Bookmark and Share

Minggu, 08 Agustus 2010

Di Tengah Turbulensi Ekonom i Indonesia: Peran Akunta n Sentral

Dr. Sri Adiningsih

Di Tengah Turbulensi Ekonom i Indonesia:
Peran Akunta n Sentral
Dr. Sri Adiningsih
Pendahuluan
Globalisasi yang memicu liberalisasi ekonomi telah menggilas banyak
negara di dunia sehingga banyak mengubah peta ekonomi dunia.
Integrasi pasar global, regional ataupun bilateral yang semakin meluas
akhir-akhir ini, telah membuat ketergantungan perekonomian satu
negara terhadap negara lainnya semakin besar. Contagion ataupun
spillover effect semakin nyata. Sehingga pengaruh perkembangan
ekonomi satu negara terhadap negara lainnya semakin besar, bahkan
krisis ekonomi pun dengan mudah tertransmisikan dari satu negara
ke negara lain. Integrasi pasar dunia selama lebih satu dekade terakhir
telah memunculkan tantangan baru bagi pelaku pasar serta pembuat
kebijakan. Demikian juga dalam pasar keuangan yang semakin
terintegrasi, vulnerability perekonomian suatu negara yang dapat
memicu krisis ekonomi dan keuangan menjadi semakin nyata. Krisis
ekonomi dan keuangan memang bukan fenomena yang sering terjadi
di suatu negara, namun jika krisis datang maka akan memerlukan cost
yang tidak sedikit baik economic cost maupun social cost. Kontraksi
ekonomi yang hebat, kebangkrutan yang luas, tingginya kemiskinan
dan pengangguran, ketidakpuasan politik dan sosial adalah hal yang
biasa terjadi. Selain itu membuat negara yang terserang krisis ekonomi
mesti mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mengatasi masalah
ekonominya.
Kita telah menjadi saksi sejarah bahwa krisis ekonomi ataupun
keuangan terjadi di banyak negara dalam beberapa dekade terakhir
ini, baik negara maju ataupun sedang berkembang. Bahkan negara
seperti Amerika Serikat pun juga tidak imun dari krisis ekonomi.
Depresi besar 1933, demikian juga kejatuhan harga minyak dunia
tahun 1980an telah membuat terjadinya krisis perbankan. Bahkan
selama periode 1980-1995 terdapat lebih dari 65 negara sedang
berkembang yang mengalami tekanan permodalan pada sistem
perbankannya. Bailout untuk mengatasi krisis perbankan di negaranegara
berkembang selama periode tersebut diperkirakan mencapai
lebih dari 250 miliar dolar AS. Biaya yang harus dikeluarkan oleh
negara yang menghadapi masalah perbankan tersebut tidak sedikit,
sebagian besar memerlukan lebih dari 10 persen dari PDB negara
bersangkutan. Biaya restrukturisasi perbankan untuk negara-negara
yang terkena dampak krisis terutama di kawasan Asia diperkirakan
lebih besar lagi jumlahnya. Biaya restrukturisasi perbankan di Indonesia
mencapai 58 persen dari PDB Indonesia, 30 persen dari PDB untuk
Thailand, 16 persen dari PDB untuk Korea Selatan, dan 10 persen
dari PDB untuk krisis yang terjadi di Malaysia (World Bank, 2000).
Itu semua menunjukkan bahwa krisis ekonomi ataupun keuangan
sangatlah mahal harganya. Biaya pemulihan dari krisis adalah mahal
sekali, apalagi bagi negara sedang berkembang yang memiliki utang
yang besar dan anggaran defisit seperti Indonesia.
Telah satu dekade krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia tahun 1997
berlalu. Meski pun krisis berawal dari Thailand, dampak contagion-nya
pada perekonomian Indonesia sangatlah kuat. Lemahnya fundamental
ekonomi Indonesia yang sebelum krisis sempat dikenal sebagai salah
satu ‘Macan Asia’, sejajar dengan Singapura, Thailand, Malaysia,
Taiwan, Korea Selatan dan Hong Kong, menyebabkan goncangan
perekonomian Indonesia lebih dalam dan luas, sehingga proses
pemulihannya juga berjalan paling lambat dibanding negara Asia lain
yang juga terkena krisis. Proses pemulihan ekonomi meskipun berjalan
lambat namun tetap mengalami kemajuan, sehingga pada tahun 2004
ekonomi Indonesia dapat dikatakan sudah kembali normal, pulih
dari krisis ekonomi. Namun demikian pada Agustus tahun 2005
makroekonomi Indonesia sempat mengalami goncangan terutama
pasca kenaikan harga BBM.
