat dikatakan memiliki sertifikasi IBM yang sesuai dengan ISO 14001.
Isu-isu lingkungan di IBM terbagi antara fungsi bagian lingkungan perusahaan dan program ECP. Isuisu
yang berhubungan bagi model Green Concurrent Engineering (GCE), seperti pelaporan lingkungan dan
audit ISO 14001 akan sebagian berada diluar program ECP. Harus dicatat bahwa saluran komunikasi dan
pertukaran informasi dibuat bagi 2 fungsi tersebut dan bahwa program ECP dilaporkan dalam laporan
lingkungan tahunan IBM, seperti halnya melalui saluran lain seperti koran 4 bulanan ECP.
Proses pertama dokumentasi lingkungan dari produk diperkenalkan di tahun 1970an, yaitu Product
Environmental Profile (PEP). Sejak diperkenalkan, bentuk-bentuk dan kandungan dokumen telah
mengalami banyak revisi. Sebagai contoh, metoda penilaian didasarkan pada metrik produk yang telah diuji
di pengkajian skala pilot di tahun 1996 dan kemudian diperkenalkan pada PEP, dan versi online
terkomputerisasi kemudian diimplementasikan sejak 1998.
Di tahun 1997, IBM memperoleh sertifikasi tunggal sesuai ISO 14001 yang berlaku seluruh dunia
termasuk semua manufaktur global dan operasi-operasi pengembangan hardware. Dengan peristiwa ini,
struktur formasi manajemen bagi program ECP berada dalam cakupan EMS ISO 14001. Pertimbangan
lingkungan juga telah terintegrasi kedalam proses Integrated Product Development (IPD) IBM.
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 26
8. KESIMPULAN
Manajemen lingkungan dalam pengertian sederhana adalah segala usaha yang dilakukan secara
sistematis untuk mewujudkan tujuan kebijakan lingkungan / sasaran lingkungan. Bila kita berbicara
mengenai kualitas manajemen lingkungan perusahaan, maka terutama akan sangat tergantung pada sasaran
kebijakan yang disebutkan apakah berfokus pada minimalisir dampak lingkungan, maka praktek
manajemen lingkungan akan berfokus pada aspek fisik menyangkut in dan end-process dan pengelolaan
sumberdaya. Sedangkan bila dikaitkan dengan pemberdayaan karyawan, maka manajemen lingkungan
dapat lebih menunjukkan perannya pada peningkatan kepedulian, aspek moral, dan hubungan masyarakat.
Manajemen lingkungan bila kita kaitkan dengan sasaran perusahaan PCDSM (Product Cost Delivery Safety
Morale), banyak menyangkut aspek Safety dan Moral.
Manajemen lingkungan bisa kita fokuskan upayanya pada:
? ? Fokus pada dampak lingkungan –> upaya fisik (physical capital management), yang terkait
manajemen dampak lingkungan / limbah dan keselamatan / kesehatan pekerja (safety).
? ? Fokus pada aspek moral –> upaya virtual capital management, meningkatkan kepercayaan diri dan
saling percaya antar semua ‘interested parties’ perusahaan (karyawan, manajemen, pemilik, pelanggan,
masyarakat).
Sasaran lingkungan adalah acuan penting penentuan kinerja lingkungan, dapat dikaitkan dengan:
? ? Aspek fisik –> dampak lingkungan dan keselamatan / kesehatan pekerja
? ? Perilaku komponen operasional perusahaan –> ketertiban dan keteraturan, meningkatkan rasa saling
percaya antar karyawan dan antar karyawan dengan manajemen. Upaya perusahaan yang
memperhatikan lingkungan secara langsung dapat meningkatkan tingkat kepercayaan karyawan
terhadap strategi yang ditempuh perusahaan saat ini.
Rasa saling percaya sendiri adalah modal kuat untuk terwujudnya Organisasi Belajar yang dilandasi
Knowledge Management. Inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa perusahaan dengan kandungan
pengetahuan yang tinggi (apakah itu sebagai core competence-nya atau tidak) seperti IBM, Intel, AT&T,
dll., telah mempraktekkan manajemen lingkungan terintegrasi dengan bisnis mereka. Hasilnya contoh tiga
perusahaan diatas tersebut tetap bertengger sebagai perusahaan papan atas dunia sampai sekarang.