Sejak tahun 1999, ekonomi Indonesia meskipun lamban secara
umum on the track dalam proses pemulihan ekonomi (meski
mengalami kontraksi lebih dari 13% pada tahun 1998). Pertumbuhan
ekonomi Indonesia beberapa tahun terakhir ini stabil dengan laju
pertumbuhan yang meningkat lamban. Selama tahun 2001 hingga
2005, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara perlahan mengalami
peningkatan meski kemudian sedikit turun di tahun 2006 menjadi
5,5% (dari 5,6% pada tahun 2005). Demikian juga stabilitas ekonomi
makro hingga tahun 2007 ini nampak membaik, meskipun memiliki
kerapuhan yang serius.
Tingkat bunga yang mengalami penurunan sejak tahun 2002 sempat
kembali melonjak ke angka 12,75 persen di akhir tahun 2005, salah
satunya akibat adanya kenaikan harga BBM dan melemahnya nilai
Rupiah. Kemudian selama tahun 2006 tingkat bunga secara bertahap
mengalami penurunan hingga menjadi 9,75 persen di akhir tahun 2006,
bahkan akhir-akhir ini sudah mencapai 8,75%.
Stabilitas ekonomi makro selama periode 2000-2006 cukup
berfluktuasi, lihat Gambar 1. Meski demikian pemerintah telah dapat
menekan tingkat inflasi hingga hanya mencapai 6,6 persen untuk 2006
dari inflasi tinggi di tahun 2005 yang mencapai 17,11 persen. Secara
keseluruhan, inflasi mulai terkendali dengan baik, demikian juga nilai
kurs juga cenderung stabil menguat akhir-akhir ini.
Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi dan Tingkat Bunga, 1991-2007
(%)
* Pertumbuhan PDB tw.I/07 terhdp tw.I/06
Inflasi: YoY April 2007, dan Tingkat Bunga: 7 Mei 2007
Sumber: SEKI, Bank Indonesia
edisi ke2 new size.indd 53 5/6/2008 3:09:31 PM
A K U N T A N I N D O N E S I A
m i t r a d a l a m p e r u b a h a n ai 54
Khas Akuntan
Sementara itu perekonomian Indonesia yang semakin terbuka
telah menyebabkan Indonesia lebih terintegrasi dan masuk ke
dalam lingkaran globalisasi. Keterbukaan ekonomi sebagai dimensi
sentral globalisasi juga telah memicu meningkatnya kerentanan
suatu perekonomian terhadap perubahan ataupun gejolak eksternal.
Kerentanan suatu negara terhadap pengaruh eksternal terutama bisa
dilihat dari pergerakan nilai tukar mata uangnya.
Pergerakan nilai tukar Rupiah selama satu dekade terakhir cukup
berfluktuasi. Nilai tukar rupiah terhadap USD sempat mengalami
depresiasi hebat yang mencapai puncaknya pada Juli 1998 sebesar
Rp15.000/USD. Dengan berbagai macam kebijakan moneternya
Bank Indonesia telah cukup mampu menjaga stabilitas pergerakan nilai
tukar rupiah terhadap USD. Namun pada pertengahan tahun 2005,
seiring dengan kenaikan harga minyak dunia yang mencapai sekitar
US$ 70 per barel dan kurangnya pada kepercayaan pada otoritas
ekonomi, perekonomian Indonesia kembali mengalami goncangan
meskipun tidak sebesar pada saat krisis tahun 1998. Kenaikan harga
minyak dunia dan ketidak percayaan pada otoritas ekonomi pada saat
itu telah membuat nilai rupiah sempat terpuruk lagi hingga menyentuh
level Rp12.000 per USD. Sehingga menurut Bank Dunia, pada Agustus
2005 Indonesia memasuki “mini krisis” pada pasar valasnya.
Gambar 2. Nilai Tukar dan Cadangan Devisa Indonesia, 1990-2007
Sumber: SEKI, Bank Indonesia
Salah satu cara untuk mengukur kerentanan perekonomian suatu
negara bisa menggunakan index of speculative pressure (ISP) . Dengan
mengamati fluktuasi pergerakan indeks ISP dari waktu ke waktu
seperti yang tampak dalam Gambar 3, dapat dikemukakan bahwa
pada periode sekitar Agustus hingga Desember 2005 indeks ISP
hampir mendekati threshold ISP. Hal ini sesuai dengan pengamatan dari
Bank Dunia yang menilai bahwa sekitar periode tersebut di Indonesia
terjadi ‘krisis mini’ di Indonesia. Krisis mini ini ditengarai antara lain
karena adanya penurunan cadangan devisa, melemahnya rupiah, dan
kebijakan kenaikan tingkat bunga oleh otoritas moneter guna menjaga
stabilitas nilai Rupiah sebagai dampak kenaikan BBM.
Gambar 3. Index of Speculative Pressure (ISP)
Sumber: data diolah
Kerapuhan Ekonomi
Akhir-akhir ini berbagai kontroversi mengenai kerapuhan ekonomi
Indonesia dan potensinya masuk ke dalam krisis ekonomi telah
muncul ke permukaan dan menjadi diskusi yang panjang dalam tiap
diskusi publik. Dimana tentu saja masalah gap antara sektor keuangan
dan riel mau tidak mau menjadi isu sentral karena menjadi salah satu
pokok permasalahan ekonomi mendasar yang dihadapi oleh bangsa
ini. Dari berbagai data dalam gambar berikut ini dapat dilihat bahwa
rendahnya pertumbuhan investasi dan juga kredit perbankan telah
membuat gap antara sektor keuangan dan riil semakin lebar. Apalagi
pasar modal nampaknya melaju terus (meskipun tidak ada tanda-tanda
bahwa dunia usaha ataupun sektor riel bergerak) karena melonjaknya
likuiditas domestik dan dana portfolio yang masuk ke Indonesia.
Gambar 6. Kinerja Sektor Perbankan Indonesia (%)
Sumber: Bank Indonesia
Tabel 1. Skor Resiko Sektor Perbankan menurut EIU
Sumber: EIU diambil dari Chris Crowa, Indonesia ten Years After the Crisis,
2007.
Perbankan yang sudah direstrukturisasi dan kinerjanya sudah
membaik, ternyata masih menyimpan potensi kerawanan yang tinggi
dibandingkan dengan negara lainnya di kawasan Asia. Demikian juga
kinerja pasar modal Indonesia ternyata semakin banyak dipengaruhi
oleh perkembangan pasar modal regional (lihat tabel 2). Tingginya
comovement of daily stock return Indonesia membawa potensi contagion
di pasar keuangan semakin meningkat. Hal ini tentu membawa
kerawanan tersendiri pada pasar modal Indonesia, dan perekonomian
Indonesia, apalagi jika dana portfolio yang masuk ke Indonesia cukup
besar.
edisi ke2 new size.indd 54 5/6/2008 3:09:32 PM
A K U N T A N I N D O N E S I A
m i t r a d a l a m p e r u b a h a n
55 ai
Khas Akuntan
Gambar 7. Kinerja Pasar Modal Indonesia, 1997-2006
Sumber: SEKI Bank Indonesia
Tabel 2. Estimated Comovement Of Daily Stock Return, Selected Countries
Sumber: Chris Crowa, Indonesia Ten Years After the Crisis, 2007.
Keterkaitan sektor keuangan dan riel yang semakin lemah ternyata
tidak hanya dihadapi oleh Indonesia saja. Negara krisis Asia 1997
lainnya juga cenderung menghadapi permasalahan yang sama.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jeremy Duffeild dari
Vanguard Investment Australia (dalam suatu pertemuan tahunan
APEC Centres di Melbourne pada tanggal 18-20 April 2007)
disampaikan bahwa korelasi antara pertumbuhan ekonomi dan market
return di pasar modal semakin kecil, hanya 50%. Ini berarti hubungan
antara pertumbuhan ekonomi dan perkembangan pasar keuangan
cukup rendah. Dimana pengaruh fundamental ekonomi pada pasar
modal semakin kecil. Padahal secara teoritis mestinya membaiknya
pasar modal didasari oleh perbaikkan kinerja dunia usaha yang pada
gilirannya akan meningkatkan kinerja ekonomi. Namun sayangnya pasca
krisis ekonomi 1997 yang lalu telah terjadi pergeseran dalam perilaku
pelaku pasar di kawasan ini, yang nampaknya juga terjadi di Indonesia.
Kita melihat ada gap yang besar antara pasar keuangan dan sektor
riil. Bahkan pasar modal Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini
selalu menjadi salah satu pasar modal terbaik didunia. Padahal secara
fundamental kondisi ekonomi secara umum, khususnya sektor riil
tumbuh “lambat”. Bahkan pada saat investasi mengalami kontraksi pun,
pasar modal juga bullish. Nampaknya pelaku pasar memang semakin
irasional dalam berinvestasi di kawasan ini, khususnya di Indonesia.