Alasan lainnya adalah perusahaan yang mau bertahan lama harus memperhatikan lingkungan sejak dini
adalah agar bisnisnya bersifat berkelanjutan. Ada pertimbangan minimalisir resiko disini, karena tuntutan
konsumen global yang semakin menginginkan lingkungan menjadi pertimbangan bisnis. Ada
kecenderungan perusahaan yang mempraktekkan manajemen lingkungan yang baik, dapat menjadi
organisasi hidup (living organization) yang mampu bertahan lebih lama diantara para kompetitornya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa perusahaan memerlukan EMS yang baik yang memfasilitasi
beyond compliance, bukan lagi karena perusahaan takut melanggar hukum (konsekuensi peraturan
lingkungan, denda lingkungan) atau dorongan fisik lainnya (trade barrier, dsb.), namun lebih pada upaya
non-fisik pada pembentukan budaya berkelanjutan dan hidup, karena kesadaran bahwa perusahaan
memerlukan manajemen lingkungan dan melakukannya demi memuluskan langkah menuju Organisasi
Belajar (Learning Organization) dan penerapan Knowledge Management, yang sejauh ini dianggap sebagai
model organisasi yang mampu mengantisipasi tantangan masa depan. Sehingga bentuk-bentuk perubahan
organisasi lanjut seperti Reengineering, Six Sigma, flat hierarki, TQM, dst., dapat lebih mudah
dilaksanakan.
Dogma umum dalam melaksanakan kebijakan lingkungan: Bahasa lingkungan adalah bahasa universal
yang sewajarnya mudah dimengerti semua kalangan dan paling terkait dengan kepentingan semua
kalangan. Siapa yang terlebih dulu menunjukkan perhatian pada lingkungan akan mendapat nilai lebih dari
semua kalangan, dan ini bisa dilihat sebagai peluang oleh yang bersangkutan.
Lingkungan itu unavoidable but delayable. Apakah memilih melaksanakan sejak dini, atau menunda
sesuatu yang pasti akan dihadapi, dengan resiko kehilangan waktu yang sangat berharga?
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 27
9. REFERENSI
1. AtKisson, Alan, Believing Cassandra: an Optimist look at a Pessimist World, Chelsea Green
Publishing Co., Vermont, USA, 2000
2. Brown, Alan, Ton, van der Wiele, A typology of approaches to ISO certification and TQM, Australian
Journal of Management, 21, 1, 57-73, 1996
3. Covey, Stephen, 7 Habit of Highly Effective People, 1997
4. Fiksel, J., Design for Environment: Creating Eco-efficient Products and Process, McGraw-Hill, USA,
1996
5. Global Environmental Management Initiatives, Environmental Self-Assessment Program, GEMI,
Washington DC, 1994
6. Global Environmental Management Initiatives, Environmental Value to Business, GEMI, Washington
DC, 1998
7. Global Environmental Management Initiatives, Environment Value to The Top Line, GEMI,
Washington DC, 2001
8. Hardjono, T.W., Ten Have, S., Ten Have, W.D., The European Way to Excellenc: How 35 European
Manufacturing, Public & Services Organization Made Use of Quality Management, Directorate-
General III Industry & European Commission, 1996
9. Haveman, Mark; Dorfman, Mark, Breaking Down the Green Wall: Early Efforts at Integrating
Business and Environment at SC Johnson, Corporate Environmental Strategy Article, vol. 6, no. 1,
Elsevier Science Inc., Winter 1999
10. Hedborg, Thorolf, Implementation and application of ISO 9000, Stockholm, Sweden, 1996
11. Hillary, Ruth, Environmental management standards: What do the SMEs think? In Sheldon
Christopher (ed.), ISO 14001 and beyond (333-358). Greenleaf, Sheffield, UK., 1997
12. Heidenmark, Pia, Environment Management in Swedish Manufacturing Industries, IIIEE Reports
2000:14, Lund University, Sweden, 1999
13. International Organization for Standardization. Committee Draft ISO/CD 14031: Environmental
Management – Environmental Performance Evaluation – Guidelines. Draft Date: January 1997,
ASTM, West Conshohocken, PA (ASTM PCN: 34-114031-65)
14. International Organization of Standardization, Environmental management systems – Specification
with guidance for use (ISO 14001:1996). West Conshohocken, PA: ASTM,1996. PCN: 34-014023-65