Sehingga kita tidak bisa merasa optimistik dengan membaiknya kinerja
pasar modal kita, karena tidak merupakan indikasi optimisme pelaku
pasar pada kinerja ekonomi kita.
Sementara itu masalah ekonomi yang tidak segera dapat diatasi
meskipun sudah ada berbagai paket kebijakan ekonomi telah membuat
gap antara sektor keuangan dan riel semakin lebar. Ruwetnya
permasalahan yang dihadapi oleh sektor riil banyak bersumber
dari ketidak pastian terhadap berbagai hal, seperti halnya kepastian
hukum, ataupun kebijakan pemerintah, yang sampai saat ini masih
belum dapat diselesaikan dengan baik. Sehingga penyelesaian masalah
investasi dan bisnis tidak dapat tuntas. Namun untuk pasar keuangan
khususnya investasi portfolio situasinya lain, karena mereka dapat hit
and run setiap saat. Oleh karena itulah pasar modal kita tetap melesat
terus, meskipun apapun yang terjadi. Apalagi pelaku pasar nampaknya
semakin irasional. Sehingga capital inflow dari porfolio mengalir cukup
deras ke Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini karena dana
internasional nampaknya juga semakin banyak yang mencari tempat
investasi.
Derasnya dana jangka pendek yang masuk Indonesia memang telah
membuat cadangan devisa menguat hingga mencapai lebih dari 49
miliar dolar AS akhir-akhir ini. Namun demikian besarnya dana jangka
pendek dan juga besarnya utang luar negeri tetap saja membuat posisi
Indonesia rentan pada krisis. Apalagi likuiditas di pasar domestik pada
saat ini juga semakin tinggi, yang dapat dilihat dari SBI yang beredar
di pasar lebih dari Rp250 triliun. Sehingga jika tidak hati-hati akan
menimbulkan kerapuhan tersendiri pada perekonomian. Apalagi
likuiditas di dalam perbankan juga masih tinggi.
Gambar 10. Kecukupan Cadangan Devisa Indonesia (miliar USD)
Sumber: Bank Indonesia
Sementara itu kondisi keuangan negara juga tidak menggembirakan
karena potensi meningkatnya defisit dapat membawa konsekuensi
fiskal yang serius. Konsolidasi fiskal pada tahun-tahun mendatang
dalam bahaya yang lebih serius jika defisit APBN terus membengkak.
Sumber: Nota Keuangan & APBN, diolah
edisi ke2 new size.indd 55 5/6/2008 3:09:33 PM
A K U N T A N I N D O N E S I A
m i t r a d a l a m p e r u b a h a n ai 56
Peran Akuntan
Perkembangan ekonomi yang semakin vulnerable akhir-akhir
menuntut regulator, pemain ekonomi, dan masyarakat untuk semakin
pruden dalam mengelola ekonomi, bisnis dan ekonomi keluarganya.
Sementara itu pasar juga semakin kompleks dan mengglobal. Dalam
perekonomian yang semakin kompleks seperti sekarang ini peranan
institusi modern untuk mengatur dan mengawasi perekonomian
menjadi semakin penting, demikian juga profesional yang terkait juga
semakin urgen. Dalam hal ini peranan akuntansi sebagai salah satu
institusi penting dalam perekonomian semakin lama juga semakin
penting. Apalagi dalam perekonomian yang semakin kompleks dan
modern seperti Indonesia sekarang ini, tuntutan adanya informasi
yang semakin reliable yang dapat digunakan sebagai pegangan untuk
mengurangi masalah informasi yang tidak simetris menjadi semakin
penting. Bekerjanya mekanisme pasar yang menjadi pilar penting dalam
perekonomian tidak akan dapat berfungsi dengan baik jika informasi
yang tersedia di pasar tidak reliable. Khususnya jika permasalahan
terkait dengan laporan keuangan perbankan, korporasi ataupun
pemerintah. Padahal kepercayaan masyarakat pada bank semakin
penting (apalagi setelah penjaminan dana pihak ketiga tinggal Rp100
juta mulai akhir Maret yang lalu). Selain itu suatu korporasi akan
kesulitan mendapatkan external financing apabila laporan keuangannya
diragukan oleh investor. Bahkan country risk suatu negara bisa
meningkat apabila informasi mengenai kondisi keuangan negaranya
di pasar tidak reliable, sehingga premi resiko yang harus dibayar akan
semakin mahal. Dimana semuanya jelas akan merugikan perekonomian
suatu negara, perusahaan, bank ataupun juga masyarakat luas.
Padahal seperti diketahui bahwa dalam sudut pandang ekonomi
makro informasi memiliki dua fungsi yang penting, yaitu:
memfasilitasi identifikasi kegiatan yang paling produktif, dan
menyediakan suatu mekanisme untuk mengontrol penggunaan
sumberdaya secara efektif.
Sehingga dengan adanya informasi yang reliable akan mendorong
sumber ekonomi dialokasikan pada kegiatan yang paling produktif
secara efektif. Dimana tentu saja hal tersebut akan meningkatkan
social welfare dari masyarakat. Demikian juga secara mikro peranan
informasi yang dihasilkan oleh akuntan adalah penting karena
menyediakan informasi tentang kondisi keuangan, kinerja dan risk
profile dari korporasi baik keuangan ataupun non keuangan, juga suatu
organisasi ataupu lembaga. Sehingga sangat berguna bagi semua pihak
yang punya kepentingan. Apalagi dalam pasar keuangan yang semakin
berkembang seperti sekarang ini peranan data-data keuangan semakin
penting karena dapat mengurangi masalah adverse selection dan
moral hazard. Good governance sudah menjadi bagian penting dalam
pengelolaan organisasi ataupun perusahaan memerlukan adanya
transparansi kondisi keuangan organisasi ataupun perusahaan yang
hanya dapat dilakukan oleh akuntan. Kualitas informasi independen
dari akuntan khususnya dalam hal akurasi, timely, comparable, banyak
mempengaruhi bekerjanya pasar.
Oleh karena itu untuk berkejanya mekanisme pasar yang efektif
perlu adanya mobilisasi kapital yang efisien secara pruden agar
perekonomian yang stabil berkembang berkelanjutan. Untuk
mendukung perkembangan pasar yang efisien perlu didukung
oleh institusi yang berkualitas. Dalam hal ini accounting profession


memainkan peranan yang penting dalam membangun perekonomian
yang stabil, kredibel, berdaya saing dan berkembang berkelanjutan.
Pada saat ini para akuntan Indonesia tengah menghadapi tantangan
yang besar. Karena banyak modal yang tersedia di pasar ternyata tidak
dapat diinvestasikan pada penggunaan yang produktif. Sehingga gap
antara sektor keuangan dan riel semakin lebar.
Apalagi kelemahan akuntasi ternyata dapat menjadi salah satu
sumber penting krisis ekonomi. Menurut Dr. Hyoik Lee, ketua dari
Korea Accounting Standards Board, krisis ekonomi Korea pada 1997
merupakan contoh dari lemahnya tranparansi dalam akuntansi yang
dituliskan sebagai berikut:
…the financial crisis of December 1997 in Korea was a clear example
of market failure that resulted from combined effects of excessive
government intervention in the financial and capital markets, widespread
moral hazards of financial intermediaries and corporate management,
archaic corporate governance, and a general lack of transparancy in the
financial accounting system as a whole …
Pengalaman Korea diyakini juga terjadi di Indonesia pada saat itu
menunjukkan bahwa kurangnya transparansi keuangan dalam sistem
akuntansi bisa membawa dampak yang fatal dalam perekonomian
suatu negara. Isu ini menjadi relevan bagi Indonesia pada saat ini,
karena dalam kondisi ekonomi yang semakin vulnerable seperti
sekarang ini, gap antara sektor keuangan dan riel yang semakin lebar,
peranan akuntan menjadi semakin penting agar dapat mengurangi
masalah informasi yang asimetris, sehingga dapat mengurangi masalah
adverse selection dan moral hazard dalam perekonomian. Sehingga
mobilisasi sumber daya dapat dialokasikan secara efisien kepada
kegiatan yang paling produktif dengan efektif. Dengan demikian
stabilitas ekonomi dan pembangunan ekonomi berkelanjutan dapat
berlangsung tanpa gangguan yang berarti. Dengan demikian Kongres
Luar Biasa Ikatan Akuntansi Indonesia pada Mei 2007 ini memiliki
momen yang tepat, ditengah-tengah turbulensi ekonomi yang semakin
meningkat, diharapkan dapat memberikan sumbangan yang penting
untuk mengatasi permasalahan penting yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia. Selamat berkonggres.
Disampaikan dalam Konggres Luar Biasa IAI, “Peran Akuntan dalam
Meningkatkan Daya Saing Bangsa”, Jakarta
22 Maret 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download Lagu Gratis, MP3 Gratis