15. OECD, Cleaner production in OECD countries, Journal of Industry and Environment 17, 1997
16. Karlsson, Marten, Green Concurrent Engineering: a Model for DfE Management Programs,
Dissertation, Lund University, Sweden, 2001
17. Kinlaw, D., Competitive and Green: Sustainable Performance in the Environmental Age. San Diego.
Pfeiffer and Company,1993, pp. 28-29.
18. Kiernan, Mathew J., Jonathan Levinson, Environment Drives Financial Performance: The Jury is In,
Environmental Quality Management, Winter 1997
19. Kuisma, Jaakko, Backcasting for Sustainable Strategies in the Energy Sector, Thesis, IIIEE Reports
2000:18, Lund University, Sweden, 2000
20. Marcus, Phillip A., Willig, John T., Moving Ahead with ISO 14000: Improving Environmental
Management and Advancing Sustainable Development, John Wiley & Son, Inc., New York, 1997.
21. Ollila, Antero, Quality improvements through ISO 9000 standards, ABB Service., Finland, 1995
22. Oliver, J., Sustainable Development Achievable by Systems or by Management Philosophy, Helsdale
Quality Management, 1996
23. Piasecki, Bruce W., Fletcher, Kevin A., Mendelson, Frank J., Environmental Management and
Business Strategy: Leadership Skills for the 21st Century, John Wiley & Sons Inc., 1999
24. Pojasek, Robert B.; Garn, John; Papadopoulus, Nick, Knowledge Management and Visual Context,
Environmental Quality Management Journal, John Wiley & Son, Autumn 2001
25. Purwanto, Andie T., Analisa Pengaruh Implementasi ISO 14001 Terhadap Indikator Kinerja
Lingkungan Kuantitatif dan Kualitatif Menggunakan Pengembangan Model EPE ISO 14031, Thesis,
Institut Teknologi Bandung, Indonesia, 2002
26. Ranganathan, Janet, “Sustainability Rulers: Measuring Corporate Environmental & Social
Performance”, Sustainable Enterprise Perspectives, WRI, May 1999
27. Rolstadas, A. (ed.), Performance Management: A Business Process Benchmarking Approach, First
Edition, Chapman & Hall, London, 1995
Manajemen Lingkungan, Andie Tri Purwanto, Hal. 28
28. Sammalisto, Kaisu, Developing TQEM in SMEs, Dissertation, Lund University, Sweden, 2001
29. Senge, Peter M., Charlotte Roberts, Richard B.Ross, Brian J.Smith, Art Kleiner, The Fifth Discipline
Fieldbook: Strategies and tools for builing a learning organization, New York: Doubleday, 1994
30. Stanley J.Feldman, Peter A.Soyka, and Paul Ameer, Does Improving a Firm’s Environmental
Management System and Environmental Performance Result in a Higher Stock Price?, ICF Kaiser
International: November 1996
31. Stoner, James A.F., Wankel, C., Management, Third Edition, Englewood Cliffs :P rentice Hall
International, 1986
32. Sturm, Andreas, ISO 14001: Implementing an Environmental Management System, Ellipson AG,
Switzerland, 1998
33. Terry, George R., Franklin, S.G., Principles of Management, Eight Edition, Homewood : Richard
Irwin, Inc., 1982
34. US EPA, Process Mapping Tool, Washington, April 1999
35. Willig, John T. (ed.), Auditing for Environmental Quality Leadership, John Wiley & Son, Canada,
1995

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download Lagu Gratis, MP3 Gratis